Rabu, 12 Maret 2008

Pornografi Masuk ke Sekolah Lewat Hand Phone dan Internet

Pornografi Masuk ke Sekolah Lewat Hand Phone dan Internet
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kosakata “pornografi” bukanlah kosakata baru. Semua orang sudah mengetahuinya. Anak- anak pra-remaja dan remaja pun sudah mengerti dengan maksud kata pornografi itu. sekarang kosa kata pornografi sudah melebar dan kita juga mendengar kosa kata “pornoaksi”.
Sampai detik ini orang tua di rumah dan guru di sekolah tetap menganggap tabu dengan perkataan dan perbuatan porno. Mereka tetap melarang keberadaan unsur- unsur pornografi dan pornoaksi mendekati anak- anak dan pelajar. Orangtua akan merasa tercoreng mukanya kalau salah satu anggota keluarga terlibat dalam budaya atau dampak pornoaksi, seperti ada anak gadis nya yang menerima tamu laki- laki sambil memakai rok mini pada malam minggu. Atau anak laki- laki nya jalan berpegang tangan dengan gadis lain, dan sampai kepada pelanggaran norma yang lebih berat lainnya.
Dalam pendidikan di rumah tangga, orangtua selalu menekankan pemberian pesan moral dan hukuman pada anggota keluarga agar tidak melakukan unsur- unsur porno- pornoaksi dan pornografi, seperti membuka aurat, menyimpan benda- benda porno- buku porno, majalah porno, vcd porno, dan lain- lain. Rasa ingin tahu, ajakan teman dan pengaruh budaya luarlah yang membuat benda- benda porno menyusup masuk ke dalam rumah secara sembunyi- sembunyi. Benda- benda tersebut adalah seperti majalah, kaset dan dokumen porno yang disimpan serta dirahasiakan oleh anak- anak remaja.
Sangat disayangkan apabila ada orangtua dan orang dewasa dari pihak keluarga yang pura- pura tidak peduli untuk mencegah hadirnya benda- benda porno dalam rumah. Atas nama demokrasi dan keindahan seni kemudian sudi untuk menyimpan dan memamerkan benda- benda porno dalam keluarga.
Sekolah sejak dari dulu tetap commit untuk mengharamkan benda- benda dan unsur- unsur porno hadir dalam lingkungan sekolah. Dahulu, sebelum teknologi dan informasi tidak begitu berkembang, guru-guru sudah melakukan tindakan anti atau kontra terhadap benda- benda dan unsur- unsur pornografi. Secara berkala mereka melakukan razia anti pornografi. Kejahatan siswa dalam hal pornografi pada mulanya adalah seperti menyimpan stensilan- atau tulisan cerita cabul yang diketik dan diperbanyak pada kertas stensil, komik dan novel porno sampai kepada foto- foto porno yang mereka peroleh lewat pedagang koran asongan di terminal bus atau lewat teman dan juga kaset video BF.
Selain itu, siswa remaja yang karena ingin tahu, menyimpan produk pornografi dan alat- alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana) seperti kondom, spiral, dan lain- lain, apabila tertangkap tangan oleh guru- guru menyimpannya tentu akan diproses karena melanggar hukum sekolah. Proses hukumnya bisa melibatkan orangtua dan kalau perlu pihak sekolah memindahkan atau memulangkan siswa yang bersangkutan ke orangtuanya.
Kemudian apalagi ? Begitu kemajuan teknologi informasi semakin pesat maka bentuk atau eksistensi unsur-unsur porno menjadi semakin apik pula dan makin sulit dilacak. Film porno, foto porno, kaset video porno memang jarang lagi dikantongi remaja secara ilegal, karena produk ini sudah kadaluarsa. Maka sekarang produk kepingn vcd porno, dengan kulit berlabel film kartun agar bisa mengelabui pihak yang mencurigai, pada halnya isinya berisi adegan terlarang, secara terang- terangan mudah beredar dan dijual lewat pedagang kaki lima dan siswa yang dilanda gejolak birahi mudah mencarinya.
Hal lain, yang berhubungan dengan pornografi adalah bahwa sekarang orang tua perlu untuk melakukan cek dan ricek kalau ingin menitipkan anak pada sekolah yang berasrama, kecuali kalau kondisi kehidupan anak- anak di asrama cukup kondusif seperti tinggal di rumah sendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa kehidupan siswa yang kurang diawasi dan miskin aktivitas di asrama, maka penghuninya sering dilanda oleh gejolak dorongan libido. Pengalaman seksual yang kurang sehat mudah diperoleh oleh anak- anak yang tinggal di sana.
Siswa yang tinggal di asrama yang kurang terkontrol, dalam usia pubertas yang diiringi oleh dorongan libido yang tinggi, namun mereka kurang terlibat dalam aktivitas olah raga, seni dan kesibukan positif lain, maka siswa penghuni asrama mencari penyaluran libido secara intens. Maka kalau kondisi rumah lebih baik dan orang tua bisa mengembangkan potensial anak, maka mengapa harus mengirim anak ke sekolah dengan asrama yang tidak terjamin kualitas pendidikannya.
Sekarang semua orang tahu bahwa teknologi telekomunikasi semakin canggih, maka produk yang bernama hand-phone menjadi benda yang paling digemari oleh remaja. Kini banyak anak- anak atau remaja yang pintar merayu dan bermohon pada orangtua agar mereka dibelikan hand-phone. Pada mulanya hand-phone dirancang dengan fungsi untuk berkomunikasi. Namun kolaborasi ahli bisnis dan ahli teknologi menciptakan produk hand-phone menjadi semakin menarik, dilengkapi dengan aksesoris; camera, lagu, game, dan fiture yang lain. Maka kemudian fungsi memiliki hand-phone berubah, tidak lagi sebagai sarana berkomunikasi, namun berubah menjadi sarana untuk membentuk life style atau gaya hidup.
Sekarang hand-phone yang pas menurut selera siswa adalah kalau ada kamera, lagu, game dan aksesoris lain. Hand-phone yang seperti ini sangat layak dibawa dan dipamerkan di sekolah, namun kalau desain hand-phone terlalu sederhana maka mereka jadi malu dan ingin untuk menyimpannya dalam tong sampah.
Diam-diam guru di sekolah melihat gerak gerik dan prilaku yang mencurigakan atas prilaku siswa yang memiliki hand-phone berkamera ini. Mereka melakukan razia maka ditemukan sederetan film-film porno dan gambar porno yang mereka saling kirim lewat blue-tooth atau inframerah. Maka guru-guru dengan hati nuraninya sebagai pendidik menjadi amat sedih dan terluka. Ternyata orangtua bisa dikibuli oleh anak mereka sendiri. Segudang janji yang diikrarkan anak sebelum dibelikan hand-phone tidak terbukti.
Berbarengan dengan datangnya teknologi hand-phone maka datang pula teknologi internet. Sarana internet dirasakan amat penting untuk mengakses informasi dan sarana untuk berkomunikasi.
Perpustakaan merupakan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan informasi. Tetapi sarana internet terasa jauh lebih menarik dari pada perpustakaan. Dan sekarang fenomena yang terjadi adalah kehadiran internet telah membuat perpustakaan menjadi sepi dan hanya layak sebagai gudang untuk menyimpan buku- buku. Akibatnya kini banyak perpustakaan yang menjadi sepi oleh pengunjung dan buku- bukunya sendiri mulai menguning dan dipenuhi debu.
Mengapa remaja pergi ke internet? Banyak remaja atau pelajar menjawab bahwa mereka pergi ke internet atau ke warnet (warung internet) untuk mencri ilmu dan informasi. Jawaban mereka 100 % sangat benar, namun kenapa warnet sengaja dirancang dengan bilik- bilik kecil dengan dinding agak tinggi, dari balik dinding bilik kecil tadi terdengar suara penuh curiga dan mata waspada.
Maka begitu mereka selesai mengakses internet lewat mesin yahoo, google dan mesin lain maka akan tersisa kosa kata mesum bahwa remaja- mulai yang bau kencur sampai kepada remaja usia hampir dewasa- baru saja mengkonsumsi gambar, film dan artikel jorok atau porno.
Dahulu ketika zamannya bioskop lagi menjamur, maka unsur- unsur seks lah yang membuat bioskop tersebut jadi ramai oleh pengunjung. Dan sekarang hal itu juga terjadi pada internet. Karena ada unsur- unsur seks, maka internet juga menjadi makin laku.
Namun sekarang bagamana lagi ? Di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru pasti mengharamkan unsur- unur seks atau pornografi menyentuh siswa. Namun di luar rumah dan luar sekolah, yaitu di warnet- wanet unsur- unsur seks dan pornografi begitu mudah diakses dan di download. Kini siapa yang patut mengawasi anak- anak dan remaja tidak ketagihan oleh unsur- unsur pornografi bila mereka berada di luar rumah dan sekolah ?.
Bila kejahatan seksual meningkat di tengah masyarakat, maka dapat diprediksi bahwa keberadaan warnet ikut berpartisipasi untuk menyuburkan budaya pornoaksi dan pornografi. Rangsangan- rangsangan pornografi lewat internet telah berpotensi untuk meningkatkan gelora libido mereka yang tidak terkontrol, pada akhirnya bermuara pada kejahatan seksual; incest, kehamilan di luar nikah, pengguguran kandungan, pelecehan seksual dan lain- lain. Orang tua dan guru tentu selalu menyerukan dan berpesan agar anak- anak mereka selalu ingat dengan ungkapan; say no to situs porno. Namun untuk pengawasan yang lebih kompeten di luar rumah dan sekolah tentu adalah tanggung jawab pemerintah dan pengelola internet itu sendiri.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Selasa, 12 Februari 2008

Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah


Merokok Sudah Jadi Gaya Hidup di Sekolah

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Pelayanan Keunggulan)

Ada beberapa undang- undang atau peraturan yang tidak tertulis di sekolah, sudah disepakati dan diketahui oleh orangtua, anak didik, pendidik (guru) dan masyarakat. Peraturan- peraturan tersebut kalau dirunut dari skala larangan paling berat sampai kepada larangan ringan adalah seperti: tidak boleh melakukan pergaulan bebas, narkoba, minuman keras (miras), berjudi, pornografi, pornoaksi, merokok, memakai perhiasan berlebihan, berambut panjang, memakai seragam sekolah yang tidak pantas, sampai kepada mencontek selama ujian. Dan larangan ringan terbaru adalah tidak boleh membawa hand phone ke sekolah karena bisa mengganggu PBM- proses belajar mengajar.
Mengkonsumsi rokok adalah dilarang di sekolah. Ini sudah diketahui oleh semua anak didik, guru dan orangtua siswa. Namun fenomena di negara kita dan juga fenomena di lingkungan sekolah bahwa hukum atau peraturan hanya untuk dipatuhi oleh kalangan bawah, kalau di sekolah adalah untuk anak didik. Seperti larangan merokok, ini hanya berlaku dan harus dipatuhi oleh anak didik. Kalau mereka ketahuan melanggar –merokok dalam lingkungan sekolah malah juga untuk luar sekolah- maka berarti mereka membuat kasus pelanggaran peraturan sekolah. Kasus pelanggaran tatatertib sekolah harus diproes mulai dari tingkat wali kelas, guru BK (Bimbingan Konseling), pihak Kepala Sekolah. Dan kalau tidak bisa dibina maka mereka dibinasakan- disuruh pindah sekolah atau dipulangkan ke orangtua.
Pelaksanaan larangan merokok tentu saja bervariasi wujudnya pada banyak sekolah. Ada sekolah yang melaksanakan dengan serius dan penuh tanggung jawab dan ada pula yang menerapkannya penuh pura-pura dan sekedar basa- basi. Sekolah yang sangat peduli dengan kualitas pendidikan, umumnya tidak mengenal basa basi dalam menegakan disiplin dan wibawa sekolah. Namun bagi sekolah yang susah payah untuk meraih prestasimis maka disiplin atau peraturan sekolah bisa ditawar- juga bisa sekedar basa-basi.
Sekolah yang siswanya, apa lagi kalau guru gurunya, gemar merokok dapat dipantau dan dijumpai di mana- mana. Seringkali sarana tempat merokok mereka adalah di kantin atau di warung seputar sekolah milik masyarakat lokal. Beberapa anak didik sengaja membolos beberapa menit atau mencari alasan untuk keluar kelas dan menyelinap ke dalam warung dekat sekolah agar bisa mengepulkan asap rokok untuk memperoleh decak kagum dari teman- teman yang juga merintis diri untuk jadi perokok. Sebagian yang lain sengaja memilih tempat yang agak jauh dari sekolah agar bisa merokok seperti yang dianjurkan oleh puluhan sampai ratusan iklan rokok yang dikemas sangat menarik dan diiringi rayuan seperti : merokok untuk mewujudkan selera pria sejati.
Ada kritikan yang patut kita lontarkan kepada pemilik warung yang melegalkan rokok untuk siswa di seputar sekolah. Silahkan mencari rezki lewat berdagang dengan menyediakan kebutuhan makan minum warga sekolah, tetapi jangan mencari untung lewat bisnis rokok karena merokok adalah illegal untuk anak didik dan warga sekolah.
Tentu saja semua anak didik sudah tahu bahwa mereka tidak boleh merokok. Tetapi sebahagian mereka menjadi bingung memahami nasehat yang berbunyi seperti ”merokok dapat merusak kesehatan”. Namun model atau suri teladan mereka di rumah (orang tua) dan di sekolah (guru- guru) melanggar nasehat ini. Dan akhirnya sebahagian mereka yang lagi dilanda kebingungan untuk mencoba merokok atau tidak perlu merokok- merintis jalan untuk menjai perokok sejati.
Larangan merokok tampaknya hanya ditujukan untuk anak didik, bagaimana untuk guru- guru ? larangan merokok tidak berlaku untuk guru guru perokok. Barangkali karena peraturan dan larangan dirancang oleh guru dan harus dipatuhi oleh anak didik. Sementara guru- guru sendiri seolah olah memiliki hak kebal hukum. Pantaslah banyak guru yang semau gue merkok di lingkungan sekolah.
Guru perokok yang masih bersembunyi saat merokok masih bisa dianggap sebagai guru perokok yang memiliki sopan santun. Namun bagaimana dengan guru yang memperlihatkan kekuasaannya , dengan rasa enteng minta tolong belikan rokok pada anak didik dan merokok di depan keramaian murid seenaknya. Dan ada guru yang dengan arrogannya merokok di dalam kelas saat melaksanakan PBM- Proses Belajar Mengajar. Bagi guru yang begini maka berlakulah pribahasa yang berbunyi : guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau guru menjai suri teladan yang jelek maka tentu kelak anak didik mereka menjadi lebih jelek lagi. Kalau guru adalah perokok yang hebat dalam kelas maka jangan salahkan kalau kelak ada anak didik yang menjadi pemakai narkoba dan peminum miras- minuman keras.
Melihat fenomena di atas maka dewasa ini setiap anak didik perlu untk memiliki daya tahan yang lebih hebat untuk tidak merokok. Karena ajakan untuk merokok- memasukan asap rokok kretek atau zat- zat beracun ke dalam paru- paru datang dari berbagai pihak. Saat mereka tahu dengan bahaya merokok, namun di rumah mata mereka menatap orang yang mereka hargai- bapak, kakak, paman, kakek dan tetangga- menghisap rokok dengan ekspresi kenikmatan yang penuh engan kepalsuan. Di sekolah mereka juga terganggu oleh gaya guru yang dengan enteng menghisap rokok.
Siswa yang tidak pernah merokok pun akhirnya memperoleh pressure atau tekanan dari teman sebaya yang sudah menjadi perokok junior. Mereka yang tidak merokok akan diberi ejekan- hukuman psikologis- sebagai orang yang tidak jantan. ”hanya orang perempuanlah yang tidak merokok, atau dia tidak merokok karena pingin naik haji- alias ia orang yang amat kikir”. Tekanan dalam bentuk ejkan sangat mujarab utuk membuat anak didik (teman sebaya) segera mencoba merokok sampai akhirnya juga jadi pencandu rokok.
Andaikata ada yang tidak percaya dengan judul tulisan ini, maka marilah kita kunjungi sekolah- sekolah SLTA – SMA, SMK dan Madrasah- di beberapa daerah pada saat sekolah usai. Kita akan melihat siswa-siswa bubar, melangkah menuju rumah, maka pasti terlihat beberapa siswa mulai memegang bungkus rokok. Mereka saling bercanda dan melempar ejekan pada yang tidak merokok atau meledek teman yang merek rokoknya kurang gaul.
Memang merokok kelihatan sudah menjadi gaya hidup bagi sebahagian guru dan sebahagian anak didik. Fenomena para perokok adalah bila mereka saling berjumpa maka mereka saling meminta atau menawarkan korek api. Atau sebelum mereka memulai percakapan mereka saling menyodorkan bungkus rokok kretek sebagai tanda persahabatan yang tulus. Ini adalah bukti bahwa merokok bagian dari gaya hidup. Sambil mengepulkan asap nikotin dari bibir yang hitam maka barulah meluncur kalimat- kalimat pergaulan mereka.
Sepuluh atau dua puluh tahun yang silam jumlah produksi rokok tentu saja tidak sebanyak yang sekarang. Namun kini produksi rokok sudah amat mengkhawatirkan dari sudut jumlah rokok dan jumlah merek rokok itu sendiri. Rokok rokok- pemilik industri rokok- tersebut saling berlomba untuk menarik dan mengajak semua orang agar segera mejadi perokok sejati. Iklan rokok dengan bahasa yang indah- membujuk dan mengajak semua orang untuk jadi perokok- terpajang didepan mata dimana- mana; di gardu polisi lalulintas, pada jalan raya utama, di tempat keramaian anak anak muda. Malah industri rokok tidak segan- segan bersedia menjai sponsor atau donator dari berbagai kegiatan sekolah selagi spandu nama rokok mereka tidak lupa untuk dipajang.
Masih adakah orang yang peduli sekarang untuk menasehati anak didik dan guru- guru untuk tidak merokok. Terus terang bahwa merokok sebagai gaya hidup tidak memberikan manfaat apa- apa, kecuali hanya memberi mudharat dalam meracuni paru- paru anak anak muda. Memilih merokok sebagai gaya hidup sangat merugikan diri karena mendatangkan penyakit. Menjadi penghisap rokok hanya memberikan keuntungan bagi pemilik pabrik rokok yang punya niat tidak baik yaitu untuk meraup laba dan ikhlas membuat pencandu rokok untuk segera sakit atau pelan- pelan bergerak menuju kematian. Bukankah sudah cukup banyak jumlah orang yang meninggal karena mengalami sakit paru- paru gara- gara mejadi pencandu rokok yang hebat dalam hidupnya. Maka kini fikirkanlah untuk menjadikan merokok sebagai gaya hidup di sekolah.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Rabu, 06 Februari 2008

Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan

Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan

Oleh: Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Semua orang setuju bahwa ilmu adalah kekuatan. Agama Islam juga mengakui dan menganjurkan kepada kita (pemeluknya) untuk selalu mencari ilmu. Ada beberapa ajakan seperti ; Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, dan UNESCO – salah satu badan PBB- juga merespon dengan semboyan “life long education” atau pendidikan seumur hidup.
Kita tidak tahu bahwa apakah semboyan yang mengajak anak- anak atau generasi muda untuk mencari ilmu sebanyak mungkin dalam hayat ini, masih berkumandang di rumah- rumah dari bibir orang tua pada anaknya atau sudah tidak ada lagi. Namun dari ungkapan lama dalam memberi motivasi tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang berbunyi; ”gantungkanlah cita-cita mu setinggi langit” . Dari ungkapan di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap orang perlu mempunyai cita- cita yang tinggi dan juga perlu untuk mencari ilmu dan pengalaman.
Orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang brguna bagi nusa, bangsa dan agama”.
Saat anak melangkah memasuki dunia pendidikan, mulai dari bangku TK, SD, SMP, SLTA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi, cita- cita yang terlalu umum tadi berubah menjadi cita-cita yang lebih spesifik. Begitu ditanya tentang cita- cita anak, maka ia (mereka) dituntun agar memilih menjadi dokter, insinyur, guru, hakim, polisi, tentara, dan lain- lain. Cita cita tentang profesi ini bisa disederhanakan menjadi ”bila besar kelak aku ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau pegawai swasta”. Secara tidak langsung guru- guru sudah menanamkan cita- cita dalam jiwa anak agar bila dewasa mereka bisa menjadi PNS atau pegawai kantoran, dan ini pulalah yang bernama cita- cita. Sementara itu menjadi pedagang, penulis, ulama, tokoh masyarakat bukan dipandang sebagai cita- cita. Lebih lanjut menjadi petani, nelayan dan buruh (oleh orang tua atau lingkungan) diperkenalkan sebagai pekerjaan atau cita- cita rendah dan cita- cita kurang mulia..
Kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Segala teori dan artikel tentang pendidikan dibaca dan diterapkan dan fasilits belajar untuk anak dilengkapi.
Pendidikan setiap anak sejak dari tingkat SD sampai tamat Perguruan Tinggi bisa menghabiskan rentang waktu 17 atau 18 tahun. Anak- anak yakin bahwa begitu tamat dari Perguruan Tinggi, memperoleh gelar sarjana, maka kerja, seperti menjadi PNS, pegawai BUMN dan swasta atau kantor, akan mudah diperoleh. Posisi PNS dan kantoran adalah posisi yang diperkenalkan oleh orang tua atau lingkungan sebagai posisi yang kerjanya sangat mudah, karena duduk atau goyang kaki gaji tetap keluar.
Fenomena dalam beberapa tahun silam bila seseorang tamat Perguruan Tinggi, apalagi bila IP (Indeks Prestasi) juga tinggi, bisa menjanjikan bahwa PNS dan kerja kantoran mampu menampung semua lulusan Perguruan Tinggi. Malah untuk PNS masih menerima jatah sisipan apalagi jatah PNS pesanan melalui memo agar keponakan, adik atau anak seorang pejabat bisa jadi PNS walau kualitasnya sangat mengecewakan. Maka jadi gemuklah populasi PNS dan susah payah pula negara untuk mencari anggaran guna menggajinya mereka walau job descriptionnya serba tidak jelas. Namun dalam sistem manajemen pemerintahan yang lebih ramping- seperti sekarang- maka menjadi PNS walau gajinya masih standar atau kadang kala masih dibawah standar, kebanyakan sarjana lulusan Perguruan Tinggi, termasuk Universitas favorit, masih bermimpi untuk bisa jadi PNS.
Begitu lulus dari Perguruan Tinggi, banyak sarjana potensial yang hanya mampu membuat surat lamaran atau menunggu lowongan agar bisa mengikuti test penerimaan PNS. Bila gagal mereka rela untuk menjadi pengangguran intelektual. Adalah fenomena bahwa datang bertubi- tubi serangan dan kecaman kepada dunia pendidikan- kurikulum yang miskin dengan link and match, dan kebijakan pemerintah. Yang paling parah adalah hujatan kepada lembaga Perguruan Tinggi yang hanya mampu menghasilkan sarjana PNS oriented. Padahal semangat untuk menjadi PNS dalam wujud cita-cita menjdi dokter, hakim, guru, dan lain- lain adalah gara- gara suksesnya kolaborasi antara orang tua dan guru dalam membangun image PNS, mulai dari guru TK, SD, SMP sampai kepada guru SLTA dan dosen.
Saudara- saudara kita yang gagal atau drop out dari sekolah ketika di SD, SMP, atau SLTA mungkin tidak mengenal untuk menjadi PNS seperti impian sarjana lulusan Universitas (perguruan tinggi) se Indonesia. Mereka yang drop- out tentu disebabkan oleh seribu satu hal, seperti kesulitan ekonomi orang tua, kehilangan motivasi belajar, buruknya budaya belajar di rumah atau di sekolah, dan sampai kepada gara- gara broken home. Mereka yang drop out saat di SLTA atau pada sekolah sebelumnya, tentu mereka tidak mungkin bisa studi di Perguruan Tinggi dan juga tidak mengenal apa itu universitas dan siapa itu dosen atau mata kuliahnya.
Namun saudara kita yang drop out atau putus sekolahi, sebahagian mereka mampu mengumpulkan energi hidup dan membentuk motivasi untuk kehidupan. Motivasi yang datang dari dalam diri sendiri atau yang datang dari orang yang punya pengalaman sukses, mereka itulah yang menjadi sumber inspirasi atau dosen bagi mereka yang belajar dalam universitas kehidupan ini.
Bertukar atau berbagi pengalaman hidup dengan kakak, paman, famili, tetangga dan pengalaman orang lain secara langsung bisa lebih baik dari teori yang diberikan oleh profesor atau doktor di universitas yang nyata. Meskipun mereka tidak belajar atau kuliah dengan dosen atau professor di unversitas yang terakreditasi baik, tetapi berbagi pengalaman dengan orang sukses adalah juga berarti terlibat langsung dalam perkuliahan ala Socrates dalam zaman Yunani kuno dengan dosen di universitas kehidupan.
Menuntut ilmu di universitas kehidupan, telah membuat orang bisa memiliki tekad hidup yang kuat. Mereka jadi berani untuk pergi merantau, berani untuk mencoba dan berani untuk menanggung resiko. Adalah bentuk pekerjaan lulusan dari niversitas kehidupan seperti menjadi petani, beternak, bertukang, dan membuka usaha konveksi telah mampu menghidupi ribuan atau bahkan jutaan orang se Indonsia. Kemudian ada orang yang hanya belajar secara alami- atau diistilahkan dengan belajar di Universitas kehidupan- mampu menjadi orang yang sukses lewat membuka toko, restaurant, usaha konveksi, catering. Dan ini adalah bentuk dari profesi yang lahir dari ide- ide kreatif. Profesi ini tidak mungkin ada (atau apakah ada) dalam daftar cita- cita siswa SLTA saat mengisi formulir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) ?
Berbagai perguruan tinggi (universitas) sekarang seolah- olah hanya mampu melahirkan sarjana yang kaya dengan teori namun bingung dalam menatap masa depan. Sementara orang yang lulus dari universitas kehidupan telah melahirkan orang- orang yang berjiwa kuat. Kalau begitu salahkah menuntut ilmu di univeritas yang nyata ?
Menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi adalah keputusan yang sangat baik dan lebih baik lagi kalau menuntut ilmu di perguruan tinggi favorite dan menata cita- cita atau rencana kehidupan yang lebih nyata. Ibarat cita- cita saudara kita yag sukses dari pengalaman hidup (universitas kehidupan) mereka sukses bukan lewat PNS, BUMN, pegawai swasta atau kerja kantoran.
Adalah sangat penting bagi setiap siswa sejak dari SLTA untuk melakukan eksplorasi atau memperluas jelajah mental melalui pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Sebagai siswa atau mahasiswa mereka tidak harus lagi membuang-buang waktu setelah menekuni teori tentang kehidupan, rumus dan tugas setiap mata pelajaran. Juga penting kalau mereka mengembangkan diri dan mencoba seribu satu macam kegiatan yang berhubungan dengan kecakapan hidup. Maka sekarang tidak perlu lagi merasa gengsi untuk terjun ke sawah, ke ladang, ke kolam ikan, ke padang rumput untuk belajar tentang life skill. Atau menjalankan traktor, memasak di restauran dan harus merasa malu kalau hanya pandai memanjakan kulit dan membiarkan orang tua melepuh badanya terbakar matahari. Sikap manja dan cengeng sungguh tidak bermanfaat.
Bila guru- guru dan dosen hanya memberi teori di sekolah dan universitas maka cobalah sempurnakan melalui pengalaman hidup, bertukar fikiran dengan oang- orang sukses dari universitas kehidupan. Mereka adalah seperti pemilik rumah makan, pengumpul komoditas ekspor, pengusaha rice milling, kyai atau ulama bear dan- lain lain. Kemudian renungankan mengapa dan bagaimana mereka bisa jadi sukses.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)























