Kamis, 30 April 2009

Catatan Buat Remaja: Mendidik Diri Ke Arah Positif



Naskah Non Fiksi
Pengayaan Pengetahuan Sosial- Paedagogi


Catatan buat remaja: Mendidik diri Ke arah positif



Oleh :

Marjohan, M.Pd
SMA Negeri 3 Batusangkar





Surat Keterangan Sebagai Pendidik


Identitas Naskah

A Judul Naskah :Catatan buat remaja: Mendidik diri Ke arah positif
B Kelompok Naskah :Non Fiksi
C Jenis Naskah :Pengayaan Pengetahuan Sosial- Paedagogie
D Jenjang Pendidikan :SMA



Surat Pernyataan


Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, dalam bentuk buku, dengan judul “ Catatan buat remaja: Mendidik diri Ke arah positif” adalah naskah asli karya saya, diajukan untuk mengikuti Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2009 pada Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

2. Karya tulis ini murni gagasan, penilaian dan rumusan saya sendiri, tanpa bantuan tidak sah dari pihak lain, kecuali sumbang saran dari pihak teman-teman.

3. Di dalam karya tulis ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dengan jelas dan dicantumkan sebagai acuan di dalam naskah saya dengan menyebutkan sumber dan nama pengarangnya.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dari pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan norma dan ketentuan hukum yang berlaku.

Batusangkar, !0 April 2009
Saya Yang Menyatakan



Drs. MARJOHAN, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Kata Pengantar

Hampir separoh waktu dari kehidupan pelajar dihabiskan di sekolah. Di sini mereka menimba ilmu secara formal dan sekaligus berintegrasi dengan warga sekolah lain, terutama guru dan para pelajar. Di luar sekolah mereka berintegrasi dengan anggota masyarakat, teknologi dan figur-figur lain. Hidup mereka memang penuh dengan dinamika. Refleksi tentang dinamika kehidupan mereka, para pelajar, telah ditulis ke dalam sejumlah artikel dan dikompilasi menjadi naskah buku. Penulis telah memberinya judul ” Catatan Buat Remaja: Mendidik Diri Ke Arah Positif”.


Buku ini dirancang khusus untuk para remaja/ pelajar yang terdiri dari 21 kumpulan artikel, kemudian dirancang menjadi empat bagian. Masing-masing bagian mamaparkan tentang prinsip hidup yang harus dimiliki pelajar, menjaga semangat belajar memang penting, sorotan tentang beberapa issue kehidupan pelajar dan mahasiswa, dan beberapa fenomena lingkungan yang perlu diobah.


Buku ini sebaiknya juga dibaca oleh para guru, orangtua, pelajar, mahasiswa dan siapa saja yang tertarik untuk memahami dunia remaja- pelajar dan mahasiswa- dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tentu saja dalam penulisan buku ini terdapat kesalahan di sana-sini dan penulis dengan senang hati menerima saran untuk perbaikan atau kritikan yang membangun. Penulis menunggu saran dan masukan itu semua pada alamat e-mail di: marjohanusman@yahoo.com atau marjohanusman@gmail.com. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dari berbagai pihak.

Batusangkar, !0 April 2009




Daftar Isi

Surat Keterangan Sebagai Pendidik ………………………………………..……………………………ii
Identitas Naskah … …………………………………………………………………………..………………iii

Surat Pernyataan ………………………………………………………………………………………………iv
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………v
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………vi
Bagian Satu: Prinsip Hidup Kita …………………………………………………………………….……1
1. Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju…………………………………………………….……2
2. Tidak Perlu Frustasi Bila Gagal Ke Perguruan Tinggi. …………………………………….…7
3. Kalau Ujian Kok Suka Mencontek ……………………………………………………………………11
4. Hidup Damai Di Tempat Kos …………………………………………………………………….……16
Bagian Dua: Belajar Memang Penting …………………………………………………… …..………18
5. Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan ……………………………………..……….………19
6. Bila Gagal Kuliah Mengapa Lagi ? ……………………………………………………… …………25
7. Meningkatkan Kemandirian Dalam Belajar ………………………………………….…………30
8. Menumbuhkan Etos Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri ………………….………………36
Bagian Tiga: Sorotan ………………………………………………………………………………….……41
9. Siapakah Idola Mu? ………………………………………………………………………… …………42
10. Tidak Perlu Jadi Sinetron Maniak ………………………………………………..… …….……48
11. Jangan Biarkan Diri Miskin Dengan Spiritual …………………………………………………54
12. Ada Apa Dengan Mahasiswa? ……………………………………………………..………………59
13. Jangan Banyak Mengeluh ………………………………………………..………….………………62
14. Kuliah Dan Gaya Hidup ………………………………………………………………………….……64
15. Harus Peduli Untuk Jadi Intelektual …………………………………………….…………..…67
Bagian Empat: Fenomena Yang Harus Diobah …………………….……………………...........73
16. Mengapa Kita Malas Membaca Dan Menulis ? ……………………………….………….…74
17. Buanglah Karakter Jalan Pintas ………………………………………………………..…………79
18. Internet Diserbu dan Perpustakaan Ditinggalkan ……………………………..…………86
19. Pornografi Masuk Lewat HP dan Internet ……………………………….…….……………91
2o. Basmilah Sampah Secara Total ………………………………………………………….………96
21. Kondisi Lingkungan dan Kesehatan Jiwa ………………………………….……….………104
Biografi ………………………………………………………………………………………………………108
Lampiran ……………………………………………………………………………………………………109



Bagian Satu:
Prinsip Hidup Kita

1. Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju
2. Mengapa Frustasi Bila Gagal Ke Perguruan Tinggi.
3. Kalau Ujian Kok Suka Mencontek
4. Hidup Damai Di Tempat Kos



1. Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju
Semua orang sudah tahu bahwa setiap individu (pribadi) memiliki karakter yang berbeda. Pribadi setiap orang memang berbeda dan itulah yang membuat kita jadi unik. Mengapa kita menjadi unik? Latar belakang dan pen­galaman hidup yang kita lalui juga berbeda dan ini semua membuat kita, juga sifat kita, berbeda dan unik. Salah satu sifat kita yang unik adalah “bakat”.
Memang, setiap orang memiliki bakat yang berbeda- Bakat yang lahir dan bakat yang terpendam. Bakat yang ter­pendam, yang juga disebut dengan bakat potensial, kalau kita gali akan membuat kita sendiri ter­heran-heran melihat hasilnya. Misalnya, ada orang yang iseng-iseng mengirim lomba fotografi dan menang. “Wah aku Cuma iseng-iseng dan jadi menang”, sebetulnya dibalik iseng-iseng tadi, ia memiliki potensi atau bakat yang terpendam.
Setiap orang seharusnya mengembangkan bakat-bakat dan kecakapan- kecakapan diri. Untuk ini, ia musti punya has­rat yang kuat untuk membangkitnya. Dalam hidup kita bisa menemukan pengalaman orang lain, sebagai contoh, ada seorang pelajar wanita. Dahulu ketika masih menjadi pelajar SD dan SMP hampir selalu diabaikan oleh teman-teman. Itu terjadi karena ia memiliki pribadi yang dingin dan tidak menarik. Namun setelah berada di bangku SMA, lebih-lebih saat ia duduk di kelas sebelas atau kelas dua belas (kelas dua dan kelas tiga), ia tampak begitu dinamis dan menjadi kesenangan teman-teman. Malah setelah lulus SMA- dan beberapa bulan kemudian- ada kabar tentang dirinya bahwa ia lulus dalam selek­si untuk memperoleh beasiswa dan memperoleh kesempatan untuk studi tentang ilmu mekanika di salah satu negara Eropa.

