Rabu, 12 Maret 2008

Learning Strategies of Mastering English Applied by ICS of SMAN 3 Batusangkar.

RESUME (French)

Marjohan. 2008. Stratégies d'apprentissage de la maîtrise de l'anglais appliquées par l'ICS de la SMAN 3 à Batusangkar. Thèse. Padang : Programme diplômant de l'Université d'Etat de Padang.

Beaucoup d'étudiants de lycée, ou "Sekolah Menegah Atas" (SMA), ont des difficultés pour apprendre l'Anglais, mais pas la "International Class Student" (ICS) de la SMAN 3 de Batusangkar. L'auteur a trouvé que la majorité des étudiants comprenaient et étaient capables de communiquer en Anglais. Ceci était dû à leurs stratégies d'apprentissage de l'Anglais, et il était intéressant d'examiner ce phénomène, sur lequel l'auteur a donc mené une étude.

Les buts de cette recherche étaient de décrire les stratégies d'apprentissage de l'ICS en général, et les stratégies d'apprentissages spécifiques pour l'écoute, la parole, la lecture et l'écriture. La recherche a été de type descriptif et a utilisé des pourcentages et expressions simples. Les données ont été collectées au travers de questionnaires, observations et entretiens.

Les résultats de cette recherche ont répondu aux cinq questions suivantes, présentées dans les objectifs de l'étude :
1 - Les stratégies d'apprentissages les plus utilisées sont : quel type d'apprenant,
estime de soi, auto-apprentissage, organisation, apprendre à vivre avec
l'incertitude, utilisation de moyens mnémotechniques, aide du contexte,
apprendre à faire une estimation intelligente, apprendre à lire quelques lignes
comme un tout, et apprendre les techniques de production. Les stratégies les
moins utilisées sont : l'apprentissage d'une seconde culture et l'utilisation des
stratégies de groupe.
2 - Les stratégies d'écoute les plus employées sont : la compensation et la
métacognition, et les stratégies les moins employées sont la cognition et la
métacognition.
3 - Les stratégies d'expression orale les plus utilisées sont : la métacognition, la
compensation et les stratégies de mémoire, et les moins utilisées sont les
stratégies affectives.
4 - Les stratégies de lecture les plus employées sont les stratégies de
compensation et les moins employées sont les stratégies cognitives.
5 - Les stratégies d'écriture les plus utilisées sont la mémoire, la compensation et
les statégies sociales, et les moins utilisées sont les stratégies affectives






ABSTRACT (English)
Marjohan.2008. Learning Strategies of Mastering English Applied by ICS of SMAN 3 Batusangkar. Thesis. Padang: Graduate Program of State University of Padang.

Many students of Senior High School or Sekolah Menengah Atas (SMA) get problem to learn English but not International Class Student (ICS) of SMAN 3 Batusangkar. The researcher found that majority students understand and are able to communicate in English. That because of their English learning strategies and this phenomenon was interesting to be investigated that the researcher conducted a research on it.

The purposes of this research were to describe about ICS’s learning strategies in general, and the specific learning strategies for listening, speaking, reading and writing. The kind of research was the descriptive; it used percentage and simple expressions. The data were collected through questionnaire, observation and interview.

Findings of this research have answered five questions as listed in the purposes of this study, they are as follows:
1. Learning strategies the most used are; what kind of learner, Self-
esteem, Self- talk, Organizing, Learning to live with uncertainty, using
mnemonics, Let context help, learning to make the intelligent guess,
learn some lines as whole, and Learning production technique. The least
used strategies are; learning a second culture and using group strategies.
2. Listening strategies the most used are; compensation and metacognitive
and the least used strategies are cognitive and metacognitive one.
3. Speaking strategies the most used are; metacognitive; compensation and
memory strategies and the least used strategies are affective.
4. Reading strategies the most used are; compensation strategies and the
least used strategies are cognitive.
5. Writing Strategies the most used are; memory, compensation and social
strategies and the least used strategies are affective.









ABSTRAK (Bahasa Indonesia)
Marjohan.2008. Strategy Belajar Untuk Menguasai Bahasa Inggris yang Diaplikasikan oleh Siswa Program ICS SMAN 3 Batusangkar. Thesis. Padang: Program Pascasarjana Universitas Negei Padang.

ICS adalah singkatan dari International Class Program, juga diberi istilah dengan SNBI atau singkatan dari Sekolah Nasional Berstandar Internasional. Umumnya banyak siswa mengalami masalah dengan mata pelajaran Bahasa Inggris di berbagai SMA, tetapi pelajaran ini tidaklah menjadi masalah bagi siswa yang belajar pada program SNBI di SMAN 3 Batusangkar. Peneliti menemukan bahwa umumnya mereka mengerti dan mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Tentu saja hal itu karena strategi belajar yang mereka miliki dan fenomena ini menarik untuk diteliti.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang strategi belajar siswa SNBI secara umum, dan strategi belajar secara khusus untuk kemampuan mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dan menggunakan persentase serta ungkapan- ungkapan sederhana. Data dikumpulkan melalui angket, observasi dan wawancara.

Temuan penelitian ini telah menjawab 5 pertanyaan seperti yang ada pada tujuan penelitian ini, yaitu seperti:
1. Strategi belajar yang paling banyak dipakai adalah what kind of learner,
Self-esteem, Self- talk, Organizing, Learning to live with uncertainty, using
mnemonics,Let context help, learning to make the intelligent guess, learn
some lines as whole, and Learning production technique. Strategi belajar
yang jarang dipakai adalah seperti learning a second culture and using
group strategies.
2. Strategi belajar listening yang paling banyak dipakai adalah compensation
and metacognitive and strategi belajar listening yang paling jarang dipakai
adalah cognitive and metacognitive one.
3. Strategi belajar speaking yang paling banyak dipakai adalah metacognitive;
compensation and memory strategies. Strategi belajar yang jarang dipakai
adalah affective.
4. Strategi belajar reading yang paling banyak dipakai adalah dan Strategi
belajar reading yang jarang dipakai adalah cognitive.
5. Strategi belajar writing yang paling banyak dipakai adalah memory,
compensation and social strategies, dan Strategi belajar yang jarang dipakai
adalah affective.

