Selasa, 23 Januari 2018

Cerdas Bermental Sopir Atau Bermental Penumpang?

Cerdas Bermental Sopir Atau Bermental Penumpang?

Buku Pemberi Inspirasi
Salah satu program unggulan Metro TV adalah “Big Cicle.” Host acaranya sering mengundang Prof. Rhenald Kasali Ph.D untuk mengomentari inovasi-inovasi dalam bidang perekonomian. Saya mendengar namanya saat saya mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2012. Rhenald Kasali ikut memberikan kuliah umum buat kami, para guru berprstasi. Setelah itu kami semua memperoleh buku “Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang” (Rhenald Kasali, 2011).
Rhenald Kasali adalah seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia, khususnya dari bidang ekonomi. Ternyata dia juga sangat peduli pada dunia pendidikan. Saat itu kami- para peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Saya merasa lebih dekat dengan pemikirannya dan saya sengaja mencari semua buku-buku yang ditulisnya pada sebuah toko buku di Padang. Saya pun menemukan buku-buku karangannya seperti: Let’s Change, Change leadership Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya yang Self Driving Menjadi Driver atau Passenger? Menjadi best seller dan sangat mengagumkan dan menginspirasi banyak orang. Memang membaca buku bisa memberi banyak inspirasi bagi kita.
Saya membaca buku-buku Rhenald Kasali dan saya merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Salah satu bukuya memberi saya pemahaman tentang apa yang ditulisnya, adalah pada buku Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?(Rhenald Kasali, 2016).
Saya ingin berbagi tentang bukunya- memaparkan lagi pemikiran Rhenald Kasali atas fenomena pendidikan yang telah membentuk kita menjadi orang yang cerdas namun susah untuk bergerak- untuk maju. Sengaja saya paparkan agar para pembaca yang berusia remaja bisa memahami dan setelah itu bisa mengambil sikap untuk melakukan update atau revolusi mental demi untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Rhenald Kasali megatakan bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver (bermental sopir atau bermental penggerak) yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus (juga di SLTA), tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia (mahasiswa dan siswa) bermental passenger (bermental sopir atau bermental passif).
Dikatakan bahwa generasi muda sekarang cenderung banyak yang pandai, namun outputnya adalah menjadi manusia-manusia bermental penumpang. Setelah menjadi cerdas, mereka tidak tahu mau berbuat apa. Ilmu pengetahuan atau kecerdasannya tidak mampu menggerakkan dirinya apalagi untuk menggerakan orang lain.
Orang-orang demikian kalau belajar fokusnya adalah sebatas bisa menaklukan isi buku teks, yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian- sebatas jago berteori. Jadi pintar mereka hanya sebatas pintar di atas kertas.
Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka kualitas sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana cerdas di atas kertas. Sementara itu dalam praktek pendidikan, banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana realita kehidupan ini terjadi. .   
            Ditambah lagi bahwa model pendidikan pada tingkat pendidikan dasar (di tingkat SD dan SMP)- yang mana model pembelajaran yang sering terjadi bercorak konvensional. Yaitu sebatas membiasakan para siswa hanya pandai menghafal pelajaran (sambil melipat tangan dan duduk manis saat belajar). Maka setelah itu terbentuklah orang-orang muda menjadi generasi yang pasif.

Buruh Migran Bisa Jadi Lebih Cerdas Dari Mahasiswa
Dalam realita kehidupan bahwa para mahasiswa dan juga siswa bisa dikalahkan oleh orang-orang yang bukan bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka itu tidak bersekolah tinggi. Mereka dipaksa oleh lingkungan (oleh takdir atau nasib) untuk berpikir kritis menghadapi dunia baru yang sangat menuntut. Buruh migran bisa jadi lebih cerdas dari mahasiswa atau dari sebahagian sarjana(?) 
            Para buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan, misalnya, banyak yang memiliki pikiran yang lebih hebat dibanding sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan hidupnya. Pada akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi orang dengan karakter penumpang, bukan bermental driver.
            Rhenald Kasali dan juga para tokoh pendidik yang pro kemajuan sudah lama komplain terhadap praktek pembelajaran di dunia pendidikan. Mengapa?
Karena metode pembelajaran di sekolah-sekolah yang terlalu berorientasi pada kognitif. Guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif, namun tidak menguasai semua subjek (mata pelajaran).
Potensi para siswa hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah tidak mendorong munculnya (tumbuhnya) critical thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan (mendidik) generasi yang bersifat bebek-bebek dogmatik.
            Sementara itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa hanya dari ujian tertulis, yaitu dari buku test dan kertas test. Rhenald Kasali- sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dalam kelas marketing (mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan seorang marketing (marketer) dengan nilai A. Mengapa?
Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman, berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan temannya. Pada hal seorang marketing (marketer) itu seharusnya punya pribadi yang  menarik dan menyenangkan.
            Akhirnya orang-orang seperti itu (mahasiswa tadi) kelak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam memasarkan dirinya dan kelak jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang frustasi (depresi).  
            Juga merupakan fenomena bahwa sekarang banyak calon mahasiswa berebut untuk bisa kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di tanah air ini. 
Pemikiran yang cerdas adalah “jangan pernah menjual label-label universitas. “Wah aku ini lulusan universitas X pasti perusahaan besar yang hebat akan mudah menggaetku,” namun jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan unggul yang engkau miliki !.
Agaknya banyak generasi muda termasuk bagi mereka yang baru jadi sarjana, juga setuju dengan pendapat bahwa label universitas belum bisa menjamin kita untuk sukses. Kecuali kualitas pribadi kita sangat ditentukan oleh cara kita berproses dan komitmen kita sendiri.

