Aku Menggunakan Pola Fikir Gabungan
Bagaimana ya pola
fikirku setelah pulang dari Perancis ? Aku kenal ada seorang teman yang sempat
mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat selama satu
tahun. Sebelum pergi ke sana dia dikenal baik, karena suka serba mengikut pada
pola fikiran orang tua. Namun begitu pulang dari Amerika serikat, ayahnya telah
menganggap dia sebagai anak yang suka kontra dan keras kepala. Itu gara-gara ia
suka memiliki pola fikiran yang kritis- dan mengungkapkan perasaan dan fikiran
secara serta merta. Kalau tidak suka ya, ia bilang tidak suka, dengan resiko
bahwa orang tua merasa ditentang.
Namun bagiku, aku akan
menggunakan cara berfikir yang combine (gabungan)
pola fikir asliku dan pola fikir Eropa. Aku berfikir bahwa pasti budaya kita
itu bagus dari pada budaya fikir barat. Tetapi begitu aku pergi ke Eropa aku
lihat budaya fikir mereka dengan semangat struggle (berjuang) juga sangat bagus untuk disadur.
Aku pingin orang tua
juga mempersiapkan anak anak untuk struggle dan bersikap terbuka pada
anak-anak. Bila ada masalah keluarga maka ada baiknya untuk dibicarakan dengan
melibatkan anak-anak.
Budaya Minang yang aku
lihat ya bersifat “tarik ulur”. Seorang anak dilepas...mereka dilepas, bila
ternyata ada kesalahan ya ditarik lagi. Budaya tarik ulur begini tidak ada di
sana. Kalau salah ya salah kamu, kalau untung ya manfaatnya bagi kamu. “Kalau
saya salah ya ini hidup saya, yang lain mengapa harus repot repot mengurusku”.
Aku masih ingat tentang
bagaimana perlakuan orang tua Perancis pada anak-anak mereka. Pasti orang tua
memahami tentang perkembangan dan prilaku anaknya dan mereka berusaha untuk
mengembangkan anak anaknya buat menghadapi masa depan, jadi kesannya bahwa
orang tua Perancis sangat bertanggung jawab buat masa depan anak.
Anak anak disuruh agar
memiliki hobbi, namun jangan larut hanya dengan hobbi semata, karena itu itu
tidak hanya untuk satu sisi, anak musti mampu hidup dalam banyak sisi. Sebagai
target di Indonesia, bahwa setiap anak harus menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Tekhnologi), namun juga harus mantap IMTAQnya (Iman dan Taqwanya). Hidup
itu ada sisi A, B, C nya. Jadi anak jangan hanya menguasai sisi A saja, tetapi
juga bagus dalam menguasai sisi B dan C nya.
Aku merasa bahwa
meskipun aku sudah menjadi decision maker
(pengambil keputusan), namun aku masih memerlukan peran mama dan papaku. Bila
aku tidak tahu satu hal maka aku akan melemparkan permasalahanku pada papa dan
mamaku. Bagiku papa adalah ibarat kamus
berjalan, walau ia miskin dalam referensi pengetahuan, namun ia mampu memberi
solusi berdasarkan pengalaman hidup yang ia miliki. Sementara mama berperan
sebagai pemberi pertimbangan bagiku. Jadi begitu selesai pendidikan di Eropa
bukan berarti aku sudah mandiri dalam menggunakan pemikiran, ternyata aku masih
butuh pemikiran orang di sekitarku- sekali lagi mama dan papaku.
Ada yang bertanya bahwa
apakah orang tua yang di Perancis semuanya memperoleh pendidikan Pascasarjana
dan Doktoral. Aku lihat tidak semuanya, namun mereka semuanya cukup well educated. Mereka menjadi well
educated karena sistem pendidikan mereka yang berkualitas. Umumnya tidak ada
anak anak SD, SMP dan SMA yang berkeliaran saat jam belajar. Saat mengajar guru
dan stakedholder sekolah bekerja dengan profesional dalam mendidik.
