Sweet memory dari Perancis
Welcome in Batusangkar
Tidak
terasa aku tiba lagi di tanah kelahiranku Padang Ganting- Batusangkar. Aku
seharusnya dijemput oleh keluarga ku- ayah, dan uni. Namun dalam kenyataan
bahwa aku tidak dijemput- tetapi aku menjemput. Aku menjemput mereka, ya karena
aku yang menunggu mereka lebih duluan di bandara Internasional Soekarno- Hatta,
Jakarta. Setelah mengurus beberapa hal, keesokan harinya kami naik pesawat lagi menuju Padang,
Sumatera Barat.
Tentu
saja memoriku tentang Perancis dan Paris masih hangat, karena kayaknya baru
kemaren aku berada di sana. Aku masih ingat bahwa aku mengalami banyak
pengalaman manis dan juga sejumlah keterbatasan hidup.
“ Ada penglaman menyenangkan dan juga
pengalaman susah, ya...banyak susahnya, apalagi aku termasuk warga baru di
sana. Aku menemukan beberapa hal cukup kontra dengan kondisi di kampungku sendiri- di Batusangkar. Dalam lingkungan keluarga aku bisa memperoleh
banyak kemudahan dan merasa hidup lebih
nyaman. Di Perancis semua suka dan duka musti dihadapi dan diatasi sendiri”
Kisah
nyata ini berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”. Tentu saja kisah
nyata ini berisi tentang ide-ide dan kisahku dari A sampai Z, dari Padang
Ganting, sebuah desa kecil dekat Batusangkar, hingga ke Menara Eiffel di
Perancis. Aku juga akan memaparkan eksistensi Istano Basa Pagaruyung
dan Eiffel itu sendiri.
Eiffel dan Istano Basa Pagaruyung adalah dua situs sejarah yang sangat terkenal
di dunia yang berada di dua negara dan dua budaya yang amat berbeda. Eiffel
dibangun oleh ahli arsitektur beberapa
abad silam dan Istano Basa Pagaruyung
dibangun oleh masyarakat melalui sistem adatnya. Dalam membangun
Rumah Gadang di nagari
Pagaruyung tidak hanyak sebatas
masalah duit, tetapi juga melibatkan unsur adat, dan ninik mamak (kaum
kerabat dalam suku). Mereka melaksanakan
seremoni adat, musyawarah dan selanjutnya juga melibatkan sumbangan kaum
kerabat.
Dari
Perancis aku memahami betapa besarnya sumbangan keluarga kerajaan Pagaruyung
itu sendiri untuk lokasi pembangunan Istano Basa Pagaruyung itu sendiri.
Sehingga akhirnya di sana bisa berdiri sebuah Rumah Gadang atau Istano Basa
Pagaruyung yang melambangkan bangunan kebudayaan Minangkabau. Sekali lagi bahwa
bangunan ini bisa berdiri berkat kerja sama pemerintah- kaum adat dan
masyarakat Minangkabau dari berbagai daerah di negeri ini. Sementara itu Eiffel
dibangun hanya atas nama ahli yang bernama Gustave Alexandre
Eiffel tahun 1889.
Aku
berasal dari desa kecil dekat Batusangkar, yaitu Desa Padang Gantiang. Di sana
aku tumbuh. Kata papa bahwa waktu kecil terlihat lugu dan amat pemalu. Papa dan
mama selalu memotivasiku untuk menjadi
gadis yang berani, hingga aku bisa melepaskan
“topeng malu” itu sendiri.
Kalau aku runut kembali
tentang perkembangan pribadiku, dari
orang pemalu hingga bisa jadi berani, aku
merasa hal itu sebagai hal yang incredible
(suatu hal yang cukup luar biasa). Aku mulai dari zero dan bisa menjadi new
hero, paling kurang untuk kaum perempuan atau orang-orang di daerah pinggir di
negeriku- Padang Gantiang. Sebenarnya
kisah perjalan hidupku yach ..... biasa- biasa saja.
