Menjadi
Guru- Menyenangi Profesi
Setiap orang
yang punya profesi harus mencintai profesinya. Untuk hal ini nggak usah melihat
terlalu tinggi ke atas, lihat saja pada petani. Seorang petani sangat menyukai
dan mencintai sawah dan ladangnya, sehingga mereka memiliki alat, cangkul atau
traktor, buat berusaha. Bila berjumpa sesama petani mereka mungkin ngobrol
tentang irigasi, tentang pupuk dan juga tentang wabah penyakit.
Aku
memilih profesi sebagai guru dan aku harusmencintai profesi sebagai guru. Namun
bagaimana seorang guru berjumpa dengan guru lain. Sebagai plesetan, bila mereka
berjumpa sesama guru apakah mungkin mereka berbagi gossip atau mereka banyak
mengeluh tentang gaji yang kecil dan juga tentang anak didik yang susah diatur
?
Seharusnya
setiap guru menyukai dunia pendidikan. Dan untuk itu mereka tidak harus sekedar
mengejar tagihan untuk mencapai target agar anak didik buru-buru memahami buku
teks, sementara anak diri belum siap kondisi dirinya. Para guru harus memahami dunia anak didik mereka: dunia
anak- anak dunia remaja. Mereka juga harus tahu lebih dalam tentang teori mendidik (paedagogi) dan teori memberi motivasi (psikologi). Kalau
ada anak yang nakal maka itu wajar, dimana-mana di dunia semua anak itu sama
saja nakalnya.
Aku
bukan tipe orang perfect atau orang yang sempurna, karena aku adalah orang
biasa-biasa saja. Namun prinsipku dalam mengajar adalah “terimalah karakter semua
anak itu apa adanya” dengan demikian aku harus mengenal mereka dan kita tidak
perlu banyak mengeluh bila menjumpai mereka malas atau nakal selama melaksanakan
proses belajar dan mengajar.
Saat
itu aku masih kuliah di tahun terakhir pada UNP. Aku punya rencana untuk bisa
segera diwisuda dan pada saat yang sama ternyata
ada peluang rekruitmen untuk menjadi guru
(PNS) dan aku berminat. Karena belum punya ijazah maka aku meminta surat keterangan bahwa aku
bakal lulus dalam waktu yang singkat. Surat keterangan tersebut memberi aku
kekuatan sebagai persyaratan untuk mengikuti seleksi rekruitmen menjadi guru
yang diselenggarakan oleh pemerintah Sumatera Barat.
Untuk
menyukai profesi guru maka aku rajin membaca artikel tentang tokoh pendidikan. Ada
banyak tokoh pendidikan di dunia ini. Aku sempat membaca kisah hidup Ki Hajar
Dewantara, Muhammad Syafei’, Dorothy Law, Paulo Freire, dan lain-lain.
Ki Hajar Dewantara[1] berasal dan keluarga keturunan Keraton
Yogyakarta. Dia mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat
dengan rakyat. Dia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara
lain De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal,
tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia. Ki
Hajar Dewantara juga aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam
Budi Utomo, lalu mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia.
Ki Hajar Dewantara
memusatkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman
Siswa. Ia menanamkan rasa kebangsaaan kepada anak didik. Ajaran Ki Hajar
Dewantara yang terkenal adalah ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa,
dan tut wuri handayani. Artinya adalah:
“Di depan memberi
teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan”. Selain
ajarannya di bidang pendidikan, Ki Hadjar juga meninggalkan pesan yang sangat
balk diteladani. Pesan tersebut kini dapat dilihat pada Museum Sumpah Pemuda di
JI. Kramat Raya, Jakarta:
“Aku hanya orang biasa
yang, bekerja untuk bangsa lndonesia dengan cara Indonesia. Namun, yang penting
untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan
bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengkorup kekayaan Negara”.
Muhammad
Syafe’i[2]
adalah tokoh pendidikan dari Sumatera Barat. Moh. Syafei menuntut ilmu di
Negeri Belanda dengan biaya sendiri. Di sini ia bergabung dengan
"Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.
Di negeri Belanda ini
ia akrab dengan Moh. Hatta, yang memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan
gagagasan dengannya, terutama tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme
di Indonesia. Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam
menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan
diperdalam.