Kok itu bisa terjadi? Seorang familinya mengatakan bahwa ia dapat meraih kemajuan pada hari-hari akhir remajanya adalah karena ia berubah dan ia mampu mengembangkan pola berfikir (berfikir kritis dan analitis) dan mengembangkan bakat­-bakat yang tersimpan dalam diri. Kalau begitu setiap orang juga bisa seperti dia, yaitu dengan cara “mengem­bangkan bakat-bakat dan kecakapan yang terpendam dalam diri”.


Ada begitu banyak orang pada masa kecil dan masa remaja sebagai orang biasa-biasa saja, malah ada yang kurang diacuhkan oleh teman-teman, namun bisa berhasil dalam perjalanan hidup setelah dewasa. Katanya, “Itu terjadi dengan izin Tuhan dan juga karena ada tekad untuk mengem­bangkan bakat-bakat yang terpen­dam”. Anda dan kita semua juga bisa mengalami hal yang sama asal kita mau berlatih dan berusaha sekeras­-kerasnya. Kita harus mencoba dan tekun untuk berusaha, belajar dan berkarya- usahakan jangan mudah bosan.


Contoh lain, ada seseorang yang pada mulanya kurang memiliki “self confident” - rasa percaya diri, karena tidak men­guasai cara berkomunikasi. Pada hal melihat dari latar belakang orang tua dan familinya menunjuk­kan bahwa ia bukanlah orang yang bertipe pendiam dan kaku. Setelah menyadari potensi diri, maka ia melakukan praktek-praktek berkomunikasi- banyak melatih diri dengan caranya sen­diri. Tentu saja ia memer­lukan ketabahan den keberanian, sampai akhirnya kebiasaan kaku dan gugup men­cair ibarat es diterpa panas mata­hari dan muncul keberanian dalam berkomunikasi. Mereka yang yang pandai berbica­ra, mula-mula atau pada masa kecil juga banyak yang bersifat malu-malu dan merasa khawatir melulu. Namun itu berubah karena berlatih dan melakukan perubahan.


Ada bakal yang membutuhkan ekspresi lewat bahasa, seperti bakat ber­pidato, menyanyi, menjadi master ceremony, presenter, atau bakat menjadi guru, psikolog dan sebagainya. Namun kebekuan dan kekakuan dalam berbahasa selalu sebagai kendala utama, kecuali setelah melatih diri. Bagi mereka yang sering dilanda kegugupan dalam mengekspresikan bahasa lisan mungkin baik sekali kalau setengah menit sebelum memulai berbicara untuk menarik nafas dalam-dalam beberapa kali saja. Dengan demikian ini bisa memasukkan banyak zat asam ke dalam badan. Ini akan menambah kita jadi lega , rileks dan menambah rasa percaya kepada diri sendiri dan keberanian.


Dale Carnegie (1994) dalam bukunya “Kunci Sukses Meraih Kewibawaan dan Kekuasaan” mengatakan bahwa yang tidak boleh dilakukan kalau gugup saat berpidato adalah jangan memperlihatkan kegelisahan seperti membuka dan menutup kancing baju. Atau jangan pula memperlihatkan kegelisahan dengan memutar-mutar tangan. Jika perlu kita jelmakan kegelisahan itu dengan meletakkan tangan kita di belakang badan. Dengan cara begini terserah kita lagi. Apakah kita menggerak-gerakan jari yang jelas tidak ada orang yang melihat dan tahu bahwa kita lagi merasa gelisah.


Bagi orang yang ingin berpidato, dalam rangka mengembangkan bakat terpendam yang diperlukan bukanlah keberanian moril akan tetapi adalah kecakapan untuk menguasai syarat-syarat. Dengan berlatih terus menerus kita bisa menguasai syaraf dan diri sendiri. Dalam hal ini, kita harus membiasakan diri dengan cara mencobanya berulang-ulang kali. Dan kita harus tetap tekun dan jan­gan berhenti-henti atau seperti ungkapan umum (maaf) “hangat-hangat tahi ayam”.


Carnegie, Dale.(1994). Kunci Sukses Meraih Kewibawaan dan Kekuasaan. Jakarta: Delapratas.
Salah satu kepuasan orang yang memiliki bakat memimpin adalah untuk mempengaruhi dan menguasai kawan-kawan. Tentu saja ini dalam arti positif. Maka bagi remaja yang berbakat seperti ini, mereka tentu dapat latih diri. Salah satu caranya adalah dengan mencoba untuk menjumpai lebih banyak orang yang mau belajar bersama dengan kita. Dan kemudian dengan suka rela kita coba untuk menjadi pemimpin. Sarana lain untuk melatih diri dalam hal kepemimpinan adalah dengan cara berlatih di depan kawan-kawan, di depan anak-anak dan di depan keluarga sendiri.


Comas dan ketakutan dapat mengganggu perkembangan bakat. Ini timbul akibat kebodohan dan keragu-raguan kita. Cemas disebabkan oleh kurang percaya diri. Kecemasan dan ketakutan selalu timbul jika seseorang tidak tahu apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Jika kita senantiasa melakukan beberapa latihan maka, insya Allah, kecemasan akan lenyap. Tentu saja kita jangan berlatih sekali saja akan tetapi kalau perlu kita berlatih sampai sepuluh atau dua puluh kali.


Dalam usaha awal untuk mengembangkan bakat memang kita merasakan kesulitan. Sebab seperti dikatakan oleh orang bijak bahwa setiap permulaan itu susah dan setiap akhir itu adalah mudah- all beginning is difficult and all ending is easy. Seorang calon guru yang sering berlatih berbicara atau seorang calon penulis yang ber­latih menulis namun sering dilanda kehabisan bahan. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat kisah yang menarik asal kita tidak terlalu banyak berbicara tentang diri sendiri.


Ada orang yang apabila ngobrol hanya berbicara tentang soal-soal yang mengasyikkan dirinya sendiri belaka. Seharusnya janganlah begitu. Kita mesti juga membicarakan hal-hal yang menyenangkan bagi teman-teman dan orang lain. Untuk itu marilah kita berbacara dengan mereka dan membahas masalah-masalah kecil dari berbagai segi.


