Remaja
Perlu Punya Mimpi
Apa sih mimpiku
buat masa depan ? Melalui kisah nyata Tuntutlah
Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis ini aku ingin para remaja untuk memiliki mimpi- yaitu memiliki
cita-cita buat masa depan mereka.
Aku juga ingin memaparkan
beberapa mimpi atau keinginanku. Aku ingin berbagi cerita agar kaum perempuan,
termasuk yang berada di daerah pinggir,
agar bisa melakukan move on. Sekali lagi bahwa mereka harus melakukan MOVE ON,
yaitu bergerak, berusaha, berkarya dan belajar selalu. Jangan statis, beku
apalagi serba pasif.
Aku
sebagai tokoh dapat dikatakan sebagai perempuan yang pada mulanya ultra kampung
yang sering menemui banyak kekagetan atau
cultural- shocked. Aku sudah memperoleh comparison (perbandingan) antara timur dan barat melalui pengalaman hidup selama tinggal
di Paris.
Aku jadi mengerti bahwa “ternyata sistem pendidikan yang bagus
seperti ini... tidak hanya membebek padas guru, tidak hanya nrimo saja”.
Aku juga memperoleh
studi di bidang pariwista maka aku berani mengungkapkan bahwa “pariwisata kita
jauh lebih bagus dari pariwisata Perancis itu sendiri”. Namun problemnya adalah
pengelolaan pariwisata kita sangat kurang....jauh lebih kurang dibandingkan
Perancis.
Pengembangan pariwisata
kita tampaknya masih tergantung dari sistem proyek. “Kalau tidak ada proyek
maka asset wisata yang begitu eksotik dibiarkan sia-sia saja hingga tidak
berjalan lagi”.
“Pembangunan
dan pengelolaan wisata Perancis bersifat kontinue sepanjang waktu. Mereka telah
membuat kalender event wisata begitu detail. Mengapa demikian....ya karena
wisata mereka sudah bien organisee (well
organized). Pengembangan pariwisatanya terlaksana secara desentralisasi
yang profesional. Sekali lagi- kalau pengembangan pariwisata kita terkesan berdasarkan proyek secara desentralisasi”.
Aku
juga ingin menyampaikan kepada para ABG- anak baru gede atau para remaja
sebagai pembaca buku dan bacaan lain yang terhebat di dunia. Para ABG adalah orang
orang yang memiliki kemampuan dan semangat yang lebih besar di bandingkan
kelompok generasi yang lain. Di mana- mana ada aktivitas pasti para ABG
menempati porsi yang lebih banyak. Konsert musik dan event olah raga selalu penuh oleh dukungan remaja (ABG).
“Karena ABG memiliki semangat yang gede maka
aku berharap agar mereka memanfaatkan semangat tersebut untuk hal-hal yang
positif untuk menuju masa depan. Dengan memiliki sebuah masa depan maka cobalah untuk move on bersama mimpi itu. Mimpi
tersebut dapat diwujudkan melalui semangat”.
Aku
fikir bahwa para ABG perlu berfikir untuk jangka panjang.....untuk masa depan. Arah
visi mereka kemana ? Untuk pengembangan visi...ya perlu rencana jangka panjang.
Visi jangka panjang perlu didukung oleh banyak ilmu pengetahuan. Untuk itu
mereka perlu membaca yang harus ekstra
banyak. Mereka harus cari tahu tentang isue-isue tentang dunia 20 atau 30 tahun
ke depan dan jangan hanya bersikap
apatis.
Sebagian
remaja memang ada yang
belum punya mimpi. Begitu ditanya tentang masa depan, mereka banyak menjawab “I don’t know...I don’t
know”.
Penyebanya adalah
remaja sekarang hidupnya serba gampang. Mereka selalu merasa keenakan. Alam
juga membuat mereka jadi manja. Akibatnya mereka cenderung berkata “wah esok
itu akan ngampang aja”.
Contohnya
kalau mereka berhalangan untuk hadir, untuk menyampaikan problem juga gampang.
Cukup telepon aja atau kirim SMS ...ya beres. Kalau dulu untuk memberi khabar
harus kirim surat dan mencari orang untuk mengantarkan surat tersebut.
Problemnya lagi bahwa teman itu sendiri jaraknya jauh, kita harus jalan. Sekali
lagi kalau sekarang kita bisa naik ojek atau kasih telpon, jadi hidup begitu
enak dan tantangan hidup jadi kurang.
