Rabu, 14 Juni 2017

Saya Butuh Penerbit Yang Sudi Untuk Menerbitkan Naskah Buku Saya....!!!



Buatlah Dirimu Tampak “Attraktif” Agar Sukses Segera Datang

            Keinginan untuk meraih sukses sudah menjadi kebutuhan banyak orang, mulai dari yang berusia muda hingga berusia dewasa. Demikian juga di kalangan pelajar, terutama bagi yang sudah duduk di kelas 12- atau kelas akhir- tingkat SMA/MA, maka mereka mendaftarkan diri pada bimbel (bimbingan belajar). Buat apa ?
            Mereka mengatakan agar mereka bisa sukses- jebol di perguruan tinggi favorit di pulau Jawa atau pada jurusan- jurusan favorit di perguruan tinggi negeri yang terkemuka di Indonesia. Jadinya begitu banyak anak- anak muda yang berjibaku dalam belajar hingga bisa memperoleh kejuaraan dalam suatu perlombaan, prestasi akademik, hingga lulus dengan nilai yang gemilang. Namun apakah mereka betul- betul bisa meraih sukses 5 tahun atau 10 tahun setelah itu ?  
            Saya tiba-tiba menjadi lebih sadar akan makna mencari sukses setelah saya membaca sebuah artikel, yang ditulis oleh Melisa Stanger, dengan judul “Attractive people are simply more successful”, bahwa orang- orang yang terlihat attraktif (lebih menarik) akan lebih mudah untuk meraih sukses. Dia mengatakan bahwa orang- orang yang terlihat attraktif akan lebih cepat buat mendapatkan pekerjaan dan memperoleh bayaran yang lebih tinggi. 
            Mereka juga memperoleh promosi lebih cepat dan mereka juga dibayar lebih banyak dari pada orang-orang yang bekerja pada bidang yang sama, namun penampilannya kalah attraktif. Dengan demikian betapa penting menjadi orang-orang yang penampilannya terlihat attraktif, karena mereka yang terlihat attraktif akan mampu memperoleh nafkah sedikit lebih baik dari pada orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja.
            Daniel Hamermesh, seorang profesor ilmu ekonomi dari Universitas Texas- Amerika Serikat, juga meyakini tentang fenomena bahwa orang yang terlihat attraktif akan bisa menjadi lebih sukses. Ia menulis tentang fenomena ini menjadi sebuah buku yang berjudul “Beauty pays: why attractive people are more successful”.
            Kemudian, Melisa Stanger juga mengatakan bahwa ada sejumlah penelitian yang mempelajari tentang konsep kecantikan/ ketampanan sebagai sebuah faktor dalam meraih kesuksesan seseorang secara berkali-kali. Terbukti bahwa orang- orang yang cantik memang cenderung mampu membawa lebih banyak uang ke dalam perusahaan dimana mereka bekerja. Sehingga mereka terlihat sebagai karyawan yang sangat bernilai dan sebagai orang yang bekerja lebih keras.
            Dalam pengalaman lain bahwa para salesmen yang beroperasi- menjajakan dagangan- secara door to door ternyata para salesmen yang penampilannya lebih attraktif akan mampu menjual dagangan lebih laris kepada pelanggan mereka. Karena pelanggan mereka memang lebih suka untuk berhubungan dengan orang-orang yang memiliki wajah yang good looking.
            Dario Maestripiene, seorang professor neurobiology dari Universitas Chicago, mengatakan bahwa orang- orang yang memiliki penampilan “good looking” atau attraktiv memang memiliki daya tarik sehingga banyak orang yang tertarik untuk berinteraksi dengannya. Mereka senang menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol dan melakukan kebersamaaan dan juga. Banyak orang yang juga senang untuk membeli produk dari mereka yang memiliki wajah good looking tersebut, sehingga perusahaan juga akan membayarkan upah dengan bonus yang lebih tinggi pada mereka.
