Lintau
Buo
Lintau
Buo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tanah Datar- di Propinsi Sumatera
Barat. Daerah ini terletak di lereng Gunung Sago, di pinggiran Batang Sinamar.
Daeranya subur dan di sisinya terbentang perbukitan Gunung Barisan dengan
puncak yang bergelombang. Bentangan puncaknya mirip dengan pegunungan di daerah
Guang Dong China, kata Anne Bedos.[1]
Aku sudah tahu bahwa penempatan
aku sebagai guru adalah di SMA Negeri 1 Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar dari
SK (Surat Keputusan) pemerintah yang diantarkan oleh Pak Pos dan Giro di
Payakumbuh. Hari itu aku datang sendirian ke Lintau dan aku harus menemui
Kepala Sekolahnya yang bernama “Drs. Abuzar”.
Aku kemudian mencari tempat
kosan sebagai guru muda di Desa Ampera dekat Balai Tangah. Dalam beberapa hari
aku datang lagi membawa barang- barangku dari Payakumbuh dan aku dibantu oleh
adikku Naser. Ia berjasa ikut membawa barang barangku seperti kasur dan
peralatan masak ke Lintau.
Aku menyewa kamar
pavilion milik Hajjah Rasyidah. Di sana juga ada beberapa guru- guru muda yang
juga baru diangkat. Jadinya aku punya teman guru-guru muda. Mereka adalah
Emrizal, Ismet Eliskal, Nazarruddin dan Latif Pramudiana Sukara.
Aku
merasa tidak seperti guru tetapi seperti mahasiswa PL (Praktek Lapangan) saja.
Bedanya kalau tiap pagi kami jalan bareng menuju sekolah memakai seragam PNS
(Pegawai negeri Sipil). Dan para tetangga menyapa kami, mereka tidak menyebut
nama kami lagi, meski kami tetap merasa masih ABG. Haaaa ha…tapi para tetangga memanggil
kami “Bapak”, pada mulanyakami merasa
risih dan lambat laun jadi terbiasa dipanggil “Bapak”.
Tiba- tiba pada suatu
hari ada rombongan siswaku datang dari SMA Negeri 1 Pakan Rabaa (dekat
Payakumbuh) datang ke kosanku di Lintau. Mereka jadi sedih berpisah denganku
dan mereka berharap agar aku bisa balik lagi menjadi guru di sana.
Sedih dan metetes juga
air mataku mendengar permohonan mereka. Memang setiap kali ada pertemuan. Itu terasa
sangat indah dan setiap kali berpisah sungguh membuat aku terasa sangat menderita,
sedih sekali. Dan c’est la vie..itulah
kenyataan dalam hidup. Namun rasa sedih bisa pulih, hingga stabil kembali,
seiring dengan pertambahan waktu.
Jadinya
aku memulai kehidupan baru dengan suasana yang baru pula yaitu menjadi guru.
Memang bahwa aku sangat menikmati karir
sebagai guru baru. Agaknya saat itulah aku merasa bahagia. Kami para guru muda
punya kegiatan yang membuat hidup ini indah. Kami tiap sore masak bareng-
bareng- ibarat tinggal di kosan mahasiswadahulunya. Juga kami belajar bareng-
bareng mempersiapkan materi mata pelajaran buat hari berikutnya. Kadang-kadang
kami juga mengunjungi rumah siswa, buat
silaturahmi dengan orang tua mereka.
Bila
musim durian tiba, para siswa mengundang kami agar mampir ke rumah mereka dan
biasanya ada pesta makan durian pake nasi ketan. Kami menjalin komunikasi yang
akrab dengan siswa dan juga dengan orang tua mereka. Saat itu ada lima guru
muda dan masing-masing siswa mengidolakan kami.
Kami berlima ada
sebagai guru Bahasa Inggris, Fisika danKimia. Para siswa adalah sahabat kami. Bila hari minggu datang, beberapa siswa perempuan mampir ke pavilion
kami. Mereka senang melihat bapak guru mereka memasak…meski rasa hidangan kami
tidak begitu lezat, karena sering kelewat asin, kelewat pedas atau kelewat
hambar….dan mereka sering membantu kami memasak. Dan mereka lebih jago memasak
disbanding kami semua.