Orang membangun rumah den­gan membuat rencana lebih dahulu. Orang yang ingin untuk mengembangkan, bakat-bakat yang terpendam, seperti bakat untuk berpidato , ibarat membangun rumah, juga perlu rencana. Perkembangan bakat adalah laksana perjalanan panjang yang mempunyai tujuan. Karena itu jalan untuk mengembangkan diri harus kita rintis. Sebab siapa yang akan berangkat tanpa tujuan tentu akan tersesat atau kehabisan tenaga. Seorang orator pemula atau penulis muda tentu ia perlu menyediakan catatan-catatan singkat. Sedangkan anak kecil yang berlatih berjalan saja juga perlu memegang meja atau kursi untuk mengembangkan keinginan berjalannya.


Kita rasa dalam menggali bakat-.bakat terpendam ini tidak ada istilah terlambat. Maka sangatlah bijaksana kalau setiap orang senantiasa sudi untuk mengembangkan bakat dan menggali bakat yang terpendam demi kemajuan diri secara khusus, dan dami kemajuan bangsa secara umum.




2. Tidak Perlu Frustasi Bila Gagal Ke Perguruan Tinggi
Haruskah remaja tamatan SLTA frustrasi bila gagal untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri?. Sudah menjadi pemandangan umum setiap tahun bagi kita dalam menang­gapi eksistensi ini. Putera-puteri bangsa ini, setelah lulus dari dari SLTA berbondong-bondong pergi mengundi nasib untuk memperebutkan kursi-kursi di perguruan tinggi negeri. Kemu­dian bila hasil ujian diumumkan, maka sampailah mereka kedalam musim bersedih yang mendalam, mungkin juga hujan tangis bagi remaja putri dan keadaan duka bagi remaja putera. Sedangkan yang dapat bergembira paling cuma sekian belas persen. Dan sekian puluh persen lagi sungguh merupakan ledakan angka kesedihan. Tetapi perlukah mereka harus bersedih? Dan haruskah menjadi patah hati dan menganggur untuk selanjutnya? Tentu kita tidak perlu menganggur, sebab kitapun bisa mencari kesuksesan. Tidak selalu sukses dan keberuntungan itu dicapai lewat bangku universitas.


Sebagian berfikir bahwa untuk mencapai sukses adalah dengan jalan berwira­swasta. “Berwiraswasta?”. Ah sebuah kata yang memuakan, dan memang banyak anak rema­ja yang sudah bosan dan jenuh mendengar perkataan ini. Pasti mereka beralasan bahwa tidak mungkin berwiraswasta kalau hanya dengan modal dengkul saja.


Keberhasilan seorang bisa menjadi cerita yang enak untuk didengar. Ada banyak cerita yang menguraikan perjalanan keber­hasilan hidup seseorang hingga mampu menjadi jutawan dan pengusaha, yang memulai karir hanya dengan modal dengkul. Mereka mulai dari nol besar dan membuka lapangan kerja pada umumnya.


Dari Koran, majalah, situs internet atau dari mulut guru-guru di sekolah, kita bisa mendengar tentang tokoh sukses dunia. Abraham Lincoln, sebagai contoh, tidak pernah masuk Universitas tetapi dunia mengenalnya sebagai presiden Amerika pejuang persa­maan hak-hak azasi manusia. Levi Strauss adalah termasuk orang yang gagai dalam sekolah tetapi ia dapat mengembangkan pola pikirannya hingga banyak orang memakai celana Levi’s yang, populer itu. Thomas Alva Edison tidak pernah belajar di sekolah lanjutan tetapi ia berhasil dengan bola listrik yang tetap dipakai orang diwaktu malam. Sigmund Freud adalah orang yang gagal memasuki fakultas Psikologi, tetapi ia tidak berputus asa. Dia belajar sendiri dengan membaca banyak dan berkarya. Sekarang kita mengenal namanya sebagai orang yang pa­ling ahli dalam bidang Psikologi dan terkenal dengan analisa-analisanya. Masih banyak lagi contoh-contoh orang yang sukses termasuk orang-orang yang berada dalam propinsi, kota atau lingkungan kita sendiri.


Kita sering mendengar komen­tar remaja tentang orang-orang yang berhasil “Ah mereka berhasil karena sudah ditakdirkan jadi begitu”. Sebenar­nya kesuksesan itu (memang takdir) bukanlah berhasil karena berpangku tangan saja dan bukan pula nasib yang datang saja dari langit tanpa harus berusaha selangkah demi selangkah. Lantas apakah kunci sukses mereka? Banyak remaja-remaja sekarang yakin bahwa lembaga pendidikan dan universitas mampu membuat orang langsung sukses, walau dalam kenyataan banyak yang nganggur. Namun, mereka tidak memandang lembaga pendidik sebagai forum pencetak tokoh-tokoh masyarakat serta tokoh il­mu pengetahuan secara mutlak. Dan mereka tidak harus maha­siswa. Mereka tidak menganggap bahwa kalau sudah mahasiswa pasti punya masa depan yang cerah. Yang perlu bagi mereka adalah terus berusaha dan terus terjun ke kancah kehidupan. Mereka tekun menggeluti suatu bidang kehidupan (usaha ekonomi di sektor non formal) yang bisa dikerjakan ditengah masyarakat yang hiruk pikuk dengan sejuta macam pekerjaan.


Orang-orang seperti ini punya wawasan atau pandangan kedepan dan melihat suatu kesempatan yang terben­tang luas untuk segera direbut, karena adakalanya kesempatan hanya datang sekali saja. Mereka mulai belajar dari kehidupan tanpa mengenal lelah dan menyerah, tanpa mem­buat teori yang bertele-tele, tetapi memikirkan dan melakukan analisa yang lang­sung dan tetap. Mereka punya daya prakarsa dan vitalitas kerja yang tinggi. Mereka mempergunakan otak dan memperhitungkan gerak tangan dan kaki. Orang-orang seperti inilah yang selalu men­capai sukses dalam masyarakat. Jadi sukses buah semata-mata karena takdir atau nasib mujur. Mereka­lah yang turut menentukan keberhasilan itu.


Banyak orang yang berpandangan keliru, mereka menganggap bahwa seandainya seseorang bisa tamat pada perguruan tinggi tertentu maka akan mudah untuk memperoleh jabatan dan pekerjaan yang basah. Semua itu banyak tidak benarnya. Image yang demikian sama dengan im­age yang dimiliki oleh orang-orang yang jauh dari sentuhan pendidikan dan informasi. Misalnya seperti keyakinan seseorang di suatu desa, orangtuanya mau saja menjual sawah dan ladang serta harta benda milik mereka asalkan anak bisa masuk universitas dan yang penting adalah menjadi mahasiswa. Bagi mereka gambaran seorang mahasiswa adalah sebagai orang yang terhormat, orang pandai dan calon penguasa negeri. Tak perduli walau mencangkul sawah tetangga yang penting anak bisa jadi mahasiswa, sungguh perlu dikasihi.


