Kecakapan
Hidup Memudahkan Masa Depan
Apa
Tujuan Menuntut Ilmu?
Soft
skill atau kecakapan hidup adalah kemampuan (keterampilan)
yang ada dalam diri kita. Kecakapan yang kita maksud adalah kemampuan dalam
mengendalikan diri, dapat menerima nasehat orang lain, mampu dalam manajemen
waktu, selalu berpiki positif, dll (Warni Tune S dan Intan Abdul Razak, 2016).
Sebelum membahas tentang kecakapan hidup, saya akan memaparkan tentang
bagaimana konsep pendidikan menurut masyarakat, khususnya menurut para remaja
secara umum.
Buat apa para remaja harus
bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya mereka,
terutama para siswa, tahu bahwa belajar itu sangat penting untuk mengubah nasib
mereka. Mereka yakin bahwa sekolah berguna untuk membuat mereka jadi cerdas, agar
kelak bisa jadi pegawai, bekerja di perusahaan besar sehingga mudah mendapatkan duit yang banyak. Jadi mereka semua
memotivasi diri untuk bersekolah yang benar. Belajar dengan sungguh- sungguh
agar bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat
yang basah maka hidup akan berubah- menjadi kaya raya.
Sebagai konsekuensi maka
sekolah yang puya mutu akan selalu diserbu dan diidolakan. Sekolah ini diyakini
akan mampu mengubah nasib mereka. Sekolah bermutu akan membantu mereka dalam mempersiapkan diri
guna bisa jebol ke perguruan tinggi favorit:
“Kuliah di jurusan favorit dan perguruan
tinggi favorit akan bisa membuat aku menjadi orang yang hebat. Lulusan dari
perguruan tinggi favorit akan gampang bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, punya
kedudukan dan punya uang yang banyak”. Demikianlah mimpi-mimpi positif yang
memotivasi remaja untuk selalu belajar dengan serius. Mimpi ini dipegang teguh
oleh banyak siswa dan didukung oleh
orangtua mereka.
Bagaimana
dengan eksistensi orangtua? Untuk merespon mimpi tersebut, sejak tahap awal
pendidikan, mereka merancang konsep-konsep sukses buat pendidikan anak-anak
mereka. Sejak dini orangtua selalu rajin merangsang daya fikir atau kognitif
anak.
Kebiasaan yang begini
sangat bagus karena mereka bisa diberi label sebagai orangtua yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan. Mereka adalah orangtua yang punya visi
dan misi buat masa depan putra- putrinya.
Dari usia dini orangtua
betul-betul peduli, mengantarkan anak ke pendidikan PAUD dan TK. Memberi
dorongan semangat, pujian, dan tepuk tangan bila mereka mampu mengucapkan
doa-doa, menyebutkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah
kata dalam bahasa Inggris. Decak kagum juga akan ditumpahkan bila anak-anak
bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan
SD, orangtua akan merancang agenda buat
mereka untuk bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung
(membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN
(ujian nasional). Pokoknya sejak kelas 1
hingga kelas 6 sekolah dasar, waktu mereka akan habis di ruangan les privat.
Selanjutnya begitu masuk ke pendidikan yang lebih tinggi,
di tingkat SMP dan SMA, tentu saja beban materi pelajaran lebih berat, dan
lebih sulit. Sebagian orangtua akan mencaritahu tentang cara pembelajaran dan
juga penjurusan. Misalnya, bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Banyak orangtua
berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite
karena akan memberi peluang yang luas bagi mereka bila kuliah kelak.
Lagi-lagi para orangtua
akan menggiring mereka untuk bisa belajar tambahan. Orangtua memberi sugesti
agar mereka menambah ilmu ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau
mendaftarkan mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
Begitulah
gambaran hari-hari anak dan remaja dihabiskan. Mereka disibukkan dan dimotivasi
untuk persiapan menuju masa depan.
Adakalanya mereka didesak buat belajar tambahan bukan karena kemauan sendiri,
namun untuk memperturutkan ambisi orangtua. Banyak siswa sekarang yang secara
tidak langsung telah dipersiapkan menjadi manusia karbitan.
Para
siswa yang menjadi cerdas secara karbitan terbentuk karena mereka digegas
menjadi siswa yang cepat mekar, mereka pun cepat matang dan akhirnya cepat
menjadi layu (Dewi Utama Faizah, 2009). Para siswa yang digegas untuk cepat
matang atau pintar, hidupnya diprogram secara instan sehingga karakter yang
terbentuk adalah karakter karbitan. Maksudnya mereka punya karakter “tidak
sabaran” yang ingin cepat-cepat untuk bisa sukses.
Juga
merupakan sebuah fenomena bahwa ranah pendidikan telah menjadi lahan bisnis.
