Selasa, 24 Mei 2016

Remaja Perlu Punya Mimpi



Remaja Perlu Punya Mimpi
            Apa sih mimpiku buat masa depan ? Melalui  kisah nyata Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis ini aku ingin para  remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki cita-cita buat masa depan mereka.  Aku  juga ingin memaparkan beberapa mimpi atau keinginanku. Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan, termasuk  yang berada di daerah pinggir, agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON, yaitu bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku apalagi serba pasif.
            Aku sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra kampung yang sering menemui banyak kekagetan atau  cultural- shocked.   Aku sudah memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan  barat melalui pengalaman hidup selama tinggal di Paris.
Aku jadi mengerti  bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus seperti ini... tidak hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan bahwa “pariwisata kita jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun problemnya adalah pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang dibandingkan Perancis.
Pengembangan pariwisata kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek. “Kalau tidak ada proyek maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga tidak berjalan lagi”.
            “Pembangunan dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu. Mereka telah membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena wisata mereka sudah bien organisee (well organized). Pengembangan pariwisatanya terlaksana secara desentralisasi yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata kita terkesan  berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
            Aku juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja sebagai pembaca buku dan bacaan lain  yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang orang yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan kelompok generasi yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG menempati porsi yang lebih banyak. Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan  remaja (ABG).
 “Karena ABG memiliki semangat yang gede maka aku berharap agar mereka memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang positif untuk menuju masa depan. Dengan memiliki  sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu. Mimpi tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
            Aku fikir bahwa para ABG  perlu  berfikir untuk  jangka panjang.....untuk masa depan. Arah visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka panjang. Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu mereka perlu membaca  yang harus ekstra banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue tentang dunia 20 atau 30 tahun ke depan dan  jangan hanya bersikap apatis.
            Sebagian remaja  memang  ada yang  belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang masa depan,  mereka banyak menjawab “I don’t know...I don’t know”.
Penyebanya adalah remaja sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa keenakan. Alam juga membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata “wah esok itu akan ngampang aja”.
            Contohnya kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem juga gampang. Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi khabar harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut. Problemnya lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali lagi kalau sekarang kita bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju. Aku melihat fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on adalah karena kurang  terbiasa untuk mandiri “semua serba di bantu, makan dihidang, pakaian disetrikakan, kebutuhan yang lain disediakan...mereka minim usaha dan minim pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan kita. “Jauh  sekali bedanya, kalau dari budaya kemandirian, mereka punya  budaya yang  lebih invidu. Individualism tentu tidak pas buat kita. Efek dari kemandirian juga ada bagusnya-  mereka lebih struggle..mereka lebih berjuang.
Umur 20 tahun mereka musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun sistem pemerintahan memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah dianggap masih kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan fasilitas umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga. Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan harga..itu semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus ke luar rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove mereka.
“Terlihat bahwa umur 20 tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima mereka dengan memberikan layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem membina untuk kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self commitment”.
Aku berfikir bahwa para remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu terjadi karena mereka memiliki kommitment yang hebat.  Aku melihat bahwa ibunya anak-anak Perancis  tidak monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah menghargai. Begitu anak  melakukan aktivitas positif, ya langsung diberi reward- pujian dan penghargaan.
“Anak-anak yang orang tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar mengomel...ya akhirnya pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal tumbuh sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang punya kesibukan. Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan atau akativitas.
Aku berasal dari keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan. Namun walau kami semua perempuan kami semua harus keep struggle sebagaimana halnya anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak zamannya lagi bagi perempuan untuk bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan sebagai karakter yang lemah. Orang yang lemah  akan mudah diotak atik oleh orang lain”.
Papa juga  mengajarkan bahwa aku harus tahu dan menguasai hal hal yang baru, kalau tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang batasan-batasan “kamu tidak boleh begini dan kamu harus melakukan ini”.  Dengan cara demikian  aku jadi tahu tentang berbagai rule of life (peraturan hidup). Ini aku peroleh lewat dialog.
“Dialog keluarga perlu selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan. Apalah yang akan terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga akan jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di pedesaan Perancis dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup  dibawah pengaruh keluarga, mereka belum punya kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus menurut kulturku. Pasti intinya demi keamanan dan perlindungan terhadap perempuan itu sendiri.