Self Sebagai Kendaraan Kita
            Sesungguhnya Allah Swt telah memberi kita “diri” yang bisa kita sebut dengan kata “self”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih arah, mau dibawa kemana self tersebut. Apa mau diarahkan untuk menjadi orang yang bermental penumpang (self-passenger) atau menjadi orang yang bermental pengemudi (self-driver) nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver?
            Pilihan yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat benar bahwa kita harus mampu untuk:
Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”.
            Namun kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau juga mungkin kita sendiri yang “bermental passenger- yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Amatilah sebuah mobil yang sedang lewat. Di dalamnya banyak penumpang dan seorang sopir. Maka seorang penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver). Dia tidak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk atau ngobrol. Sementara seorang driver harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan harus bisa merawat kendaraan.
            Seseorang yang menjadi passenger, dia akan punya diri dengan kualitas sebagai pengikut. Dia punya mental yang kerdil- itu terjadi karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap (statis) atau kurang bergerak.
Sebaliknya seseorang yang menjadi driver- dia akan mampu mendorong- karena memiliki settingan otaknya  (mindsetnya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai terjadinya perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya empati.   
            Telah banyak orang yang didik begitu lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi sarjana, mereka tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu menggerakan (self-drive in) dirinya sendiri, apalagi menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka bertarung habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau menjadi beban bagi orang lain.
            Pendidikan hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang terbiasa berpikir.

Belajar Berpikir Atau Sebatas Pandai Menghafal
Belajar artinya adalah berpikir, ibarat seorang driver yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa mengambil jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Rhenald Kasali (2016) menambahkan bahwa masalah yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia politik, juga di dunia birokrasi dan akademik. Semua tidak lepas dari pengalaman bagaimana manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga sejak dari kecil. Melalui tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan potensi atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen juga tidak mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering bertanya:
“Mama, ..papa..ini boleh nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa sudah waktunya atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini cocok atau tidak??”
Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan. Orangtua masih membelenggu pikiran mereka dengan hubungan batin pada pikirannya. Saat mereka ingin ikut berkemah dengan teman-temannya, orangtua mengatakan:
“Jangan ikut berkemah nak ..nanti kau sakit.”
Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi, travelling, orangtua juga merasa keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orangtua juga menetapkan syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit orangtua yang mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya masih banyak diurus orangtua.
Rasa ketergantungan pemuda yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan. Yang orangtua lupa bahwa mereka telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang mampu berpikir secara mandiri karena orangtua yang melatihnya dari kecil hingga dewasa. Seolah-olah orangtua tak rela menjadikan mereka menjadi manusia dewasa yang mampu berpikir sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu ingin dibimbing orangtua.
Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam kendaraan keluarga. Sudah seharusnya para remaja juga bisa melatih diri  untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan.
Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya untuk punya keterampilan, untuk mandiri. Setelah itu anaknya terbang dan hidup mandiri.
Maka kita sebagai anak-anak muda, para remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri ini selalu terpasung oleh sesuatu yang kita bawa dari masa lalu. Untuk itu mari kita lakukan perubahan !!!