            Daniel Hamermesh mengatakan bahwa faktor good looking tidak hanya faktor utama pembentuk daya tarik tersebut. Namun juga ditentukan oleh faktor karakter- karakter positif yang mereka miliki- seperti keberanian, sopan santun, ramah tamah, dll.        Jadi bukan suatu hal yang sia-sia kalau banyak orang sangat peduli dengan penampilan. Menghabiskan dana ekstra buat perawatan tubuh, hingga mereka bisa tampil lebih attraktiv.
            Kecantikan dan ketampanan dapat memantulkan rasa percaya diri seseorang. Memang rasa percaya diri tersebut terlihat pada prilaku, sehingga mereka yang memiliki penampilan good looking dan rasa percaya diri akan mampu menghargai diri mereka (self esteem) yang lebih tinggi. Mereka menjadi orang yang disenangi dan cenderung lebih mudah diterima oleh banyak kalangan.
            Riset tentang efek faktor kecantikan/ketampanan juga pernah dilakukan di Universitas Rice dan Universitas Houston. Mereka membatasi studi tentang bagaimana penampilan wajah mempengaruhi keungguan seseorang dalam melakukan wawancara.ditemukan bahwa orang-orang yang wajahnya kurang terawat- bernoda, jerawatan, ada goresan luka dan komedo- ini semua bisa mempengaruhi kualitas wawancara dan penurunan kuaitas rasa percaya diri. Ada kesan bahwa mereka kehilangan daya tarik, sehingga banyak informasi penting yang ada pada mereka yang kurang tergali.
            Juan Madesa, professor dari Universitas Houston, mengatakan bahwa semakin sering pewawancara memperhatikan noda-noda pada wajah maka semakin sedikit dia mengingat tentang konten (isi) dari topik yang dibahas selama wawancara berlangsung. Akhirnya kualitas materi wawancara juga ikut jadi menurun.
            Sehubungan dengan uraian di atas tentang kesuksesan dalam belajar, bekerja, dan faktor noda pada wajah yang merusak daya tarik penampilan. Saya juga teringat pada pengalaman sendiri. Bahwa ada teman masa remaja saya yang sangat rajin dan disiplin dalam belajar sehingga setiap dia ujian, dia mampu meraih nilai ujian yang lebih tinggi. Dalam ujian harian, ujian tengah semester, dan ujian kenaikan kelas, dia juga mampu meraih angka- angka yang fantastis. Sehingga pada rapornya tertera nilai- nilai yang mengagumkan. Bagaimana reaksi teman- teman kepadanya ?
            Sebagian merasa kagum pada kemampuan akademik dan merasa biasa-biasa saja, apalagi melihat performance-nya yang juga sedikit kaku, kurang ramah, kurang suka berkomunikasi sehingga banyak orang yang kurang tertarik buat ngobrol dengannya. Juga dia sendiri juga kurang peduli dengan penampilannya. Dia membiarkan wajahnya kurang terawat sehingga membuat lawan jenis juga malas banyak ngobrol dengannya atau ngobrol hanya sebatas basa-basi saja.
            Sehubungan dengan judul tulisan ini, bahwa orang-orang yang memiliki attraktif akan lebih sukses. Daya tarik atau attraktif sangat dipengaruhi oleh faktor good looking- wajah yang tampan atau wajah yang cantik. Namun itu semua merupakan anugerah dari Tuhan (Allah Swt).