Banyak pelajar yang gagal masuk perguruan tinggi lantas frustasi sehingga memandang ke depan dengan rasa pesimis. Padahal sebetulnya ini tidak perlu terjadi. Alangkah baik bila remaja yang gagal itu melihat alam sekeliling dengan seksama sam­bil mempelajari orang-orang yang sukses di sekitar mereka. Banyak mereka yang gagal masuk perguruan tinggi, dengan langkah gagah berani banting stir untuk belajar hidup, mungkin mereka pada mulanya ikut family atau kenalan untuk belajar hidup, menolong- nolong sambil mencari pengalaman. Orang-orang yang banyak menjaga gengsi sering gagal tetapi orang yang cepat kaki dan ringan tangan- senang bekerja- akan sukses. Dalam hal ini kalau mencoba dan berusaha maka In­sya Allah mereka akan segera tahu bahwa anggapan masa depan itu suram adalah ang­gapan keliru.



3. Kalau Ujian Kok Suka Mencontek
Mencontek dalam ujian terasa sudah menjadi fenomena dalam kalangan pelajar dan malah juga dikalangan mahasiswa. Belajar malas tetapi kalau ujian selalu berharap nilai tinggi. Kalau mau ujian, sibuk mencari siapa yang bakal jadi joki atau bagaimana strategi mengatur duduk, dan seterusnya, “wah kalau begitu, bila ujian menconteklah dan lakukanlah rekayasa.
Frase di atas bukan mengajak remaja pelajar dan bapak-ibu guru untuk melegalkan penyakit mencontek. Mencontek kan bertentangan dengan etika pendidikan. Namun kita berharap agar bersikap kontra terhadap judul di atas.


Ujian nasional sudah menjadi fenomena dalam pembicaraan orang tua, guru, pelajar dan para ahli pendidikan sampai kepada pihak pemerintah di level nasional. Bila semester ke dua datang (bulan Januari sampai Juni) maka setiap sekolah khususnya SMA dan para pendidik di sekolah tersebut mulai serius dan berkosentrasi untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran “sukses menyonsong UN” dalam bentuk pemberian pelajaran tambahan agar semua pelajar kelak bisa lulus ujian nasional (UN) dengan sukses. Katanya bahwa nilai UN adalah indikator untuk menentukan kelulusan kita sebagai anak didik dan bagi sekoloah nilai UN menjadi tolak ukur dalam menentukan kualitas atau peringkat sekolah di suatu kota atau dalam provinsi itu sendiri. Orang tua kita dan guru di sekolah tentu juga perlu untuk merespon kedatangan ujian nasional. Tentu saja ada beberapa macam bentuk respon orang tua kita terhadap kedatangan ujian nasional ini. Yaitu ada orang tua yang peduli dan dan orang tua yang kurang peduli sama sekali.


Orang tua yang peduli atas UN tentu akan ikut mencikaraui “ Edi jangan menonton melulu, matikan TV dan belajarlah”, atau melakukan campur tangan terhadap cara dan gaya belajar kita- anak- anak mereka. Orang tua yang begini akan ikut mengorbankan waktu dan keuangan buat anak agar bisa sukses dalam menempuh UN kelak. Orang tua yang merasa peduli ini ikut menemani anak dalam belajar dan sampai mencari tahu tentang perkembangan prestasi belajar anak mereka di sekolah.


Secara finansial bahwa orang tua yang peduli terhadap UN ikut menyediakan dana bagi anak- anak mereka agar bisa ikut kegiatan bimbel (bimbingan belajar) di sekolah atau di luar sekolah, serta juga melengkapi sarana belajar mereka. Tentu saja orang tua yang peduli dengan UN adalah orang tua yang terdidik atau mereka yang punya wawasan tentang mendidik.


Sebenarnya tidak ada orang tua yang tidak peduli kepada Ujian Nasional anak anak mereka. Namun karena kurang wawasan dalam mendidik atau rendahnya SDM (sumber daya manusia) ini membuat mereka terlihat kurang peduli atas eksistensi UN bagi anak anak mereka.


Setiap sekolah juga memiliki gaya dalam merespon kedatangan UN bagi anak didik. Biasa sekolah melakukan bimbingan UN berdasarkan kebijakan dan keputusan dari pihak atasan. Misalnya melaksanakan kegiatan belajar ekstra setelah jadwal belajar normal. Belajar ekstra untuk menghadapi UN hanya diberikan untuk mata pelajaran yang tercakup dalam UN. Dua tahun lalu ada 3 mata pelajaran UN- bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan matematik dan tahun ini jumlahnya menjadi lipat dua, untuk program IPA seperti fisika, biologi, kimia, matematik, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara itu angka standar kelulusan juga lebih meningkat dan cara belajar siswa apakah meningkat atau jalan di tempat.


Kita rasakan di sekolah bahwa mata pelajaran UN menjadi mata pelajaran favorite dan tentu guru bidang studi tersebut juga mendapat perhatian yang lebih dari guru- guru dan bidang studi non -UN. Tentu saja ada guru yang tersinggung bila ada anak didik yang menganak tirikan mata pelajaran. Kalau ada maka itulah efek keberadaan UN di dunia pendidikan.


Mata pelajaran UN juga telah dilirik sebagai lahan bisnis lewat kegiatan bimbel (bimbingan belajar). Bimbel yang dikemas secara apik ternyata bisa dijual mahal,misal lewat super camp bimbingan belajar yang harganya bisa jutaan rupiah. Kegiatan ini bisa menyerap sarjana sesuai dengan bidang studi UN, sekaligus untuk menghindari pengangguran tingkat tinggi. Tentu saja kegiatan UN yang berorientasi komersil hanya bisa dijangkau oleh anak didik yang berduit, sementara mereka yang finansialnya pas- pasan mungkin harus gigit jari. Ini juga dampak pembelajaran UN yang kurang pihak kepada orang yang mampu.


Kegiatan belajar tambahan tentu juga memberikan efek positif bagi anak didik yang memiliki motivasi belajar tinggi. Mereka yang lemah motivasinya atau cendrung kurang menyukai banyak belajar, merasakan bahwa belajar tambahan menyambut UN di sekolah sore ibarat belajar di camp konsentrasi saja.


Sekolah berlabel unggul seperti SMA plus, SMA Unggul , SMA akselarasi, dll, tentu saja merancang belajar tambahan agar sukses di UN dengan melibatkan orang tua, komite sekolah, tokoh masyarakat dan alumni untuk mendukung dan memberikan motivasi bagi anak didik supaya bisa lulus UN dengan skor tinggi sebagai harga mati bagi mereka. UN memperoleh respon positive bagi sekolah berlabel unggul. Namun respon bervariasi atas pelaksanaan UN datang dari sekolah SMA dan SMP yang taraf kualitasnya agak rendah atau biasa- biasa saja.