Cerdas Sebatas Memindahkan Isi Buku Ke Otak
Kita tidak bermaksud menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sebatas memberi tahu tentang kenyataanya- atau sebuah otokritik. Bahwa para pendidik dan juga para dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala kita (siswa dan mahasiswa), itu namanya kita belum menuntut ilmu, tetapi baru sebatas  memindahkan isi buku ke memory dalam kepala ini.
Rhenald Kasali mengatakan tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Bahwa kita di Indonesia terlihat banyak yang ketakutan dalam megungkapkan isi pikiran dan analisis kita kendati kita sudah dewasa. Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda (mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika kita (dan banyak anak Indonesia) begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua, Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara- Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di restoran, dll.   
Para mahasiswa yang dulu hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup di dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad.
Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita menyaksikan orang-orang yang dulu hidup begitu dimanjakan (akibat berada dalam comfort-zone). Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian.
 Oleh sebab itu mari kita biasakan belajar untuk keluar dari comfort zone (zona aman)- dari kebiasaan banyak diservis, serba dilayani dan merengek pada orangtua melulu. Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar emas.
Diakui bahwa memang banyak jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana  kalau di atas kertas cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu meraih nilai atau skor akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan apa bentuk karir mereka.
Ya generasi kita- generasi baru Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih tentu bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah. Secara langsung maka para orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
“Anak- anak tidak diajar bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang lebih sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya telah bermunculan generasi yang lebih banyak servis. Artinya anak-anak dibuat dengan kemampuan berpikirnya hanya sebatas bisa menghafal- hingga mereka menjadi generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
“Pergi sekolah untuk apa dan kuliah buat mencari apa?”
Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas atau sekolah yang bergengsi, yang dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan (disekolahkan). Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku atau dalam kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah jadi fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya universitas yang bergengsi dan punya label maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang dengan mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan tidak mau mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan berlabel unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih dari sebatas  teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan “total pribadi” yang sangat berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian pengalaman- yang penuh ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di sekolah kita dengan istilah “Race To Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana banyak anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat namun bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.

Fenomena Kehidupan Yang Terbalik
Fenomena memperlihtkan bahwa hidup ini sering situasinya jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi apa-apa. Sedangkan orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang terkesan bermalas-malas mereka malah memiliki mindset (pola berpikir) sebagai seorang driver, sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola beripikir) sebagai seorang passenger -ya sebatas  berharap jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental driver. Untuk itu kepada mereka yang sedang belajar bersungguh-sungguh kita bisa ajukan sejumlah indikator atau pertanyaan untuk melihat apakah kelak mereka menjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan mengapa hidup musti berubah, dan mengapa perubahan
   menuntut manusia untuk berpikir?
- Apakah orangtua/ lingkungan anda membelenggu perkembanganmu?
- Apakah anda tertantang untuk mengenal linkungan baru yang lebih
   banyak? Apa anda bertipe orang rumahan?
- Apa anda senang diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih
   mandiri?
- Apa anda tergila gila dengan gadget dan membuat anda sangat individualis
   dan kurang membuka diri?
- Apa anda suka melayani, dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau
   kendali diri, serta juga punya tanggung jawab?
-  Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa
   mengendalikan diri, teman- teman, lingkungan dan kedepannya untuk
   mengendalikan bangsa ini?
- Anda senang menonton orang bekerja? Atau terpanggil untuk ikut
   berpartisipasi?
- Anda mudah gelisah dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga
  dengan orang baru? Anda mampu beradaptasi dengan mudah?
- Dalam bergaul dan berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
  berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat orang?
- Apa anda memiliki disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang
  baik?
- Apa anda punya ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya?
- Anda mampu berkonsentrasi? Juga mampu mengendalikan emosi/
  amarah?
- Anda senang beraktivitas?
- Apa anda suka membuat-buat alasan? Suka mnunda nunda waktu,
  menunda pekerjaan, bekerja tanpa prioritas?
- Apa anda suka menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka
  membuang waktu?
- Apa anda bisa mengukur kemampuan diri?
- Apa anda orangnya sangat gigih? Sangat tekun? Sangat Pede? Tidak suka
  pasrah dan menyerah?
- Apa anda orang nya sederhana ada gaya hidup yang ribet?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas maka akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktek pendidikan yang cenderung mengantarkan kita menjadi orang yang bermental penumpang maka harus segera kita perbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus dibongkar habis. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri.
Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun. Dimana para siswa dibuat belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di lapangan pendidikan sering ditemukan para siswa yang pintar di sekolah, namun belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada para siswa yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya cenderung suka menghafal.
Memorizing is not the good way in thingking dan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik”.  
Maka para remaja (para siswa) dan juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa membuat siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal menjadi berpikir- thingking oriented.
Karena dengan kemampuan berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi model pembelajaran/pendidikan kita perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtua kita. Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang menjadi pribadi driver- yang mampu menggerakan dan mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk menjadi nation driver atau penggerak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...