Jujur
saja, kalau aku renungkan kembali perjalanan ini “until I get master”
dalam bidang ilmu pengetahuan dari Universitas Sorbone- sebuah Universitas yang
sangat terkemuka di Eropa dan malah juga terkemuka di dunia “Wow...I feel it
very amazing”. Aku rasa bahwa perjalan hidupku dari awal hingga sekarang
pastilah tidak mudah bagiku untuk mencapainya. Aku melakukan banyak usaha dan pengorbanan.
Aku memperoleh banyak dorongan dari keluarga.
Setiap kali aku “down”- ya aku bisa ambruk” maka pasokan semangat dan energi
motivasi dari mereka sungguh sangat berarti. Aku selalu memperoleh support dari
mereka.
Support itu sendiri
tidak diperoleh dengan serta merta, pasti
berawal dari kegagalanku dan baru
muncul support mereka. Ada stimulus maka ada pula response.
Master
Degree yang aku peroleh di Sorbone Universite sekarang
adalah kumpulan dari serangkaian jerih payah yang telah aku lakukan dan aku
lewati. Aku sekarang sangat appreciate
atas perjalanan hidupku sendiri.
Proses
Panjang
Sebelum
mendapatkan degree of master di universitas Eropa ini, aku sebelumnya harus
melewati proses pendidikan dari SD, SMP dan SMA di desa kecil di Pinggiran
bukit dekat Batusangkar. Kemudian aku
melangkah menuju Universitas Andalas di Padang, terus ke Universitas Udayana,
di Denpasar- Bali, dan selanjutnya aku terbang melintasi benua menuju Sorbone
di Jantung Eropa.
Dalam tesis
studiku di Sorbone- aku menyatakan bahwa
keberhasilan itu aku persembahkan buat
mereka: kedua orangtua ku yang tercinta,
juga keluarga dan kerabatku, serta tidak ketinggalan pula dukungan dari banyak
orang dari kampung dan kampusku.
Aku
masih ingat bahwa saat aku baru saja selesai ujian mempertahankan tesis, aku
merasa tidak sabaran untuk mengirim SMS ke berbagai orang yang amat berjasa padaku
“Hai....terimakasih...atas doa, dukungan kalian, lewat
pertolonganmu...aku baru saja selesai memperoleh master , Alhamdulillah”. Appresiasi ini aku
lakukan bahwa aku bisa begini ya karena
dukungan dan dorongan dari mereka.
“Aku
bisa begini bukan karena usahaku semata tapi adalah berkata dukungan
orangtuaku...sahabatku....familiku....orang orang yang begitu ikhlas pada ku”.
Appresiasi ini tak mungkin aku wujudkan dengan uang, namun dengan rasa syukurku
yang begitu mendalam pada Tuhan dan rasa
terimakasih yang tulus pada mereka-mereka yang amat aku cinta.
Ya pada hari H tersebut
aku sibuk SMS-SMSan hingga larut malam “I finish my study...I finish my study,
merci beaucoup pour tout”.
Seminggu
setelah berada lagi di kampungku, ya aku sempatkan untuk berbagi cerita dan berbagi pengalaman dengan
para siswa SMA Negeri 1 Padang Ganting dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Aku diberi
kesempatan untuk mempresentasikan penglaman belajarku from Batusangkar hingga Eiffel atau
Perancis. Aku tetap bersemangat walau para siswa tengah berpuasa dan tampak
sedikit mengantuk, karena aku bersemangat maka semangatku juga menular pada
mereka. Aku ingin mereka juga bisa mengikuti jejak studiku dari Batusangkar
hingga ke Sorbone.
Sebenarnya
bagi siswa yang belajar di kaki bukit dekat Batusangkar, untuk bisa menembus
pendidikan di Universitas favorite di Indonesia- seperti di Universitas
Indonesia, ITB, Unpad, UGM...sungguh sungguh amat sulit, apalagi untuk menuju
Sorbone. Namun aku mengatakan pada mereka kalau dulu bagiku menuju Sorbone
adalah amat mustahil...ya karena saat itu banyak keterbatasan. Maka kini dengan
kemudahan berbagai tekhnologi informasi “Internet bisa diakses melalui phonecell di tangan”. Maka aku yakinkan
mereka bahwa hal-hal yang tidak bisa akan bisa menjadi luar biasa. “Kuncinya adalah ketekunan ,
motivasi dan percaya diri”.