Standar skor kelulusan UN selalu meningkat tiap tahun. Anak didik merespon dengan penuh kegelisahan, kita harus merespon secara positif, belajar teratur dan tekun dan tidak memborong menghafal pelajaran dalam waktu semalam suntuk. Remaja yang kurang merespon tentu bias stress dan gugup dan berfikir “ Bila aku tidak mampu memperoleh skor minimal untuk standar lulus UN berarti aku gagal dalam UN dan berarti tidak bisa lulus dari SMA secara normal”. Alternative lain bagi mereka yang gagal ya bisa mengambil ujian paket C. namun lulus lewat paket C bisa jadi terasa sebagai aib dan memalukan . lulus dengan paket C berarti lulus setaraf dengan orang orang belajar asal asalan dan pernah drop out pada tahun- tahun sebelumnya atau ijazah (sertifikat) paket C bisa jadi dipandang sebagai ijazah dengan kualitas kelas dua.


Lucu ya bila di sekolah kita agar anak didik bisa lulus secara normal maka orang tua dan guru- guru, juga para stakeholder pendidikan melakukan rembug dan keluarlah ungkapan ungkapan penuh prihatin atau pesimis ; “ wah kasihan kita pada anak- anak “ atau ada bisikan “kamu harus pandai pandai ya dalam UN”. Bagaimana sikap kita andaikata ada ada pihak pendidik dan orang tua (berkolaborasi) agar anak didik harus saling mencontek dan saling tolong menolong dalam UN, kita katakana “Wah mama dan papa tidak usah khawatir kami belajar dengan gentlemen”. Namun adalah suatu fenomena dalam dunia pendidikan bahwa ada beberapa sekolah yang melegalitas kasus contek.


Rekayasa untuk meluluskan atau membantu anak didik dalam UN bisa dalam bentuk merapatkan bangku peserta ujian. Mengatur tempat duduk selang seling antara siswa lemah dan siswa yang pintar. Menginstruksikan kepada anak didik agar saling bekerjasama dan tidak kikir selama ujian atau harus pintar- pintar untuk menyebarkan kunci ujian. Malah ada pihak guru atau pihak sekolah yang membocorkan soal ujian , melonggarkan pengawasan selama ujian, merekayasa kertas lembaran siswa itu sendiri. Cara- cara haram atau illegal ini dilakukan adalah siswa bisa lulus dengan angka tinggi dan sekaligus sekolah yang bersangkutan (SMP, SMA atau MAN) bisa mempertahankan angka palsu sebagai angka prestasi sekolah, “Andai aku jadi guru kelak, aku katakana say no to mencontek”.


Selama musim UN makin mendekat, maka bagaimana harapan sekolah (guru dan orang tua) apakah ingin siswa lulus UN dengan penuh tanggung jawab atau lulus UN lewat budaya rekayasa dan mencontek. Ke dua bentuk budaya belajar ini menentukan kualitas bangsa di masa datang. Kita sebagai siswa akan tumbuh menjadi calon pemimpin bangsa apakah kita harus tumbuh lewat nilai kejujuran dan kerja keras atau tumbuh menjadi pemimpin lewat budaya rekayasa dan gemar mencontek. Di pundak kita lah nanti nasib bangsa ini berada. Untuk itu yok kita ingat selalu untuk tidak mencontek dalam ujian, say no to rekayasa dan mencontek dalam ujian and be gentlement.


4. Hidup Damai Di Tempat Kos
Tidak semua orang tua mampu untuk menyediakan satu kamar untuk setiap anak, mungkin begitu pula dengan orang tua kita sendiri. Tentu saja ini semua karena keterbatasan dana. Rata-rata orang tua hanya menyediakan satu kamar saja untuk ditempati oleh beberapa orang anak.
Hidup sekamar dengan adik atau dengan kakak tidak menjadi soal. Sebab bila ada problem kita bisa langsung mengadakan rembug, atau campur tangan orang tua dapat meredakan ketegangan kita bila telah memuncak. Tetapi kita tidak mungkin hidup begitu terus. Suatu saat kita musti angkat kaki, meninggalkan rumah, mungkin karena hendak menyambung studi atau karena kita telah mendapat kerja.


Mencari tempat kos merupakan tujuan pertama. Meski ada famili menawari kita untuk tinggal disana, tetapi rata-rata tinggal di luar, ditempat kos, jauh lebih enak dan aman. Sedangkan tinggal bersama famili ada resikonya, paling kurang kita musti bisa berbasa-basi. Tidak ada problem bagi orang yang punya banyak duit, sebab ia bisa mengontrak kamar sendiri dan hidup dengan tenang, tanpa ada campur tangan orang lain. Sedangkan bila kita patungan untuk mengontrak kamar resikonya bisa fifty-fifty, sesuai dengan jumlah anggota 2, 3 atau 4 orang.


Rata-rata kamar, tempat kos, yang dicari mempunyai syarat. Harus ada air dan ada listrik. Biasanya syarat ini sudah oke untuk kebanyakan pria (cowok). Tapi bagi kaum cewek syaratnya agak lebih seperti ada air, ada listrik, ada ruang tamu dan ada dapur. Tempat kos yang dekat dengan kampus atau dengan kantor bagi yang bekerja lebih diminati oleh pekerja dan mahasiswa. Apalagi bila tidak ada campur tangan orang punya rumah. Hidup damai di tempat kos akan dapat kita peroleh bila kita punya teman yang berwatak sama. Problema akan terasa bila warganya memiliki watak yang berbeda. Kamar kos dengan warga 2 atau 4 orang akan lebih oke, bila dibandingkan dengan kamar yang warganya 3 orang, sebab salah seorang tentu akan terasing.


Sudah lumrah bagi orang-orang yang tinggal di kamar kos hidup nomaden, hidup berpindah. Biasanya seorang mahasiswa atau pegawai muda akan segera meninggalkan tempat kosnya ke tempat lain bila keadaannya jorok, bising, sempit, jauh lokasinya, sewa mahal dan tidak ada ketenangan di sana. Di lokasi dekat dengan kampus atau kantor lebih diminati orang. Oleh sebab itu banyak orang berlomba untuk mendirikan rumah, yang kamar-kamarnya untuk disewakan. Agar lebih menarik, pemiliknya sengaja menata agar tampak seindah mungkin dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Sehingga orang yang tinggal disana akan merasa segan untuk pindah ke tempat lain.


Problema untuk tinggal sekamar tetap ada, sebab lebih banyak perbedaan antara dua individu dari pada persamaanya. Secara emosi ada juga perbedaan, seperti pemalu, penangis, pemarah, pencemburu dan pendendam. Dalam segi ekonomi, ada orang yang royal, suka foya-foya, hemat sampai kepada kikir. Menurut watak ada orang yang bersih, jorok, pendiam, tukang ngobrol, suka begadang dan suka musik keras. Malah bagi yang tampak alim akan terganggu oleh teman yang suka pacaran, nonton dan membaca yang berbau agak porno, apalagi porno tulen.