Pornografi Masuk ke Sekolah Lewat Hand Phone dan Internet

Pornografi Masuk ke Sekolah Lewat Hand Phone dan Internet
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kosakata “pornografi” bukanlah kosakata baru. Semua orang sudah mengetahuinya. Anak- anak pra-remaja dan remaja pun sudah mengerti dengan maksud kata pornografi itu. sekarang kosa kata pornografi sudah melebar dan kita juga mendengar kosa kata “pornoaksi”.
Sampai detik ini orang tua di rumah dan guru di sekolah tetap menganggap tabu dengan perkataan dan perbuatan porno. Mereka tetap melarang keberadaan unsur- unsur pornografi dan pornoaksi mendekati anak- anak dan pelajar. Orangtua akan merasa tercoreng mukanya kalau salah satu anggota keluarga terlibat dalam budaya atau dampak pornoaksi, seperti ada anak gadis nya yang menerima tamu laki- laki sambil memakai rok mini pada malam minggu. Atau anak laki- laki nya jalan berpegang tangan dengan gadis lain, dan sampai kepada pelanggaran norma yang lebih berat lainnya.
Dalam pendidikan di rumah tangga, orangtua selalu menekankan pemberian pesan moral dan hukuman pada anggota keluarga agar tidak melakukan unsur- unsur porno- pornoaksi dan pornografi, seperti membuka aurat, menyimpan benda- benda porno- buku porno, majalah porno, vcd porno, dan lain- lain. Rasa ingin tahu, ajakan teman dan pengaruh budaya luarlah yang membuat benda- benda porno menyusup masuk ke dalam rumah secara sembunyi- sembunyi. Benda- benda tersebut adalah seperti majalah, kaset dan dokumen porno yang disimpan serta dirahasiakan oleh anak- anak remaja.
Sangat disayangkan apabila ada orangtua dan orang dewasa dari pihak keluarga yang pura- pura tidak peduli untuk mencegah hadirnya benda- benda porno dalam rumah. Atas nama demokrasi dan keindahan seni kemudian sudi untuk menyimpan dan memamerkan benda- benda porno dalam keluarga.
Sekolah sejak dari dulu tetap commit untuk mengharamkan benda- benda dan unsur- unsur porno hadir dalam lingkungan sekolah. Dahulu, sebelum teknologi dan informasi tidak begitu berkembang, guru-guru sudah melakukan tindakan anti atau kontra terhadap benda- benda dan unsur- unsur pornografi. Secara berkala mereka melakukan razia anti pornografi. Kejahatan siswa dalam hal pornografi pada mulanya adalah seperti menyimpan stensilan- atau tulisan cerita cabul yang diketik dan diperbanyak pada kertas stensil, komik dan novel porno sampai kepada foto- foto porno yang mereka peroleh lewat pedagang koran asongan di terminal bus atau lewat teman dan juga kaset video BF.
Selain itu, siswa remaja yang karena ingin tahu, menyimpan produk pornografi dan alat- alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana) seperti kondom, spiral, dan lain- lain, apabila tertangkap tangan oleh guru- guru menyimpannya tentu akan diproses karena melanggar hukum sekolah. Proses hukumnya bisa melibatkan orangtua dan kalau perlu pihak sekolah memindahkan atau memulangkan siswa yang bersangkutan ke orangtuanya.
Kemudian apalagi ? Begitu kemajuan teknologi informasi semakin pesat maka bentuk atau eksistensi unsur-unsur porno menjadi semakin apik pula dan makin sulit dilacak. Film porno, foto porno, kaset video porno memang jarang lagi dikantongi remaja secara ilegal, karena produk ini sudah kadaluarsa. Maka sekarang produk kepingn vcd porno, dengan kulit berlabel film kartun agar bisa mengelabui pihak yang mencurigai, pada halnya isinya berisi adegan terlarang, secara terang- terangan mudah beredar dan dijual lewat pedagang kaki lima dan siswa yang dilanda gejolak birahi mudah mencarinya.
Hal lain, yang berhubungan dengan pornografi adalah bahwa sekarang orang tua perlu untuk melakukan cek dan ricek kalau ingin menitipkan anak pada sekolah yang berasrama, kecuali kalau kondisi kehidupan anak- anak di asrama cukup kondusif seperti tinggal di rumah sendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa kehidupan siswa yang kurang diawasi dan miskin aktivitas di asrama, maka penghuninya sering dilanda oleh gejolak dorongan libido. Pengalaman seksual yang kurang sehat mudah diperoleh oleh anak- anak yang tinggal di sana.
Siswa yang tinggal di asrama yang kurang terkontrol, dalam usia pubertas yang diiringi oleh dorongan libido yang tinggi, namun mereka kurang terlibat dalam aktivitas olah raga, seni dan kesibukan positif lain, maka siswa penghuni asrama mencari penyaluran libido secara intens. Maka kalau kondisi rumah lebih baik dan orang tua bisa mengembangkan potensial anak, maka mengapa harus mengirim anak ke sekolah dengan asrama yang tidak terjamin kualitas pendidikannya.