Aku
juga berbagi motivasi kepada mereka, “Kalau sekarang infomasi buat sukses sudah
cukup banyak, bisa diperoleh secara langsung dari orang orang yang datang
sebagai pelaku sukses dari universitas. Juga bisa diperoleh lewat internet
dengan akses yang begitu mudah. Nah sekarang mengapa tidak mencoba untuk menuju
sukses..mengapa musti takut....mengapa musti ragu”.
Aku
mensupport para junior tersebut “Ya coba
lihat aku sekarang...kok aku bisa..!” Pada hal di zaman aku sekolah SMP dan SMA
akses menuju ibukota kabupaten begitu sulit, aku harus menunggu mobil yang
bermerek STS yang warnanya merah hampir satu atau dua jam, itupun untuk pergi
les Bahasa Inggris yang berlokasi dalam kota kecil, Barusangkar.
“Namun kamu sekarang
begitu mudah, kamu udah punya transpor sepeda motor..atau paling kurang
naik ojek yang siap mengantarkan kamu kapan saja. Seharusnya kamu akan jauh
lebih sukses dari saya”.
Aku
sebagai tokoh dalam kisah nyata yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri
Perancis”. Andai tokohnya adalah seorang
cowok maka itu hal yang biasa. Atau andai aku sebagai tokoh perempuan yang berasal dari metropolis bisa sukses dalam pendidikan sampai di
Sorbone, maka itu juga hal biasa. Namun
aku adalah tokoh seorang perempuan kampung,
yang berasal dari pinggir bukit dekat kota kecil pula- kota Batusangkar,
dan waktu kecil akupun sebagai perempuan kecil yang amat pemalu, namun kemudian
melalui serangkaian perjalanan panjang yang penuh perjuang hingga bisa
menyelesaikan pendidikan master pada Sorbone, lebih cepat dari target, maka aku
sebagai tokoh akan menjadi luar biasa.
Aku
rasa bahwa kisah nyata “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis” ini akan
sarat dengan pesan-pesan buat pembacanya. Intinya bahwa pembaca peduli selalu dengan emansipasi perempuan’
“Bahwa perempuan harus selalui bangkit untuk pendidikan. Perempuan desa
sekalipun- jangan kehilanghan semangat dan mudah putus asa, jangan terlalu
banyak lagi mengkhawatirkan atas keterbatasan
diri sendiri”.
Dulu
orang memang banyak mengkhawatirkan anak perempuan untuk studi ke tempat yang
jauh. Orang tua cemas kalau anak
perempuan mereka tidak mampu
hidup...cemas kalau anak perempuan
bakal ditimpa kesusahan dan bencana. Yang ditanamkan pada diri anak perempuan
adalah rasa takut dan rasa cemas.
“Wah mama takut kamu bakal diganggu
orang....mama takut kamu bakal kelaparan dan sakit”, dan akhirnya anak perempuan akan tumbuh jadi
kerdil.
Seharusnya anak perempuan juga harus “Keep struggle- tetaplah berjuang
hidup” sebagaimana halnya semangat anak laki-laki.
“Mengapa anak laki-laki diizinkan dan diberi
kepercayaan untuk belajar ke ibukota propinsi dan malah sampai ke universitas
favorite di Pulai Jawa. Kalau begitu
anak- anak perempuan juga perlu memperoleh kesempatan dan hak seperti
itu (?)”
Sebenarnya
perjalanan dan perjuanganku juga sarat dengan
keraguan yang datang dari famili dan kedua orang tuaku. Namun aku sudah
memilihki pagar- pagar atau rambu-rambu
mengenai kehidupan. Aku mengerti
tentang “some do’s dan some dont’s (beberapa hal yang aku boleh lakukan dan
beberapa hal yang musti aku hindari)”.
Apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan oleh seorang gadis asal Minangkabau- atau wanita
timur. Intinya aku tetap memakai aturan agama dan nilai sopan santun sebagai
orang timur.
“Aku
harus berada dalam pagar tersebut. Kalau
aku lompat pagar maka aku khawatir kalau ada buaya- ada celaan.
Maksudnya kalau di negeri ku hidup itu musti ada tata krama timur,
sedangkar di Eropa mereka menganut kebebasan yang sangat bebas dalam
bertindak”.
Usahaku untuk bergerak dari perempuan kecil
yang terbatas dengan wawasan, memiliki
rasa percaya diri yang rendah...ya melalui serangkaian usaha. Aku sering jatuh
dan bagun. Ketika aku jatuh atau gagal maka aku tidak perlu meratapi kegagalan
itu. Aku harus segera bangkit atau bangun. Jatuh dan bangun dalam perjuang untuk meningkatkan
kualitas diri dengan melalui serangkaian
“move on- selalu bergerak dan berusaha”.
Bukan menunggu dan
berdiri dengan penuh ragu-ragu, apalagi tanpa percaya diri. “Kalau gagal ya
jangan patah hati...ayo coba lagi dan
bangkit lagi !!!”.
Larangan
dan dorongan dari keluarga aku rangkum menjadi resep hidup buatku selama dalam
perjalanan hidup di rantau orang. Ternyata sangat dahsyat bagiku dalam menuntun
diri sendiri.
Aku menyedari bahwa
kemampuan akademikku saat di SMP dan SMA masih sebatas rata-rata. Di SMA dulu
aku bukan termasuk siswa yang memperoleh juara umum, aku malah tercatat sebagai
siswa yang cuma rangking empat besar di
kelas. Namun kemudian aku sadar dan banting stir, bahwa aku harus hebat dalam
bidang akademik namun tidak perlu terlalu kutu buku. Maka aku juga
aktif dalam organisasi sekolah- juga aktif dalam kegiatan masyarakat di
sekitar rumahku.
Sekali
lagi bahwa saat aku di SMA, prestasiku tidak begitu cemerlang, tidak seperti
adik dan kakakku. Mereka pernah menjadi student teladan- atau sekarang dikenal
dengan istilah “siswa berprestasi” di sekolah. Terus terang saat itu figurku
adalah kakakku. Akhirnya melalui figur dari kakak, semangat suksesku bisa
update lebih baik.
Dengan menyadari segala keterbatasanku- keterbatasan
sebagai konsekuensi tinggal di kampung, yang notabenenya miskin dengan informasi
dan ilmu pengetahuan, keterbatasanku dalam bidang akademi yang cuma rata-rata
(sebagai siswa yang hanya biasa biasa saja). Sebagai anak kampung, aku cuma
sibuk dengan eksplorasi namun miskin dengan outlook (pandangan keluar) hingga
batu loncatan buat suksesku kurang bagus.
Walau
aku memiliki batu loncatan yang kurang bagus, namun dalam membidik sukses aku
menggunakan strategi yang aku sebut sebagai “pandai-pandai dalam melihat
peluang”. Kita pengen ke sana tetapi
kita tidak bisa, kita melihat rumput tetangga lebih hijau, dan kita berfikir
bagai rumput di daerah mereka bisa hijau. Ya bagaimana aku bisa sukses kayak
tetangga dan itu membutuhkan juga banyak peluang. Untuk memperoleh batu
loncatan yang bagus ya perlu banyak trik trik yang hebat yang musti juga aku
lakukan.
Sekali
lagi, kalau aku runut kebelakang, aku kagum sendirian bahwa ternyata aku cukup hebat dalam mendisiplinkan waktu
buat belajar dan buat melakukan serangkaian aktivitas. Hingga sekarang aku bisa menjadi pribadi yang lebih
baik dan memiliki gelar edukasi dari
Perancis. Walaupun itu belum apa-apa
dibandingkan dengan mereka yang
sudah memperoleh Doktor dari sana. Namun bagiku sebagai perempuan yang tulen
besar di kampung, gelar akademis yang demikian
maknanya sudah amat luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them