Bila kita bisa mendapati teman-teman dengan watak yang sama pada sebuah kamar kos tentu kita bersyukur. Tetapi bila tidak tentu ada baiknya pada awal-awal waktu kita tetapkan sesuatu, misalnya tentang keuangan, makanan, nonton, menghidupkan musik keras sampai kepada cara menerima tamu. Begitu pula tentang menjaga kebersihan, keindahan dan ketenangan kamar kos. Dan masing-masing pribadi tentu harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan itu. Tentu semua itu untuk mendapatkan hidup damai di tempat kos.


Bagian Dua:
Belajar Memang Penting

5. Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan
6. Bila Gagal Kuliah Mengapa Lagi ?
7. Meningkatkan Kemandirian Dalam Belajar
8. Menumbuhkan Etos Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri


5. Tuntutlah Ilmu Di Universitas Kehidupan
Semua orang setuju bahwa ilmu adalah kekuatan. Agama Islam juga mengakui dan menganjurkan kepada kita (pemeluknya) untuk selalu mencari ilmu. Ada beberapa ajakan seperti ; Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, dan UNESCO – salah satu badan PBB- juga merespon dengan semboyan “life long education” atau pendidikan seumur hidup.


Kita tidak tahu bahwa apakah semboyan yang mengajak anak- anak atau generasi muda untuk mencari ilmu sebanyak mungkin dalam hayat ini, masih berkumandang di rumah- rumah dari bibir orang tua pada anaknya atau sudah tidak ada lagi. Namun dari ungkapan lama dalam memberi motivasi tentu kita masih ingat dengan ungkapan yang berbunyi; ”gantungkanlah cita-cita mu setinggi langit” . Dari ungkapan di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap orang perlu mempunyai cita- cita yang tinggi dan juga perlu untuk mencari ilmu dan pengalaman.


Orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama”.


Saat anak melangkah memasuki dunia pendidikan, mulai dari bangku TK, SD, SMP, SLTA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi, cita- cita yang terlalu umum tadi berubah menjadi cita-cita yang lebih spesifik. Begitu ditanya tentang cita- cita anak, maka ia (mereka) dituntun agar memilih menjadi dokter, insinyur, guru, hakim, polisi, tentara, dan lain- lain. Cita cita tentang profesi ini bisa disederhanakan menjadi ”bila besar kelak aku ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau pegawai swasta”. Secara tidak langsung guru- guru sudah menanamkan cita- cita dalam jiwa anak agar bila dewasa mereka bisa menjadi PNS atau pegawai kantoran, dan ini pulalah yang bernama cita- cita. Sementara itu menjadi pedagang, penulis, ulama, tokoh masyarakat bukan dipandang sebagai cita- cita. Lebih lanjut menjadi petani, nelayan dan buruh (oleh orang tua atau lingkungan) diperkenalkan sebagai pekerjaan atau cita- cita rendah dan cita- cita kurang mulia.


Kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Segala teori dan artikel tentang pendidikan dibaca dan diterapkan dan fasilits belajar untuk anak dilengkapi.


Pendidikan setiap anak sejak dari tingkat SD sampai tamat Perguruan Tinggi bisa menghabiskan rentang waktu 17 atau 18 tahun. Anak- anak yakin bahwa begitu tamat dari Perguruan Tinggi, memperoleh gelar sarjana, maka kerja, seperti menjadi PNS, pegawai BUMN dan swasta atau kantor, akan mudah diperoleh. Posisi PNS dan kantoran adalah posisi yang diperkenalkan oleh orang tua atau lingkungan sebagai posisi yang kerjanya sangat mudah, karena duduk atau goyang kaki gaji tetap keluar.


Fenomena dalam beberapa tahun silam bila seseorang tamat Perguruan Tinggi, apalagi bila IP (Indeks Prestasi) juga tinggi, bisa menjanjikan bahwa PNS dan kerja kantoran mampu menampung semua lulusan Perguruan Tinggi. Malah dalam praktek untuk menjadi PNS pada masa lalu menerima jatah sisipan, mengutamakan famili, kerabat, atau anak seorang pejabat bisa jadi PNS walau kualitasnya sangat mengecewakan. Maka jadi gemuklah populasi PNS dan susah payah pula negara untuk mencari anggaran guna menggajinya mereka walau job descriptionnya serba tidak jelas. Namun dalam sistem manajemen pemerintahan yang lebih ramping- seperti sekarang- maka menjadi PNS walau gajinya masih standar atau kadang kala masih dibawah standar, kebanyakan sarjana lulusan Perguruan Tinggi, termasuk Universitas favorit, masih bermimpi untuk bisa jadi PNS.


Begitu lulus dari Perguruan Tinggi, banyak sarjana potensial yang hanya mampu membuat surat lamaran atau menunggu lowongan agar bisa mengikuti test penerimaan PNS. Bila gagal mereka rela untuk menjadi pengangguran intelektual. Adalah fenomena bahwa datang bertubi- tubi serangan dan kecaman kepada dunia pendidikan- kurikulum yang miskin dengan link and match, dan kebijakan pemerintah. Yang paling parah adalah hujatan kepada lembaga Perguruan Tinggi yang hanya mampu menghasilkan sarjana PNS oriented. Padahal semangat untuk menjadi PNS dalam wujud cita-cita menjdi dokter, hakim, guru, dan lain- lain adalah gara- gara suksesnya kolaborasi antara orang tua dan guru dalam membangun image PNS, mulai dari guru TK, SD, SMP sampai kepada guru SLTA dan dosen.


Saudara- saudara kita yang gagal atau drop out dari sekolah ketika di SD, SMP, atau SLTA mungkin tidak mengenal untuk menjadi PNS seperti impian sarjana lulusan Universitas (perguruan tinggi) se Indonesia. Mereka yang drop- out tentu disebabkan oleh seribu satu hal, seperti kesulitan ekonomi orang tua, kehilangan motivasi belajar, buruknya budaya belajar di rumah atau di sekolah, dan sampai kepada gara- gara broken home. Mereka yang drop out saat di SLTA atau pada sekolah sebelumnya, tentu mereka tidak mungkin bisa studi di Perguruan Tinggi dan juga tidak mengenal apa itu universitas dan siapa itu dosen atau mata kuliahnya.


Namun saudara kita yang drop out atau putus sekolahi, sebahagian mereka mampu mengumpulkan energi hidup dan membentuk motivasi untuk kehidupan. Motivasi yang datang dari dalam diri sendiri atau yang datang dari orang yang punya pengalaman sukses, mereka itulah yang menjadi sumber inspirasi atau dosen bagi mereka yang belajar dalam universitas kehidupan ini.