Sekarang semua orang tahu bahwa teknologi telekomunikasi semakin canggih, maka produk yang bernama hand-phone menjadi benda yang paling digemari oleh remaja. Kini banyak anak- anak atau remaja yang pintar merayu dan bermohon pada orangtua agar mereka dibelikan hand-phone. Pada mulanya hand-phone dirancang dengan fungsi untuk berkomunikasi. Namun kolaborasi ahli bisnis dan ahli teknologi menciptakan produk hand-phone menjadi semakin menarik, dilengkapi dengan aksesoris; camera, lagu, game, dan fiture yang lain. Maka kemudian fungsi memiliki hand-phone berubah, tidak lagi sebagai sarana berkomunikasi, namun berubah menjadi sarana untuk membentuk life style atau gaya hidup.
Sekarang hand-phone yang pas menurut selera siswa adalah kalau ada kamera, lagu, game dan aksesoris lain. Hand-phone yang seperti ini sangat layak dibawa dan dipamerkan di sekolah, namun kalau desain hand-phone terlalu sederhana maka mereka jadi malu dan ingin untuk menyimpannya dalam tong sampah.
Diam-diam guru di sekolah melihat gerak gerik dan prilaku yang mencurigakan atas prilaku siswa yang memiliki hand-phone berkamera ini. Mereka melakukan razia maka ditemukan sederetan film-film porno dan gambar porno yang mereka saling kirim lewat blue-tooth atau inframerah. Maka guru-guru dengan hati nuraninya sebagai pendidik menjadi amat sedih dan terluka. Ternyata orangtua bisa dikibuli oleh anak mereka sendiri. Segudang janji yang diikrarkan anak sebelum dibelikan hand-phone tidak terbukti.
Berbarengan dengan datangnya teknologi hand-phone maka datang pula teknologi internet. Sarana internet dirasakan amat penting untuk mengakses informasi dan sarana untuk berkomunikasi.
Perpustakaan merupakan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan informasi. Tetapi sarana internet terasa jauh lebih menarik dari pada perpustakaan. Dan sekarang fenomena yang terjadi adalah kehadiran internet telah membuat perpustakaan menjadi sepi dan hanya layak sebagai gudang untuk menyimpan buku- buku. Akibatnya kini banyak perpustakaan yang menjadi sepi oleh pengunjung dan buku- bukunya sendiri mulai menguning dan dipenuhi debu.
Mengapa remaja pergi ke internet? Banyak remaja atau pelajar menjawab bahwa mereka pergi ke internet atau ke warnet (warung internet) untuk mencri ilmu dan informasi. Jawaban mereka 100 % sangat benar, namun kenapa warnet sengaja dirancang dengan bilik- bilik kecil dengan dinding agak tinggi, dari balik dinding bilik kecil tadi terdengar suara penuh curiga dan mata waspada.
Maka begitu mereka selesai mengakses internet lewat mesin yahoo, google dan mesin lain maka akan tersisa kosa kata mesum bahwa remaja- mulai yang bau kencur sampai kepada remaja usia hampir dewasa- baru saja mengkonsumsi gambar, film dan artikel jorok atau porno.
Dahulu ketika zamannya bioskop lagi menjamur, maka unsur- unsur seks lah yang membuat bioskop tersebut jadi ramai oleh pengunjung. Dan sekarang hal itu juga terjadi pada internet. Karena ada unsur- unsur seks, maka internet juga menjadi makin laku.
Namun sekarang bagamana lagi ? Di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru pasti mengharamkan unsur- unur seks atau pornografi menyentuh siswa. Namun di luar rumah dan luar sekolah, yaitu di warnet- wanet unsur- unsur seks dan pornografi begitu mudah diakses dan di download. Kini siapa yang patut mengawasi anak- anak dan remaja tidak ketagihan oleh unsur- unsur pornografi bila mereka berada di luar rumah dan sekolah ?.
Bila kejahatan seksual meningkat di tengah masyarakat, maka dapat diprediksi bahwa keberadaan warnet ikut berpartisipasi untuk menyuburkan budaya pornoaksi dan pornografi. Rangsangan- rangsangan pornografi lewat internet telah berpotensi untuk meningkatkan gelora libido mereka yang tidak terkontrol, pada akhirnya bermuara pada kejahatan seksual; incest, kehamilan di luar nikah, pengguguran kandungan, pelecehan seksual dan lain- lain. Orang tua dan guru tentu selalu menyerukan dan berpesan agar anak- anak mereka selalu ingat dengan ungkapan; say no to situs porno. Namun untuk pengawasan yang lebih kompeten di luar rumah dan sekolah tentu adalah tanggung jawab pemerintah dan pengelola internet itu sendiri.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Selasa, 12 Februari 2008

Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah


Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Pelayanan Keunggulan)

Ada beberapa undang- undang atau peraturan yang tidak tertulis di sekolah, sudah disepakati dan diketahui oleh orangtua, anak didik, pendidik (guru) dan masyarakat. Peraturan- peraturan tersebut kalau dirunut dari skala larangan paling berat sampai kepada larangan ringan adalah seperti: tidak boleh melakukan pergaulan bebas, narkoba, minuman keras (miras), berjudi, pornografi, pornoaksi, merokok, memakai perhiasan berlebihan, berambut panjang, memakai seragam sekolah yang tidak pantas, sampai kepada mencontek selama ujian. Dan larangan ringan terbaru adalah tidak boleh membawa hand phone ke sekolah karena bisa mengganggu PBM- proses belajar mengajar.
Mengkonsumsi rokok adalah dilarang di sekolah. Ini sudah diketahui oleh semua anak didik, guru dan orangtua siswa. Namun fenomena di negara kita dan juga fenomena di lingkungan sekolah bahwa hukum atau peraturan hanya untuk dipatuhi oleh kalangan bawah, kalau di sekolah adalah untuk anak didik. Seperti larangan merokok, ini hanya berlaku dan harus dipatuhi oleh anak didik. Kalau mereka ketahuan melanggar –merokok dalam lingkungan sekolah malah juga untuk luar sekolah- maka berarti mereka membuat kasus pelanggaran peraturan sekolah. Kasus pelanggaran tatatertib sekolah harus diproes mulai dari tingkat wali kelas, guru BK (Bimbingan Konseling), pihak Kepala Sekolah. Dan kalau tidak bisa dibina maka mereka dibinasakan- disuruh pindah sekolah atau dipulangkan ke orangtua.
Pelaksanaan larangan merokok tentu saja bervariasi wujudnya pada banyak sekolah. Ada sekolah yang melaksanakan dengan serius dan penuh tanggung jawab dan ada pula yang menerapkannya penuh pura-pura dan sekedar basa- basi. Sekolah yang sangat peduli dengan kualitas pendidikan, umumnya tidak mengenal basa basi dalam menegakan disiplin dan wibawa sekolah. Namun bagi sekolah yang susah payah untuk meraih prestasimis maka disiplin atau peraturan sekolah bisa ditawar- juga bisa sekedar basa-basi.
Sekolah yang siswanya, apa lagi kalau guru gurunya, gemar merokok dapat dipantau dan dijumpai di mana- mana. Seringkali sarana tempat merokok mereka adalah di kantin atau di warung seputar sekolah milik masyarakat lokal. Beberapa anak didik sengaja membolos beberapa menit atau mencari alasan untuk keluar kelas dan menyelinap ke dalam warung dekat sekolah agar bisa mengepulkan asap rokok untuk memperoleh decak kagum dari teman- teman yang juga merintis diri untuk jadi perokok. Sebagian yang lain sengaja memilih tempat yang agak jauh dari sekolah agar bisa merokok seperti yang dianjurkan oleh puluhan sampai ratusan iklan rokok yang dikemas sangat menarik dan diiringi rayuan seperti : merokok untuk mewujudkan selera pria sejati.
Ada kritikan yang patut kita lontarkan kepada pemilik warung yang melegalkan rokok untuk siswa di seputar sekolah. Silahkan mencari rezki lewat berdagang dengan menyediakan kebutuhan makan minum warga sekolah, tetapi jangan mencari untung lewat bisnis rokok karena merokok adalah illegal untuk anak didik dan warga sekolah.
Tentu saja semua anak didik sudah tahu bahwa mereka tidak boleh merokok. Tetapi sebahagian mereka menjadi bingung memahami nasehat yang berbunyi seperti ”merokok dapat merusak kesehatan”. Namun model atau suri teladan mereka di rumah (orang tua) dan di sekolah (guru- guru) melanggar nasehat ini. Dan akhirnya sebahagian mereka yang lagi dilanda kebingungan untuk mencoba merokok atau tidak perlu merokok- merintis jalan untuk menjai perokok sejati.
Larangan merokok tampaknya hanya ditujukan untuk anak didik, bagaimana untuk guru- guru ? larangan merokok tidak berlaku untuk guru guru perokok. Barangkali karena peraturan dan larangan dirancang oleh guru dan harus dipatuhi oleh anak didik. Sementara guru- guru sendiri seolah olah memiliki hak kebal hukum. Pantaslah banyak guru yang semau gue merkok di lingkungan sekolah.