Fasilitas yang serba
mudah bisa membuat orang kehilangan motivasi untuk jadi maju. Aku melihat
fenomena tersebut. Setelah itu yang membuat para ABG susah untuk move on adalah
karena kurang terbiasa untuk mandiri
“semua serba di bantu, makan dihidang, pakaian disetrikakan, kebutuhan yang
lain disediakan...mereka minim usaha dan minim pengalaman hidup”.
Karena aku sudah punya
pengalaman hidup di Eropa, aku bisa membandingkan kehidupan mereka dengan
kehidupan kita. “Jauh sekali bedanya,
kalau dari budaya kemandirian, mereka punya
budaya yang lebih invidu.
Individualism tentu tidak pas buat kita. Efek dari kemandirian juga ada
bagusnya- mereka lebih struggle..mereka
lebih berjuang.
Umur 20 tahun mereka
musti ke luar rumah, mereka harus hidup mandiri. Namun sistem pemerintahan
memandang bahwa anak- anak yang usianya masih 25 tahun ke bawah dianggap masih
kecil, sehingga mereka musti punya kartu khusus dan dalam menggunakan fasilitas
umum, seperti naik bus, trem...mereka akan memperoleh banyak potongan harga.
Walau pemerintah memberi mereka banyak kemudahan dalam memberikan potongan harga..itu
semua punya tujuan untuk mengimprove mereka. Semenatara mereka harus ke luar
rumah dan mandiri yang dilakukan oleh keluarga...juga untuk mengimprove mereka.
“Terlihat bahwa umur 20
tahu mereka harus dilepas...dan pemerintah menerima mereka dengan memberikan
layanan kemudahan hidup sampai usia 25 tahun. Jadi ada sistem membina untuk
kemandirian generasi muda mereka. Bukan terlalu memuji kalau aku berani
menyatakan bahwa orang Perancis sangat kommitment dengan dirinya. Really they have self commitment”.
Aku berfikir bahwa para
remaja kita yang bisa melakukan move on dan berhasil, itu terjadi karena mereka
memiliki kommitment yang hebat. Aku
melihat bahwa ibunya anak-anak Perancis
tidak monopoli kekuasaan- tidak suka banyak memerintah, tetapi malah
menghargai. Begitu anak melakukan
aktivitas positif, ya langsung diberi reward- pujian dan penghargaan.
“Anak-anak yang orang
tuanya sangat otoriter, gemar bertengkar, gemar mengomel...ya akhirnya
pendidikan anak juga tidak akan berjalan mulus”.
Remaja juga bakal
tumbuh sukses andai mereka punya orang tua, sebagai figur, yang punya
kesibukan. Sehingga mereka mengappreciate bahwa hidup memang butuh kesibukan
atau akativitas.
Aku berasal dari
keluarga, dimana orang tuaku memilkiki tiga orang anak perempuan. Namun walau
kami semua perempuan kami semua harus keep
struggle sebagaimana halnya anak-anak laki-laki. Papa sering berkata: “Kamu
harus kuat, dan tidak boleh cengeng. Tidak zamannya lagi bagi perempuan untuk
bersikap cengeng, karena cengeng melambangkan sebagai karakter yang lemah.
Orang yang lemah akan mudah diotak atik
oleh orang lain”.
Papa juga mengajarkan bahwa aku harus tahu dan
menguasai hal hal yang baru, kalau tidak aku bakal ketinggalan. Lain halnya
dengan mamaku, ia lebih suka memberitahu tentang batasan-batasan “kamu tidak
boleh begini dan kamu harus melakukan ini”.
Dengan cara demikian aku jadi
tahu tentang berbagai rule of life
(peraturan hidup). Ini aku peroleh lewat dialog.
“Dialog keluarga perlu
selalu untuk dijaga/ dipelihara dan selalu dikembangkan. Apalah yang akan
terjadi andai suatu keluarga jarang berdialog, maka pasti anggota keluarga akan
jalan sendiri- sendiri dan mereka juga tidak akan akrab dan utuh”.
Melalui kisah nyata ini
aku juga ingin, secara sekilas, membandingkan perempuan di pedesaan Perancis
dan perempuan di desaku sendiri. Perempuan di desaku hidup dibawah pengaruh keluarga, mereka belum punya
kemerdekaan sepenuhnya...namun itu bagus menurut kulturku. Pasti intinya demi keamanan
dan perlindungan terhadap perempuan itu sendiri.
“Namun jeleknya, mereka menjadi kaku dalam membikin decision
(keputusan) buat hidupnya”. Well.....!! Di kampungku terlalu banyak
musyawarahnya dalam mengambil keputusan, sehingga seseorang susah untuk menjadi dewasa. Di Perancis
seseorang merasa dewasa kalau sudah
tamat kuliah atau kalau sudah bekerja.
