Sabtu, 03 Oktober 2015

Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education”



Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di Perguruan Tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan Perguruan Tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.  
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014 lalu, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the rainbow troop atau laskar pelangi” yang ditulis oleh Andre Hirata. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, semuanya buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan teman saya, Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.    
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam system pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru. Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas



Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
            Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Bermain juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8 jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
            Proses pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
            Apa dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
            Yang membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang siswa. 
            Pemahaman bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan amat dikagumi” sempat tergores dalam memory saya sewaktu masih duduk di bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Juga di saat itu Perguruan Tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota Propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)  segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
            Citra tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri dalam fikiran, dan semakin saya pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama RI) yang menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa, sebagai orang yang hebat membuat saya kagum saat melihat foto Bung Karno menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Saya telah membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
            Saya kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu saya masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya saya merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
            Zaman berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami pergeseran. Di Era Reformasi mahasiswa diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah identitas kepada Mahasiswa.
            Namun arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka berasal dari Perguruan Tinggi favorite maka mereka sebatas bangga memakai jaket dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau di kampus sendiri.
            Makna kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta entrepreneur juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
            Dewasa ini, menurut subjektif saya, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
            Bagaimana hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja (kupu-kupu= kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
            Apakah mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas- hingga di rumah atau dikosan cuma membuang buang waktu dalam bentuk menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game online.
            Saya tidak begitu bangga dengan mahasiswa yang tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi saya sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game online ?
            Itulah kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan anak-anak SD yang masih ingusan.
Nggak percaya dan mau buktiin ?  Tengoklah box-box internet yang betebaran di seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan waktu buat mengakses game online. Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile- khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa yang ternyata berkulitas rendah.
            Anak-anak kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku bacaan, buku motivasi dan majalah/Koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita. Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Cobalah buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
            Demikian juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan entrepreneur.
            Dewasa ini di Perguruan Tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership dan entrepreneurship mereka semata. Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak salah. Namun lebih dahsyat apabila ekskul  sekolah mendatangkan (mengundang) para  tokoh entrepreneur dan juga tokoh leadership dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia  muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).   
   

Menjadi Orang Indonesia Dengan Level “World Class People”



