Cerdas
Bermental Sopir Atau Bermental Penumpang?
Buku
Pemberi Inspirasi
Salah satu program
unggulan Metro TV adalah “Big Cicle.”
Host acaranya sering mengundang Prof. Rhenald Kasali Ph.D untuk mengomentari
inovasi-inovasi dalam bidang perekonomian. Saya mendengar namanya saat saya
mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun
2012. Rhenald Kasali ikut memberikan kuliah umum buat kami, para guru
berprstasi. Setelah itu kami semua memperoleh buku “Wirausaha Muda Mandiri,
tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang
diabaikan banyak orang” (Rhenald Kasali, 2011).
Rhenald Kasali adalah
seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia, khususnya dari bidang ekonomi.
Ternyata dia juga sangat peduli pada dunia pendidikan. Saat itu kami- para
peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Saya merasa lebih dekat
dengan pemikirannya dan saya sengaja mencari semua buku-buku yang ditulisnya
pada sebuah toko buku di Padang. Saya pun menemukan buku-buku karangannya
seperti: Let’s Change, Change leadership
Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya yang Self Driving Menjadi Driver atau Passenger? Menjadi best
seller dan sangat mengagumkan dan menginspirasi banyak orang. Memang
membaca buku bisa memberi banyak inspirasi bagi kita.
Saya membaca buku-buku
Rhenald Kasali dan saya merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Salah satu
bukuya memberi saya pemahaman tentang apa yang ditulisnya, adalah pada buku Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?(Rhenald Kasali, 2016).
Saya ingin berbagi tentang
bukunya- memaparkan lagi pemikiran Rhenald Kasali atas fenomena pendidikan yang
telah membentuk kita menjadi orang yang cerdas namun susah untuk bergerak-
untuk maju. Sengaja saya paparkan agar para pembaca yang berusia remaja bisa
memahami dan setelah itu bisa mengambil sikap untuk melakukan update atau revolusi mental demi untuk
melakukan perubahan dan perbaikan.
Rhenald Kasali megatakan
bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver (bermental sopir atau bermental
penggerak) yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit,
berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus (juga di SLTA), tanpa
disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia (mahasiswa dan siswa)
bermental passenger (bermental sopir
atau bermental passif).
Dikatakan bahwa generasi
muda sekarang cenderung banyak yang pandai, namun outputnya adalah menjadi manusia-manusia bermental penumpang.
Setelah menjadi cerdas, mereka tidak tahu mau berbuat apa. Ilmu pengetahuan atau
kecerdasannya tidak mampu menggerakkan dirinya apalagi untuk menggerakan orang
lain.
Orang-orang demikian kalau
belajar fokusnya adalah sebatas bisa menaklukan isi buku teks, yaitu
memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian- sebatas jago berteori.
Jadi pintar mereka hanya sebatas pintar di atas kertas.
Kalau mereka kuliah dan
menjadi sarjana maka kualitas sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana cerdas
di atas kertas. Sementara itu dalam praktek pendidikan, banyak anak sekolah
yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana
realita kehidupan ini terjadi. .
Ditambah
lagi bahwa model pendidikan pada tingkat pendidikan dasar (di tingkat SD dan
SMP)- yang mana model pembelajaran yang sering terjadi bercorak konvensional.
Yaitu sebatas membiasakan para siswa hanya pandai menghafal pelajaran (sambil
melipat tangan dan duduk manis saat belajar). Maka setelah itu terbentuklah
orang-orang muda menjadi generasi yang pasif.
Buruh
Migran Bisa Jadi Lebih Cerdas Dari Mahasiswa
Dalam realita kehidupan
bahwa para mahasiswa dan juga siswa bisa dikalahkan oleh orang-orang yang bukan
bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang
yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka itu
tidak bersekolah tinggi. Mereka dipaksa oleh lingkungan (oleh takdir atau
nasib) untuk berpikir kritis menghadapi dunia baru yang sangat menuntut. Buruh
migran bisa jadi lebih cerdas dari mahasiswa atau dari sebahagian sarjana(?)