“Namun jeleknya,  mereka menjadi kaku dalam membikin decision (keputusan) buat hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak musyawarahnya dalam mengambil keputusan, sehingga seseorang  susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis seseorang  merasa dewasa kalau sudah tamat kuliah atau kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita, selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan belum ada kekuasan dalam membuast keputusan yang penuh. Namun   kadang- kadang, seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah, mama dan papaku masih tetap mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya kita merasa terbuai dan termanja gara gara campur tangan orang tua yang kelewat banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih sebagai seorang gadis yang harus diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan berkata “kamu harus menjadi desicion maker untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau kamu mau senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini, musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses dan orang baik, maka nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau sampai membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di Perancis tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu sendiri. Sekali lagi bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan akan dikaitkan dengan keluarga besar kita.

Aku  Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang teman yang sempat mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat selama satu tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia suka memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran secara serta merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko bahwa orang tua merasa ditentang.
Namun bagiku, aku akan menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan) pola fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita itu bagus dari pada budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku lihat budaya fikir mereka dengan semangat struggle (berjuang) juga sangat  bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap terbuka pada anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan dengan melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka dilepas, bila ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di sana. Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau saya salah ya ini hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak mereka. Pasti orang tua memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka berusaha untuk mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya bahwa orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi semata, karena itu itu tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak sisi. Sebagai target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya). Hidup itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi juga bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa meskipun aku sudah menjadi decision maker (pengambil keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila aku tidak tahu satu hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan mamaku. Bagiku papa adalah ibarat  kamus berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia mampu memberi solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama berperan sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih butuh pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh pendidikan Pascasarjana dan Doktoral. Aku  lihat  tidak semuanya, namun mereka semuanya cukup well educated. Mereka menjadi well educated karena sistem pendidikan mereka yang berkualitas. Umumnya tidak ada anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam belajar. Saat mengajar guru dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam mendidik.
Kalau kedapatan ada anak yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya dipanggil dan didenda oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA adalah gratis. Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka, tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi belajar mereka.
Televisi perancis juga tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak anak sekolah. Iklan televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi kalau materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik, makanan. Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam satu jam, tayangan televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di negara kita, yang mana tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan nyang panjang terkesan tidak banyak mendidik, tapi malah membuat masyarakat menjadi konsumerisme.
Kualitas pendidikan juga ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD, SMP dan SMA semuanya menerapkan model pembelajaran fun learning. Fun learning juga dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan. Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada dalam ruangan, namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk belajar ke luar kelas, malah sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi tersebut, aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka berjalan di taman, di jalan dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan, mengikuti alur alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani untuk berbicara dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat bahwa sebahagian siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh guru “semuanya betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber kebenaran secara mutlak.
Di Perancis saat mereka entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan guru dan murid sangat terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus begini....ibuk kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab, namun ada yang protes kenapa begitu mon pere dis moi nes pas comme ca (ayah ku bilang tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku lihat bahwa sosok guru bukan sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk berbicara dan ruangan terkesan bruyant (ribut) gurunya terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan anak anak didik mereka. Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan adanya  suasana yang kreatif. Guru Tk tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau anak-anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke lapangan. Mereka semua adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap anak didik mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian hubungan guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang tua tidak satupun yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.

Remaja Perlu Punya Mimpi



Remaja Perlu Punya Mimpi
            Apa sih mimpiku buat masa depan ? Melalui  kisah nyata Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis ini aku ingin para  remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki cita-cita buat masa depan mereka.  Aku  juga ingin memaparkan beberapa mimpi atau keinginanku. Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan, termasuk  yang berada di daerah pinggir, agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON, yaitu bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku apalagi serba pasif.
            Aku sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra kampung yang sering menemui banyak kekagetan atau  cultural- shocked.   Aku sudah memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan  barat melalui pengalaman hidup selama tinggal di Paris.
Aku jadi mengerti  bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus seperti ini... tidak hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan bahwa “pariwisata kita jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun problemnya adalah pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang dibandingkan Perancis.
Pengembangan pariwisata kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek. “Kalau tidak ada proyek maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga tidak berjalan lagi”.
            “Pembangunan dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu. Mereka telah membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena wisata mereka sudah bien organisee (well organized). Pengembangan pariwisatanya terlaksana secara desentralisasi yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata kita terkesan  berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
            Aku juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja sebagai pembaca buku dan bacaan lain  yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang orang yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan kelompok generasi yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG menempati porsi yang lebih banyak. Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan  remaja (ABG).
