Sabtu, 03 Oktober 2015

Siswa Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Spesifik



Siswa Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Spesifik
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Menjadi guru merupakan profesi yang menarik, karena seorang guru akan membantu perkembangan seorang siswa dari kurang cerdas menjadi cerdas, dari kondisi biasa-biasa saja menjadi pribadi yang luar biasa, atau dari seorang kualitasnya masih zero (kosong) hingga menjadi hero, seorang pahlawan, paling kurang seorang pahlawan dalam keluarganya. Untuk menggenjot mutu pendidikan, tiap lembaga pendidikan atau setiap negara memiliki strateginya masing-masing.
            Karena penduduk negara ini sangat banyak, sangat plural (majemuk) dan kualitas SDM juga berbeda maka pemerintah mendirikan beberapa sekolah pelayanan keunggulan. Sekolah yang biasa tetap menjadi perhatian, namun sekolah berlabel unggul dengan program khusus, didirikan untuk melayani siswa yang membutuhkan akselerasi (percepatan) dalam mengakses ilmu pengetahuan. Maka terbentuklah sekolah berlabel keunggulan seperti “SMA unggul, SMA Plus, Sekolah Percontohan, SMK Model, MAN Model, Sekolah Pembangunan, dll”.
            Saya kebetulan mengajar pada salah satu sekolah unggul. Rekruitmen siswa tentu saja memperoleh perhatian khusus, dimana sekolah unggul merekrut murid-murid cerdas lebih awal dari rata- rata sekolah biasa. Tidak sekedar merekrut berdasar skor yang tinggi pada nilai rapor, ijazah dan skor Ujian Nasional. Sekolah program unggul juga memberikan ujian tulis untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sains dan Ilmu Sosial. Dimana semua mata pelajaran tadi diramu ke dalam satu ujian tulis saja.
            Setelah itu sekolah juga memberi perhatian pada prestasi calon siswa yang dibuktikan oleh copy sertifikat. Yang juga menarik bahwa calon siswa sekolah unggulan juga diwawancara untuk memperoleh input secara langsung agar diperoleh data yang lebih tajam.  
            Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tenaga perekrut yang mempunyai tugas untuk mewawancarai calon siswa. “Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswa pintar yang saya wawancarai kelak bila sudah dewasa ingin menjadi dokter, satu-satu ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa ya banyak yang ingin jadi pegawai?”. Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibunya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di negeri ini begitu berlimbah ruah jumlahnya, sehingga anak dan cucunya juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berkarir dalam bidang teknik. Juga banyak yang ingin berkarir di teknik perminyakan, dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berkarir sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang apa?”. Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.
            Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berkarir sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan. Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”. Inilah efek dari mengangkat beberapa pelajaran sebagai mata pelajaran Ujian Nasional. Hingga mata pelajaran dan gurunya dianggap sebagai “maha penting” dan mata pelajaran lain adalah kelas dua.
            Mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan tentang karir yang lebih spesifik. Saat saya konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan karir yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran. Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari karir selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswayang punya IPK tinggi punya kesempatan buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil- karena Perguruan Tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja tidak banyak berguna, kecuali hanya agar bisa wisuda. Semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
            Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berfikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik berkarir dalam bidang resto dengan kuliner internasional ?, karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di dapur di rumahnya di Malaysia. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan karir yang konvensional, atau karir yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, apalagi dari sekolah unggulan, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan. Saya kembali mewawancarai mereka.
Dan kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di Perguruan Tinggi favorite. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di Pulau Jawa, seperti UI (Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Pajajaran), UNDIP (Universitas Diponegora), UGM (Universitas Gajah Mada). Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari Perguruan Tinggi favorite tersebut (?). Dan mayoritas mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian mereka para siswa unggulan hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah yang favorite saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan Perguruan Tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang basah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya cita-cita siswa unggulan yang nggak jelas.
Lagi, suatu ketika saya berjumpa dengan grup siswa dari Jerman dan saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin telah menjelaskan tentang karirnya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Dapat saya pahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci dalam menggapainya.
            Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Saya berharap agar siswa kita di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan siswa kita bingung dalam mencari karir masa depan mereka ?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu guru-guru kita hanya sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik kita melebihi dari ilmu buku teks.
Anak-anak kita sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak kita di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, siswa kita hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik kita tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak kita tenggelam dalam permainan game online.
Seperti yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih spesifik”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang spesifik, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama counseling membantu anak dalam membimbing karir mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang karir dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki karir yang lebih spesifik. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil T.O. Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang spesifik jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan karir. Paling kurang pemilihan karir ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/jabatan merupakan hasil dari interaksi antara factor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orang tua, orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja, yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis, ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual, sukanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial, ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional, ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis. 5) Tipe usaha, ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik, ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik kita perlu memiliki cita-cita yang lebih spesifik. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa Perjalanan Hidup Rasulullah Sebagai Cermin Parenting Bagi Kita
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Akhir-akhir ini saya amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa memperoleh informasi bahwa kualitas parenting orangtua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori sebagai fail-parenting- atau orang tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
            Kualitas SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.
            Negara Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras- kerja yang serius dan berkualitas.
            Kita boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan negara Barat lainnya.
Negara Australia merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia. Saat saya berada di Melbourne dan Sydney, saya melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
            Namun sayangnya saat saya berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure  dan hotel lainnya, saya menjumpai muda-mudi bergaul bebas, persis saat merpesta di akhir pecan. Mereka mengadopsi budaya pergaulan bebas. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada Allah. Itulah yang saya temukan bahwa parenting mereka adalah parenting sekuler, hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya saya ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting ala Barat, namun adalah parenting yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah dalam kitab suci Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari makanan fast-food di mall, pergi eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah, pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orangtua telah mencetak anak-anak yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja. Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak, membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi. Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan  kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang, saya dan anak perempuan saya, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya juga terlihat tidak pas untuk usianya. Saya bertanya pada anak perempuan saya: “ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah- Tuhan Pencipta Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena kesalahan parenting. Ilmu mendidik kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab- pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam adalah ibunya sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya.
Suatu ketika, ditempat yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
Maka Halimah takut kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah mengembalikan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam kepada ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya ketika Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia pada saat beliau sholallah alahi was salam masih berada dalam kandungan ibunya. Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diajak pergi oleh ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan. Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam wafat pada saat beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diasuh oleh paman beliau Abu Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Kehidupan Abu Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Ketika berusia 12 tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibawa oleh pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup, kaya hati, mengenal kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan. Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab dan juga mengabdi pada Allah.
Moga-moga sejarah Nabi Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam hal parenting. Bila kita- anda dan juga saya- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura, pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan, jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang bertanggung jawab.  Untuk itu mari kita jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting bagi kita (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Sejarah Rasulullah Adalah Parenting Bagi Kita