Kita dengan mudah menemukan banyak tawaran belajar dengan paket program instant, program cepat pintar yang sering diberi label “smart.” Membaca tawaran ini membuat
banyak remaja jadi tergiur. Mereka menyerbu biro yang menerbitkan tawaran
tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris agar segara bisa “bercas-cis-cus”.
Budaya instan bermakna
budaya yang bersifat serba terburu-buru. Benar bahwa dalam budaya ini ditawarkan
resep segala sesuatu diwujudkan serba cepat, mudah dan dadakan. Contoh, untuk
program belajar bahasa Inggris mahir dalam waktu 3 bulan atau 6 bulan.
Ini adalah suatu yang nonsense apalagi kalau IQ buntu.
Sedangkan untuk lahir ke dunia, bayi butuh waktu 9 bulan, dan untuk jadi
seorang bayi yang sempurna, dia butuh waktu 2 tahun. Yang diperlukan adalah
kebiasaan selalu belajar, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas (Mudji
Sutrisno, 1994).
Lain generasi dulu dan
lain pula generasi sekarang. Banyak generasi dulu lebih terkenal dengan
kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-sendiri. Mencari ilmu
sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara
mandiri. Kontra dengan sebahagian generasi sekarang, yang akibat salah didik-
banyak dibantu- menjadi generasi yang sangat tergantung pada bantuan
lingkungan/ orangtua.
Penyebabnya tentu saja
ayah-bunda mereka yang kurang membuat mereka mandiri. Mereka dibanjiri dengan
berbagai pelayanan atau servis, jadinya mereka bisa diberi label sebagai
“generasi yang suka diservis”.
Generasi servis maksudnya
bahwa mereka bisa menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi bukan
semata-mata murni karena kemandiriannya. Namun karena mereka banyak diprogram
dan diberi servis sejak usia dini
(Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih balita orangtua
mereka mendatangkan babby-sitter buat
mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat usia lebih besar, bersekolah di SD,
dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orangtua menyewa
(membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam
mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua
bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
Saya
sering mendengar pendapat orang awam dengan telinga sendiri bahwa generasi
sekarang- terutama para siswa- dijuluki juga dengan “generasi anak mami”.
Generasi yang begini maksudnya bahwa atas nama kasih sayang dan demi
keberhasilan sekolah, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut
membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus
rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua
biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa
asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
Pergilah
ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar mereka bisa
menjadi hebat di sekolah. Disana mereka dipaksa dan dikondisikan buat belajar
dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam mereka terbelenggu- duduk
mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat
bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi
kebutuhan sendiri seperti: makan, pakaian dan pernak-pernik kecil lainnya,
semuanya siap dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi
orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton,
dan kemudian kalau sudah bosan baru main game-
online.
Apa konsekwensinya? Mereka
sekarang jadi tidak punya kecakapan hidup. Saat menginjak usia remaja, duduk di
bangku SMA, kecanggungan mereka semakin jelas terlihat. Mereka hanya jadi manusia yang suka
bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan
benar. Maka jadilah mereka sebagai generasi yang miskin dengan kecakapan hidup-
miskin dengan pengalaman.
Tidak terbiasa melakukan
hal-hal kecil, tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu
lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus keperluan lainnya, karena
semua sudah diambil alih oleh mami atau
asisten rumah tangga.
Jadinya
sebagian mereka tidak obahnya ibarat
“seorang raja kecil.” Semua kebutuhannya harus dilayani, maunya tahu beres
saja. Mereka telah menjadi manusia berkarakter
instant atau sebagai manusia
robot.
Mereka menjadi siswa yang
pintar namun hanya karena diprogram. Didesain agar bisa pintar. Ya...pintar
yang kurang bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil untuk akademik,
mereka memang mampu meraih peringkat
yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau peringkat 5 besar di kelas. Namun
kalau hanya sebatas prestasi akademik itu hanya bersifat fatamorgana-hanya
sebatas cerdas di atas kertas.
“Bisa dilihat namun tidak
terpakai.” Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena ayah dan bunda rajin
memberi guru cendera mata, hingga sang guru merasa berutang budi atas kebaikan
hati orangtua dan sebagai konsekuensi tidak berani memberikan nilai “apa
adanya” atau nilai yang lebih objektif.
Memang ada para orangtua
(ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak hingga mejadi
bintang pelajar di sekolah. Nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam
ijazah. Agaknya para orangtua juga perlu memahami konsep parenting yang benar.
Bila dicermati terlihat bahwa
para orangtua seolah-olah mengambil alih “peran guru dari sekolah.” Terlalu
banyak porsi untuk teaching atau
pengajaran. Semestinya orangtua lebih banyak porsinya untuk educating atau
mendidik, yaitu seperti pembentukan kecerdasan personal dan sosial anak.
Sementara peran guru lebih banyak porsinya untuk pembentukan kecerdasan akademik atau teaching.
