Campur Tangan Ayah
Menentukan Kualitas Pribadi Anak
Sejak
beberapa dasawarsa yang lalu menetap di kota telah menjadi pilihan hidup bagi.
Proses urbanisasi terjadi sepanjang waktu, tidak terfokus hanya pada
metropolitan, namun termasuk kota-kota kecil yang tersebar di nusantara ini. Penyebabnya
adalah di kota lebih tersedia bervariasi jenis pekerjaan mulai dari sektor
pekerjaan informal, non-formal dan formal. Mulai dari pekerjaan buruh kecil,
usaha kecil-kecil, jadi PNS, pegawai BUMN hingga pekerjaan yang bergerak pada sektor
bisnis skala besar. Jadinya demi pekerjaan mereka hijrah meninggalkan tanah kelahiran mereka di desa.
Sebagai
tempat tinggal mereka memilih kompleks perumahan atau griya. Apa lagi dengan menjamurnya
adanya bisnis properti, hingga mereka bisa memilih tempat tinggal sesuai dengan
kekuatan ekonomi mereka. Mereka bisa memilih mulai dari bentuk perumnas
sederhana, perumnas mewah hingga taraf kondominium yang berharga sangat mahal.
Tulisan
ini tidak akan membandingkan atau meninjau harga tempat tinggal tersebut. Namun
ingin melihat karakter atau gaya manajemen rumah tangga mereka sebagai dampak
hidup dalam suasana heterogen. Masyarakat di pedesaan hidup dalam suasana sosial
homogen, kalau dalam komplek perumnas lebih bercorak heterogen- heterogen
sederhana hingga heterogen yang lebih kompleks.
Masyarakat
heterogen yang hidup di kompleks perumnas akan sangat menarik untuk diperbincangkan.
Paling kurang tentang bentuk intervensi (campur tangan) orang tua atas
anak-anak mereka. Bagaimana gaya kepemimpinan mereka dalam mendesain masa depan
anak-anak mereka. Gaya kepemimpinan ini berdampak pada kualitas masa depan
anak-anak mereka.
Campur
tangan seorang ayah, atau keberadaan seorang ayah, jelas akan memberi dampak
pada anak-anak. Terutama pada anak laki-laki. Coba kita perhatikan fenomenanya,
seorang kaki-laki yang suka ugal-ugalan di jalan raya. Ternyata ayahnya tidak
terlalu banyak mengurus karakternya. Kecuali sang anak tumbuh lewat manajemen
pembiaran atau hanya sebatas dilarang dan disuruh saja.
Bagaimana dengan
anak laki-laki yang menjadi actor keributan di sekolah hingga suka tawuran dan
membuat keributan sosial adalah dampak dari gagalnya manajemen seorang ayah
pada keluarga. Penyebabnya sang ayah dan juga ibu tidak punya pengaruh atas
anak-anak mereka. Mereka hanya sebatas orang tua biologis, namun bukan menjadi
orang tua secara psikologis.
Ayah yang tidak
begitu banyak memperlihatkan kepedulian pada anak laki-laki akan terefleksi
pada karakter anak laki-laki, sang anak akan memilki nyali yang lemah.
Intensitas kedekatan anak dan ayah berdampak pada kuat atau lemahnya nyali/
keberanian anak, juga berdampak pada visi hidup anak yang kurang tajam.
Orang tua yang
tidak mengajarkan tentang pentingnya tanggung jawab membuat anak kurang
memahami perannya dalam kehidupan sehingga mereka kurang memahami makna
tanggung jawab. Jadinya lebih baik anak laki-laki hanya dibesarkan/ didik oleh
seorang hidup namun memahami bagaimana memperdayakan potensi anak laki-lakinya.
Tinggal
dalam sebuah perumnas adalah ibarat hidup dalam sebuah laboratorium sosial. Memang
benar bahwa kita ini ibarat hidup dalam labor. Dimana kita sebagai seorang ahli
dan orang-orang diseputar kita adalah objek yang sangat menarik untuk disurvey-
bagaimana perilaku dan gaya memimpin seorang ayah atas keluarganya.