Setiap
awal bulan baru datang maka itu adalah hari yang indah. Karena kami bisa memperoleh
gaji yang bisa kami gunakan buat membeli makanan yang enak. Aku juga menyisihkan gajiku buat membantu ibuku
di Payakumbuh. Biasanya aku luangkan waktu
buat pulang ke Payakumbuh. Aku juga membeli oleh-oleh buat ibu dan
adik-adik.
Yang membuat aku
bahagia adalah saat aku bisa menyodorkan uang jajan buat ibu. Ya Allah itulah
saatnya aku membalas jasa ibu. Dan itu pun tentu nggak seberapa dibandingkan
jasa dan ketulusan ibu sejak aku masih bayi, merawat dan membesarkan aku dengan
penuh rasa kasih dan cinta. Tentu saja aku jua mendoakan ayah dan ibu, agar
Allah melimpahkan kesehatan dan rezki yang cukup bagi mereka.
“Moga moga orang tuaku yang
sudah berada dalam tidur yang panjang selalu merasa daman dan tenang. Moga moga
Tuhan menyayangi mereka selalu, amiiin”.
Bila
sore tiba aku dan Emrizal pergi ke Mesjid Raya di Balai Tangah buat melakukan
sholat magrib berjamaah. Aku senang memakai
baju panjang lengan karena membuat statusku sebagai guru semakin mantap. Di
lain waktu aku juga pergi sholat di Mushola di daerah Payabadar. Ha…ha…akibatnya
aku sering dikunjungi oleh ibu-ibu atau bapak-bapak dan mereka sering bertanya
padaku:
“Apakah aku sudi
menjadi menantu mereka, maksudnya apakah aku sudi menikah dengan anak gadis
mereka”. Dan untuk hal ini aku harus bersikap hati-hati, menimbang untuk
menerima atau menolak tawaran mereka
secara baik-baik tanpa menyinggung perasaan orang.
Kadang-kadang
aku pergi sholat ke mesjid sendirian dan pulang ke rumah bareng dengan jemaah
yang berusia tua. Ada seorang jemaah pria yang sudah berumur tua, kami sering
pulang bareng. Dia sering bercerita:
“Aku ibarat mobil baru
dan lampunya masih terang, sementara dia sendiri sudah tua dan juga ibarat
mobil yang sudah tua. Mesinnya mudah
rusak- sering mogok- sehingga sering masuk bengkel. Maksudnya bahwa dalam usia
tua, dia sering pergi ke rumah sakit”.
Dia menambahkan bahwa
mataharinya sudah amat senja dan sebentar lagi bakal tenggelam. Kalimat-kalimat
seperti itu sangat berbekas dalam memoryku. Bahwa manusia itu wajib tua dan
wajib tenggelam atau meninggal. Secara tidak langsung bapak tua itu telah
berbagi pengalaman hidup bagiku, yakni aku juga harus mempersiapkan diri selagi masih masih
muda dan juga kelak bakalan jadi tua.
Saat jiwa ku terasa
kosong maka nasehat-nasehat seperti itu bisa muncul kembali dalam
memoriku….dimana aku juga harus mendekatkan
diri pada Allah. Kini bapak tua yang bijaksana tersebut memang sudah meninggal dan
kata kata bijaknya selalu lengket dalam memoriku.
Menyenangi Kelas Yang
Membosankan
Di
tahun 1990-an SMA Negeri 1 Lintau memiliki
3 penjurusan, yaitu IPA, Sosial dan Bahasa. Entah bagaimana (secara tidak
langsung) para siswa sepakat menganggap bahwa jurusan IPA adalah jurusan yang
favorite, kemudian jurusan Sosial sebagai jurusan yang bagus dan jurusan Bahasa
sebagai jurusan yang kurang favorite. Itu akibat system rekruitmen yang kurang bagus, yakni semua anak anak yang
lemah motivasi belajarnya berkumpul dalam jurusan Bahasa. Jurusan ini harus
belajar bahasa Inggris 10 jam per minggu. Itu berarti aku harus mengajar kelas
yang membosankan- siswa yang rendah motivasi belajarnya.