 “Karena ABG memiliki semangat yang gede maka aku berharap agar mereka memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang positif untuk menuju masa depan. Dengan memiliki  sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu. Mimpi tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
            Aku fikir bahwa para ABG  perlu  berfikir untuk  jangka panjang.....untuk masa depan. Arah visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka panjang. Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu mereka perlu membaca  yang harus ekstra banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue tentang dunia 20 atau 30 tahun ke depan dan  jangan hanya bersikap apatis.
            Sebagian remaja  memang  ada yang  belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang masa depan,  mereka banyak menjawab “I don’t know...I don’t know”.
Penyebanya adalah remaja sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa keenakan. Alam juga membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata “wah esok itu akan ngampang aja”.
            Contohnya kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem juga gampang. Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi khabar harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut. Problemnya lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali lagi kalau sekarang kita bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju. Aku melihat fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on adalah karena kurang  terbiasa untuk mandiri “semua serba di bantu, makan dihidang, pakaian disetrikakan, kebutuhan yang lain disediakan...mereka minim usaha dan minim pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan kita. “Jauh  sekali bedanya, kalau dari budaya kemandirian, mereka punya  budaya yang  lebih invidu. Individualism tentu tidak pas buat kita. Efek dari kemandirian juga ada bagusnya-  mereka lebih struggle..mereka lebih berjuang.
Umur 20 tahun mereka musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun sistem pemerintahan memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah dianggap masih kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan fasilitas umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga. Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan harga..itu semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus ke luar rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove mereka.
“Terlihat bahwa umur 20 tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima mereka dengan memberikan layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem membina untuk kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self commitment”.
Aku berfikir bahwa para remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu terjadi karena mereka memiliki kommitment yang hebat.  Aku melihat bahwa ibunya anak-anak Perancis  tidak monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah menghargai. Begitu anak  melakukan aktivitas positif, ya langsung diberi reward- pujian dan penghargaan.
“Anak-anak yang orang tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar mengomel...ya akhirnya pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal tumbuh sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang punya kesibukan. Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan atau akativitas.
Aku berasal dari keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan. Namun walau kami semua perempuan kami semua harus keep struggle sebagaimana halnya anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak zamannya lagi bagi perempuan untuk bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan sebagai karakter yang lemah. Orang yang lemah  akan mudah diotak atik oleh orang lain”.
Papa juga  mengajarkan bahwa aku harus tahu dan menguasai hal hal yang baru, kalau tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang batasan-batasan “kamu tidak boleh begini dan kamu harus melakukan ini”.  Dengan cara demikian  aku jadi tahu tentang berbagai rule of life (peraturan hidup). Ini aku peroleh lewat dialog.
“Dialog keluarga perlu selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan. Apalah yang akan terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga akan jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di pedesaan Perancis dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup  dibawah pengaruh keluarga, mereka belum punya kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus menurut kulturku. Pasti intinya demi keamanan dan perlindungan terhadap perempuan itu sendiri.
“Namun jeleknya,  mereka menjadi kaku dalam membikin decision (keputusan) buat hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak musyawarahnya dalam mengambil keputusan, sehingga seseorang  susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis seseorang  merasa dewasa kalau sudah tamat kuliah atau kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita, selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan belum ada kekuasan dalam membuast keputusan yang penuh. Namun   kadang- kadang, seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah, mama dan papaku masih tetap mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya kita merasa terbuai dan termanja gara gara campur tangan orang tua yang kelewat banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih sebagai seorang gadis yang harus diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan berkata “kamu harus menjadi desicion maker untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau kamu mau senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini, musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses dan orang baik, maka nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau sampai membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di Perancis tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu sendiri. Sekali lagi bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan akan dikaitkan dengan keluarga besar kita.

Aku  Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang teman yang sempat mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat selama satu tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia suka memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran secara serta merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko bahwa orang tua merasa ditentang.