Para
buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea
Selatan, misalnya, banyak yang memiliki pikiran yang lebih hebat dibanding
sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan
hidupnya. Pada akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi
orang dengan karakter penumpang, bukan bermental driver.
Rhenald
Kasali dan juga para tokoh pendidik yang pro kemajuan sudah lama komplain
terhadap praktek pembelajaran di dunia pendidikan. Mengapa?
Karena metode pembelajaran
di sekolah-sekolah yang terlalu berorientasi pada kognitif. Guru-guru yang
merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80. Dan
sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif, namun tidak menguasai
semua subjek (mata pelajaran).
Potensi para siswa hanya
dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan
catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah
tidak mendorong munculnya (tumbuhnya) critical
thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan
pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan (mendidik) generasi yang
bersifat bebek-bebek dogmatik.
Sementara
itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan
mahasiswa hanya dari ujian tertulis, yaitu dari buku test dan kertas test.
Rhenald Kasali- sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang
mendapat nilai A dalam kelas marketing
(mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak
mencerminkan seorang marketing (marketer) dengan nilai A. Mengapa?
Ya karena cara bicaranya
yang ketus pada teman, berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan
temannya. Pada hal seorang marketing
(marketer) itu seharusnya punya pribadi yang menarik dan menyenangkan.
Akhirnya
orang-orang seperti itu (mahasiswa tadi) kelak akan kesulitan dalam mencari
pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam memasarkan
dirinya dan kelak jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang frustasi
(depresi).
Juga
merupakan fenomena bahwa sekarang banyak calon mahasiswa berebut untuk bisa
kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini
tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari
mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin
mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di
tanah air ini.
Pemikiran yang cerdas
adalah “jangan pernah menjual label-label universitas. “Wah aku ini lulusan
universitas X pasti perusahaan besar yang hebat akan mudah menggaetku,” namun
jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan unggul yang engkau miliki !.
Agaknya banyak generasi
muda termasuk bagi mereka yang baru jadi sarjana, juga setuju dengan pendapat
bahwa label universitas belum bisa menjamin kita untuk sukses. Kecuali kualitas
pribadi kita sangat ditentukan oleh cara kita berproses dan komitmen kita
sendiri.
Self Sebagai Kendaraan Kita
Sesungguhnya
Allah Swt telah memberi kita “diri” yang bisa kita sebut dengan kata “self”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih
arah, mau dibawa kemana self tersebut. Apa mau diarahkan untuk menjadi orang
yang bermental penumpang (self-passenger)
atau menjadi orang yang bermental pengemudi (self-driver) nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver?
Pilihan
yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat
benar bahwa kita harus mampu untuk:
“Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your
nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan
bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”.
Namun
kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau
juga mungkin kita sendiri yang “bermental passenger-
yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Amatilah sebuah mobil yang
sedang lewat. Di dalamnya banyak penumpang dan seorang sopir. Maka seorang
penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver). Dia tidak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk
atau ngobrol. Sementara seorang driver
harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas
resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas
dan harus bisa merawat kendaraan.
Seseorang
yang menjadi passenger, dia akan
punya diri dengan kualitas sebagai pengikut. Dia punya mental yang kerdil- itu
terjadi karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap
(statis) atau kurang bergerak.
Sebaliknya seseorang yang
menjadi driver- dia akan mampu
mendorong- karena memiliki settingan otaknya
(mindsetnya) yang selalu
tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan
bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai
terjadinya perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati
dan kaya empati.
Telah banyak orang yang didik begitu
lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi sarjana, mereka
tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun
belum mampu menggerakan (self-drive in)
dirinya sendiri, apalagi menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang
hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka
bertarung habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak
mau menjadi beban bagi orang lain.
Pendidikan
hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana
memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya
banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami
proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya
hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi
juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang
terbiasa berpikir.