Menjadi
guru di kelas dengan motivasi belajar rendah memerlukan seni mengajar
tersendiri. Jadinya seorang guru tidak mungkin terlalu berorientasi pada buku teks. Dalam
mengajar, aku memakai filsafat air, yaitu
aku harus mengalir. Atau aku harus ibarat angin, dimana ada saat tenang
dan ada saat ribut. Ternyata saat suasana kelas tenang, kosentrasi siswa bagus-
lagi fokus- maka aku dengan mudah bisa
memberikan konsep tentang materi bahasa Inggris dan habis itu memberi latihan
dan praktek.
Namun
bila kosentrasi belajar siswa lagi
hancur…. ya aku juga menikmati suasana yang hiruk pikuk, dengan catatan aku
harus mengingatkan agar mereka tidak sampai mengganggu kelas di sebelah. Dan
utuk kelas ini aku selalu ingat dengan seorang siswa yang bernama “Asmadi”.
Siswa
yang satu ini cukup lucu dan humoris.
Asmadi anaknya heboh, selalu bikin eksperimen. Suatu hari ia sengaja menyembunyikan
semir sepatu dalam tasnya. Mungkin ia selalu memperhatikan penampilanku- aku
selalu memakai sepatu selalu kotor kesekolah, karena aku jarang menyemir sepatu. Nah tiba-tiba Asmadi tampil
ke depan dan ia segera menyemir sepatuku, haaa haaa..!!!.
Jadinya
aku merasa sangat senang sepatuku
disemir hingga jadi bersih dan mengkilap. Aku malah menjulurkan kakiku-
sepatuku, agar Asmadi bisa menyemir
sepatuku. Kelas menjadi heboh namun bersemangat. Setelah mereka letih tertawa maka konsentrasi mereka
muncul lagi dan aku melanjutkan mengajar Bahasa Inggris hingga bell pulang
berdentang.
Jumlah
siswa atau populasi siswa saat itu cukup banyak. Lebih dari 40 siswa per kelas.
Kalau dalam kelas terdapat lebih banyak siswa laki-laki maka kebisingan kelas
lebih keras dan kalau aku ngomong maka volume suaraku jadi hilang ditelan oleh
suara mereka.
Jadinya suaraku harus
bisa melebihi kebisingan suaramereka. Aku sering merasa capek karena ngomong
keras-keras dalam kelas dan untuk itu sekali- sekali aku pergi ke kantor buat
minum untuk melepas dahaga, kalau bisa minum segelas susu tentu lebih baik
lagi, karena energiku bisa pulih lagi.
Aku
menyadari bahwa mengajar kelas yang besar populasinya dan siswanya rendah
motivasi belajarnya…yaa… memang kurang
enak, namun inilah perjuanganku sebagai guru. Kalau aku bisa membantu siswa
yang lemah motivasi menjadi lebih berhasil maka itu berarti aku lebih berhasil
sebagai guru.
Meskipun
aku lelah selama mengajar namun aku mesti terlalu tersenyum dan aku selalu
berusaha tampil bersemangat. Sebab kalau aku tidak tersenyum dan tidak ceria
maka semua siswa terlihat juga tidak bersemangat. Juga aku menghindari untuk
tidak banyak duduk, aku harus banyak berjalan dan untung usiaku masih muda,
dengan demikian siswa merasa aku layani dalam belajar.
Sekali-sekali
siswaku mengajakku untuk ikut pesta makan-makan. Lokasinya pesta kami cukup
sederhana, ya seperti dipinggir sungai di Desa Purnama di Lintau. Kadang kadang
kami pergi ke Puncak Pato atau pergi ke Ngalau Pangiang. Di sana kami
menelusuri galeri ngalau yang penuh dengan burung layang-layang yang
bertebangan. Acara jalan jalan atau menjelajah bareng siswa cukup bagus buat
mendekatkan hubunganku dengan siswa. Kalau mereka dekat denganku maka mereka
secara tak langsung akan menyukai mata pelajaran Bahasa Inggris.