Namun bagiku, aku akan menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan) pola fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita itu bagus dari pada budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku lihat budaya fikir mereka dengan semangat struggle (berjuang) juga sangat  bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap terbuka pada anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan dengan melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka dilepas, bila ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di sana. Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau saya salah ya ini hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak mereka. Pasti orang tua memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka berusaha untuk mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya bahwa orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi semata, karena itu itu tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak sisi. Sebagai target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya). Hidup itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi juga bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa meskipun aku sudah menjadi decision maker (pengambil keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila aku tidak tahu satu hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan mamaku. Bagiku papa adalah ibarat  kamus berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia mampu memberi solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama berperan sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih butuh pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh pendidikan Pascasarjana dan Doktoral. Aku  lihat  tidak semuanya, namun mereka semuanya cukup well educated. Mereka menjadi well educated karena sistem pendidikan mereka yang berkualitas. Umumnya tidak ada anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam belajar. Saat mengajar guru dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam mendidik.
Kalau kedapatan ada anak yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya dipanggil dan didenda oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA adalah gratis. Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka, tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi belajar mereka.
Televisi perancis juga tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak anak sekolah. Iklan televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi kalau materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik, makanan. Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam satu jam, tayangan televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di negara kita, yang mana tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan nyang panjang terkesan tidak banyak mendidik, tapi malah membuat masyarakat menjadi konsumerisme.
Kualitas pendidikan juga ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD, SMP dan SMA semuanya menerapkan model pembelajaran fun learning. Fun learning juga dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan. Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada dalam ruangan, namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk belajar ke luar kelas, malah sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi tersebut, aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka berjalan di taman, di jalan dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan, mengikuti alur alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani untuk berbicara dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat bahwa sebahagian siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh guru “semuanya betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber kebenaran secara mutlak.
Di Perancis saat mereka entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan guru dan murid sangat terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus begini....ibuk kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab, namun ada yang protes kenapa begitu mon pere dis moi nes pas comme ca (ayah ku bilang tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku lihat bahwa sosok guru bukan sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk berbicara dan ruangan terkesan bruyant (ribut) gurunya terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan anak anak didik mereka. Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan adanya  suasana yang kreatif. Guru Tk tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau anak-anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke lapangan. Mereka semua adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap anak didik mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian hubungan guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang tua tidak satupun yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.

Senin, 23 Mei 2016

Sweet memory dari Perancis



Sweet memory dari Perancis

Welcome in Batusangkar
            Tidak terasa aku tiba lagi di tanah kelahiranku Padang Ganting- Batusangkar. Aku seharusnya dijemput oleh keluarga ku- ayah, dan uni. Namun dalam kenyataan bahwa aku tidak dijemput- tetapi aku menjemput. Aku menjemput mereka, ya karena aku yang menunggu mereka lebih duluan di bandara Internasional Soekarno- Hatta, Jakarta. Setelah mengurus beberapa hal, keesokan harinya  kami naik pesawat lagi menuju Padang, Sumatera Barat.
            Tentu saja memoriku tentang Perancis dan Paris masih hangat, karena kayaknya baru kemaren aku berada di sana. Aku masih ingat bahwa aku mengalami banyak pengalaman manis dan juga sejumlah keterbatasan hidup.
 “ Ada penglaman menyenangkan dan juga pengalaman susah, ya...banyak susahnya, apalagi aku termasuk warga baru di sana. Aku menemukan beberapa hal cukup kontra dengan  kondisi di kampungku  sendiri- di Batusangkar. Dalam  lingkungan keluarga aku bisa memperoleh banyak kemudahan dan  merasa hidup lebih nyaman. Di Perancis semua suka dan duka musti dihadapi dan diatasi sendiri”
            Kisah nyata ini berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”. Tentu saja kisah nyata ini berisi tentang ide-ide dan kisahku dari A sampai Z, dari Padang Ganting, sebuah desa kecil dekat Batusangkar, hingga ke Menara Eiffel di Perancis. Aku juga  akan  memaparkan eksistensi Istano Basa Pagaruyung dan Eiffel itu sendiri.
Eiffel dan Istano Basa Pagaruyung  adalah dua situs sejarah yang sangat terkenal di dunia yang berada di dua negara dan dua budaya yang amat berbeda. Eiffel dibangun oleh  ahli arsitektur beberapa abad silam dan Istano Basa Pagaruyung  dibangun oleh masyarakat melalui sistem adatnya. Dalam  membangun  Rumah  Gadang di nagari Pagaruyung  tidak hanyak sebatas masalah  duit, tetapi juga melibatkan unsur adat, dan ninik mamak (kaum kerabat dalam suku). Mereka melaksanakan  seremoni adat, musyawarah dan selanjutnya juga melibatkan sumbangan kaum kerabat.