Selasa, 29 Januari 2008

Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek


Sebentar Lagi Ujian Nasional, Jangan Lupa Merekayasa atau Mencontek

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Judul di atas bukan mengajak siswa dan stakeholder pendidikan melakukan hal yang demikian, karena bertentangan dengan etika pendidikan. Namun berharap agar bersikap kontra terhadap judul di atas.
Ujian nasional sudah menjadi fenomena dalam pembicaraan orang tua, guru, anak didik dan para ahli pendidikan sampai kepada pihak pemerintah di level nasional. Bila semester ke dua datang (bulan Januari sampai Juni) maka setiap sekolah khususnya SMA dan para pendidik di sekolah tersebut mulai serius dan berkosentrasi untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran “sukses menyonsong UN” dalam bentuk pemberian pelajaran tambahan agar semua anak didik kelak bisa lulus ujian nasional (UN) dengan sukses. Nilai UN adalah indikator untuk menentukan kelulusan anak didik dan bagi sekoloah nilai UN menjadi tolak ukur dalam menentukan kualitas atau peringkat sekolah di suatu kota atau dalam provinsi itu sendiri. .
Orang tua dan guru di sekolah tentu juga perlu untuk merespon kedatangan ujian nasional. Tentu saja ada beberapa macam bentuk respon orang tua terhadap kedatangan ujian nasional ini. Yaitu ada orang tua yang peduli dan dan orang tua yang kurang peduli sama sekali.
Orang tua yang peduli atas UN tentu akan ikut mencikaraui atau melakukan campur tangan terhadap cara dan gaya belajar anak- anak mereka. Orang tua yang begini akan ikut mengorbankan waktu dan keuangan buat anak agar bisa sukses dalam menempuh UN kelak. Orang tua yang merasa peduli ini ikut menemani anak dalam belajar dan sampai mencari tahu tentang perkembangan prestasi belajar anak mereka di sekolah.
Secara finansial bahwa orang tua yang peduli terhadap UN ikut menyediakan dana bagi anak- anak mereka agar bisa ikut kegiatan bimbel (bimbingan belajar) di sekolah atau di luar sekolah, serta juga melengkapi sarana belajar mereka. Tentu saja orang tua yang peduli dengan UN adalah orang tua yang terdidik atau mereka yang punya wawasan tentang mendidik.
Sebenarnya tidak ada orang tua yang tidak peduli kepada Ujian Nasional anak anak mereka. Namun karena kurang wawasan dalam mendidik atau rendahnya SDM (sumber daya manusia) ini membuat mereka terlihat kurang peduli atas eksistensi UN bagi anak anak mereka.
Setiap sekolah juga memiliki gaya dalam merespon kedatangan UN bagi anak didik. Biasa sekolah melakukan bimbingan UN berdasarkan kebijakan dan keputusan dari pihak atasan. Misalnya melaksanakan kegiatan belajar ekstra setelah jadwal belajar normal. Belajar ekstra untuk menghadapi UN hanya diberikan untuk mata pelajaran yang tercakup dalam UN. Tahun lalu ada 3 mata pelajaran UN- bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematik dan tahun ini jumlahnya menjadi lipat dua, untuk program IPA seperti fisika, biologi, kimia, matematik, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara itu angka standar kelulusan juga lebih meningkat dan cara belajar siswa apakah meningkat atau jalan di tempat.
Mata pelajaran UN menjadi mata pelajaran favorite dan tentu guru bidang studi tersebut juga mendapat perhatian yang lebih dari guru- guru dan bidang studi UN. Tentu saja ada guru yang tersinggung bila ada anak didik yang menanak tirikan mata pelajaran. Kalau ada maka itulah efek keberadaan UN di dunia pendidikan.
Mata pelajaran UN juga telah dilirik sebagai lahan bisnis lewat kegiatan bimbel (bimbingan belajar). Bimbel yang dikemas secara apik ternyata bisa dijual mahal,missal lewat super camp bimbingan belajar yang harganya bisa jutaan rupiah. Kegiatan ini bisa menyerap sarjana sesuai dengan bidang studi UN, sekaligus untuk menghindari pengangguran tingkat tinggi. Tentu saja kegiatan UN yang berorientasi komersil hanya bisa dijangkau oleh anak didik yang berduit, sementara mereka yang finansialnya pas- pasan mungkin harus gigit jari. Ini juga dampak pembelajaran UN yang kurang pihak kepada orang yang mampu.
Kegiatan belajar tambahan tentu juga memberikan efek positif bagi anak didik yang memiliki motivasi belajar tinggi. Mereka yang lemah motivasinya atau cendrung menyukai belajar di rumah akan merasakan bahwa belajar tambahan menyambut UN di sekolah sore ibarat belajar di camp konsentrasi.
Sekolah berlabel unggul seperti SMA plus, SMA Unggul , SMA akselarasi, dll, tentu saja merancang belajar tambahan agar sukses di UN dengan melibatkan orang tua, komite sekolah, tokoh masyarakat dan alumni untuk mendukung dan memberikan motivasi bagi anak didik supaya bisa lulus UN dengan skor tinggi sebagai harga mati bagi mereka. UN memperoleh respon positive bagi sekolah berlabel unggul. Namun respon bervariasi atas pelaksanaan UN datang dari sekolah SMA dan SMP yang taraf kualitasnya agak rendah atau biasa- bias saja.
Standar skor kelulusan UN selalu meningkat tiap tahun. Anak didik merespon dengan penuh kegelisahan. Bila mereka tidak tidak mampu memperoleh skor minimal untuk standar lulus UN berarti mereka gagal dalam UN dan berarti tidak bisa lulus dari SMA secara normal. Alternative lain mereka bisa mengambil ujian paket C. namun lulus lewat paket C bisa jadi terasa sebagai aib dan memalukan . lulus dengan paket C berarti lulus setaraf dengan orang orang belajar asal asalan dan pernah drop out pada tahun- tahun sebelumnya.atau ijazah (sertifikat) paket C bisa jadi dipandang sebagai ijazah dengan kualitas kelas dua.
Agar anak didik bisa lulus secara normal maka orang tua dan guru- guru , juga para stakeholder pendidikan di sekolah tertentu melakukan rembug rahasia dan keluarlah ungkapan ungkapan penuh prihatin atau pesimis ; “ wah kasihan kita pada anak- anak “ atau ada bisikan “kamu harus pandai pandai ya dan UN”. Pengalaman yang terlihat adalah ada pihak pendidik dan orang tua (berkolaborasi) agar anak didik harus saling mencontek dan saling tolong menolong dalam UN. Adalah suatu fenomena dalam dunia pendidikan bahwa ada beberapa sekolah yang melegalitas kasus contek
Rekayasa untuk meluluskan atau membantu anak didik dalam UN bisa dalam bentuk merapatkan bangku peserta ujian. Mengatur tempat duduk selang seling antara siswa lemah dan siswa yang pintar. Menginstruksikan kepada anak didik agar saling bekerjasama dan tidak kikir selama ujian atau harus pintar- pintar untuk menyebarkan kunci ujian. Malah ada pihak guru atau pihak sekolah yang membocorkan soal ujian , merlonggarkan pengawasan selama ujian, merekayasa kertas lembaran anak didik itu sendiri.cara- cara haram atau illegal ini dilakukan adalah agar anak- anak didik mereka bisa lulus dengan angka tinggi dan sekaligus sekolah yang bersangkutan (SMP, SMA atau MAN) bisa mempertahankan angka palsu sebagai angka prestasi sekolah.
Selama musim UN makin mendekat, maka bagaimana harapan sekolah (guru dan orang tua) apakah ingin anak didik lulus UN dengan penuh tanggung jawab atau lulus UN lewat budaya rekayasa dan mencontek. Ke dua bentuk budaya belajar ini menentukan kualitas bangsa di masa datang. Anak didik akan tumbuh menjadi calon pemimpin bangsa apakah mereka tumbuh lewat nilai kejujuran dan kerja keras atau tumbuh menjadi pemimpin lewat budaya rekayasa dan gemar mencontek. Di pundak mereka nanti nasib bangsa ini berada. .