Guru perokok yang masih bersembunyi saat merokok masih bisa dianggap sebagai guru perokok yang memiliki sopan santun. Namun bagaimana dengan guru yang memperlihatkan kekuasaannya , dengan rasa enteng minta tolong belikan rokok pada anak didik dan merokok di depan keramaian murid seenaknya. Dan ada guru yang dengan arrogannya merokok di dalam kelas saat melaksanakan PBM- Proses Belajar Mengajar. Bagi guru yang begini maka berlakulah pribahasa yang berbunyi : guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau guru menjai suri teladan yang jelek maka tentu kelak anak didik mereka menjadi lebih jelek lagi. Kalau guru adalah perokok yang hebat dalam kelas maka jangan salahkan kalau kelak ada anak didik yang menjadi pemakai narkoba dan peminum miras- minuman keras.
Melihat fenomena di atas maka dewasa ini setiap anak didik perlu untk memiliki daya tahan yang lebih hebat untuk tidak merokok. Karena ajakan untuk merokok- memasukan asap rokok kretek atau zat- zat beracun ke dalam paru- paru datang dari berbagai pihak. Saat mereka tahu dengan bahaya merokok, namun di rumah mata mereka menatap orang yang mereka hargai- bapak, kakak, paman, kakek dan tetangga- menghisap rokok dengan ekspresi kenikmatan yang penuh engan kepalsuan. Di sekolah mereka juga terganggu oleh gaya guru yang dengan enteng menghisap rokok.
Siswa yang tidak pernah merokok pun akhirnya memperoleh pressure atau tekanan dari teman sebaya yang sudah menjadi perokok junior. Mereka yang tidak merokok akan diberi ejekan- hukuman psikologis- sebagai orang yang tidak jantan. ”hanya orang perempuanlah yang tidak merokok, atau dia tidak merokok karena pingin naik haji- alias ia orang yang amat kikir”. Tekanan dalam bentuk ejkan sangat mujarab utuk membuat anak didik (teman sebaya) segera mencoba merokok sampai akhirnya juga jadi pencandu rokok.
Andaikata ada yang tidak percaya dengan judul tulisan ini, maka marilah kita kunjungi sekolah- sekolah SLTA – SMA, SMK dan Madrasah- di beberapa daerah pada saat sekolah usai. Kita akan melihat siswa-siswa bubar, melangkah menuju rumah, maka pasti terlihat beberapa siswa mulai memegang bungkus rokok. Mereka saling bercanda dan melempar ejekan pada yang tidak merokok atau meledek teman yang merek rokoknya kurang gaul.
Memang merokok kelihatan sudah menjadi gaya hidup bagi sebahagian guru dan sebahagian anak didik. Fenomena para perokok adalah bila mereka saling berjumpa maka mereka saling meminta atau menawarkan korek api. Atau sebelum mereka memulai percakapan mereka saling menyodorkan bungkus rokok kretek sebagai tanda persahabatan yang tulus. Ini adalah bukti bahwa merokok bagian dari gaya hidup. Sambil mengepulkan asap nikotin dari bibir yang hitam maka barulah meluncur kalimat- kalimat pergaulan mereka.
Sepuluh atau dua puluh tahun yang silam jumlah produksi rokok tentu saja tidak sebanyak yang sekarang. Namun kini produksi rokok sudah amat mengkhawatirkan dari sudut jumlah rokok dan jumlah merek rokok itu sendiri. Rokok rokok- pemilik industri rokok- tersebut saling berlomba untuk menarik dan mengajak semua orang agar segera mejadi perokok sejati. Iklan rokok dengan bahasa yang indah- membujuk dan mengajak semua orang untuk jadi perokok- terpajang didepan mata dimana- mana; di gardu polisi lalulintas, pada jalan raya utama, di tempat keramaian anak anak muda. Malah industri rokok tidak segan- segan bersedia menjai sponsor atau donator dari berbagai kegiatan sekolah selagi spandu nama rokok mereka tidak lupa untuk dipajang.
Masih adakah orang yang peduli sekarang untuk menasehati anak didik dan guru- guru untuk tidak merokok. Terus terang bahwa merokok sebagai gaya hidup tidak memberikan manfaat apa- apa, kecuali hanya memberi mudharat dalam meracuni paru- paru anak anak muda. Memilih merokok sebagai gaya hidup sangat merugikan diri karena mendatangkan penyakit. Menjadi penghisap rokok hanya memberikan keuntungan bagi pemilik pabrik rokok yang punya niat tidak baik yaitu untuk meraup laba dan ikhlas membuat pencandu rokok untuk segera sakit atau pelan- pelan bergerak menuju kematian. Bukankah sudah cukup banyak jumlah orang yang meninggal karena mengalami sakit paru- paru gara- gara mejadi pencandu rokok yang hebat dalam hidupnya. Maka kini fikirkanlah untuk menjadikan merokok sebagai gaya hidup di sekolah.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Rabu, 06 Februari 2008

Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan

Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan

Oleh: Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Semua orang setuju bahwa ilmu adalah kekuatan. Agama Islam juga mengakui dan menganjurkan kepada kita (pemeluknya) untuk selalu mencari ilmu. Ada beberapa ajakan seperti ; Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, dan UNESCO – salah satu badan PBB- juga merespon dengan semboyan “life long education” atau pendidikan seumur hidup.
Kita tidak tahu bahwa apakah semboyan yang mengajak anak- anak atau generasi muda untuk mencari ilmu sebanyak mungkin dalam hayat ini, masih berkumandang di rumah- rumah dari bibir orang tua pada anaknya atau sudah tidak ada lagi. Namun dari ungkapan lama dalam memberi motivasi tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang berbunyi; ”gantungkanlah cita-cita mu setinggi langit” . Dari ungkapan di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap orang perlu mempunyai cita- cita yang tinggi dan juga perlu untuk mencari ilmu dan pengalaman.
Orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang brguna bagi nusa, bangsa dan agama”.
Saat anak melangkah memasuki dunia pendidikan, mulai dari bangku TK, SD, SMP, SLTA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi, cita- cita yang terlalu umum tadi berubah menjadi cita-cita yang lebih spesifik. Begitu ditanya tentang cita- cita anak, maka ia (mereka) dituntun agar memilih menjadi dokter, insinyur, guru, hakim, polisi, tentara, dan lain- lain. Cita cita tentang profesi ini bisa disederhanakan menjadi ”bila besar kelak aku ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau pegawai swasta”. Secara tidak langsung guru- guru sudah menanamkan cita- cita dalam jiwa anak agar bila dewasa mereka bisa menjadi PNS atau pegawai kantoran, dan ini pulalah yang bernama cita- cita. Sementara itu menjadi pedagang, penulis, ulama, tokoh masyarakat bukan dipandang sebagai cita- cita. Lebih lanjut menjadi petani, nelayan dan buruh (oleh orang tua atau lingkungan) diperkenalkan sebagai pekerjaan atau cita- cita rendah dan cita- cita kurang mulia..
Kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Segala teori dan artikel tentang pendidikan dibaca dan diterapkan dan fasilits belajar untuk anak dilengkapi.
Pendidikan setiap anak sejak dari tingkat SD sampai tamat Perguruan Tinggi bisa menghabiskan rentang waktu 17 atau 18 tahun. Anak- anak yakin bahwa begitu tamat dari Perguruan Tinggi, memperoleh gelar sarjana, maka kerja, seperti menjadi PNS, pegawai BUMN dan swasta atau kantor, akan mudah diperoleh. Posisi PNS dan kantoran adalah posisi yang diperkenalkan oleh orang tua atau lingkungan sebagai posisi yang kerjanya sangat mudah, karena duduk atau goyang kaki gaji tetap keluar.
Fenomena dalam beberapa tahun silam bila seseorang tamat Perguruan Tinggi, apalagi bila IP (Indeks Prestasi) juga tinggi, bisa menjanjikan bahwa PNS dan kerja kantoran mampu menampung semua lulusan Perguruan Tinggi. Malah untuk PNS masih menerima jatah sisipan apalagi jatah PNS pesanan melalui memo agar keponakan, adik atau anak seorang pejabat bisa jadi PNS walau kualitasnya sangat mengecewakan. Maka jadi gemuklah populasi PNS dan susah payah pula negara untuk mencari anggaran guna menggajinya mereka walau job descriptionnya serba tidak jelas. Namun dalam sistem manajemen pemerintahan yang lebih ramping- seperti sekarang- maka menjadi PNS walau gajinya masih standar atau kadang kala masih dibawah standar, kebanyakan sarjana lulusan Perguruan Tinggi, termasuk Universitas favorit, masih bermimpi untuk bisa jadi PNS.
Begitu lulus dari Perguruan Tinggi, banyak sarjana potensial yang hanya mampu membuat surat lamaran atau menunggu lowongan agar bisa mengikuti test penerimaan PNS. Bila gagal mereka rela untuk menjadi pengangguran intelektual. Adalah fenomena bahwa datang bertubi- tubi serangan dan kecaman kepada dunia pendidikan- kurikulum yang miskin dengan link and match, dan kebijakan pemerintah. Yang paling parah adalah hujatan kepada lembaga Perguruan Tinggi yang hanya mampu menghasilkan sarjana PNS oriented. Padahal semangat untuk menjadi PNS dalam wujud cita-cita menjdi dokter, hakim, guru, dan lain- lain adalah gara- gara suksesnya kolaborasi antara orang tua dan guru dalam membangun image PNS, mulai dari guru TK, SD, SMP sampai kepada guru SLTA dan dosen.
Saudara- saudara kita yang gagal atau drop out dari sekolah ketika di SD, SMP, atau SLTA mungkin tidak mengenal untuk menjadi PNS seperti impian sarjana lulusan Universitas (perguruan tinggi) se Indonesia. Mereka yang drop- out tentu disebabkan oleh seribu satu hal, seperti kesulitan ekonomi orang tua, kehilangan motivasi belajar, buruknya budaya belajar di rumah atau di sekolah, dan sampai kepada gara- gara broken home. Mereka yang drop out saat di SLTA atau pada sekolah sebelumnya, tentu mereka tidak mungkin bisa studi di Perguruan Tinggi dan juga tidak mengenal apa itu universitas dan siapa itu dosen atau mata kuliahnya.
Namun saudara kita yang drop out atau putus sekolahi, sebahagian mereka mampu mengumpulkan energi hidup dan membentuk motivasi untuk kehidupan. Motivasi yang datang dari dalam diri sendiri atau yang datang dari orang yang punya pengalaman sukses, mereka itulah yang menjadi sumber inspirasi atau dosen bagi mereka yang belajar dalam universitas kehidupan ini.
Bertukar atau berbagi pengalaman hidup dengan kakak, paman, famili, tetangga dan pengalaman orang lain secara langsung bisa lebih baik dari teori yang diberikan oleh profesor atau doktor di universitas yang nyata. Meskipun mereka tidak belajar atau kuliah dengan dosen atau professor di unversitas yang terakreditasi baik, tetapi berbagi pengalaman dengan orang sukses adalah juga berarti terlibat langsung dalam perkuliahan ala Socrates dalam zaman Yunani kuno dengan dosen di universitas kehidupan.
Menuntut ilmu di universitas kehidupan, telah membuat orang bisa memiliki tekad hidup yang kuat. Mereka jadi berani untuk pergi merantau, berani untuk mencoba dan berani untuk menanggung resiko. Adalah bentuk pekerjaan lulusan dari niversitas kehidupan seperti menjadi petani, beternak, bertukang, dan membuka usaha konveksi telah mampu menghidupi ribuan atau bahkan jutaan orang se Indonsia. Kemudian ada orang yang hanya belajar secara alami- atau diistilahkan dengan belajar di Universitas kehidupan- mampu menjadi orang yang sukses lewat membuka toko, restaurant, usaha konveksi, catering. Dan ini adalah bentuk dari profesi yang lahir dari ide- ide kreatif. Profesi ini tidak mungkin ada (atau apakah ada) dalam daftar cita- cita siswa SLTA saat mengisi formulir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) ?
Berbagai perguruan tinggi (universitas) sekarang seolah- olah hanya mampu melahirkan sarjana yang kaya dengan teori namun bingung dalam menatap masa depan. Sementara orang yang lulus dari universitas kehidupan telah melahirkan orang- orang yang berjiwa kuat. Kalau begitu salahkah menuntut ilmu di univeritas yang nyata ?
Menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi adalah keputusan yang sangat baik dan lebih baik lagi kalau menuntut ilmu di perguruan tinggi favorite dan menata cita- cita atau rencana kehidupan yang lebih nyata. Ibarat cita- cita saudara kita yag sukses dari pengalaman hidup (universitas kehidupan) mereka sukses bukan lewat PNS, BUMN, pegawai swasta atau kerja kantoran.
Adalah sangat penting bagi setiap siswa sejak dari SLTA untuk melakukan eksplorasi atau memperluas jelajah mental melalui pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Sebagai siswa atau mahasiswa mereka tidak harus lagi membuang-buang waktu setelah menekuni teori tentang kehidupan, rumus dan tugas setiap mata pelajaran. Juga penting kalau mereka mengembangkan diri dan mencoba seribu satu macam kegiatan yang berhubungan dengan kecakapan hidup. Maka sekarang tidak perlu lagi merasa gengsi untuk terjun ke sawah, ke ladang, ke kolam ikan, ke padang rumput untuk belajar tentang life skill. Atau menjalankan traktor, memasak di restauran dan harus merasa malu kalau hanya pandai memanjakan kulit dan membiarkan orang tua melepuh badanya terbakar matahari. Sikap manja dan cengeng sungguh tidak bermanfaat.
Bila guru- guru dan dosen hanya memberi teori di sekolah dan universitas maka cobalah sempurnakan melalui pengalaman hidup, bertukar fikiran dengan oang- orang sukses dari universitas kehidupan. Mereka adalah seperti pemilik rumah makan, pengumpul komoditas ekspor, pengusaha rice milling, kyai atau ulama bear dan- lain lain. Kemudian renungankan mengapa dan bagaimana mereka bisa jadi sukses.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)