            Dari Perancis aku memahami betapa besarnya sumbangan keluarga kerajaan Pagaruyung itu sendiri untuk lokasi pembangunan Istano Basa Pagaruyung itu sendiri. Sehingga akhirnya di sana bisa berdiri sebuah Rumah Gadang atau Istano Basa Pagaruyung yang melambangkan bangunan kebudayaan Minangkabau. Sekali lagi bahwa bangunan ini bisa berdiri berkat kerja sama pemerintah- kaum adat dan masyarakat Minangkabau dari berbagai daerah di negeri ini. Sementara itu Eiffel dibangun hanya atas nama ahli yang bernama Gustave Alexandre Eiffel tahun 1889.
            Aku berasal dari desa kecil dekat Batusangkar, yaitu Desa Padang Gantiang. Di sana aku tumbuh. Kata papa bahwa waktu kecil terlihat lugu dan amat pemalu. Papa dan mama selalu  memotivasiku untuk menjadi gadis yang berani, hingga aku bisa melepaskan  “topeng malu” itu sendiri.
Kalau aku runut kembali tentang perkembangan  pribadiku, dari orang pemalu hingga bisa jadi berani, aku  merasa hal itu sebagai hal yang incredible (suatu hal yang cukup luar biasa). Aku mulai dari zero dan bisa menjadi new hero, paling kurang untuk kaum perempuan atau orang-orang di daerah pinggir di negeriku- Padang Gantiang. Sebenarnya  kisah perjalan hidupku yach ..... biasa- biasa  saja.
            Jujur saja, kalau aku  renungkan  kembali perjalanan ini “until I get master” dalam bidang ilmu pengetahuan dari Universitas Sorbone- sebuah Universitas yang sangat terkemuka di Eropa dan malah juga terkemuka di dunia “Wow...I feel it very amazing”. Aku rasa bahwa perjalan hidupku dari awal hingga sekarang pastilah tidak mudah bagiku untuk mencapainya. Aku melakukan  banyak usaha dan pengorbanan.
 Aku memperoleh banyak dorongan dari keluarga. Setiap kali aku “down”- ya aku bisa ambruk” maka pasokan semangat dan energi motivasi dari mereka sungguh sangat berarti. Aku selalu memperoleh support dari mereka.
Support itu sendiri tidak diperoleh dengan serta merta, pasti  berawal dari kegagalanku dan baru  muncul support mereka. Ada stimulus maka ada pula response.
Master Degree yang aku peroleh di Sorbone Universite sekarang adalah kumpulan dari serangkaian jerih payah yang telah aku lakukan dan aku lewati. Aku sekarang sangat appreciate atas perjalanan hidupku sendiri.

Proses Panjang
            Sebelum mendapatkan degree of master di universitas Eropa ini, aku sebelumnya harus melewati proses pendidikan dari SD, SMP dan SMA di desa kecil di Pinggiran bukit dekat Batusangkar. Kemudian  aku melangkah menuju Universitas Andalas di Padang, terus ke Universitas Udayana, di Denpasar- Bali, dan selanjutnya aku terbang melintasi benua menuju Sorbone di Jantung Eropa.
Dalam tesis studiku  di Sorbone- aku menyatakan bahwa keberhasilan itu aku persembahkan  buat mereka:  kedua orangtua ku yang tercinta, juga keluarga dan kerabatku, serta tidak ketinggalan pula dukungan dari banyak orang dari kampung dan kampusku.
            Aku masih ingat bahwa saat aku baru saja selesai ujian mempertahankan tesis, aku merasa tidak sabaran  untuk  mengirim SMS ke berbagai orang yang  amat berjasa padaku “Hai....terimakasih...atas doa, dukungan kalian,  lewat  pertolonganmu...aku baru saja selesai memperoleh  master , Alhamdulillah”. Appresiasi ini aku lakukan bahwa aku  bisa begini ya karena dukungan dan dorongan dari mereka.
            “Aku bisa begini bukan karena usahaku semata tapi adalah berkata dukungan orangtuaku...sahabatku....familiku....orang orang yang begitu ikhlas pada ku”. Appresiasi ini tak mungkin aku wujudkan dengan uang, namun dengan rasa syukurku yang begitu mendalam  pada Tuhan dan rasa terimakasih yang tulus pada mereka-mereka yang amat aku cinta.
Ya pada hari H tersebut aku sibuk SMS-SMSan hingga larut malam “I finish my study...I finish my study, merci beaucoup pour tout”.