Pada
sebuah perumnas kecil atau griya terdapat sekitar 30 kepala keluarga. Secara
umum karakter pimpinan keluarga dapat dikelompokan atas 6 bentuk gaya
manajemen. Gaya manajemen keluarga mereka adalah seperti: 1) otoriter absolute,
2) setengah demokrasi dan setengah otoriter, 3) manajemen berorientasi tugas,
4) laissez faire atau masa bodoh, 5) Peran ibu lebih dominan, dan 6) manajemen
banyak kerja tanpa banyak bicara- no
talking work only. Pembahasannya sebagai berikut:
1)
Ayah dengan tipe otoriter absolute
Ayah dengan tipe
ini memandang dirinya lebih tahu dan serba tahu. Semua kebijakan dan keputusan
yang ia ambil adalah paling benar. Ini karena latar belakang ayah yang begini
memilki kemampuan berkomunikasi yang lancar dan banyak pengalaman perjalanan
tentang pahitnya hidup sewaktu muda. Namun kurang membaca dan juga tidak
mengenal ilmu parenting- ilmu dan
pengalaman dalam mendidik anak.
Dia
dan keluarganya mengadopsi pemisahan kerja yang jelas. Mencuci pakaian, mencuci
piring, menyapu rumah, mensetrika hingga memasak adalah tugas rumah buat
perempuan. Dia memiliki dua anak laki-laki. Sejak kecil kedua anak laki-laki
ini tidak diperkenalkan untuk mengerjakan tugas-tugas perempuan, sementara itu
kedua anak laki-lakinya juga tidak diberi tugas rumah sebagai latihan untuk
memiliki rasa tanggung jawab.
Sang
ayah juga hampir jarang hadir di rumah untuk memberi model di rumah, jadinya
anak laki-lakinya tumbuh tampa tahu tanggung jawab. Di rumah juga tidak ada
percakapan bahwa pentingnya peran membaca dan belajar, apalagi anak mereka
tidak memilki tempat atau kamar sendiri, karena kondisi ekonomi mereka yang
cenderung berda pada batas garis sederhana. Namun di rumah yang kecil mereka
menyala televisi sepanjang hari.
Jadinya
anak laki-laki mereka tidak mengenal tentang pentingnya peran belajar dan juga
tidak tahu cara mengurus diri. Hingga ke dua anak laki-laki mereka mencapai
usia remaja, semuanya dilayani atas kebutuhan makan, pakaian dan mereka tidak
mampu membantu dan melayani diri mereka sendiri. Hasilnya anak-anak mereka
kurang memilki pengalaman sukses. Sebaliknya malah penuh dengan pengalaman
gagal, jadinya kedua anak laki-lakinya sering tinggal kelas dan malah salah
seorang mengalami D.O (drop out) atau putus sekolah. Namun akhirnya menyesal
menganggur dalam usia yang sangat belia sehingga sekarang berusaha untuk bisa lagi
bersekolah.
Anak
laki-laki yang satu lagi, sebelumnya juga pernah tinggal kelas, namun akhirnya
bisa menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Pada mulanya orang tuanya gembira
karena dia memperoleh program undangan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi.
Namun hanya satu semester bisa bertahan, semua nilai mata kuliahnya menunjukan
nilai jelek dan tidak memuaskan ? Apakah gara-gara sang anak termasuk kategori
bodoh atau lemah daya serap ? Tentu saja tidak. Penyebabnya adalah gara-gara
gaya hidup yang suka begadang dan hura-hura. Hampir semua tugas-tugas kuliah
tidak diselesaikan dan gara-gara selalu begadang maka ia pergi kuliah dengan
mata mengantuk dan akhirnya memilih menjadi mahasiswa drop-out.
Kini
kedua anak laki-lakinya mengalami drop-out.
Penyebabnya cukup sederhana, yaitu sejak kecil tidak memperkenalkan pada
anak rasa tanggung jawab, hidup yang disiplin, dan juga miskinnya komunikasi
dan pesan-pesan tentang betapa pentingnya arti dari ilmu pengetahuan.
2)
Ayah yang setengah demokrasi
Pola kepemimpinan
ayah yang begini berarti juga setengah otoriter. Kebetulan ayah yang bergaya
begini memilki kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dengan demikian ia mampu
berperan demokrasi dalam setiap percakan. Benar atau salah sebuah ide bukan
mutlak keputusan ayah semata. Namun kadang sang ayah juga suka memaksakan
konsep dan memaksakan kehendak.
Ayah
ini suka memaksakan kehendak, mungkin karena khawatir cukup banyak pada anak
wanitanya. Tidak pernah mengizinkan anaknya untuk memilih tempat kuliah di
tempat yang jauh. Itu betul juga bahwa kepedulian dan khawatir atas keselamatan
anak wanita lebih banyak. Biar menutut ilmu di tempat yang dekat saja, karena
kesuksesan dalam studi, lebih ditentukan oleh faktor kualitas pribadi
manusianya, bukan ditentukan oleh faktor tempat kuliah semata.