Semasa di negeri
Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki jabatan di sekolah
pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatara Barat pada tahun 1925.
Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat
murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia, baik yang
hidup di kota maupun di pedalaman.
Mohamad Syafei
mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS)
pada tanggal 31 oktober 1926. Itu sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan
yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Semboyan M. Syafei adalah
"cari sendiri dan kerja sendiri”. Tujuan lain INS yaitu menanamkan
kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
Prinsip pertama yang
dipegang teguh oleh M. Syafei dalam pendidikannya adalah "belajar,
bekerja, dan berbuat". Apabila murid hanya mendengarkan saja ilmu
pengetahuan yang diajarkan guru melalui kata-kata yang kadang-kadang tidak
dimengerti, tidak akan berguna bagi murid karena
mereka tidak tahu dan tidak akan pandai mempergunakan pengetahuan tersebut
dalam kehidupannya.
Pendidikan yang
melahirkan bangsa yang suka meniru tanpa berpikir dan bangsa itu tidak akan
dapat menjadi bangsa yang besar. Menurut M. Syafei pada setiap manusia terdapat
tiga hal pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah yang
dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak (35%). Dengan
bekerja dan berbuat dalam pendidikan sekaligus dapat mengembangkan seluruh
pancainderanya dengan aktif. Sekolah yang baik harus aktif dan dinamis, dengan
demikian anak belajar melalui pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain.
Aku mengagumi Dorothy
Law Nolte[3].
Ia adalah seorang pendidikan yang kutipannya sangat popular dalam bentuk puisi.
Aku mengagumi puisi yang ia gubah,
yakni sebagai berikut:
-Jika
anak hidup dengan celaan, ia belajar memaki
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar melawan
-Jika anak hidup dengan ketakutan, ia belajar gelisah
-Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
- Jika anak hidup dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
- Jika anak hidup dengan iri hati, ia belajar kedengkian
- Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah.
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar melawan
-Jika anak hidup dengan ketakutan, ia belajar gelisah
-Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
- Jika anak hidup dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
- Jika anak hidup dengan iri hati, ia belajar kedengkian
- Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah.
-
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
- Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
- Jika anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai diri mereka sendiri.
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
- Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
- Jika anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai diri mereka sendiri.
-
Jika anak hidup dengan pengakuan, ia belajar memiliki tujuan
-Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
- Jika anak hidup dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
- Jika anak dibesarkan dengan kebaikan dan pertimbangan, ia belajar menghargai
- Jika anak hidup dengan keamanan, ia belajar untuk memiliki iman dalam diri mereka
- Jika anak hidup dengan keramahan, ia belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.
-Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
- Jika anak hidup dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
- Jika anak dibesarkan dengan kebaikan dan pertimbangan, ia belajar menghargai
- Jika anak hidup dengan keamanan, ia belajar untuk memiliki iman dalam diri mereka
- Jika anak hidup dengan keramahan, ia belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.
Dan seperti apakah dulu
kita dibesarkan? Dan bagaimanakah cara yang kita inginkan untuk membesarkan anak kita ? Untuk
para pendidik, bagaimanakah dulu kita
didik di sekolah kita? Dan bagaimanakah kita ingin mendidik anak didik
kita di sekolah dan juga di rumah ? Lebih lanjut aku juga tertarik dengan
pemikiran Paulo Freire.
Paulo Freire[4]
(lahir di Recife,
Brasil,
19
September 1921 – meninggal
di São Paulo,
Brasil,
2
Mei
1997
pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil
dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di
dunia. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah
di Recife,
Brasil.
Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi
Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya
terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan
dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di
Universitas
Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi
ia juga belajar filsafat
dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah
benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai
seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944
ia menikah dengan Elza
Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka
berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan
kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire
diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas
Sosial di negara
bagian Pernambuco (yang ibu kotanya
adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara
orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran
yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan.
Pada 1967, Freire
menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor
tamu di Harvard
pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan
Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang
diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Pada 1991, didirikanlah
Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan
teori-teorinya tentang pendidikan rakyat.
Institut ini menyimpan semua arsip Freire.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them