            Daniel Hamermesh juga menambahkan bahwa bagi mereka yang memiliki faktor wajah yang kurang beruntung, tentu akan juga bisa membuat keberuntungan yang lebih. Mereka masih memiliki tempat- tempat untuk mewujudkan kesuksesan.
            “Jangan mencari pekerjaan dimana faktor wajah menjadi penentu keberhasilan. Maka jangan putuskan untuk menjadi pembawa acara di TV, namun bisa bekerja sebagai penyiar radio. Jangan menjadi aktor film, namun carilah tempat pekerjaan yang anda senangi dimana wajah bukan sebagai faktor penentu yang utama,” demikian nasehat Daniel Hamermesh.
            Apa daya tarik (attraktif) semata- mata hanya terfokus pada faktor good looking ? Saya pernah membaca artikel tentang Sri Owen, seorang perempuan yang berasal dari Sumatra Barat. Dia memperoleh pendidikan bahasa Inggris dan kemudian bekerja sebagai penyiar radio BBC London. Sri berkenalan dengan seorang pemuda Inggris yang punya nama Owen.
            Owen adalah pemuda Inggris yang tinggi dan tampan dan Owen adalah wanita Asia (asal Sumatra Barat/ Indonesia) yang wajahnya  biasa- biasa saja. Namun kecantikan yang dimiliki oleh Sri bukan semata-mata ditentukan oleh faktor good looking. Pribadi Sri yang menarik, wawasannya yang luas dan daya tarik dari dalam diri Sri membuatnya punya punya pesona tersendiri di mata Owen. Akhirnya Owen memutuskan untuk menikah dengan Sri dan setelah menikah nama Sri lebih akrab disapa dengan “Sri Owen”. Hingga sekarang mereka masih menetap di Inggris dengan bahagia dan mereka berdua mengembangkan usaha dalam bidang kuliner Indonesia.
            Jadi bagaimana implikasi dari judul artikel ini ? Bahwa orang dengan penampilan yang attraktif akan lebih mudah buat meraih sukses. Namun kualitas kepribadian juga menjadi penentu dari daya tarik lainnya. Mereka yang memiliki pribadi yang menarik juga akan lebih cepat buat sukses.
            Wajah yang hanya sekedar good looking- cantik atau ganteng- saja belum bisa memberikan jaminan bahwa dia punya daya tarik bagi orang lain. Kecuali kecantikan atau ketampanannya didukung oleh faktor yang lain seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan beradaptasi, kemampuan bergaul, mengambil keputusan, kemampuan bersimpati dan kemampuan sosial lainnya.
            Sejak dahulu banyak orang sangat yakin bahwa untuk sukses sangat ditentukan oleh faktor kompetensi. Maka ramailah orang berusaha untuk menjadi lebih cerdas dalam bidang akademik. Dan mereka bisa memproleh kesuksesan, namun sebagian kesuksesan tersebut hanya berjalan di tempat. Agar sukses bisa lebih ditingkatkan maka- seperti yang saya paparkan pada bagian atas artikel ini-  maka milikilah daya tarik (attraktif) pada pribadi kita. Mari perhatikan penampilan diri, rawatlah wajah kita, rambut dan cara berbusana kita yang lebih elegan. Kemudian miliki pula kecantikan yang terpancar dari dalam diri yang terbentuk karena nilai karakter kita.
            Juga taatlah pada Allah Swt, karena Dia lah yang membolak balikan hati kita dan yang mampu memberi kesejukan dan ketenangan pada hati kita. Peliharalah hubungan baik dengan sesama dan jadilah pendengar yang baik yang mampu bersimpati. Kemampuan berkomunikasi dan bersosial juga sangat menentukan. Moga- moga kesuksesan segera berpihak kepada kita.