Bertukar atau berbagi pengalaman hidup dengan kakak, paman, famili, tetangga dan pengalaman orang lain secara langsung bisa lebih baik dari teori yang diberikan oleh profesor atau doktor di universitas yang nyata. Meskipun mereka tidak belajar atau kuliah dengan dosen atau professor di unversitas yang terakreditasi baik, tetapi berbagi pengalaman dengan orang sukses adalah juga berarti terlibat langsung dalam perkuliahan ala Socrates dalam zaman Yunani kuno dengan dosen di universitas kehidupan.


Menuntut ilmu di universitas kehidupan, telah membuat orang bisa memiliki tekad hidup yang kuat. Mereka jadi berani untuk pergi merantau, berani untuk mencoba dan berani untuk menanggung resiko. Adalah bentuk pekerjaan lulusan dari niversitas kehidupan seperti menjadi petani, beternak, bertukang, dan membuka usaha konveksi telah mampu menghidupi ribuan atau bahkan jutaan orang se Indonsia. Kemudian ada orang yang hanya belajar secara alami- atau diistilahkan dengan belajar di Universitas kehidupan- mampu menjadi orang yang sukses lewat membuka toko, restaurant, usaha konveksi, catering. Dan ini adalah bentuk dari profesi yang lahir dari ide- ide kreatif. Profesi ini tidak mungkin ada (atau apakah ada) dalam daftar cita- cita siswa SLTA saat mengisi formulir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) ?


Berbagai perguruan tinggi (universitas) sekarang seolah- olah hanya mampu melahirkan sarjana yang kaya dengan teori namun bingung dalam menatap masa depan. Sementara orang yang lulus dari universitas kehidupan telah melahirkan orang- orang yang berjiwa kuat. Kalau begitu salahkah menuntut ilmu di univeritas yang nyata ?


Menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi adalah keputusan yang sangat baik dan lebih baik lagi kalau menuntut ilmu di perguruan tinggi favorite dan menata cita- cita atau rencana kehidupan yang lebih nyata. Ibarat cita- cita saudara kita yag sukses dari pengalaman hidup (universitas kehidupan) mereka sukses bukan lewat PNS, BUMN, pegawai swasta atau kerja kantoran.


Adalah sangat penting bagi setiap siswa sejak dari SLTA untuk melakukan eksplorasi atau memperluas jelajah mental melalui pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Sebagai siswa atau mahasiswa mereka tidak harus lagi membuang-buang waktu setelah menekuni teori tentang kehidupan, rumus dan tugas setiap mata pelajaran. Juga penting kalau mereka mengembangkan diri dan mencoba seribu satu macam kegiatan yang berhubungan dengan kecakapan hidup. Maka sekarang tidak perlu lagi merasa gengsi untuk terjun ke sawah, ke ladang, ke kolam ikan, ke padang rumput untuk belajar tentang life skill. Atau menjalankan traktor, memasak di restauran dan harus merasa malu kalau hanya pandai memanjakan kulit dan membiarkan orang tua melepuh badanya terbakar matahari. Sikap manja dan cengeng sungguh tidak bermanfaat.


Bila guru- guru dan dosen hanya memberi teori di sekolah dan universitas maka cobalah sempurnakan melalui pengalaman hidup, bertukar fikiran dengan orang- orang sukses dari universitas kehidupan. Mereka adalah seperti pemilik restaurant, show room mobil dan bengkel mobil dengan peralatan canggih, pengumpul komoditas ekspor, pengusaha rice milling, kyai atau ulama besar dan- lain lain. Kemudian renungankan mengapa dan bagaimana mereka bisa jadi sukses.


6. Bila Gagal Kuliah Mengapa Lagi ?
Bagaimana lagi kalau tidak lulus di perguruan tinggi? Per­tanyaan begitu banyak kita dengar dimana dan dari siapa saja. Ada yang menjawabnya dengan serius dan ada pula menanggapi dengan bergurau. Remaja umumnya gemar ber­gurau dan ada yang menjawab “wah saya kawin saja dengan orang kaya”. Banyak lagi jawaban lucu yang membuat kita terpingkal untuk mendengarnya.


Secara berseloroh kita pun dapat membuat kelompok-kelompok kemungkinan yang akan dilakukan oleh para lulusan SLTA, yakni kuliah di perguruan tinggi, mencari pekerjaan dan kalau tidak, segera berumah tangga. Ini banyak terjadi apalagi bagi sekolah-sekolah SLTA yang berdomisili di daerah. Jangan tamat sekolah saja malah tiga hari menjelang ujian akhir sudah banyak yang tarik diri dari status pelajar secara terpaksa atau sukarela. Terpaksa karena telah meng­alami “dulu bajak dari pada kerbau”.


Tetapi bagi yang masih suka berfikir, tunggu dulu. Sebab persoalan perkawinan sekarang tidak semudah pada zaman Siti Nurbaya lagi. Dari sudut ekonomi saja bahwa sekarang kalau mendirikan rumah tangga saja musti memiliki tiang ekonomi yang agak kokoh. Kaum remaja sekarang sedikit salah kaprah, mereka beranggapan bahwa cintalah diatas segalanya. Pada hal kalau perut sedang lapar, kalimat “I love you” tidak akan pernah membuat perut kenyang.


Lagi pula remaja sekarang dalam soal cinta tidak bersifat logika, tetapi semua banyak bersifat emosional dan ber­andai-andai. Tetapi setelah biduk rumah tangga didayung maka empat atau lima bulan sudah oleng. Pokoknya kalau ingin mendirikan rumah tangga maka, terutama pihak pria, mesti lebih matang dari wanita. Ya matang dalam soal ekonomi, sosial, jiwa, emosional, agama dan sosial biologis tentu sudah lebih duluan matangnya.


Sekarang kita musti berfikir lebih realistis. Apalagi persaing­an hidup sekarang amat ketat. Siapa yang bodoh dan malas tentu akan menjadi penonton dan tertinggal jauh. Kita lihat jumlah manusia sekarang sema­kin ramai dan jumlah luas permukaan bumi tetap saja. Sehingga sekarang orang, saling berebut. Hubungan darah tidak lagi terasa, seorang paman bisa menjadi musuh keponakan , anak bisa makin durhaka dan melupakan orang tua. Po­koknya sekarang nilai sosial dilupakan pelan-pelan dan di­gantikan oleh nilai individu yang egois, moga-moga tidak terjadi hal yang demikian. Untuk dapat ber­tahan hidup setiap orang tentu mesti memiliki kekuatan. Dan sekarang terlihat bahwa uanglah yang dianggap orang lebih kuat.


Pokoknya dengan uang orang bisa mendapatkan apa saja. Cinta pun bisa dibeli dengan uang. Tetapi bagi kita nilai uang janganlah sebagai tujuan agar kita tidak khilaf dalam hidup. Pegangan hidup kita tentu tetap nilai moral dan nilai agama. Kalau tidak berhasil melanjutkan studi di perguruan tinggi banyak pemuda melirik usaha kerja. Dalam bekerja mereka ada yang menjual jasa otak dan menjual jasa otot. Terasa oleh kita bahwa nilai jasa otak jauh lebih tinggi dari pada jasa otot.