3)
Ayah yang manajemen berorientasi pada tugas
Ayah yang
bertipe begini kebetulan tidak begitu jago dalam ngomong. Gaya berkomunikasinya
adalah instruksional, ya banyak bersifat memerintah atau menyuruh.jarang sekali
berbahasa yang interaktif. Namun anak- anaknya cukup berprestasi. Begitu
ditanya tentang sukses sekolah dan pendidikan anak-anaknya adalah karena mereka
sejak kecil diperkenalkan akan tanggung jawab.
Rumah
tangganya mengenal job description- atau pembagian tanggung jawab. Tidak ada
istilah pemisahan bentuk pekerjaan. Anak laki- laki biasa saja mencuci piring,
menstrika, menyapu rumah hingga memasak. Pokoknya tanggung jawab mengelola
rumah adalah bersama. Jadinya sang anak merasa punya tanggung jawab di rumah dan
juga bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
4)
Ayah yang manajemen bersifat laissez-faire
Ayah yang
bertipe begini berarti biarkan saja atau masa bodoh. Ayah bertipe seperti ini
kebetulan penulis temukan memiliki latar belakang rumah yang konvensional
dimana rumahnya tidak mengenal budaya membaca- tidak ada surat kabar, apalagi
buku-buku. Kecuali di rumang tamu menyala televisi untuk menebarkan hiburan
sepanjang waktu.
Sang
ayah juga belum memberi contoh bagaimana membangun hidup yang berkualitas, agaknya
juga jarang percakapan keluarga yang membahas cita-cita. Yang jelas hidup ini
terserah anak-anak yang penting tetap pada koridor sebagai anak yang baik.
Jadinya apakah orang tua juga anak-anak memilki aspirasi yang rendah, masa
depan atau cita-cita yang kabur dan juga tidak mengenal budaya kerja keras dan
belajar serius.
Akhirnya
setelah tamat dari SLTA anak-anaknya jadi bingung untuk melangkah kemana. Andai
nilai yang tinggi tidak begitu urgen dalam mencari pekerjaan dibandingkan
dengan keberanian untuk mengambil keputusan. Maka sang anak juga belum tidak
memiliki keberanian. Ini adalah efek dari pemberian pengalaman sukses yang
sangat kurang pada anak saat mereka dalam usia eksolorasi- yaitu usia anak anak
dan usia remaja.
5)
Ayah yang didominasi oleh ibu.
Ayah yang
wibawanya didominasi oleh ibu secara berlebihan memberi dampak pada nyali atau
keberanian anak laki-laki yang kurang optimal. Bagi anak laki-laki sosok ayah
merupakan sumber inspirasi dan tokoh pertama yang ditiru. Ayah yang tunduk pada
dominasi ibu akan bingung bagaimana untuki menjadi sosok pribadi pria yang
ideal, paling kurang karakter kepemimpinan, mengambil inisiatif (mengambil
keputusan) dan kemandiriannya juga kurang.
Sebaliknya
anak perempuan yang memiliki ibu yang karakter dominan juga akan menjadi wanita
yang kelak juga akan mendominasi kaum pria (tentu saja tidak semuanya demikian)
paling kurang akan lebih agresif dan akan kesulitan buat menemui laki-laki yang
perfek dalam pandangannya. Bahwa tentu saja orang yang betul-betul perfek,
karena perfek itu pada hakekatnya diproleh melalui proses. Jadinya keluarga
yang manajemen keluarga didominasi oleh ibu akan memiliki anak-anak yang
kebingungan dalam mencari jati diri. Keluarga ini memiliki 5 orang anak
perempuan yang sudah remaja dan dewasa namun belum ada yang memilki kekasih,
masih jomblo, karena sulit menemukan pria yang sesuai dengan npersepsinya dan
begitu pula dengan anak laki-lakinya yang sudah dewasa juga bingung untuk
mendapatkan wanita karena nyalinya kecil.
6)
Ayah yang hanya peduli dengan kerja
Ayah yang
bertipe begini cukup banyak. Rumah mereka tidak diterangi oleh buku-buku atau
ilmu pengetahuan. Ayah hanya peduli dengan kerja. Jadinya anak-anak mereka
umumnya kurang berhasil dalam akademis, malah banyak yang bermasalah dengan
mata pelajaran. Ujung-ujungnya adalah mereka menyumbang angka drop out. Namun
kemudian mereka belajar dari alam, langsung berlatih dalam bengkel, dalam
tokoh, dalam lapangan. Inilah bentuk real dari belajar pada universitas
kehidupan.
Dari
6 gambaran karakter manajemen ayah terhadap keluarga mereka bisa mewakili
karakter masyarakat kita yang lebih luas. Kita bisa belajar dari pengalaman
mereka untuk mengadopsi manajemen yang terbaik buat kita dan keluarga kita.