Bagaimana Proses Memilih Sebuah Profesi



Bagaimana Proses Memilih Sebuah Profesi

            Profesi merupakan topik yang cukup banyak diperbincangkan orang. Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau karir”. Mencari profesi telah terjadi sejak masa anak-anak. Seorang anak kecil dengan lantang menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara, dan beberapa profesi yang konkrit lainnya di depan mata mereka.
            Saya dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penual jeruk”. Kalau dijadikan dengan istilah kerennya bahwa kami ingin menjadi “pengusaha ternak dan pengusaha buahan”. Kenapa demikian ?
            Sewaktu kecil ayah saya sering mengajak saya (dan abang saya) pergi rekreasi ke luar rumah- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah sangat baik. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan kebun jeruk mereka. Ketika mau pulang teman ayah menyelipkan oleh-oleh/ bingkisan ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi kelak ingin seperti profesi yang mereka geluti.
            Seiring bergulir waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena kulit saya lebih cerah dibanding abang saya. Sementara abang saya yang badannya lebih tegap dan kuat ingin menjadi polisi atau tentara- ya persis profesi ayah   sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari bangku SMA malah profesi kami ternyata masih belum jelas. Saya ingin melanjutkan kuliah ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian, sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun kami berdua gagal dalam pilihan profesi tersebut.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tim rekruitmen untul menseleksi siswa. Ada serangkaian kegiatan yang harus dilalui oleh para siswa baru seperti test tertulis, test pskilogi dan beberapa bentuk kegiatan wawancaa. Saya sendiri ikut mewawancarai para calon siswa dan mengajukan sejumlah pertanyaan, contohnya:
“Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswa yang sedang saya  wawancarai menjawab mereka  ingin menjadi dokter, yang lain ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa begitu banyak yang ingin jadi pegawai?”.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah jumlahnya, sehingga anak-anak  dan cucunya juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang apa?”
Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.      Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”.
Terlihat bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat konvensional dan berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi  yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih jelas). Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah hampir ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi punya kesempatan yang kuat  buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil- karena perguruan tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh bahwa  IPK hanya berguna untuk bisa wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
            Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berpikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional ? karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Malaysia. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut (?). Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian mereka- termasuk  para siswa dari sekolah unggulan-  hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah yang favorit saja. Dalam pikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian cita-cita banyak siswa yang nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student-exchange, ada rombongan siswa dari Jerman. Saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Saya memahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
            Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Kita berharap agar para siswa di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa depan mereka?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu para guru hanya sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik mereka melebihi dari ilmu buku teks.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep literasi, banya anak-anak sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak tenggelam dalam permainan game on-line.
Seperti yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir atau profesi. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi/karir dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki profesi yang lebih jelas. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil Try-Out (T.O). Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan profesi ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/ profesi  yang merupakan hasil dari interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orang tua, mentor atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.
John Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin, Amerika Serika. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan profesi.  Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor, guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa.

