Sabtu, 03 Oktober 2015

Sejarah Rasulullah Adalah Parenting Bagi Kita



Sejarah Rasulullah Adalah Parenting Bagi Kita
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Akhir-akhir ini saya amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa memperoleh informasi bahwa kualitas parenting orangtua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori sebagai fail-parenting- atau orang tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
            Kualitas SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.
            Negara Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras- kerja yang serius dan berkualitas.
            Kita boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan negara Barat lainnya.
Negara Australia merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia. Saat saya berada di Melbourne dan Sydney, saya melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
            Namun sayangnya saat saya berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure  dan hotel lainnya, saya menjumpai muda-mudi bergaul bebas, persis saat merpesta di akhir pecan. Mereka mengadopsi budaya pergaulan bebas. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada Allah. Itulah yang saya temukan bahwa parenting mereka adalah parenting sekuler, hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya saya ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting ala Barat, namun adalah parenting yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah dalam kitab suci Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari makanan fast-food di mall, pergi eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah, pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orangtua telah mencetak anak-anak yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja. Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak, membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi. Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan  kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang, saya dan anak perempuan saya, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya juga terlihat tidak pas untuk usianya. Saya bertanya pada anak perempuan saya: “ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah- Tuhan Pencipta Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena kesalahan parenting. Ilmu mendidik kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab- pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam adalah ibunya sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya.
Suatu ketika, ditempat yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
Maka Halimah takut kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah mengembalikan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam kepada ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya ketika Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia pada saat beliau sholallah alahi was salam masih berada dalam kandungan ibunya. Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diajak pergi oleh ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan. Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam wafat pada saat beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diasuh oleh paman beliau Abu Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Kehidupan Abu Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Ketika berusia 12 tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibawa oleh pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup, kaya hati, mengenal kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan. Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab dan juga mengabdi pada Allah.
Moga-moga sejarah Nabi Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam hal parenting. Bila kita- anda dan juga saya- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura, pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan, jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang bertanggung jawab.  Untuk itu mari kita jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting bagi kita (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education”



Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di Perguruan Tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan Perguruan Tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.  
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014 lalu, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the rainbow troop atau laskar pelangi” yang ditulis oleh Andre Hirata. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, semuanya buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan teman saya, Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.    
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam system pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru. Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas



Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
            Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Bermain juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8 jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
            Proses pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
            Apa dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
            Yang membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang siswa. 
            Pemahaman bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan amat dikagumi” sempat tergores dalam memory saya sewaktu masih duduk di bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Juga di saat itu Perguruan Tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota Propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)  segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
            Citra tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri dalam fikiran, dan semakin saya pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama RI) yang menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa, sebagai orang yang hebat membuat saya kagum saat melihat foto Bung Karno menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Saya telah membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
            Saya kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu saya masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya saya merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
            Zaman berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami pergeseran. Di Era Reformasi mahasiswa diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah identitas kepada Mahasiswa.
            Namun arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka berasal dari Perguruan Tinggi favorite maka mereka sebatas bangga memakai jaket dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau di kampus sendiri.
            Makna kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta entrepreneur juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
            Dewasa ini, menurut subjektif saya, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
            Bagaimana hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja (kupu-kupu= kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
            Apakah mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas- hingga di rumah atau dikosan cuma membuang buang waktu dalam bentuk menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game online.
            Saya tidak begitu bangga dengan mahasiswa yang tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi saya sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game online ?
            Itulah kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan anak-anak SD yang masih ingusan.
Nggak percaya dan mau buktiin ?  Tengoklah box-box internet yang betebaran di seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan waktu buat mengakses game online. Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile- khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa yang ternyata berkulitas rendah.
            Anak-anak kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku bacaan, buku motivasi dan majalah/Koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita. Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Cobalah buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
            Demikian juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan entrepreneur.
            Dewasa ini di Perguruan Tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership dan entrepreneurship mereka semata. Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak salah. Namun lebih dahsyat apabila ekskul  sekolah mendatangkan (mengundang) para  tokoh entrepreneur dan juga tokoh leadership dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia  muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).   
   

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...