Stress
Dan Bosan
Ternyata wajahku
menjadi tidak menarik dan karena sering bertengkar dengan keluarga di rumah maka rasa
peka-ku jadi hilang.
Phonechell-ku
jadi tidak aktif, aku mengganti
kartu sim phonechell. Jadinya aku tidak
dapat dihubungi oleh teman-temanku dan aku sempat kehilangan nara
sumber. Pada hal saat itu aku mau
diundang buat mengisi acara di tingkat propinsi, jadinya panitia tidak bisa menghubungi aku.
“Wah
nasibku lagi apes dan aku popularitasku
jadi melorot. Banyak orang mulai melupakan aku. Sehingga aku juga menjadi kehilangan motivasi buat menulis. Biasanya
kalau aku punya waktu aku lebih suka menulis artikel- aku edit dan aku publikasi pada surat kabar di Sumatera
Barat dan juga di Palembang.
Jadinya banyak orang yang membaca tulisanku hingga namaku dikenal oleh banyak orang. Berharap namaku dikenang
dalam hati orang. Namun saat aku
lagi dilanda galau aku jadi pasif dan malas berkarya.
“Aku kehilangan mood dan merasa tidak berguna- akibatnya aku kehilangan
popularitas. Ya Allah akhirnya
aku
jadi malas buat tersenyum.
Ternyata teman-teman di sekolah juga membaca perubahan pada sikap dan wajahku yang kurang bersahabat.
Tidak seperti
biasanya, aku sangat ramah dan senang menyapa banyak orang terlebih dahulu.
“Hallo
apa kabar...!!! Hai
cantik…hai ganteng...mau kemana
!!! Hallo
sahabatku mari mampir !!!”.
Kalimat kalimat seperti itu
sudah
terhenti aku ucapkan. Bila aku
tiba di
sekolah aku langsung sibuk dengan diri sendiri, ya paling kurang aku sibuk
mengisi kebosananku dengan mengisi status di facebook yang isinya jugsa banyak
galau.
Karena
aku merasa tidak ngetop- tidak
begitu popular lagi di dunia
nyata, maka
aku berharap agar bisa menjadi populer
di dunia maya. Agar orang
orang yang hadir di facebook aku
harap masih bisa menyukai
dan menyayangiku. Ahhh ternyata
juga tidak dan mereka juga tidak mengetahui apa
yang aku butuh.
“Teman
facebooker ...aku butuh
sekeping hati dan perhatian
buatku. Mohon sayangi aku”. Ahhh
betapa aku terlihat lucu
dan galau. Kalau
dulu aku suka menebar salam dan senyum dan nggak butuh dikagumi- aku lebih dahulu
memberi perhatian, tetapi
sekarang aku jadi cengeng, aku menunggu sapaan dan
dicintai.
Oh...Tuhan, mengapa aku mudah jadi stress sendirian. Dan suatu hari aku jadi susah tidur (insomania) karena fikiranku sangat tegang. Mata
mengantuk tetapi mengapa mata ini nggak bisa terpejam (?). Ini mungkin karena aku punya dosa dan punya kesalahan yang aku bikin- bikin sendiri. Aku menjadi sadar buat sesaat, maka aku minta istriku buat menemani aku untuk bisa pergi ke
UGD di rumah sakit. Aku berharap tekanan darahku diperiksa dan aku juga bisa diberi pil tidur karena aku merindukan bisa tertidur
pulas.
Ternyata
aku mengalami masalah kesehatan- tekanan
darah tinggi (hypertensi),
pikiran tegang, aku susah tidur maka aku juga diberi pil tidur. Namun pil tidur itu adalah
termasuk jenis obat narkoba
dan obat terlarang. Dokter
mengharapkan aku agar bisa rileks dan bisa tidur hingga aku
tidak tergantung pada pil tidur. Aku belajar mengosongkan fikiran, berdoa pada Allah dan bagaimana agar
aku bisa tertidur pulas lagi.