Belajar
Berpikir Atau Sebatas Pandai Menghafal
Belajar artinya adalah
berpikir, ibarat seorang driver yang
harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa mengambil
jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat
diibaratkan menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh mengantuk, tertidur
dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Rhenald Kasali (2016)
menambahkan bahwa masalah yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan
dunia politik, juga di dunia birokrasi dan akademik. Semua tidak lepas dari
pengalaman bagaimana manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga sejak
dari kecil. Melalui tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu
diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya
menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak
yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan potensi atau
pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen juga tidak
mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering bertanya:
“Mama, ..papa..ini boleh
nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa sudah waktunya
atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini cocok atau
tidak??”
Demikian seterusnya hingga
mereka tumbuh dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan. Orangtua masih
membelenggu pikiran mereka dengan hubungan batin pada pikirannya. Saat mereka
ingin ikut berkemah dengan teman-temannya, orangtua mengatakan:
“Jangan ikut berkemah nak
..nanti kau sakit.”
Atau saat mereka ingin
melakukan eksplorasi, travelling,
orangtua juga merasa keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orangtua juga
menetapkan syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit
orangtua yang mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan
sebagainya masih banyak diurus orangtua.
Rasa ketergantungan pemuda
yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan. Yang orangtua lupa bahwa
mereka telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang mampu berpikir secara
mandiri karena orangtua yang melatihnya dari kecil hingga dewasa. Seolah-olah
orangtua tak rela menjadikan mereka menjadi manusia dewasa yang mampu berpikir
sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu
ingin dibimbing orangtua.
Akhirnya mereka menjadi
manusia passenger dalam kendaraan
keluarga. Sudah seharusnya para remaja juga bisa melatih diri untuk mandiri dan melepaskan diri dari
ketergantungan.
Hewan saja tidak selalu
melindungi anaknya secara bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya untuk
punya keterampilan, untuk mandiri. Setelah itu anaknya terbang dan hidup
mandiri.
Maka kita sebagai
anak-anak muda, para remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri ini
selalu terpasung oleh sesuatu yang kita bawa dari masa lalu. Untuk itu mari
kita lakukan perubahan !!!
Cerdas
Sebatas Memindahkan Isi Buku Ke Otak
Kita tidak bermaksud
menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sebatas memberi tahu
tentang kenyataanya- atau sebuah otokritik. Bahwa para pendidik dan juga para
dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala kita (siswa dan mahasiswa), itu namanya kita
belum menuntut ilmu, tetapi baru sebatas
memindahkan isi buku ke memory
dalam kepala ini.
Rhenald Kasali mengatakan
tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di
Amerika Serikat. Bahwa kita di Indonesia terlihat banyak yang ketakutan dalam
megungkapkan isi pikiran dan analisis kita kendati kita sudah dewasa.
Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda
(mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika kita (dan banyak
anak Indonesia) begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua,
Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara-
Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk
belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan
sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada
yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun
jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di
restoran, dll.
Para mahasiswa yang dulu
hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik yang
tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup di
dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad.
Jadinya yang perlu kita
kasihan, bahwa kita menyaksikan orang-orang yang dulu hidup begitu dimanjakan
(akibat berada dalam comfort-zone).
Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik. Tak
sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam
dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi
mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian.
Oleh sebab itu mari kita biasakan belajar
untuk keluar dari comfort zone (zona
aman)- dari kebiasaan banyak
diservis, serba dilayani dan merengek pada orangtua melulu. Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar
emas.
Diakui bahwa memang banyak
jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana
kalau di atas kertas cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun
dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu meraih nilai atau skor
akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan apa
bentuk karir mereka.
Ya generasi kita- generasi
baru Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan
servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih
tentu bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah.
Semua anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah.
Secara langsung maka para orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung
jawab:
“Anak- anak tidak diajar
bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Namun
semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang lebih
sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby
sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa
disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya
telah bermunculan generasi yang lebih banyak servis. Artinya anak-anak dibuat
dengan kemampuan berpikirnya hanya sebatas bisa menghafal- hingga mereka
menjadi generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi
tantangan-tantangan baru.
“Pergi sekolah untuk apa
dan kuliah buat mencari apa?”
Masuk universitas pilihan
susahnya setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah
kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas atau sekolah yang bergengsi,
yang dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan
sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan (disekolahkan).
Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku atau
dalam kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur,
berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah jadi
fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak
orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya universitas yang
bergengsi dan punya label maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang dengan
mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata itu
hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan tidak mau
mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa
orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan berlabel
unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah
terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di
kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan
teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih
dari sebatas teori dan ilmu pengetahuan.
Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan “total pribadi” yang sangat
berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian pengalaman- yang penuh
ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga
dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di
sekolah kita dengan istilah “Race To
Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana
banyak anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat
namun bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.
Fenomena
Kehidupan Yang Terbalik
Fenomena memperlihtkan
bahwa hidup ini sering situasinya jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya
dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi apa-apa. Sedangkan
orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi pejabat, politisi
terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang terkesan
bermalas-malas mereka malah memiliki mindset
(pola berpikir) sebagai seorang driver,
sementara orang yang tekun memiliki mindset
(pola beripikir) sebagai seorang passenger
-ya sebatas berharap jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka
yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental driver. Untuk itu kepada mereka yang
sedang belajar bersungguh-sungguh kita bisa ajukan sejumlah indikator atau
pertanyaan untuk melihat apakah kelak mereka menjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau
pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan mengapa
hidup musti berubah, dan mengapa perubahan
menuntut manusia untuk berpikir?
- Apakah orangtua/
lingkungan anda membelenggu perkembanganmu?
- Apakah anda tertantang
untuk mengenal linkungan baru yang lebih
banyak? Apa anda bertipe orang rumahan?
- Apa anda senang
diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih
mandiri?
- Apa anda tergila gila
dengan gadget dan membuat anda sangat individualis
dan kurang membuka diri?
- Apa anda suka melayani,
dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau
kendali diri, serta juga punya tanggung
jawab?
- Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa
mengendalikan diri, teman- teman, lingkungan
dan kedepannya untuk
mengendalikan bangsa ini?
- Anda senang menonton
orang bekerja? Atau terpanggil untuk ikut
berpartisipasi?
- Anda mudah gelisah
dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga
dengan orang baru? Anda mampu beradaptasi
dengan mudah?
- Dalam bergaul dan
berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat
orang?
- Apa anda memiliki
disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang
baik?
- Apa anda punya
ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya?
- Anda mampu
berkonsentrasi? Juga mampu mengendalikan emosi/
amarah?
- Anda senang
beraktivitas?
- Apa anda suka
membuat-buat alasan? Suka mnunda nunda waktu,
menunda pekerjaan, bekerja tanpa prioritas?
- Apa anda suka
menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka
membuang waktu?
- Apa anda bisa mengukur
kemampuan diri?
- Apa anda orangnya sangat
gigih? Sangat tekun? Sangat Pede? Tidak suka
pasrah dan menyerah?
- Apa anda orang nya
sederhana ada gaya hidup yang ribet?
Dari pertanyaan-pertanyaan
di atas maka akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah pribadi
kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah pribadi yang didambakan
adalah yang bermental driver.
Adapun praktek pendidikan
yang cenderung mengantarkan kita menjadi orang yang bermental penumpang maka
harus segera kita perbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus dibongkar habis.
Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri dengan memberikan
lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri.
Mata pelajaran sains
seperti biologi, kimia, fisika harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang
lebih fun. Dimana para siswa dibuat
belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di
lapangan pendidikan sering ditemukan para siswa yang pintar di sekolah, namun
belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada
para siswa yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya cenderung suka
menghafal.
“Memorizing is not the good way in thingking dan menghafal bukanlah
cara berpikir yang baik”.
Maka para remaja (para
siswa) dan juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu
bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa
membuat siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab
mereka sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang
sangat merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan
menghafal menjadi berpikir- thingking
oriented.
Karena dengan kemampuan
berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi model
pembelajaran/pendidikan kita perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara
berpikir guru dan orangtua kita. Dengan demikian kita semua tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi driver-
yang mampu menggerakan dan mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya
untuk menjadi nation driver atau
penggerak bangsa.