            Seminggu setelah berada lagi di kampungku, ya aku sempatkan untuk  berbagi cerita dan berbagi pengalaman dengan para siswa SMA Negeri 1 Padang Ganting dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Aku diberi kesempatan untuk mempresentasikan penglaman belajarku from Batusangkar hingga  Eiffel atau Perancis. Aku tetap bersemangat walau para siswa tengah berpuasa dan tampak sedikit mengantuk, karena aku bersemangat maka semangatku juga menular pada mereka. Aku ingin mereka juga bisa mengikuti jejak studiku dari Batusangkar hingga ke Sorbone.
            Sebenarnya bagi siswa yang belajar di kaki bukit dekat Batusangkar, untuk bisa menembus pendidikan di Universitas favorite di Indonesia- seperti di Universitas Indonesia, ITB, Unpad, UGM...sungguh sungguh amat sulit, apalagi untuk menuju Sorbone. Namun aku mengatakan pada mereka kalau dulu bagiku menuju Sorbone adalah amat mustahil...ya karena saat itu banyak keterbatasan. Maka kini dengan kemudahan berbagai tekhnologi informasi “Internet bisa diakses melalui  phonecell di tangan”. Maka aku yakinkan mereka bahwa hal-hal yang tidak bisa akan bisa menjadi  luar biasa. “Kuncinya adalah ketekunan , motivasi dan percaya diri”. 
            Aku juga berbagi motivasi kepada mereka, “Kalau sekarang infomasi buat sukses sudah cukup banyak, bisa diperoleh secara langsung dari orang orang yang datang sebagai pelaku sukses dari universitas. Juga bisa diperoleh lewat internet dengan akses yang begitu mudah. Nah sekarang mengapa tidak mencoba untuk menuju sukses..mengapa musti takut....mengapa musti ragu”.
            Aku mensupport para  junior tersebut “Ya coba lihat aku sekarang...kok aku bisa..!” Pada hal di zaman aku sekolah SMP dan SMA akses menuju ibukota kabupaten begitu sulit, aku harus menunggu mobil yang bermerek STS yang warnanya merah hampir satu atau dua jam, itupun untuk pergi les Bahasa Inggris yang berlokasi dalam kota kecil, Barusangkar.
“Namun kamu  sekarang  begitu mudah, kamu udah punya transpor sepeda motor..atau paling kurang naik ojek yang siap mengantarkan kamu kapan saja. Seharusnya kamu akan jauh lebih sukses dari saya”.
            Aku sebagai tokoh dalam kisah nyata yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”. Andai tokohnya  adalah seorang cowok maka itu hal yang biasa. Atau andai aku sebagai tokoh perempuan  yang berasal dari metropolis  bisa sukses dalam pendidikan sampai di Sorbone, maka itu juga hal  biasa. Namun aku adalah tokoh seorang perempuan kampung,  yang berasal dari pinggir bukit dekat kota kecil pula- kota Batusangkar, dan waktu kecil akupun sebagai perempuan kecil yang amat pemalu, namun kemudian melalui serangkaian perjalanan panjang yang penuh perjuang hingga bisa menyelesaikan pendidikan master pada Sorbone, lebih cepat dari target, maka aku sebagai tokoh akan menjadi luar biasa.
            Aku rasa bahwa kisah nyata “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis” ini akan sarat dengan pesan-pesan buat pembacanya. Intinya bahwa pembaca  peduli selalu dengan emansipasi perempuan’
 “Bahwa perempuan harus selalui  bangkit untuk pendidikan. Perempuan desa sekalipun- jangan kehilanghan semangat dan mudah putus asa, jangan terlalu banyak lagi mengkhawatirkan atas keterbatasan  diri sendiri”.
            Dulu orang memang banyak mengkhawatirkan anak perempuan untuk studi ke tempat yang jauh. Orang tua cemas  kalau anak perempuan  mereka tidak mampu hidup...cemas kalau   anak perempuan bakal ditimpa kesusahan dan bencana. Yang ditanamkan pada diri anak perempuan adalah rasa takut dan rasa cemas.
 “Wah mama takut kamu bakal diganggu orang....mama takut kamu bakal kelaparan dan sakit”,  dan akhirnya anak perempuan akan tumbuh jadi kerdil.
 Seharusnya anak perempuan  juga harus “Keep struggle- tetaplah berjuang hidup” sebagaimana halnya semangat anak laki-laki.
 “Mengapa anak laki-laki diizinkan dan diberi kepercayaan untuk belajar ke ibukota propinsi dan malah sampai ke universitas favorite di Pulai Jawa. Kalau begitu  anak- anak perempuan juga perlu memperoleh kesempatan dan hak seperti itu (?)”