Sejak
fikiranku mudah jadi kalut
maka perkataaku juga sering kurang ramah dan kalimatku di facebook juga sering
kurang sedap. Maka tentu
saja ada orang yang terluka oleh caraku berbahasa.
“Bila
ada yang terluka oleh bahasaku, maka mohon maafkan aku”. Ya begitu
mereka terluka maka mereka menjauh dariku dan
memutuskan tali komunikasi dari aku. Akhirnya aku merasa ditinggalkan oleh para
pengagumku. Aku
mersasa dibenci dan aku merasa bersalah.
Aku
merasa guilty- merasa bersalah yang
berkepanjangan. Jadinya aku jadi susah bernafas. Nafasku tersengal- sengal ditimpa rasa sedih. Aku
selalu merasa bersedih yang berkepanjangan. Aku merasa sedu-sedan dari desahan nafasku...ya yang keluar
hanya separoh dari desah kesedihanku
dan separoh lagi tersekat dalam dadaku.
Bulan puasa yang lalu merupakan
puasaku yang aku lewati tanpa kesan. Aku telah merasa sebagai manusia
yang aneh bagi tetanggaku.
Aku tidak begitu aktif lagi di musholaku. Kalau aku memberi
ceramah di mushola (dalam
komplek perumnas) maka
ceramahku menjadi tidak menarik. Itu karena fikiranku tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, jadinya
jalan
fikiranku juga menjadi mudah ngawur- mengambang.
Yahhh
aku
menjadi orang tidak
menarik lagi.
Terus terang tetanggaku tentu juga ada berbisik bisik tentang apa gerangan yang
terjadi padaku, mengapa pribadi yang sebelumnya begitu hangat, ceria dan mudah
tersenyum kini berubah
menjadi orang asing dengan pribadi yang sangat tidak menarik. Berbeda dengan bulan puasa sebelumnya, dimana aku begitu rajin membangunkan tetangga untuk bisa bangun.
“Sahur....sahur....mohon
kaum ibu dan remaja putri agar bisa bangun karena sekarang sudah menunjukan
pukul 03.30 dini hari, saat buat mempersiapkan hidangan sahur”. Demikian
kalimatku keluar dari loud-speaker mushola
buat membangunkan warga sekitar. Dengan cara aku sendiri seperti itu bisa membuat warga menjadi senang.
Kini
segala sesuatu padakun jadi berubah. Jiwaku menjadi amat sepi.
Dan aku juga tahu tetanggaku tidak mau banyak betanya karena mereka paham bahwa pribadiku lagi dalam masa krisis kehilangan, yaitu krisis kehilangan jati
diri.
“Punya
masalah itu sangat lazim dan juga sangat manusiawi.
Tiap orang tidak luput dari masalah dan moga
mogaku jangan sampai larut terlalu lama”.
Memasuki masa liburan di penghujung bulan puasa, kami
memutuskan buat berlibur
bersama ke
Jakarta. Ini bertujuan
agar kami kami- terutama anak anak- bisa lebih akrab dengan famili yang ada di Jakarta. Untuk itu kami harus bisa menghemat dana. Jadinya kami memutuskan
keberangkatan ke Jakarta hanya
dengan mobil karena ongkosnya
bisa lebih hemat.
“Tetapi
mengapa hatiku dan hati istri selalu terpecah. Ya jiwa kami terasa masih
terpecah dan belum bisa menyatu.
Istri sangat bosan melihatku, kalau aku masih memegang phonecell dan juga masih getol menggunakan SMS, BBM dan facebook. Aku jadi gila dengan sdroid ya ibarat anak
muda saja”.
Aku
orangnya nggak mau diatur dan
aku orangnya sangat keras kepala. Saat kami berada dalam kapal
penyeberangan di Selat Sunda aku jadi
malas
duduk berdampingan dengan istri.
Ia masih
terasa sebagai orang asing bagiku. Kadang-kadang
ada rasa benciku padanya. Rasa benci selalu tumbuh
melihatnya, namun aku nggak tahu apa
penyebavnya.