Jangan
Hanya Sebatas Kecerdasan Akademik
Banyak remaja yang terlalu
mendewa-dewakan kecerdasan otak atau kecerdasan akademik. Agaknya mereka juga
perlu memahami bagaimana menumbuhkan potensi diri, misal bagaimana untuk
memiliki karakter-karakter positif
seperti “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan
sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri
sendiri, tidak berkarakter individualis, dll”.
Walau
pada akhirnya mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan
tinggi juga merekrut calon mahasiswa berdasar skor akademik. Karena kesibukan dengan dunia
akademik maka secara tidak langsung menyingkirkan penumbuhan karakter-karakter
positif yang kelak sangat menunjang kehidupan.
Proses perkuliahan
mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik.
Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya
baru sebatas cerdas dengan kertas, cerdas dengan teori. Namun begitu diwisuda dan
menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi
panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum
mencukupi. Jadinya mereka melangkah
menatap kehidupan nyata penuh dengan rasa gamang.
Sebagaimana
yang ditulis oleh Ruth Callaghan (2016), mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just
good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers
are looking for much more from graduates”.
Sangat
benar, bahwa umumnya mahasiswa hanya berlomba buat mencari nilai akademik
setinggi mungkin, berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat
orangtua jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan menjadi fenomena di dunia
pendidikan. Realita di lapangan bahwa dunia kerja (perusahaan) lebih mencari
orang-orang yang tidak hanya sebatas bernilai akademik yang bagus, namun juga
harus memiliki kecakapan hidup, keterampil dan pengalaman sosial yang
bervariasi.
Ruth
Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbagi
pengalaman dengan mahasiswa di berbagai
universitas di Australia. Mereka mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang yakin
dengan prestasi akademik sebagai indikator satu-satunya yang ditentukan oleh
dunia kerja-atau perusahaan.
Ternyata keyakinan ini
salah. Memang dalam pembelajaran di
universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh
peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah
diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan hanya terbatas
pada nilai akademik, namun bagaimana para kandidat juga memiliki kemampuan
selain akademik tersebut, seperti:
“Leadership, communication skill, problem
solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan,
kecakapan berkomunikasi, kemampuan
dalam mengatasi masalah dan kemampuan
melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar
bisa dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pelamar kerja.
Jadi
kriteria dunia kerja tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai
akademik seseorang. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa
perusahaan akan mencari orang yang cerdas, mampu bekerja dan nilai akademis
bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena
banyak perusahaan punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen.
Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan
personalia yang sangat cocok dengan atmosfir perusahaan.
Perlu
Kecerdasan Non Akademik
Bagaimana dengan
faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan
seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang
sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat
(periode pertama 2010-2015 dan periode kedua 2016-2021),
yang
mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di
Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun belakangan dia bisa merajut kesuksesan,
hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur
Sumatera Barat.
Irwan
Prayitno, nama
lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari
keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah
anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen. Jadi
orangtua yang berpendidikan tinggi biasanya
mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa
kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan
pengalaman adaptasi sosialnya
semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai
berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada
tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya
dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sebatas jago akademik, namun ia juga punya
keterampilan yang lain , yaitu peduli
pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata
orang-orang
yang
sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini
dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat
di SMA, namanya Hidayat
Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa
ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman
saya
yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi
Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok-Sumatera
Barat), dan
setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri
Padang dan kemudian menjadi Atase
Budaya di Kantor Kedutaan Besar
RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa
pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah
dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya
tentang Irwan Prayitno, bahwa ia
sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya.
Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas
Indonesia.
Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan
kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah,
mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar-
untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak
lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata,
tetapi pengembangan diri.
Saat
mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan
perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya
Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK
(Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan
memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang
untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya,
ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang
menjadi UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada
Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan
Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya,
ternyata adalah anaknya.
Saya masih
ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan
bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh
Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar-Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar
Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan
belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan
teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada
1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan
belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka
jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu
psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan
Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya
untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di
Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK
rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di
Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (University Putra
Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam
tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human
Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih
awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di
kampus yang sama.
Sehari-hari
di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah
memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu.
Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10
sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia
menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus mengerjakan
tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta
api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno
sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa
menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI,
dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya
bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk
mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran,
intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya
serta keberanian enterpreurship-nya.
Para remaja-terutama siswa dan mahasiswa-di zaman sekarang perlu tahu bahwa
betapa pentingnya memiliki kecakapan hidup dan keterampilan-keterampilan yang
bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan,
ketangguhan, kepemimpinan (leadership),
keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada
pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka
perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat
sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang
suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari (membutuhkan) orang yang berpribadi
attraktif dan punya soft skill-keterampilan
serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan
memberikan penilaian melalui: “action
oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have
the opinion”.
Jadi dari paparan di atas
dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft
skill-kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi
kita dalam mendapatkan karir di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them