(Marjohan. Guru SMA Negeri 3 Batusangkar- Program Layanan Keunggulan)

Rabu, 23 Januari 2008

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa

Karakter Guru Berpengaruh Terhadap Masa Depan Siswa
By : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Kehadiran orangtua – ayah dan ibu- sangat besar artinya bagi anak. Melalui kehadiran dan interaksi dengan orangtua anak dapat mengenal indahnya dunia dan memahami suka- duka kehidupan ini. Melalui orangtua maka anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan bahasanya. Untuk selanjutnya melalui orangtua pula seorang anak dapat mengenal sosial atau mengenal orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia anak dan makin luasnya eksplorasi mereka, akhirnya (dalam usia kanak- kanak) setiap anak mengenal dunia sekolah dan sekaligus menjadsi anggota atau kelompok sosial di sekolah. Di sini mereka mengenal sosok figur atau orang lain yang bisa mereka kagumi, takuti, segani yang mereka panggil sebagai guru yang punya peran sebagai orang tua mereka di sekolah.
Saat anak belum mengenal dunia sekolah, maka egosentris adalah ciri khas adalah karakter mereka. Apa saja yang ada di seputar jangkauan indera mereka diklaim sebagai miliknya atau dalam konsep kekuasaanya. Namun saat mereka sudah bersentuhan dengan dunia sekolah- seperti taman kanak- kanak- maka karaktere egosentris secara perlahan berkurang dan menghilang. Mereka akhirnya memahami dan mengenal realita sosial, harus bisa menerima posisi kalah atau menang, bertentangan atau berdamai.
Guru lah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua yang di rumah, yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Sangat beruntung bahwa semua guru taman kanak- kanak mendapat respon yang simpatik dari anak- anak akibat positif dari karakter atau prilaku guru yang ramah tamah dan sangat simpatik atau bersahabat. Karakter yang mereka miliki telah mampu untuk merebut hati anak makhluk- makhluk kecil itu- (anak didik mereka). Sehingga di rumah mereka selalu memuji dan menyanjung kelebihan ibu guru mereka.
Memasuki usia Sekolah Dasar mereka harus berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia- guru guru , teman dan senior senior mereka- yang lebih bervariasi. Ada yang baik, lembut, penyayang dan yang lebih menyeramkan adalah kalau ada karakter yang galak dan pemarah. Maka tidak heran kalau anak- anak kecil itu mengawali hidup mereka di Sekolah Dasar dengan penuh kecemasan dan ketegangan. Dan mereka masih beruntung bila guru-guru di SD (Sekolah Dasar) kelas satu masih memperlihatkan karakter yang simpatik dan ramah tamah menyerupai karakter guru- guru mereka saat masih di Taman Kanak- Kanak. Namun mimpi buruk akan terjadi bagi anak- anak kecil tersebut apabila mereka harus belajar dan berintegrasi dengan guru- guru kelas satu atau kelas dua SD yang kurang bisa bersimpati dan berempati dan juga kurang ramah di mata anak didik. Maka di sini mulai terjadi kejutan mental yang pertama bagi mereka dalam bentuk ekspressi; menangis, menarik diri, ketakutan dan sampai mengalami ngompol dalam kelas.
Bila kasus ini terjadi pada suatu kelas atau suatu SD , maka adalah sangat ideal bila bapak dan ibu guru segera mengintrospeksi diri agar mereka tidak tampil menakutkan di mata manusia berusial kecil tersebut.
Beruntung bahwa Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk beradaptasi (menyesuaikan diri) dan berakomodasi (mengubah lingkungan) dengan social dan lingkungan fisik. Maka dengan kekuatan dan kemampuan untuk beradaptasi dan berakomodasi anak didik mampu untuk bertahan hidup dan berintegrasi dalam kehidupan sosial di sekolah.
Guru adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didikdalam pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar) mereka memiliki gaya tersendiri. Secara umum ada tiga tipe kategori dari gaya mereka yaitu; gaya demokrasi, gaya otoriter, gaya laizzes faire dan gaya pseudo demokrasi.
Keberadaan guru dengan gaya atau karakter otoriter- memperlihatkan kekuasaan mutlak atas anak didik- selama pelaksanaan PBM dapat mendatangkan mimpi buruk bagi setiap anak didik. Senyum manis dan kata- kata yang lembut merupakan barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter. Guru killer adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter otoriter tersebut.
Sekali lagi bahwa belajar dengan guru yang berkarakter otoriter adalah suatu mimpi buruk bagi anak didik. Suasana kelas tentu saja akan menjadi tenang dan teratur. Gerak laju jarum jam dinding terasa begitu lambat dan lama. Atmosfir ruangan kelas menjadi lebih kaku dan menegangkan dan menakutkan. Guru berkarakter killer atau berkarakter otoriter akan berpotensi untuk melahirkan anak didik yang suka membisu dan penakut. Adalah suatu keputusan yang bijaksana bagi pribadi yang memiliki karakter otoriter untuk tidak menjadi pendidik dimanapun berada, apalagi mengajar untuk Sekolah Dasar, karena keberadaan mereka cendrung merugikan dan merusak pertumbuhan jiwa anak didik.
Pseudo demokrasi adalah berarti “demokrasi yang palsu”. Karakter guru dengan pseudo demokrasi agaknya juga tidak memperoleh simpati di mata anak didik. Soalnya guru dengan karakter begini cendrung memonopoli kekuasaan. Keputusan yang ia buat disosialisasikan kepada anak didik namun keputusan akhir tetap menjadi monopoli mutlaknya.
Guru dengan karakter laissez faire- masa bodoh- cendrung menurunkan kualitas budaya sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila populasi kelas cukup besar. Peranan guru yang berkarakter lassez faire bisa agak bagus apa bila ia mengelola kelas yang berpopulasi kecil. Agaknya guru dengan karakter demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran. Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu mengatasi problema karakter laizzes faire.
Guru yang berkarakter demokrasi adalah guru yang memiliki hati nurani yang tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokrasi dan memiliki wawasan yang tinggi tentu akan mampu memenangkan hati anak didik atau memoltivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya pada hati anak didik disebut sebagai guru yabg baik dan mereka akan dikenang oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang baik.
Setiap anak didik telah banyak mengenal banyak guru dalam hidupnya, ada guru yang pintar dan ada guru yang baik. Sekali lagi bahwa guru yang berkesan bagi mereka adalah guru yang menghadirkan hati atau emosinya saat melaksanakan PBM. Guru yang cerdas atau pintar namun memiliki pribadi yang kaku, mungkin juga kasar, kurang bisa bersimpati, pasti tidak banyak memberi pengaruh kepada anak didik.
Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya. Maka guru- guru yang beginilah yang patut diberi hadiah dengan lagu “guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kata kata yang diucapkan oleh guru kepada siswa atau anak didik dalam pergaulan mereka di sekolah sangat menentukan masa depan mereka. Kata kata yang diucapkan oleh guru pada anak didik ibarat panah yang lepas dari busur. Kata yang keluar dari mulut guru akan menancap pada hati anak didik. Bila kata- kata tadi melukai hati mereka, maka goresannya akan membekas sampai tua. Sering kata kata yang tidak simpatik dari seorang guru telah menghancurkan semangat hidup mereka. Sebaliknya kata kata yang mampu memberi dorongan semangat juga sangat berarti dalam menumbuh dan mengembangkan semangat hidup- semangat belajar dan bekerja mereka. Maka untuk itu guru perlu menjalin hubungan dengan anak didik lewat kata- kata yang berkualitas.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Selasa, 22 Januari 2008

HIDUP DAMAI DI TEMPAT KOS


HIDUP DAMAI DI TEMPAT KOS
Oleh : Marjohan

Tidak semua orang tua mampu untuk menyediakan satu kamar untuk setiap anak. Tentu saja ini semua karena keterbatasan dana. Rata-rata orang tua hanya menyediakan satu kamar saja untuk ditempati oleh beberapa orang anak.
Hidup sekamar dengan adik atau dengan kakak tidak menjadi soal. Sebab bila ada problem kita bisa langsung mengadakan rembug, atau campur tangan orang tua dapat meredakan ketegangan kita bila telah memuncak. Tetapi kita tidak mungkin hidup begitu terus. Suatu saat kita musti angkat kaki, meninggalkan rumah, mungkin karena hendak menyambung studi atau karena kita telah mendapat kerja.
Mencari tempat kos merupakan tujuan pertama. Meski ada famili menawari kita untuk tinggal disana, tetapi rata-rata tinggal di luar, ditempat kos, jauh lebih enak dan aman. Sedangkan tinggal bersama famili ada resikonya, paling kurang kita musti bisa berbasa-basi.
Tidak ada problem bagi orang yang punya banyak duit, sebab ia bisa mengontrak kamar sendiri dan hidup dengan tenang, tanpa ada campur tangan orang lain. Sedangkan bila kita patungan untuk mengontrak kamar resikonya bisa fifty-fifty, sesuai dengan jumlah anggota 2, 3 atau 4 orang.
Rata-rata kamar, tempat kos, yang dicari mempunyai syarat. Harus ada air dan ada listrik. Biasanya syarat ini sudah oke untuk kebanyakan pria (cowok). Tapi bagi kaum cewek syaratnya agak lebih seperti ada air, ada listrik, ada ruang tamu dan ada dapur. Tempat kos yang dekat dengan kampus atau dengan kantor bagi yang bekerja lebih diminati oleh pekerja dan mahasiswa. Apalagi bila tidak ada campur tangan orang punya rumah.
Hidup damai di tempat kos akan dapat kita peroleh bila kita punya teman yang berwatak sama. Problema akan terasa bila warganya memiliki watak yang berbeda. Kamar kos dengan warga 2 atau 4 orang akan lebih oke, bila dibandingkan dengan kamar yang warganya 3 orang, sebab salah seorang tentu akan terasing.
Sudah lumrah bagi orang-orang yang tinggal di kamar kos hidup nomaden, hidup berpindah. Biasanya seorang mahasiswa atau pegawai muda akan segera meninggalkan tempat kosnya ke tempat lain bila keadaannya jorok, bising, sempit, jauh lokasinya, sewa mahal dan tidak ada ketenangan di sana.
Di lokasi dekat dengan kampus atau kantor lebih diminati orang. Oleh sebab itu banyak orang berlomba untuk mendirikan rumah, yang kamar-kamarnya untuk disewakan. Agar lebih menarik, pemiliknya sengaja menata agar tampak seindah mungkin dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Sehingga orang yang tinggal disana akan merasa segan untuk pindah ke tempat lain.
Problema untuk tinggal sekamar tetap ada, sebab lebih banyak perbedaan antara dua individu dari pada persamaanya. Secara emosi ada juga perbedaan, seperti pemalu, penangis, pemarah, pencemburu dan pendendam. Dalam segi ekonomi, ada orang yang royal, suka foya-foya, hemat sampai kepada kikir. Menurut watak ada orang yang bersih, jorok, pendiam, tukang ngobrol, suka begadang dan suka musik keras. Malah bagi yang tampak alim akan terganggu oleh teman yang suka pacaran, nonton dan membaca yang berbau agak porno, apalagi porno tulen.
Bila kita bisa mendapati teman-teman dengan watak yang sama pada sebuah kamar kos tentu kita bersyukur. Tetapi bila tidak tentu ada baiknya pada awal-awal waktu kita tetapkan sesuatu, misalnya tentang keuangan, makanan, nonton, menghidupkan musik keras sampai kepada cara menerima tamu. Begitu pula tentang menjaga kebersihan, keindahan dan ketenangan kamar kos. Dan masing-masing pribadi tentu harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan itu. Tentu semua itu untuk mendapatkan hidup damai di tempat kos.