“Mengapa
aku merasa benci
padanya. Pada
hal istriku masih menyayangi dan
mencintaiku, ia sering mencium pipiku bila aku tidur dan aku
tetap enggan membalas ciuman nya-
aku masih dingin padanya. Aku tahu bahwa rasa cintanya begitu gede padaku dan pada anak-anak kami. Sementara itu cintaku menciut menjadi kerdil padanya”.
Akhirnya kapal penyeberangan merapat ke pelabuhan di Propinsi Banten. Saat
ke luar kapal ternyata aku
terpisah dengan istri. Anak perempuanku ikut dengan ibunya, sementara anak laki lakiku ikut dengan aku.
“Wah
ternyata
aku salah keluar dan salah jalan. Istriku mengambil jalan semula buat menuju mobil. Namun
aku tetap bertahan bahwa aku selalu benar. Aku yakin para penumpang mobil yang sama dengaku denganku dari
Padang sudah
pada naik mobil. Dan mobil
itu sendiri sudah berangkat keluar- meninggalkan kapal penyeberangan. Tetapi bagaimana denganku dan anak laki-lakiku ?”
Ya aku telah memilih jalan yang salah saat keluar kapal. Aku mengikuti
penumpang kapal yang lain
yang memang tujuannya hanya ke Banten, namun aku tidak- kami mau menuju
Jakarta. Aku berjalan muter-muter di jalan kecil di pinggir pelabuhan. Tentu
saja istriku sudah menelpon ke phonecell-ku.
Wah baterai phonechell-ku
sudah mau drop. Biar aku
matikan, kemudian aku aktifkan lagi. Ya ternyata istriku
menelponku:
“Hei...kamu lagi dimana ?? Ini
mobil sudah berangkat meningggalkan kapal dan kondektur bis dan sopir
serta semua penumpang sudah pada marah menunggu mu. Kamu harap pergi ke Jakarta dengan mobil lain saja”. Istriku sebal dan anak perempuanku menangis.
Aku tetap merasa tenang
tanpa ada rasa bersalah. Nun di sana istriku dan anak perempuanku sudah pada
stress dan menangis ketakuktan.
Takut kalau hal yang jelek terjadi pada ku dan anak laki-lakiku. Kemudian ada telepon lagi:
“Hei....mobil
bakal berhenti pada sebuah restoran Padang
di penghujung jalan dari pelabuhan ini,
kamu pergi ke sana segera ya...!!!”. Dan aku serta anak laki-laki ku diharapkan agar segera ke sana. Aku memutuskan agar naik
ojek saja menuju lokasi yang ia maksudkan dan aku setuju. Aku mencari ojek. Ternyata kami memerlukan dua ojek untuk mengantarkan kami menuju restoran Padang yang dimaksud.
Akhir ojek berhenti di depan sebuah restoran Padang. Kami
akhirnya bisa berkumpul.
Anak-anak ku merasa
gembira dan juga bercampur geram
padaku.
Aku tidak banyakm memberi komentar, aku
hanya diam seribu bahasa dan
memutuskan buat makan dini hari (makan sahur di ujung bulan puasa). Ya aku makan tidak
begitu banyak karena mobil segera
melanjutkan
perjalanan menuju ibu kota Jakarta. Karena suasana lebaran sudah di ambang pintu maka penduduk Jakarta
banyak yang pulang kampong.
Kota
Jakarta dan jalan raya menjadi sepi. Akses transportasi menjadi lebih mudah dan lebih lancar. Jam 10.00 pagi bis kami sudah berada di terminal Tanah
Abang dan segera adik kami Eriko (iparku) datang untuk menjemput kami.
Selama
liburan di Jakarta ternyata masih ada pertengkaran ku dengan istriku. Wah
mengapa pertengkaran demi pertengkaran mudah terjadi. Tahun lalu aku sempat
mampir ke rumah saudaraku di Pondok Kopi dan kali ini aku juga mau mampir dan sekaligus aku ingin
memperkenalkan istri dan kedua anakku kepada Abangku (saudara tiriku)..