            Sebenarnya perjalanan dan perjuanganku juga sarat dengan  keraguan yang datang dari famili dan kedua orang tuaku. Namun aku sudah memilihki pagar- pagar atau rambu-rambu  mengenai  kehidupan. Aku mengerti tentang “some do’s dan some dont’s (beberapa hal yang aku boleh lakukan dan beberapa hal yang musti aku hindari)”.
Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang gadis asal Minangkabau- atau wanita timur. Intinya aku tetap memakai aturan agama dan nilai sopan santun sebagai orang timur.
            “Aku harus berada dalam pagar  tersebut. Kalau aku lompat pagar maka aku khawatir kalau ada buaya- ada  celaan.  Maksudnya kalau di negeri ku hidup itu musti ada tata krama timur, sedangkar di Eropa mereka menganut kebebasan yang sangat bebas dalam bertindak”.
 Usahaku untuk bergerak dari perempuan kecil yang terbatas  dengan wawasan, memiliki rasa percaya diri yang rendah...ya melalui serangkaian usaha. Aku sering jatuh dan bagun. Ketika aku jatuh atau gagal maka aku tidak perlu meratapi kegagalan itu. Aku harus segera bangkit atau bangun. Jatuh  dan bangun dalam perjuang untuk meningkatkan kualitas diri  dengan melalui serangkaian “move on- selalu bergerak dan berusaha”.
Bukan menunggu dan berdiri dengan penuh ragu-ragu, apalagi tanpa percaya diri. “Kalau gagal ya jangan patah hati...ayo coba lagi  dan bangkit lagi !!!”.
            Larangan dan dorongan dari keluarga aku rangkum menjadi resep hidup buatku selama dalam perjalanan hidup di rantau orang. Ternyata sangat dahsyat bagiku dalam menuntun diri sendiri.
Aku menyedari bahwa kemampuan akademikku saat di SMP dan SMA masih sebatas rata-rata. Di SMA dulu aku bukan termasuk siswa yang memperoleh juara umum, aku malah tercatat sebagai siswa yang  cuma rangking empat besar di kelas. Namun kemudian aku sadar dan banting stir, bahwa aku harus hebat dalam bidang akademik namun tidak perlu terlalu kutu buku. Maka  aku juga  aktif dalam organisasi sekolah- juga aktif dalam kegiatan masyarakat di sekitar rumahku.
            Sekali lagi bahwa saat aku di SMA, prestasiku tidak begitu cemerlang, tidak seperti adik dan kakakku. Mereka pernah menjadi student teladan- atau sekarang dikenal dengan istilah “siswa berprestasi” di sekolah. Terus terang saat itu figurku adalah kakakku. Akhirnya melalui figur dari kakak, semangat suksesku bisa update lebih baik.
            Dengan  menyadari segala keterbatasanku- keterbatasan sebagai konsekuensi tinggal di kampung, yang notabenenya miskin dengan informasi dan ilmu pengetahuan, keterbatasanku dalam bidang akademi yang cuma rata-rata (sebagai siswa yang hanya biasa biasa saja). Sebagai anak kampung, aku cuma sibuk dengan eksplorasi namun miskin dengan outlook (pandangan keluar) hingga batu loncatan buat suksesku kurang bagus.
            Walau aku memiliki batu loncatan yang kurang bagus, namun dalam membidik sukses aku menggunakan strategi yang aku sebut sebagai “pandai-pandai dalam melihat peluang”.  Kita pengen ke sana tetapi kita tidak bisa, kita melihat rumput tetangga lebih hijau, dan kita berfikir bagai rumput di daerah mereka bisa hijau. Ya bagaimana aku bisa sukses kayak tetangga dan itu membutuhkan juga banyak peluang. Untuk memperoleh batu loncatan yang bagus ya perlu banyak trik trik yang hebat yang musti juga aku lakukan. 
Sekali lagi, kalau aku runut kebelakang, aku kagum sendirian bahwa ternyata  aku cukup hebat dalam mendisiplinkan waktu buat belajar dan buat melakukan serangkaian aktivitas. Hingga  sekarang aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan memiliki  gelar edukasi dari Perancis. Walaupun itu belum apa-apa  dibandingkan dengan  mereka yang sudah memperoleh Doktor dari sana. Namun bagiku sebagai perempuan yang tulen besar di kampung, gelar akademis yang demikian  maknanya sudah amat luar biasa.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...