Jumat, 04 Januari 2008

Pola Pendidikan Di Rumah Masih Miskin Dengan Sentuhan Spiritual

Pola Pendidikan Di Rumah Masih Miskin Dengan Sentuhan Spiritual
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)

Walau agama Islam lahir di Timur Tengah lebih dari 15 abad yang lalu namun pemeluk terbesar agama ini adalah di Indonesia. Tentu saja kita (pemeluk Islam di Indonesia) merasa bangga dengan status negara sebagai mayoritas pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun kita perlu berfikir- melakukan refleksi- tentang apakah sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia, jumlah yang besar hanya dari segi kuantitas namun untuk kualitas cendrung amat rendah, karena pemeluknya masih jauh dari pemahaman dan pengamalan spiritual dan cenderung mengadopsi nilai hedonisme (paham mencari kesenangan hidup) semata mata.
Jauhnya kita- sebagai pemeluk Islam- dari pengamalan agama yang berkualitas adalah gara-gara pola pendidikan di rumah yang miskin dari sentuhan spiritual. Diduga ada banyak faktor sebagai penyebabnya, beberapa di antara nya adalah akibat kehadiran televisi di rumah yang amat sarat dengan nuansa sekuler, kepedulian orang tua yang berlebihan terhadap fasilitas hiburan daripada pendidikan. Karena kualitas pengajaran agama di rumah hanya sebatas pandai membaca abjad Arab atau alif- ba- ta saja dan akibat dari pemodelan- panutan atau suriteladan- orang tua yang lemah dalam mengimplementasi kan ajaran agama.
Televisi memberikan dampak negatif dalam mengikis nilai spiritual. Kehadiran tabung elektronik ini di tengah keluarga bangsa Indonesia dimulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu televisi mungkin masih dianggap sebagai kebutuhan lux atau kebutuhan sekunder. Karena saat itu hanya keluarga yang tergolong mampu yang bisa memiliki pesawat televisi. Kemudian sekitar tahun 1990 pesawat televisi secara besar- besaran hadir di tengah masyarakat. Maka benda ini tidak lagi dianggap sebagai barang mewah, namun sudah dianggap sebagai kebutuhan primer, karena kadang kala penduduk dengan rumah gubuk juga mampu menghadirkan pesawat televisi dengan layar jumbo di tengah keluarga mereka.
Pada mulanya program televisi dirancang oleh orang yang berduit- pemilik stasiun televisi adalah untuk memberi masyarakat Indonesia program pendidikan dan program hiburan yang masih ramah lingkungan. Serasi dengan warna dan corak adat kita sebagai bangsa timur- memperhatikan nilai agama dan nilai adat istiadat. Pada masa itu orangtua masih bisa bersyukur atas kehadiran televisi yang belum begitu mencemaskan terhadap perkembangan anak. Dampak televisi pada waktu itu hanya baru sebatas membuat anak- anak kecanduan duduk berjam-jam di depan pesawat televisi dan mengabaikan pelajaran.
Namun sejak pengelola media masa – media cetak dan media elektronik- sudah kehilangan misi suci untuk mendidik bangsa ini dan atas nama globalisasi mereka merasa enteng untuk menghadirkan program hiburan yang kurang berkualitas ditinjau dari segi agama dan sebagai bangsa timur. Maka itulah awal bangkitnya krisis demi krisis dan melangkah masuk ke tengah keluarga bangsa Indonesia.
Karakter sebahagian orang kita yang punya kebiasaan menonton televisi selama berjam- jam membuat sesuatu yang mereka tonton membekas dalam diri mereka. Karena sesuatu yang dilihat atau ditonton berulang-ulang bisa mempengaruhi prilaku seseorang. Sementara itu kita tahu bahwa materi utama dari program televisi adalah iklan dan rentetan hiburan demi hiburan. Iklan yang ditayangkan tujuannya adalah untuk mengajak dan menjanjikan gaya hidup yang konsumerisme, gaya hidup serba mewah dan serba megah. Program- program yang ditayangkan televisi lambat laun akan mampu untuk mencuci otak jutaan penonton yang umumnya adalah anak- anak muda.
Hiburan yang dikemas dengan menghadirkan figur selebriti- artis dan presenter- yang sengaja dipoles dengan gaya sekuler, jauh dari nilai agama, ini terpantul dari gaya mereka dalam berpakaian, bertindak dan bertutur, telah mengajak jutaan penonton yang berusia muda agar bersikap dengan cara yang sama. Di saat program televisi tidak lagi sebagai sahabat bagi keluarga, namun hanya sebagai pembawa mudharat atau bencana atas pelunturan nilai budaya itu sendiri. Maka cara yang tepat bagi orang tua adalah agar memilih atau mengatur jam tayangan program televisi sesuai dengan pola pendidikan dan pola pengasuhan anak di rumah. Atau mungkin mereka tidak perlu membeli pesawat televisi sama sekali.
Fenomena yang terlihat sekarang adalah bahwa rumah tangga terlihat lebih kaya dengan sarana hiburan namun miskin dengan sarana pendidikan. Orang tua lebih peduli untuk menghadirkan sarana hiburan buat keluarga dengan kemampuan dan ukuran kantong mereka dari pada menghadirkan sarana pendidikan . Adalah cukup mudah bagi kita untuk menemui sarana hiburan seperti VCD player, paly station, tape recorder sampai kepada menghadirkan sarana hiburan yang berharga sangat mahal. Tentu saja tidak ada salahnya bila orang tua menyediakan sarana hiburan seperti ini, namun adalah kurang bijaksana apabila mereka kurang peduli untuk melengkapi sarana belajar keluarga.
Inilah kenyataan bahwa lebih mudah bagi kita untuk menjumpai kepingan VCD dangdut atau film kartun- karena umumnya orang kita masih demam gemar menonton- dari pada menemui buku , majalah dan koran yang berkualitas pada tiap keluarga. Pada hal salah satu fungsi bacaan adalah untuk mendidik anggota keluarga. Tetapi kalau bangsa kita belum terbiasa membaca maka bagaimana mereka bisa menjadi orang yang kritis dalam berfikir. Kita tahu bahwa salah satu manfaat dari kebiasaan membaca adalah untuk membentuk seseorang menjadi orang yang kritis dan analitis dalam berfikir.
Kita tahu bahwa banyak rumah tangga yang belum memiliki perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Yang baru ada yaitu kepedulian orang tua untuk menyediakan bioskop sebagai sarana hiburan keluarga. Maka kalau kualitas bangsa ini lemah dalam bidang pendidikan (membaca), tentu inilah salah satu sebagai penyebab ya- kita miskin dengan kualitas pendidikan. Untuk itu kini adalah tepat kalau orang tua juga peduli untuk menghadirkan perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Dan juga sangat tepat bagi keluarga untuk menanamkan kebiasaan dan kegemaran membaca- bagi anggota keluarga sejak dini bagi anak anak mereka.
Untuk menjadi warga yang berkualitas maka setiap anggota masyarakat harus gemar membaca. Ajakan atau perintah untuk membaca akan kurang berarti kalau hanya sekedar memerintah atau menyuruh saja. Menyediakan sarana belajar dan memberi mereka model langsung adalah sangat efektif. Karena Pemberian model jauh lebih efektif dari pada memberi mereka khotbah sebanysk seribu kali. Maka sebelum anak menyukai membaca tentu orang tua harus membiasakan diri untuk membaca terlebih dahulu.
Pendidikan agama bagi keluarga, dalam bentuk khutbah dan ceramah dari orang tua untuk membentuk anak akhlak anak, cendrung kurang bermanfaat, karena khutbah dan ceramah akan dirasakan sebagai hal yang serba membosankan. Yang lebih berkesan dalam mendidik agama atau spiritual anak adalah melalui pemberian model langsung dari orang tua, dan kemudian melibatkan anak secara langsung dengan kegiatan beragama bersama orang tua dan anggota keluarga yang lain. Orang tua perlu menetapkan prilaku yang standard untuk bertindak bagi anggota keluarga, misalnya tata cara berpakaian, cara berkata, bergaul dengan tetangga, dan lain- lain, yang sesuai dengan ajaran agama dan harus dicontohkan atau dimodelkan oleh terlebih dahulu oleh orangtua. sangat tidak bijak, misalnya, bila seorang ayah hanya pandai menyuruh anak untuk rajin shalat serta itu ia jarang dalam membaca kitab suci, sementara dia sendiri bolong- bolong dalam beribadah dan tidak pernah terlihat oleh anak menyentuh kitab suci untuk dibaca. Atau ibu yang hanya pandai menyuruh anak gadisnya berpakaian muslim sementara dia sendiri berpakaian you can see, celana hawaii dan pakaian ketat serta rambut diberi cat dengan penampilan mirip dengan selebriti atau presenter televisi.
Kita akui bahwa pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap kitab suci Al Quran hanya sebatas pandai membaca alphabet “alif-ba- ta” saja, tanpa pernah mengerti apa yang dibaca. Membaca al-Quran seperti ini dianggap belum sampai ke dalam hati sanubari, tetapi baru sebatas kerongkongan saja. Idealnya untuk peningkatan pemahaman al Quran adalah dengan menggunakan metode translation (menterjemah) untuk pembelajaran ,di TPA dan TPSA. Tentu saja ini perlu kajian dan manajemen khusus, serta memberi mereka gaji yang berkualitas dengan gaji yang juga tinggi.
Atau juga tepat apabila kalau pembelajaran al Quran di TPA dan TPSA menggunakan pendekatan khusus, yaitu kursus bahaa Arab setelah santri anak didik tuntas dalam membaca Al Quran. Tentu saja kelak jumlah pemeluk Islam yang menguasai bahasa Al Quran atau bahasa Arab jumlahnya melebihi dari orang yang mengerti bahasa Inggris dan pada hakekatnya kelak umat islam di Indonesia tidak lagi seperti buih di pinggir pantai, jumlahnya banyak tetapi mudah hancur ditiup oleh badai kehidupan.

Marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Pelayanan Khusus
.

Sabtu, 29 Desember 2007

BUYA HAMKA SANG OTODIDAK SEJATI

Buya Hamka Sang Otodidak Sejati

Oleh : Pebrika Yudha
Siswi SMA Negeri 3 Batusangkar

(Program Layanan Keunggulan)


Pendahuluan
Otodidak berasal dari kata ”auto” dan ”Didak” yang berarti “belajar sendiri. Kata otodidak berkaitan erat dengan pendidikan. Dan pendidikan adalah usaha manusia atau diri sendiri untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, dari miskin informasi menjadi kaya dengan informasi. Tentu saja maíh banyak ekspressi lain yang dapat kita tambahkan disini.
Pendidikan ádalah sarana untuk menjadi pintar dan kaya dengan informasi. Bangsa kita sudah beruntung karena banyak orang yang sudah peduli dengan pendidikan. Masyarakat dan orang tua sudah mulai selektif dalam memilih pendidikan dan mereka telah ikhlas ikut berpartisipasi secara moril dan materil.
Kini yang dituntut adalah pendidikan yang bermutu. De Porter (2002) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang meliputi dan mengembangkan kecerdasan berganda, menghargai unsur modalitas visual, audiotorial dan kinestetik. Hasri (2004) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dilasanakan oleh sekolah efektif dan guru yang efektif.
Pendidikan yang berkualitas adalah dambaan semua orang. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berimbang antara unsur kognitif (otak), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (atau afektif). Namun fenomena sekarang adalah bahwa pendidikan yang membuat anak didik untuk pintar mencari kerja. Fenomena yang dideskripsian oleh media cetak dan media elektronik bahwa orang sekarang sekolah setinggi mungkin hanya untuk menjadi kaya dan mengejar posisi. Begitu posisi susah untuk diperoleh maka mereka bermimpi menjadi PNS- atau Pegawai Negeri Sipil. Karena kuota untuk menjadi PNS juga terbatas, maka orang cenderung setelah menempuh pendidikan yang lama dan panjang hanya mampu menulis surat lamaran, gagal dan menjadi pengangguran.
Fenomena pengangguran sudah menjadi beban pemerintah, karena lapangan kerja mereka harus dicarikan dan mereka masih menjadi beban bagi masyarakat atau orang tua yang punya anak yang masih luntang- lantung. Sebelum deretan pengangguran makin lama makin panjang, maka lebih baik fenomena penyakit pengangguran (sebagai penyakit masyarakat) dipenggal saja, misalnya dengan meningkatkan kepintaran berganda- multiplied intelligent lewat otodidak. Untuk itu kita perlu bercermin kepada figur- figur atau tokoh besar, mereka itu bisa jadi tokoh intelektual dan tokoh ulama. Mereka itu bisa jadi Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Cokroaminoto, Buya Hamka, dan lain- lain. Tulisan ini akan membahas tokoh yang bernama ”Buya Hamka” dengan judul tulisan adalah: Buya Hamka Sang Otodidak Sejati.

Buya Hamka Melakuan Otodidak Tanpa Mengenal istilah Pengangguran
Kata lain dari “pengangguran” adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Saat Buya Hamka kecil, orang-orang dan Buya Hamka sendiri belum mengenal kata atau istilah pengangguran, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang, berdagang atau sebagai buruh dan satu dua orang ada yang menjadi guru di surau (Ulama) dan guru di sekolah pemerintah (penjajah). Saat itu pekerjaan diwariskan dari orangtua secara turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.
Pada masa itu, dalam suasana masyarakat tradisional,seperti yang telah diungkapkan, generasi tua sangat peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on job training – atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengakar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memberi peran-peran sosial sebagai kaum wanita, sebagai calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai-nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan secara turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak.
Hamka adalah akronim dari ”Haji Abdul Malik bin Abdul karim Amrullah”- lahir pada tahun 1908 di Sungai Batang, Maninjau Sumatra Barat dan meninggal di Jakarta tahun 1981- beruntung karena juga mempunyai ayah yang juga tokoh masyarakat pada saat itu. Ayah beliau adalah Syekh Abdul karim Amrullah, nama lainnya adalah Haji Rasul. Ia dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam atau Tajdid di Minangkabau setelah ia kembali dari Makkah- kota suci pusat umat Islam dan pusat pendidikan Islam di dunia dan saat itu orang Islam di Minangkabau bersikap fanatik buta, percaya hanya terhadap apa yang dikatakan oleh pemuka masyarakat tanpa menganalisa benar atau salah .
Saat Buya Hamka kecil, nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi oleh banyak orang. Namun tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana agar anak mereka bisa menuntut ilmu setinggi mungkin, dan sikecil Hamka tentu merasa beruntung mempunyai ayah seorang ”Haji Rasul” sebagai orang yang terpandang dan tokoh masyarakat pada saat itu.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ia tidak pernah memperoleh pendidikan formal seperti SLTP, SLTA apalagi pendidikan di Perguruan Tinggi. Untuk memperoleh ilmu ia hanya melakukan proses belajar secara otodidak. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Buya Hamka melalui kebiasaannya melakukan otodidiak- belajar mandiri- mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Seperti yang dapat kita baca pada situs berikut: (http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullahs)
Kegiatan otodidak Buya Hamka, yaitu membaca dan menulis dalam berbagai bidang disiplin ilmu- filsafat, pendidikan, agama, kebudayaan, politik dan lain-lain- membuat Hamka mampu memahami permasalah dalam banyak bidang dikehidupan ini. Dalam hidupnya Hamka dengan tanpa ia sadari telah menjalani banyak bidang kehidupan.
Sebagai politikus, kegiatan politik Hamka berawal pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia tanpa pernah diadili. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis dan menyelesaikan Tafsir al Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia (Aning, 2005).
Dalam hidupnya Buya Hamka sempat melalui multi karir atau multi kegiatan. Ia aktif dalam bidang keagamaan dan politik, dan selain itu Hamka juga sebagai seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga dikenal sebagai Tokoh Budaya atau Budayawan karena beliau mampu menghasilkan banyak karya ilmiah dalam bidang agama Islam, dalam bidang kebudayaan dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Kegiatan otodidak Buya Hamka dalam bidang menulis membuat beliau mampu melahirkan puluhan buku yang dibaca orang di seluruh pelosok nusantara- malah juga di baca oleh bangsa – bangsa Melayu. Tokoh- tokoh pendidik di Universitas terkemuka memonitor dan menilai hasil- hasil karya tulisnya. Untuk itu Buya Hama menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan dari negara Mesir, Universitas kebangsaan Malaysia dan juga dari dalam negeri kita, Indonesia. Maka Universitas al-Azhar, juga menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa pada tahun 1958, Doktor Honoris Causa juga diperoleh dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, kemudian gelar Datuk Indomo dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. (http://www.mail-archive.com/rantau-net)
Buya Hamka Sebagai Inspirator
Kini Buya Hamka sudah tiada, karena beliau sudah berpulang ke haribaan Allah. Beliau telah berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan bangsa, negara dan agama.
Namun sekarang ada fenomena dalam kehidupan yaitu populasi generasi muda yang menempati posisi sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. .
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang demam mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarakat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian mesti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini kita- pelajar dan peserta lomba dalam rangka ”Hamka Sebagai Sang Inspirator” bermohon sangat kepada pihak pengelola media massa, media eletronik dan media cetak, para pendidik, educational stakeholder untuk membimbing kami memahami dan mengenal figur Buya Hamka (dan juga Tokoh tokoh bangsa yang lain) agar kami (kita) menjadi bangsa yang cerdas, beragama dan bermatabat.
Kesimpulan
Mengikuti kegiatan lomba ’Hamka sang Inspirator memberikan manfaat yang sangat banyak. Generasi muda (siswa atau pelajar) tentu akan mencari tulisan dan uraian tentang Buya Hamka. Membaca dan memahami buah fikiran beliau akan memberi kita inspirasi, inspirasi dalam berbuat, berfikir dan bertindak. Untuk memperoleh bagaimana inspirasi Buya Hamka maka kita sebagai generasi muda perlu banyak membaca dan membuayakan untuk gemar membaca. Harapan kepada pemerintah, pendidik, masyarakat dan orangtua kita untuk menyediakan sumber belajar atau sarana belajar bagi kita semua. Semoga!
Daftar Pustaka
Aning S, Floriberta.(2005). 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta : Narasi.
De Porter, Dkk.(2002). Quantum Teaching. Bandung: kaifa
Hasri, Salfen.(2004). Sekolah Efektif dan Guru Efektif. Makasar : Yayasan Pendidikan
Makassar