Aku
merasa sudah cukup kenal dengan alamat rumah Abangku. Ya cukup cari saja lokasi dimana ada jalan layang dan
jembatan dan di sebelah kiri ada rel kereta api, di daerah Pondok Kopi- Jakarta. Maka pagi itu kami berempat
segera menuju ke sana dengan menggunakan mobil angkot (angkutan kota). Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai pada alamat yang aku
maksud. Aku mengajak istri dan
anak- anakku buat berjalan sekitar 300 atau 400 meter.
Anak anakku berjalan dengan rasa kurang mood. Istriku juga demikian. Kami kemudian berjalan memasuki gang (jalann kecil).
“Wah
mengapa aku jadi lupa dengan jalann ke rumah Abangku
. Aku segera menelepon kakakku dan ternyata ia
lagi berada di
kota Bogor”.
Mendengar
responnya istriku terlihat jengkel dan juga menahan amarahnya. Aku telpon lagi
namun susah masuknya. Aku telpon selama berkali kali, dan tidak ada respon-mungkin sinyal lagi jelek.
Dan aku juga bertanya pada beberapa orang di sana dan hampir
semuanya tidak mengenal lokasi
rumah Abangku yang aku
maksud. Ya maklum kota Jakarta, banyak penduduknya dan banyak pula gang kecil nya. Aku
jadi malas melihat dan mendengar omelan
istri dan anak anakku.
Aku jadi membungkam dan memutuskan untuk balik ke rumah iparku- Eriko.
“Oke
sekarang kamu yang menjadi kepala keluarga dan aku selalu salah dan gagal
sebagai kepala kepala keluarga, karena kamu lah yang hebat”. Akhirnya balik ke rumah Eriko dan pada pukul 02.00 sore kami memutuskan buat pergi ke rumah famili yang lain yang berlokasi di Cileduk
dekat Tanggerang.
Kami
segera naik taxi dan aku tidak banyak ngobrol. Aku biarkan istriku yang memandu
sopir taxi. Akhirnya taxi
memasuki wilayah Cileduk- Tanggerang dan ternyata sopir taxi juga
mengalami kesulitan buat mencari jalan dan rumah yang dimaksud. Aku juga merasa
agak marah dan berkata untuk melepaskan balas dendamku atas keangkuhan istriku:
“Nah
perempuan hebat, ternyata kamu juga gagal mencari alamat.
Ini Jakarta semua orang baru biasa tersesat.
Kamu saja yang merasa serba
pintar juga membuat sopir
nggak tahu dengan rumah yang kau maksud. Lain kali cobalah berkata dan bersikap
yang manis padaku, kalau tidak bisa lebih baik kau diam saja”
Instrospeksi Diri
Aku ingin menjadi guru yang baik dan selalu berbuat baik
yang banyak pada sekolah. Aku sering menebar rasa senang di rumah:
“Wah..siswa
dan siswiku lagi menang dalam lomba tingkat propinsi”. Dan istiku merespon bahwa ia tidak
begitu gembira karena itu adalah anak orang.
“Aku
lebih gembira kalau yang menang itu adalah anakku, anak kita”. Demikian respon istriku. Mendengar respon seperti itu aku
jadi malas buat ngomong lebih lanjut. Istriku pernah berkomentar bahwa umumnya kaum wanita banyak yang punya hati lebih setia dan
lebih mulia dari kaum lelaki.
Dan aku meyanggah, setia atau pun
tidak itu sangat tergantung pada pribadi seseorang.
Di sebuah desa kecil tempat aku mengajar sebelumnya juga ada seorang ayah yang sudah jadi
duda dan sangat setia menghidupi (mendampingi) 6 orang anak tanpa yang sudah kehilangan ibu.
Di
lain tempat malah juga ada “seorang
ibu” yang
suka selingkuh dan menelantarkan anak anaknya. Sementara ia pergi besenang
senang dengan pria lain.