Menjadi Orang Indonesia Dengan Level “World Class People”
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Dalam zaman sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang didukung oleh perkembangan tekhnologi informasi komunikasi maka orang mulai berfikir bagaimana mendorong pertumbuhan institusi mereka, yang semua berada pada kualitas level kecamatan, kabupaten, propinsi hingga menjadi kualitas nasional. Dan sekarang berlomba untuk menempati kualitas level dunia. Untuk lembaga perguruan tinggi kita mendengar istilah world class university- universitas kelas dunia, yang lain adalah world class school, world class business, dll.
Untuk perusahaan juga cukup banyak yang sudah menjadi “world class company”, seperti Boeing, Toyota, Exxon, Samsung, IBM, General Electric. Ini adalah segelintir daftar perusahaan – perusahaan kelas dunia yang selama ini acap menjadi acuan dalam memahat best management practices. Apa factor yang membuat perusahaan-perusaan ini bisa menjadi perusahaan kelas dunia ? Ya tentu saja karena perusahaan ini memiliki orang-orang hebat yang selalu berbuat untuk membuat kualitas perusaan tersebut menjadi kelas dunia
Selanjutnya kenapa orang-orang itu menjadi kategori great people ? Ya tentu saja karena kinerja mereka dikelola dengan sistematis dan efektif. Penuh dengan perencanaan yang matang. Sarat dengan perhitungan yang seksama. Toh demikian, meski semua perusahaan kelas dunia berangkat dari latar industri yang berbeda, ada satu hal yang menyamakan mereka : ketika melakukan pengukuran kinerja SDM, mereka fokus pada dua elemen kunci, yakni elemen kinerja (performance results) dan elemen perilaku/sikap kerja/budaya kerja.
Untuk ukuran personal atau orang, maka para kepala  negara seperti Joko Widodo, Barrack Obama. Orang-orang yang berkualitas tinggilah yang bisa melangkah maju menuju manusia kualitas dunia. Sebetulnya seseorang yang kualitasnya berkaliber nasional dan internasional, saat terlahir ke dunia persis sama kondisinya dengan orang yang berkualitas biasa-biasa saja. Kenapa kemudian mereka bisa berbeda, salah satunya karena mereka berbeda dalam memanfaatkan waktu.
Ya betul bahwa ketika terlahir ke dunia, manusia datang tanpa membawa bekal apapun. Namun semua manusia diberikan modal yang sama yaitu waktu. Allah Swt juga mengingatkan umat manusia dalam hal waktu, Allah bersumpah dengan waktu, seperti yang dapat kit abaca pada al-Quran (surat 103:1-3):
“Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Jadi seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya untuk berbuat kebaikan dan juga saling berbagi nasehat. Secelaka-celakanya manusia adalah mereka yang menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat keburukan dan bagi yang suka berbuat keburukan dan pelanggaran di dunia.
Ada apa dengan “waktu”? Bahwa Bill Gate, Presiden Jokowi, Zainuddin MZ (alm), Najwa Shihab, seorang Satpan hingga seorang tukang jual bubur sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam 1 hari. Dan kuantitas di dalam waktu ini tidak bisa ditawar dan tidak bisa dilebihkan. Sehingga ada yang sukses sebagai enterpreneur, ada yang suksesnya jadi presiden, ada yang jadi Da’i kondang, Presenter TV, hingga menjadi seorang Satpam dan tukang jual bubur. Mereka semua sukses dan semua dibutuhkan. Lantas bagaimana dengan nasib para pengangguran dan pengemis ?
Apakah waktu di dalam hidup mereka berbeda? Ya tentu saja sama! Pengemis dan pengangguran juga hidup 24 jam sehari. Tapi mengapa nasib mereka begitu berbeda. Back to the original statement kitab suci Al-Quran yang mengupas tentang waktu atau masa : Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya dengan baik untuk berbuat kebaikan.
Manusia yang mampu menjadi manusia kelas dunia tentu saja lebih mampu berbuat dengat sangat prima. Orang orang Indonesia juga cukup banyak yang menjadi orang kelas dunia. Amin Rais, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan banyak lagi, juga Salim Said, Syafii Ma’arif dan Azyumardi Azra adalah juga orang Indonesia kelas dunia. Kita berharap akan banyak bermunculan manusia kelas dunia. Untuk itu kita perlu bercermin dari perjalanan hidup Salim Said, Syafii Maarif dan Azyumadi Azra menuju pentas dunia.
1) Salim Said, lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan. Salim Said bisa dibilang sebagai kritikus perfilman di Indonesia, ketajamannya dalam mengulas film membuat dirinya tidak disukai oleh para produser. Hingga akhirnya dengan keahliannya tersebut, ia diangkat sebagai Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negri majalah Tempo. Jabatannya yang juga pernah sebagai ketua dewan kesenian Jakarta telah menerbitkan beberapa buku seperti Profil Dunia Film Indonesia, Pantulan Layar Perak, dan Dari Festival ke Festival.
Ia menempuh pendidikannya pada SMA, ATNI (1964-1965), Fakultas Psikologi, Fakultas Sosial & Politik UI Jakarta. Lulus doktor ilmu politik di Ohio State University (Amerika) ini semula dikenal sebagai wartawan/penulis. Ketajaman penanya dalam mengulas film (Indonesia) menyebabkan dia kurang disukai produser-produser. Hingga awal 1980-an ia menjadi Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negeri majalah Tempo. Tetap bergiat di bidang film, meski ia juga dikenal sebagai pengamat politik dan militer. Anggota

 Dewan Film Nasional selama 2 periode 1989-1995, disamping sebagai Ketua Bidang Luar Negeri Pantap FFI (1988-1992). Pada 1990 dipilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan terpilih lagi pada 1993. Sebelum itu menerbitkan pula buku kumpulan tulisan Profil Dunia Film Indonesia (1989), Pantulan Layar Perak (The Shadow on the Silver Screen) dan Dari Festival ke Festival.
2) Ahmad Syafii Ma'arif lahir di Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang seayah namun tidak seibu. Sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal hingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah. Tahun 1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus dan kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat ia berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta. Di sana ia ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin di kota itu. Namun keinginan tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh. Malahan ia direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif - cite_note-FOOTNOTEMaarif2009111.E2.80.93140-8 Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul “Si Anak Kampung”. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).
Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
3). Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE (lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Maret 1955; umur 60 tahun adalah akademisi Muslim asal Indonesia.[butuh rujukan] Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006. Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Dengan gelar ini, maka Azyumardi adalah orang pertama di luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir di depan namanya.
Azyumardi memulai karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989.
Pada 1992, ia memeroleh gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press).
Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.
Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Sejak Desember 2006 menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebelumnya sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 Azyumardi Azra adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009). Ia juga masih menjadi salah satu anggota Teman Serikat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Azyumardi Azra dikenal sebagai Profesor yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam. Ketika menjadi Rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ia melakukan terobosan besar terhadap institusi pendidikan tersebut. Pada Mei 2002 IAIN tersebut berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini merupakan kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof.Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. https://id.wikipedia.org/wiki/Azyumardi_Azra - cite_note-az-1

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...