Kalau kedapatan ada
anak yang berkeliaran pada saat jam belajar, maka orang tuanya dipanggil dan
didenda oleh pemerintah. Umumnya sekolah di Perancis dari SD sampai SMA adalah
gratis. Jadi orang tua sangat diminta untuk turut peduli dalam mendidik anak mereka,
tolonglah ikut mengantarkan anak kesekolah dan genjotlah disiplin dan motivasi
belajar mereka.
Televisi perancis juga
tidak begitu banyak mempengaruhi karakter konsumtif anak anak sekolah. Iklan
televisi sering menggoda anak anak untuk menjadi konsumtif, apalagi kalau
materi iklan khusus untuk konsumsi mereka seperti iklan parfum, kosmetik,
makanan. Aku perhatikan bahwa iklan di TV Perancis tidak begitu dominan. Dalam
satu jam, tayangan televisinya cuma selama 15 atau 20 menit. Beda dengan TV di
negara kita, yang mana tayangan iklan lebih panjang dari acara pokoknya. Iklan
nyang panjang terkesan tidak banyak mendidik, tapi malah membuat masyarakat
menjadi konsumerisme.
Kualitas pendidikan
juga ditentukan oleh kualitas para guru. Guru-guru di TK, SD, SMP dan SMA
semuanya menerapkan model pembelajaran fun
learning. Fun learning juga
dikenal dengan istilah PAKEM yaitu- pembelajaran aktif kreatif efektif dan
menyenangkan. Aku melihat selama musim dingin pembelajaran memang banyak berada
dalam ruangan, namun dalam musim semi, para guru membawa anak anak untuk
belajar ke luar kelas, malah sampai ke luar sekolah, mereka belajar di alam.
Dalam musim semi
tersebut, aku pernah menemui guru TK menggiring murid mereka berjalan di taman,
di jalan dan terus naik metro. Anak anak berjalan berbaris berpasangan,
mengikuti alur alur. Guru guru amat terbuka pada siswa dan siswa lebih berani
untuk berbicara dengan guru guru mereka. Namun kalau di negara kita, terlihat
bahwa sebahagian siswa mendewakan guru dan menganggap bahwa apa yang dikatakan
oleh guru “semuanya betul”. Seolah olah guru adalah sumber ilmu dan sumber
kebenaran secara mutlak.
Di Perancis saat mereka
entre le metro (saat masuk metro) aku dengar pembicaraan guru dan murid sangat
terbuka. Anak- anak bilang pada gurunya “Ibuk kenapa ini harus begini....ibuk
kenapa harus begitu...?”
Anak anak sangat
antusias bertanya pada guru mereka. Dan guru mereka menjawab, namun ada yang
protes kenapa begitu mon pere dis moi nes
pas comme ca (ayah ku bilang tidak begitu). Anak anak sangat berani dalam
berbicara dan termasuk dalam memprotes, aku lihat bahwa sosok guru bukan
sebagai sosok yang menakutkan bagi siswa siswi mereka. Guru guru look nice semua terhadap anak anaknya.
Di saat anak anak sibuk
berbicara dan ruangan terkesan bruyant
(ribut) gurunya terllihat senyum saja. Tidak menghardik hardik untuk mendiamkan
anak anak didik mereka. Mereka mengatakan bahwa suasana ribut itu menandakan
adanya suasana yang kreatif. Guru Tk
tersebut berkata padaku “Pardone si mes enfantes sont bruyantes”- maaf ya kalau
anak-anakku semua berisik.
Sekali lagi bahwa aku
lihat banyak guru guru di sana suka ngajak anak anak ke lapangan. Mereka semua
adalah guru guru yang bersikap terbuka- membuka diri terhadap anak didik
mereka. Berdebat dengan guru adalah hal yang biasa, dan kalau guru tidak tahu
maka dengan enteng guru akan berkata “Je pas atau aku tidak tahu”. Kemudian
hubungan guru dan orang tua adalah berbentuk partner. Apakah guru ataupun orang
tua tidak satupun yang bersifat dominan. Itulah kira-kira isi kisah nyata ini
yang berjudul “Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Perancis”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them