Di sini bukan berarti aku berselingkuh, namun hatiku lagi diinterogasi sebagai seorang ayah yang hatinya lagi lengah.
“Hatimu
harus dekat pada keluarga dan ke dua orang anakmu”.
Istriku
memang tipe ibu yang sangat dekat pada kedua anakku. Mungkin karena mereka
berdua terlahir dari rahimnya. Rahim itu berarti “rasa sayang”. Jadi yang
terlahir dari rahimnya akan disayanginya.
Meskipun
bahasa istriku tidak semanis dan seramah bahasaku, namun kedua anakku begitu
dekat dengan ibunya. Kalau kena marah, mereka nggak takut. Bahasaku mungkin
lebih indah dan lebih persuasive namun kalau aku marah, maka kedua anakku
langsung menjauh.
Sekali lagi bahwa mengapa maka aku merasa
jauh saja dari istriku. Mungkin karena
sering beda pendapat, beda hobby, kami jarang melakukan
kebersamaan dan jarang pergi ke luar bareng. Akhir akhir ini kami sering
bertengkar, namun rasa benci dan dendamku lama bersemayam.
“Istriku
masih memiliki sisi positif, dia lebih pemaaf dan aku lebih mudah jadi bad-mood
dan emosi dengan bahasa yang meledak-ledak padanya. Sementara istriku
lebih mudah memaafkan dan
melupakan
bahasa kasarku padanya”.
Dan bila aku sengaja
duduk disampingnya maka ia tetap rajin membelai rambutku dan juga mencium pipiku. Namun aku tidak begitu aku enggan menciumnya, dan aku
sekedar duduk saja disampingnya.
Dan ia sudah menyatakan bahwa:
“Tidak
masalah bagiku kalau
kamu tidak mencintai dan menyayangi aku, asal kamu tetap cinta dan sayang pada kedua anak kita , karena mereka sangat membutuhkan figur
seorang ayah darimu”.
Terus terang dalam hatiku aku selalu berfikir dan melakukan
introspeksi diri:
“Mengapa
aku sekarang suka bertingkah
dan apa sih salah istriku. Bukankah dulu ia adalah gadis terbaik dalam hidup
ku. Malah saat gadis ia sangat aku punya dan bila aku mendengar senandung lagu
maka fikiran dan hatiku selalu terpaut padanya”.
Memang
sih ada saat-saat kami rujuk lagi dan melaksanakan
gencatan senjata- malas bertengkar.
Mungkin saat kami nonton TV bareng,
sambil duduk bareng, istriku masih selalu membelai
pundakku. Aku nggak tahu
apakah belaiannya entah tulus entah tidak (?). Tapi aku yakin bahwa ia selalu tulus karena aku adalah ayah dari
kedua anaknya. Namun kalau kami berdialog, maka selalu berakhir dengan pertengkaran. Aku sering berujar:
“Mengapa sih kita kalau
ngobrol yang selalu diawali dengan senyum tetapi selalu berakhir dengan pertengkaran. Munkin kamu sudah bosan denganku dan aku juga bosan denganmu. Mungkin inilah
takdir hidup kita. Andai sesuatu yang buruk terjadi ya terserah”. Ucapkan
dengan lidah yang tidak aku
kontrol lagi.
“Ya
kamu orangnya memang baik dan
jempolan, namun kamu baik keluar tetapi dingin
ke dalam”. Demikian ulas
istriku.
Kalau
sudah ngobrol seperti itu untuk selanjutnya aku jadi malas ngomong dan aku memilih
bungkam. Kalau aku meledak...,
emosiku lagi meledak maka aku bakal melempar benda-benda yang bisa menimbulkan
suara bising sehingga anak anakku menjadi cemas. Namun begitu aku melihat ke dua anakku jadi ketakutan- cemas- dan istriku juga menangis, maka aku segera menurunkan ego dan emosiku. Maka aku segera menghampiri istriku dan
mencium pipinya. Tujuanku
berbuat demikian adalah agar kedua anakku menjadi tenang
melihat orang tua mereka kembali berdamai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them