Selasa, 29 Januari 2008

Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek


Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Judul di atas bukan mengajak siswa dan stakeholder pendidikan melakukan hal yang demikian, karena bertentangan dengan etika pendidikan. Namun berharap agar bersikap kontra terhadap judul di atas.
Ujian nasional sudah menjadi fenomena dalam pembicaraan orang tua, guru, anak didik dan para ahli pendidikan sampai kepada pihak pemerintah di level nasional. Bila semester ke dua datang (bulan Januari sampai Juni) maka setiap sekolah khususnya SMA dan para pendidik di sekolah tersebut mulai serius dan berkosentrasi untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran “sukses menyonsong UN” dalam bentuk pemberian pelajaran tambahan agar semua anak didik kelak bisa lulus ujian nasional (UN) dengan sukses. Nilai UN adalah indikator untuk menentukan kelulusan anak didik dan bagi sekoloah nilai UN menjadi tolak ukur dalam menentukan kualitas atau peringkat sekolah di suatu kota atau dalam provinsi itu sendiri. .
Orang tua dan guru di sekolah tentu juga perlu untuk merespon kedatangan ujian nasional. Tentu saja ada beberapa macam bentuk respon orang tua terhadap kedatangan ujian nasional ini. Yaitu ada orang tua yang peduli dan dan orang tua yang kurang peduli sama sekali.
Orang tua yang peduli atas UN tentu akan ikut mencikaraui atau melakukan campur tangan terhadap cara dan gaya belajar anak- anak mereka. Orang tua yang begini akan ikut mengorbankan waktu dan keuangan buat anak agar bisa sukses dalam menempuh UN kelak. Orang tua yang merasa peduli ini ikut menemani anak dalam belajar dan sampai mencari tahu tentang perkembangan prestasi belajar anak mereka di sekolah.
Secara finansial bahwa orang tua yang peduli terhadap UN ikut menyediakan dana bagi anak- anak mereka agar bisa ikut kegiatan bimbel (bimbingan belajar) di sekolah atau di luar sekolah, serta juga melengkapi sarana belajar mereka. Tentu saja orang tua yang peduli dengan UN adalah orang tua yang terdidik atau mereka yang punya wawasan tentang mendidik.
Sebenarnya tidak ada orang tua yang tidak peduli kepada Ujian Nasional anak anak mereka. Namun karena kurang wawasan dalam mendidik atau rendahnya SDM (sumber daya manusia) ini membuat mereka terlihat kurang peduli atas eksistensi UN bagi anak anak mereka.
Setiap sekolah juga memiliki gaya dalam merespon kedatangan UN bagi anak didik. Biasa sekolah melakukan bimbingan UN berdasarkan kebijakan dan keputusan dari pihak atasan. Misalnya melaksanakan kegiatan belajar ekstra setelah jadwal belajar normal. Belajar ekstra untuk menghadapi UN hanya diberikan untuk mata pelajaran yang tercakup dalam UN. Tahun lalu ada 3 mata pelajaran UN- bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematik dan tahun ini jumlahnya menjadi lipat dua, untuk program IPA seperti fisika, biologi, kimia, matematik, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara itu angka standar kelulusan juga lebih meningkat dan cara belajar siswa apakah meningkat atau jalan di tempat.
Mata pelajaran UN menjadi mata pelajaran favorite dan tentu guru bidang studi tersebut juga mendapat perhatian yang lebih dari guru- guru dan bidang studi UN. Tentu saja ada guru yang tersinggung bila ada anak didik yang menanak tirikan mata pelajaran. Kalau ada maka itulah efek keberadaan UN di dunia pendidikan.
Mata pelajaran UN juga telah dilirik sebagai lahan bisnis lewat kegiatan bimbel (bimbingan belajar). Bimbel yang dikemas secara apik ternyata bisa dijual mahal,missal lewat super camp bimbingan belajar yang harganya bisa jutaan rupiah. Kegiatan ini bisa menyerap sarjana sesuai dengan bidang studi UN, sekaligus untuk menghindari pengangguran tingkat tinggi. Tentu saja kegiatan UN yang berorientasi komersil hanya bisa dijangkau oleh anak didik yang berduit, sementara mereka yang finansialnya pas- pasan mungkin harus gigit jari. Ini juga dampak pembelajaran UN yang kurang pihak kepada orang yang mampu.
Kegiatan belajar tambahan tentu juga memberikan efek positif bagi anak didik yang memiliki motivasi belajar tinggi. Mereka yang lemah motivasinya atau cendrung menyukai belajar di rumah akan merasakan bahwa belajar tambahan menyambut UN di sekolah sore ibarat belajar di camp konsentrasi.
Sekolah berlabel unggul seperti SMA plus, SMA Unggul , SMA akselarasi, dll, tentu saja merancang belajar tambahan agar sukses di UN dengan melibatkan orang tua, komite sekolah, tokoh masyarakat dan alumni untuk mendukung dan memberikan motivasi bagi anak didik supaya bisa lulus UN dengan skor tinggi sebagai harga mati bagi mereka. UN memperoleh respon positive bagi sekolah berlabel unggul. Namun respon bervariasi atas pelaksanaan UN datang dari sekolah SMA dan SMP yang taraf kualitasnya agak rendah atau biasa- bias saja.
Standar skor kelulusan UN selalu meningkat tiap tahun. Anak didik merespon dengan penuh kegelisahan. Bila mereka tidak tidak mampu memperoleh skor minimal untuk standar lulus UN berarti mereka gagal dalam UN dan berarti tidak bisa lulus dari SMA secara normal. Alternative lain mereka bisa mengambil ujian paket C. namun lulus lewat paket C bisa jadi terasa sebagai aib dan memalukan . lulus dengan paket C berarti lulus setaraf dengan orang orang belajar asal asalan dan pernah drop out pada tahun- tahun sebelumnya.atau ijazah (sertifikat) paket C bisa jadi dipandang sebagai ijazah dengan kualitas kelas dua.
Agar anak didik bisa lulus secara normal maka orang tua dan guru- guru , juga para stakeholder pendidikan di sekolah tertentu melakukan rembug rahasia dan keluarlah ungkapan ungkapan penuh prihatin atau pesimis ; “ wah kasihan kita pada anak- anak “ atau ada bisikan “kamu harus pandai pandai ya dan UN”. Pengalaman yang terlihat adalah ada pihak pendidik dan orang tua (berkolaborasi) agar anak didik harus saling mencontek dan saling tolong menolong dalam UN. Adalah suatu fenomena dalam dunia pendidikan bahwa ada beberapa sekolah yang melegalitas kasus contek
Rekayasa untuk meluluskan atau membantu anak didik dalam UN bisa dalam bentuk merapatkan bangku peserta ujian. Mengatur tempat duduk selang seling antara siswa lemah dan siswa yang pintar. Menginstruksikan kepada anak didik agar saling bekerjasama dan tidak kikir selama ujian atau harus pintar- pintar untuk menyebarkan kunci ujian. Malah ada pihak guru atau pihak sekolah yang membocorkan soal ujian , merlonggarkan pengawasan selama ujian, merekayasa kertas lembaran anak didik itu sendiri.cara- cara haram atau illegal ini dilakukan adalah agar anak- anak didik mereka bisa lulus dengan angka tinggi dan sekaligus sekolah yang bersangkutan (SMP, SMA atau MAN) bisa mempertahankan angka palsu sebagai angka prestasi sekolah.
Selama musim UN makin mendekat, maka bagaimana harapan sekolah (guru dan orang tua) apakah ingin anak didik lulus UN dengan penuh tanggung jawab atau lulus UN lewat budaya rekayasa dan mencontek. Ke dua bentuk budaya belajar ini menentukan kualitas bangsa di masa datang. Anak didik akan tumbuh menjadi calon pemimpin bangsa apakah mereka tumbuh lewat nilai kejujuran dan kerja keras atau tumbuh menjadi pemimpin lewat budaya rekayasa dan gemar mencontek. Di pundak mereka nanti nasib bangsa ini berada. .