Sejarah Rasulullah Adalah Parenting Bagi Kita
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Akhir-akhir ini saya amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa memperoleh informasi bahwa kualitas parenting orangtua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori sebagai fail-parenting- atau orang tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
            Kualitas SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.
            Negara Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras- kerja yang serius dan berkualitas.
            Kita boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan negara Barat lainnya.
Negara Australia merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia. Saat saya berada di Melbourne dan Sydney, saya melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
            Namun sayangnya saat saya berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure  dan hotel lainnya, saya menjumpai muda-mudi bergaul bebas, persis saat merpesta di akhir pecan. Mereka mengadopsi budaya pergaulan bebas. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada Allah. Itulah yang saya temukan bahwa parenting mereka adalah parenting sekuler, hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya saya ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting ala Barat, namun adalah parenting yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah dalam kitab suci Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari makanan fast-food di mall, pergi eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah, pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orangtua telah mencetak anak-anak yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja. Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak, membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi. Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan  kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang, saya dan anak perempuan saya, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya juga terlihat tidak pas untuk usianya. Saya bertanya pada anak perempuan saya: “ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah- Tuhan Pencipta Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena kesalahan parenting. Ilmu mendidik kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab- pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam adalah ibunya sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya.
Suatu ketika, ditempat yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
Maka Halimah takut kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah mengembalikan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam kepada ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya ketika Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia pada saat beliau sholallah alahi was salam masih berada dalam kandungan ibunya. Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diajak pergi oleh ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan. Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam wafat pada saat beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diasuh oleh paman beliau Abu Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Kehidupan Abu Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Ketika berusia 12 tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibawa oleh pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup, kaya hati, mengenal kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan. Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab dan juga mengabdi pada Allah.
Moga-moga sejarah Nabi Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam hal parenting. Bila kita- anda dan juga saya- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura, pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan, jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang bertanggung jawab.  Untuk itu mari kita jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting bagi kita (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education”



Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long life education
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di Perguruan Tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan Perguruan Tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.  
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014 lalu, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the rainbow troop atau laskar pelangi” yang ditulis oleh Andre Hirata. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, semuanya buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan teman saya, Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.    
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam system pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru. Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini (http://penulisbatusangkar.blogspot.com ).  

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...