Dalam kultur kita,
selama kita masih kuliah maka kita masih belum dewasa dan belum ada kekuasan
dalam membuast keputusan yang penuh. Namun
kadang- kadang, seperti halnya aku, meski udah bekerja dan tamat kuliah,
mama dan papaku masih tetap mengurusku seperti mengurus anak kecil. “Akhirnya
kita merasa terbuai dan termanja gara gara campur tangan orang tua yang kelewat
banyak. Orang tua berfikir bahwa aku masih sebagai seorang gadis yang harus
diayomi selalu”.
Di perancis, keluarga
memperkenalkan budaya demokrasi dan setiap anak harus memiliki nilai struggle yang hebat. Orang tua akan
berkata “kamu harus menjadi desicion
maker untuk dirimu sendiri, hidup kamu tergantung pada- kamu mau susah atau
kamu mau senang semua tergantung pada kamu ”.
Namun kalau di sini,
musti bawa-bawa nama keluarga. Kalau menjadi orang sukses dan orang baik, maka
nama keluarga juga jadi baik. Kalau kamu melakukan kesalahan atau sampai
membuat hal yang kontra, maka nama keluarga akan ikut tercemar. Kalau di
Perancis tidak begitu, “Kalau kamu gagal dalam hidup ya resikonya buat kamu
sendiri. Sekali lagi bahwa kalau dalam budaya kita, keberhasilan dan kegagalan
akan dikaitkan dengan keluarga besar kita.
Aku Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola
fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang teman yang sempat
mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat selama satu
tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada
pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah
menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia
suka memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran
secara serta merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko
bahwa orang tua merasa ditentang.
Namun bagiku, aku akan
menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan)
pola fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita
itu bagus dari pada budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku
lihat budaya fikir mereka dengan semangat struggle (berjuang) juga sangat bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua
juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap terbuka pada
anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan dengan
melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku
lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka dilepas, bila
ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di
sana. Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau
saya salah ya ini hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang
bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak mereka. Pasti orang tua
memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka berusaha untuk
mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya bahwa
orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar
memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi semata, karena itu itu
tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak sisi. Sebagai
target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya). Hidup
itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi
juga bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa
meskipun aku sudah menjadi decision maker
(pengambil keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila
aku tidak tahu satu hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan
mamaku. Bagiku papa adalah ibarat kamus
berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia mampu memberi
solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama berperan
sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa
bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih
butuh pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa
apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh pendidikan Pascasarjana
dan Doktoral. Aku lihat tidak semuanya, namun mereka semuanya cukup well educated. Mereka menjadi well
educated karena sistem pendidikan mereka yang berkualitas. Umumnya tidak ada
anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam belajar. Saat mengajar guru
dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam mendidik.
Kalau kedapatan ada
anak yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya dipanggil dan
didenda oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA adalah
gratis. Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka,
tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi
belajar mereka.
Televisi perancis juga
tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak anak sekolah. Iklan
televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi kalau
materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik,
makanan. Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam
satu jam, tayangan televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di
negara kita, yang mana tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan
nyang panjang terkesan tidak banyak mendidik, tapi malah membuat masyarakat
menjadi konsumerisme.
Kualitas pendidikan
juga ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD, SMP dan SMA
semuanya menerapkan model pembelajaran fun
learning. Fun learning juga
dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan
menyenangkan. Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada
dalam ruangan, namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk
belajar ke luar kelas, malah sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi
tersebut, aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka berjalan di taman,
di jalan dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan,
mengikuti alur alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani
untuk berbicara dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat
bahwa sebahagian siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan
oleh guru “semuanya betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber
kebenaran secara mutlak.
Di Perancis saat mereka
entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan guru dan murid sangat
terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus begini....ibuk
kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat
antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab, namun ada yang
protes kenapa begitu mon pere dis moi nes
pas comme ca (ayah ku bilang tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam
berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku lihat bahwa sosok guru bukan
sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk
berbicara dan ruangan terkesan bruyant
(ribut) gurunya terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan
anak anak didik mereka. Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan
adanya suasana yang kreatif. Guru Tk
tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau
anak-anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku
lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke lapangan. Mereka semua
adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap anak didik
mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu
maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian
hubungan guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang
tua tidak satupun yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini
yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them