(Marjohan. Guru SMA Negeri 3 Batusangkar- Program Layanan Keunggulan)

Rabu, 23 Januari 2008

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa
By : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kehadiran orangtua – ayah dan ibu- sangat besar artinya bagi anak. Melalui kehadiran dan interaksi dengan orangtua anak dapat mengenal indahnya dunia dan memahami suka- duka kehidupan ini. Melalui orangtua maka anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya. Untuk selanjutnya melalui orangtua pula seorang anak dapat mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka, akhirnya (dalam usia kanak- kanak) setiap anak mengenal dunia sekolah dan sekaligus menjadsi anggota atau kelompok sosial di sekolah. Di sini mereka mengenal sosok figur atau orang lain yang bisa mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah.
Saat anak belum mengenal dunia sekolah, maka egosentris adalah ciri khas adalah karakter mereka. Apa saja yang ada di seputar jangkauan indera mereka diklaim sebagai miliknya atau dalam konsep kekuasaanya. Namun saat mereka sudah bersentuhan dengan dunia sekolah- seperti taman kanak- kanak- maka karaktere egosentris secara perlahan berkurang dan menghilang. Mereka akhirnya memahami dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai.
Guru lah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua yang di rumah, yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Sangat beruntung bahwa semua guru taman kanak- kanak mendapat respon yang simpatik dari anak- anak akibat positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah tamah dan sangat simpatik atau bersahabat. Karakter yang mereka miliki telah mampu untuk merebut hati anak makhluk- makhluk kecil itu- (anak didik mereka). Sehingga di rumah mereka selalu memuji dan menyanjung kelebihan ibu guru mereka.
Memasuki usia Sekolah Dasar mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia- guru guru , teman dan senior senior mereka- yang lebih bervariasi. Ada yang baik, lembut, penyayang dan yang lebih menyeramkan adalah kalau ada karakter yang galak dan pemarah. Maka tidak heran kalau anak- anak kecil itu mengawali hidup mereka di Sekolah Dasar dengan penuh kecemasan dan ketegangan. Dan mereka masih beruntung bila guru-guru di SD (Sekolah Dasar) kelas satu masih memperlihatkan karakter yang simpatik dan ramah tamah menyerupai karakter guru- guru mereka saat masih di Taman Kanak- Kanak. Namun mimpi buruk akan terjadi bagi anak- anak kecil tersebut apabila mereka harus belajar dan berintegrasi dengan guru- guru kelas satu atau kelas dua SD yang kurang bisa bersimpati dan berempati dan juga kurang ramah di mata anak didik. Maka di sini mulai terjadi kejutan mental yang pertama bagi mereka dalam bentuk ekspressi; menangis, menarik diri, ketakutan dan sampai mengalami ngompol dalam kelas.
Bila kasus ini terjadi pada suatu kelas atau suatu SD , maka adalah sangat ideal bila bapak dan ibu guru segera mengintrospeksi diri agar mereka tidak tampil menakutkan di mata manusia berusial kecil tersebut.
Beruntung bahwa Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dan berakomodasi (mengubah lingkungan) dengan social dan lingkungan fisik. Maka dengan kekuatan dan kemampuan untuk beradaptasi dan berakomodasi anak didik mampu untuk bertahan hidup dan berintegrasi dalam kehidupan sosial di sekolah.
Guru adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didikdalam pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar) mereka memiliki gaya tersendiri. Secara umum ada tiga tipe kategori dari gaya mereka yaitu; gaya demokrasi, gaya otoriter, gaya laizzes faire dan gaya pseudo demokrasi.
Keberadaan guru dengan gaya atau karakter otoriter- memperlihatkan kekuasaan mutlak atas anak didik- selama pelaksanaan PBM dapat mendatangkan mimpi buruk bagi setiap anak didik. Senyum manis dan kata- kata yang lembut merupakan barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter. Guru killer adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter otoriter tersebut.
Sekali lagi bahwa belajar dengan guru yang berkarakter otoriter adalah suatu mimpi buruk bagi anak didik. Suasana kelas tentu saja akan menjadi tenang dan teratur. Gerak laju jarum jam dinding terasa begitu lambat dan lama. Atmosfir ruangan kelas menjadi lebih kaku dan menegangkan dan menakutkan. Guru berkarakter killer atau berkarakter otoriter akan berpotensi untuk melahirkan anak didik yang suka membisu dan penakut. Adalah suatu keputusan yang bijaksana bagi pribadi yang memiliki karakter otoriter untuk tidak menjadi pendidik dimanapun berada, apalagi mengajar untuk Sekolah Dasar, karena keberadaan mereka cendrung merugikan dan merusak pertumbuhan jiwa anak didik.
Pseudo demokrasi adalah berarti “demokrasi yang palsu”. Karakter guru dengan pseudo demokrasi agaknya juga tidak memperoleh simpati di mata anak didik. Soalnya guru dengan karakter begini cendrung memonopoli kekuasaan. Keputusan yang ia buat disosialisasikan kepada anak didik namun keputusan akhir tetap menjadi monopoli mutlaknya.
Guru dengan karakter laissez faire- masa bodoh- cendrung menurunkan kualitas budaya sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila populasi kelas cukup besar. Peranan guru yang berkarakter lassez faire bisa agak bagus apa bila ia mengelola kelas yang berpopulasi kecil. Agaknya guru dengan karakter demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran. Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu mengatasi problema karakter laizzes faire.
Guru yang berkarakter demokrasi adalah guru yang memiliki hati nurani yang tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokrasi dan memiliki wawasan yang tinggi tentu akan mampu memenangkan hati anak didik atau memoltivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya pada hati anak didik disebut sebagai guru yabg baik dan mereka akan dikenang oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang baik.
Setiap anak didik telah banyak mengenal banyak guru dalam hidupnya, ada guru yang pintar dan ada guru yang baik. Sekali lagi bahwa guru yang berkesan bagi mereka adalah guru yang menghadirkan hati atau emosinya saat melaksanakan PBM. Guru yang cerdas atau pintar namun memiliki pribadi yang kaku, mungkin juga kasar, kurang bisa bersimpati, pasti tidak banyak memberi pengaruh kepada anak didik.
Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya. Maka guru- guru yang beginilah yang patut diberi hadiah dengan lagu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kata kata yang diucapkan oleh guru kepada siswa atau anak didik dalam pergaulan mereka di sekolah sangat menentukan masa depan mereka. Kata kata yang diucapkan oleh guru pada anak didik ibarat panah yang lepas dari busur. Kata yang keluar dari mulut guru akan menancap pada hati anak didik. Bila kata- kata tadi melukai hati mereka, maka goresannya akan membekas sampai tua. Sering kata kata yang tidak simpatik dari seorang guru telah menghancurkan semangat hidup mereka. Sebaliknya kata kata yang mampu memberi dorongan semangat juga sangat berarti dalam menumbuh dan mengembangkan semangat hidup- semangat belajar dan bekerja mereka. Maka untuk itu guru perlu menjalin hubungan dengan anak didik lewat kata- kata yang berkualitas.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...