(http://www.ujanailmu.com.my)
http://www.mail-archive.com/rantau-net
(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah)





BUYA HAMKA SANG OTODIDAK SEJATI

Buya Hamka Sang Otodidak Sejati

Oleh : Pebrika Yudha
Siswi SMA Negeri 3 Batusangkar

(Program Layanan Keunggulan)


Pendahuluan
Otodidak berasal dari kata ”auto” dan ”Didak” yang berarti “belajar sendiri. Kata otodidak berkaitan erat dengan pendidikan. Dan pendidikan adalah usaha manusia atau diri sendiri untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, dari miskin informasi menjadi kaya dengan informasi. Tentu saja maíh banyak ekspressi lain yang dapat kita tambahkan disini.
Pendidikan ádalah sarana untuk menjadi pintar dan kaya dengan informasi. Bangsa kita sudah beruntung karena banyak orang yang sudah peduli dengan pendidikan. Masyarakat dan orang tua sudah mulai selektif dalam memilih pendidikan dan mereka telah ikhlas ikut berpartisipasi secara moril dan materil.
Kini yang dituntut adalah pendidikan yang bermutu. De Porter (2002) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang meliputi dan mengembangkan kecerdasan berganda, menghargai unsur modalitas visual, audiotorial dan kinestetik. Hasri (2004) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dilasanakan oleh sekolah efektif dan guru yang efektif.
Pendidikan yang berkualitas adalah dambaan semua orang. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berimbang antara unsur kognitif (otak), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (atau afektif). Namun fenomena sekarang adalah bahwa pendidikan yang membuat anak didik untuk pintar mencari kerja. Fenomena yang dideskripsian oleh media cetak dan media elektronik bahwa orang sekarang sekolah setinggi mungkin hanya untuk menjadi kaya dan mengejar posisi. Begitu posisi susah untuk diperoleh maka mereka bermimpi menjadi PNS- atau Pegawai Negeri Sipil. Karena kuota untuk menjadi PNS juga terbatas, maka orang cenderung setelah menempuh pendidikan yang lama dan panjang hanya mampu menulis surat lamaran, gagal dan menjadi pengangguran.
Fenomena pengangguran sudah menjadi beban pemerintah, karena lapangan kerja mereka harus dicarikan dan mereka masih menjadi beban bagi masyarakat atau orang tua yang punya anak yang masih luntang- lantung. Sebelum deretan pengangguran makin lama makin panjang, maka lebih baik fenomena penyakit pengangguran (sebagai penyakit masyarakat) dipenggal saja, misalnya dengan meningkatkan kepintaran berganda- multiplied intelligent lewat otodidak. Untuk itu kita perlu bercermin kepada figur- figur atau tokoh besar, mereka itu bisa jadi tokoh intelektual dan tokoh ulama. Mereka itu bisa jadi Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Cokroaminoto, Buya Hamka, dan lain- lain. Tulisan ini akan membahas tokoh yang bernama ”Buya Hamka” dengan judul tulisan adalah: Buya Hamka Sang Otodidak Sejati.

Buya Hamka Melakuan Otodidak Tanpa Mengenal istilah Pengangguran
Kata lain dari “pengangguran” adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Saat Buya Hamka kecil, orang-orang dan Buya Hamka sendiri belum mengenal kata atau istilah pengangguran, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang, berdagang atau sebagai buruh dan satu dua orang ada yang menjadi guru di surau (Ulama) dan guru di sekolah pemerintah (penjajah). Saat itu pekerjaan diwariskan dari orangtua secara turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.
Pada masa itu, dalam suasana masyarakat tradisional,seperti yang telah diungkapkan, generasi tua sangat peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on job training – atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengakar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memberi peran-peran sosial sebagai kaum wanita, sebagai calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai-nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan secara turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak.
Hamka adalah akronim dari ”Haji Abdul Malik bin Abdul karim Amrullah”- lahir pada tahun 1908 di Sungai Batang, Maninjau Sumatra Barat dan meninggal di Jakarta tahun 1981- beruntung karena juga mempunyai ayah yang juga tokoh masyarakat pada saat itu. Ayah beliau adalah Syekh Abdul karim Amrullah, nama lainnya adalah Haji Rasul. Ia dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam atau Tajdid di Minangkabau setelah ia kembali dari Makkah- kota suci pusat umat Islam dan pusat pendidikan Islam di dunia dan saat itu orang Islam di Minangkabau bersikap fanatik buta, percaya hanya terhadap apa yang dikatakan oleh pemuka masyarakat tanpa menganalisa benar atau salah .
Saat Buya Hamka kecil, nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi oleh banyak orang. Namun tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana agar anak mereka bisa menuntut ilmu setinggi mungkin, dan sikecil Hamka tentu merasa beruntung mempunyai ayah seorang ”Haji Rasul” sebagai orang yang terpandang dan tokoh masyarakat pada saat itu.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ia tidak pernah memperoleh pendidikan formal seperti SLTP, SLTA apalagi pendidikan di Perguruan Tinggi. Untuk memperoleh ilmu ia hanya melakukan proses belajar secara otodidak. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Buya Hamka melalui kebiasaannya melakukan otodidiak- belajar mandiri- mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Seperti yang dapat kita baca pada situs berikut: (http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullahs)
Kegiatan otodidak Buya Hamka, yaitu membaca dan menulis dalam berbagai bidang disiplin ilmu- filsafat, pendidikan, agama, kebudayaan, politik dan lain-lain- membuat Hamka mampu memahami permasalah dalam banyak bidang dikehidupan ini. Dalam hidupnya Hamka dengan tanpa ia sadari telah menjalani banyak bidang kehidupan.
Sebagai politikus, kegiatan politik Hamka berawal pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia tanpa pernah diadili. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis dan menyelesaikan Tafsir al Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia (Aning, 2005).
Dalam hidupnya Buya Hamka sempat melalui multi karir atau multi kegiatan. Ia aktif dalam bidang keagamaan dan politik, dan selain itu Hamka juga sebagai seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga dikenal sebagai Tokoh Budaya atau Budayawan karena beliau mampu menghasilkan banyak karya ilmiah dalam bidang agama Islam, dalam bidang kebudayaan dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Kegiatan otodidak Buya Hamka dalam bidang menulis membuat beliau mampu melahirkan puluhan buku yang dibaca orang di seluruh pelosok nusantara- malah juga di baca oleh bangsa – bangsa Melayu. Tokoh- tokoh pendidik di Universitas terkemuka memonitor dan menilai hasil- hasil karya tulisnya. Untuk itu Buya Hama menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan dari negara Mesir, Universitas kebangsaan Malaysia dan juga dari dalam negeri kita, Indonesia. Maka Universitas al-Azhar, juga menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa pada tahun 1958, Doktor Honoris Causa juga diperoleh dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, kemudian gelar Datuk Indomo dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. (http://www.mail-archive.com/rantau-net)
Buya Hamka Sebagai Inspirator
Kini Buya Hamka sudah tiada, karena beliau sudah berpulang ke haribaan Allah. Beliau telah berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan bangsa, negara dan agama.
Namun sekarang ada fenomena dalam kehidupan yaitu populasi generasi muda yang menempati posisi sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. .
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang demam mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarakat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian mesti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini kita- pelajar dan peserta lomba dalam rangka ”Hamka Sebagai Sang Inspirator” bermohon sangat kepada pihak pengelola media massa, media eletronik dan media cetak, para pendidik, educational stakeholder untuk membimbing kami memahami dan mengenal figur Buya Hamka (dan juga Tokoh tokoh bangsa yang lain) agar kami (kita) menjadi bangsa yang cerdas, beragama dan bermatabat.
Kesimpulan
Mengikuti kegiatan lomba ’Hamka sang Inspirator memberikan manfaat yang sangat banyak. Generasi muda (siswa atau pelajar) tentu akan mencari tulisan dan uraian tentang Buya Hamka. Membaca dan memahami buah fikiran beliau akan memberi kita inspirasi, inspirasi dalam berbuat, berfikir dan bertindak. Untuk memperoleh bagaimana inspirasi Buya Hamka maka kita sebagai generasi muda perlu banyak membaca dan membuayakan untuk gemar membaca. Harapan kepada pemerintah, pendidik, masyarakat dan orangtua kita untuk menyediakan sumber belajar atau sarana belajar bagi kita semua. Semoga!
Daftar Pustaka
Aning S, Floriberta.(2005). 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta : Narasi.
De Porter, Dkk.(2002). Quantum Teaching. Bandung: kaifa
Hasri, Salfen.(2004). Sekolah Efektif dan Guru Efektif. Makasar : Yayasan Pendidikan
Makassar

(http://www.ujanailmu.com.my)
http://www.mail-archive.com/rantau-net
(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah)





Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...