Pengalaman Pendidikan Di Sebuah Sekolah Amerika Serikat



Pengalaman Pendidikan Di Sebuah Sekolah Amerika Serikat

            Praktek pendidikan (pembelajaran) di negara berkembang, juga pada sebagian sekolah-sekolah kita, masih terasa masih corak otoriternya. Dimana para guru kurang memberi siswa kebebasan untuk berekspressi. Stakeholder sekolah masih menuntut serba keseragaman, aktivitas siswa diawasi secara berlebihan.
Kebiasaan banyak melarang- dan terlalu mengekang kebebasan berekspresi bagi siswa- malah akhirnya berpotensi membuat mereka sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa. Akibatnya para siswa jadi miskin untuk berinovasi dan berkreatifitas. Bila siswa suka gagap untuk melakukan sebuah prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, dimana mereka terbiasa suka menunggu perintah dan senang untuk serba diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari atmosfir sekolah yang juga sarat dengan budaya “banyak melarang dan serba mengatur”. Untuk merespon fenomena ini maka kini saatnya kita-dunia pendidikan- untuk segera melakukan perubahan. Karena tidak zamannya lagi institusi pendidikan terlalu banyak melarang dan mengatur. Namun yang tepat adalah memberi kebebasan positif dan bertanggung jawab.
Kira-kira bagaimana praktek dan iklim dari suatu proses pembelajaran yang ideal tersebut ? Tulisan ini terinspirasi oleh pengalaman teman saya, Arjus Putra, yang mengikuti training pendidikan di salah satu sekolah di Amerika Serikat. Dia juga punya kesempatan mengunjungi beberapa sekolah menengah atas (SMA) di sana. Dia mengatakan bahwa pendidikan Amerika Serikat sudah dapat dikategorikan sangat berkualitas, karena semua sekolah telah memberikan pelayanan  keunggulan- excellent service- buat masyarakat. Meskipun mereka sendiri tidak memajang label yang kentara dengan sebutan sekolah unggulan atau “school plus” dan “excellent school”. Gebrakan pendidikan di Amerika Serikat selalu menjadi kiblat bagi pendidikan di negara-negara berkembang, dan termasuk bagi negara kita sendiri.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu di Metropolitan Learning Center Interdistrict Magnet School for Global and International Studies yang kebijakan pendidikannya membuat sekolah tersebut memang punya magnet (daya tarik) untuk belajar.  Para Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah sebagai berikut:
let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”.
Dari semua frase tadi, yang perlu kita perhatikan bahwa ada kata “let” atau “biarkan”. Kata “let” atau “biarkan” berarti sebuah kata untuk pembebasan dan memberi dorongan pada siswa untuk menjadi kreatif dan inovatif. Ciri-ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield, adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk.
Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud. Ekspresi para siswa cenderung terbelenggu, minim saluran untuk mengekspresikan opini mereka. Proses pembelajaran dalam kelas hanya bercirikan seorang guru berdiri di depan kelas dan sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah para siswa hanya pandai berekspresi berdasarkan hafalan, dan mereka melupakan apa yang telah dihafal setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena adanya team work antara Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staf sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah (terutama para siswa) untuk merencanakan masa depan. Mereka tahu bahwa hidup ini perlu cita-cita (ambisi) maka setiap siswa harus punya cita-cita.
Cinta belajar dalam wujud kemandirian belajar (learning independent) merupakan ciri khas dari sekolah MLC ini. Ini pulalah yang telah membuat sekolah MLC memiliki daya tarik ibarat magnet. Sehingga MLC juga dijuluki dengan the magnet school.
Di sekolah sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, di sana dijumpai para siswa mereka yang gemar berhura-hura atau kongkow. Mereka duduk bareng-bareng, tertawa terbahak-bahak, saling meledek- membully, dan juga saling meremehkan. Karakter ini semua berpotensi membuat para siswa sendiri jadi malas untuk menuntut ilmu.
Sementara para siswa yang telah membudayakan gemar belajar (independent learning) mereka akan selalu berpikir dan berusaha bagaimana untuk bisa meraih sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Para siswa di sekolah MLC tampak cukup profesional dalam belajar- karena mereka adalah siswa yang profesional, maksunya mereka tahu cara belajar yang lebih bertanggung jawab. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkonsentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu:
“Maaf teman saat saya lagi belajar mohon jangan datang dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Namun para orang tua siswa dan siswa sepakat dalam menjagokan jurusan IPA dan memandang jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC juga ada penjurusan, jurusannya seperti:
- Core class (Kelas Inti)
- Elective class (kelas elektif)
- Essential class (kelas Esensial)
Tidak ada jurusan yang dianggap istimewa karena semua jurusan terisi oleh para siswa. Ini berarti tidak ada kelas primadona atau jurusan favorit seperti di SMA- SMA yang ada di negeri kita. Mata pelajaran pokok adalah sebagai berikut:
- Pada core class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris, bahasa asing dan
   sains.
- Pada kelas elektif atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni,
  sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi,
  anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi.
- Pada kelas essensial (essential class), para siswa mempelajari seni, kesejahteraan
  personal, literatur keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar.
Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna), yaitu dengan menjadi orang yang well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan). Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain.
Selanjutnya coba kita lihat juruan yang di SMA di negeri kita, ya ada IPA, IPS dan Bahasa dan perhatikan mata pelajaran pada masing-masing jurusan ini. Ya, ibarat tiga lingkaran yang hampir tidak bersinggungan.
Seorang siswa gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka dia bermohon agar nilai mata pelajaran IPS nya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains. Para siswa yang lulusan dari jurusan IPA saat di SMA, maka saat masuk perguruan tinggi dia boleh melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arogan, atau arogan berjamaah- mass arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru-guru di sana sangat professional. Karena mereka menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan siswa di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa boleh dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan pikiran pada guru. Para guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi. Dengan demikian tidak ada di sana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya tua semalam dari siswa. Guru guru di sana telah memandang karir guru sebagai profesi yang serius. Mereka tidak mengenal budaya minta dilayani:
”Tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin”. Jarang atau tidak pernah guru memerintah siswa untuk membatu profesinya. Apalagi sampai menyuruh siswa membelikan rokok. Guru di sana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang goblok (miskin kualitas).
Selain memperhatikan kompetensi, punya wawasan keilmuan, pedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi di sana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka mengenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher– pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiatan ekstra seperti kelompok olahraga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata para siswa di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau ada absen masuk dan absen mengakhiri kegiatan, membuat tekad atau pledge“untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olahraga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan eksklusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- study tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.
Terakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berpikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? Dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi suka banyak impi namun perlu berubah menjadi orang yang melihat hidup yang nyata.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...