Ingin tahu bagaimana nilai jasa otot? Pergilah ke terminal atau ke pelabuhan. Kasihan kita bukan. Dan kerja seperti ini juga bagus, tetapi yang berkem­bang cuma otot saja sedang otak cenderung statis. Kalau kita tidak ingin bekerja dengan menjual tenaga atau otot maka kita harus me­ngembangkan pikiran.


Banyak juga remaja yang tidak berhasil duduk di perguruan tinggi melirik jalur pendidikan lain. Sekarang yang lagi trendi adalah ikut kursus bahasa Inggeris atau kursus komputer. Dan tentu masih banyak bentuk-bentuk kursus lain yang bermanfaat. Sayang remaja banyak yang tidak me­ngetahui jenis kursus yang cocok bagi dirinya. Misalnya ada seorang remaja pria ia terbiasa hidup urakan dan ia memilih kursus komputer. Ter­nyata setelah di coba satu atau dua bulan kursus ini terasa membosankan. Penyebabnya adalah karena ia tidak terbiasa untuk melatih otak. Maka se­telah ikut kursus komputer ia merasakan otaknya tumpul. Maka kita sarankan agar setiap remaja atau yang ingin meng­ikuti kursus sebaiknya disaran­kan agar setiap remaja atau yang ingin mengikuti kursus sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pribadi.


Kalau kita memiliki otak (kognitif) yang mudah menjadi bosan tetapi badan dan pangkal lengan terasa besar maka cocoknya kita ambil saja kursus montir atau keterampilan kayu. Kalau kita berbakat dalam hal verbal atau berkata-kata mungkin cocok kita ambil kursus bahasa atau pelayanan jasa yang berhubungan dengan orang banyak. Tetapi sebetul­nya untuk kursus bukan hanya terbatas pada komputer dan bahasa Inggeris saja seperti yang latah dibaca oleh orang-orang muda sekarang. Kursus lain-lain yang lebih menjanji­kan prospek bagus cukup ba­nyak karena memang dibutuh­kan oleh konsumen. Ia adalah seperti kursus menjahit, ber­tukang, memasak, elektronika, bengkel dan kursus keterampil­an lainnya.


Tidak terhitung banyaknya lulusan SLTA yang meninggal­kan kampung halaman. Mereka banyak melirik kota-kota di pulau Jawa, Medan, Palembang dan lain-lain. Malah Batam juga termasuk daerah yang mereka lirik. Mereka banyak yang ikut famili, ikut teman dan dibawa oleh orang-orang lain. Ini bagus, tetapi kita musti tetap menjaga pribadi kita. Janganlah demi mendapatkan sesuap nasi untuk pagi dan petang kita korbankan akidah kita, dimana halal dan haram sama saja. Kalau akan luntur kiranya pribadi kita tentu mendingan kita tetap tinggal di kampung dan berwiraswasta disana.


Walaupun penduduk Indo­nesia sudah lebih dari 200 juta jiwa. Namun buminya masih luas. Toh kalau kita berada di kota memang terasa sempit dan susah. Di kota memang serba mahal dan serba dibeli. Air minum dan masuk toilet saja kita membayar, jangan-jangan sebentar lagi bernafas juga kita membayar. Kalau kita berada di daerah semuanya terasa masih lapang. Apalagi, alam kita sangat subuh. Air berlimpah dan buminya hijau sebagai pertanda kesuburan.
Untuk itu bila kita tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, maka me­ngapa kita harus frustrasi dan menganggur? Banyak hal-hal positif dapat kita lakukan pekerjaan lama sampai se­karang masih ada yang bertahan dan tidaklah tercela dan hina kalau kita juga melakukannya. Pekerjaan itu adalah seperti membuka usaha bertani, ber­kebun, perikanan, peternakan, pertukangan dan lain-lain se­bagainya. Tentu dalam melaku­kan usaha ini kita mesti me­ningkatkan tekhnik dan mena­jemen, atau pengelolaannya. Malah kita lihat banyak orang-orang sekeliling yang berhasil dalam mengolah pekerjaan da­sar ini. Cobalah lihat di daerah-daerah ada orang yang berhasil dalam usaha membuka peng­gilingan padi, membuka kios, bengkel dan membuat usaha makanan ringan untuk dipasar­kan di kota.


Usaha-usaha yang semula kita anggap remeh tetapi kenapa ada orang yang berhasil dalam usaha itu? Lihatlah ada orang yang sukses dalam usaha ternak ayam, usaha penggemukan sapi dan malah juga menyerap te­naga sarjana sementara yang mempunyai usaha sendiri sekolah dasar pun tidak tamat Tetapi ia berhasil karena belajar dari alam. Tetapi kenapa kita tidak meniru langkah-langkah me­reka?


Orang-orang kita kalau ingin membuka usaha selalu mencari alasan yang “tidak bisa”. Sering modal sebagai alasan dan akhir­nya mereka tetap asyik menghayal di sudut kamar dan pergi ke kedai untuk menghempaskan batu domino dan membeli secangkir kopi. Pada hal ini pada dasarnya adalah mem­buang-buang waktu.


Pada mulanya orang banyak enggan untuk bekerja sendiri. Secara psikologis ini memang ada benarnya. Orang cenderung merasa suntuk dan lesu kalau tidak ada teman. Maka untuk ini ada pula baiknya bagi kita untuk mencari teman. Kita carilah teman, tetapi yang dicari adalah teman yang tetap punya semangat hidup. Kita rasa kurang berguna kalau terlalu sering bergaul dengan orang pemalas dan merasa pesimis melulu. Karena karakter malas dan pesimis bisa menular. Memang semangat itu ibarat virus karena ia bisa menular. Untuk itu kita musti selalu waspada agar jangan virus malas dari teman yang pemalas menjangkiti kita. Kalau kita ingin sukses dalam hidup silahkan bergaul dengan orang yang bersemangat agar virus optimis mereka juga menulari kita.


Jadi sekarang jelaslah bagi kita, bahwa kalau kita tidak berhasil untuk studi di per­guruan tinggi kita tak perlu bersedih hati. Masih banyak hal-hal positif yang dapat kita lakukan. Kita dapat mengikuti kursus, menambah keterampilan, meluaskan wawasan sam­bil menunggu kesempatan tahun depan.


7. Meningkatkan Kemandirian Dalam Belajar
Kita tidak perlu merasa kaget apabila mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta tetapi masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh-contoh seperti itu di seputar kita.


Agak memprihatinkan, kalau kita kurang pandai menenggang perasaan atau kesulitan orangtua. Misalnya kita lebih memperhatikan kebutuhan dan kesenangan diri dan pura-pura tidak paham dengan kesulitan dengan kehidupan orang tua. Kini lebih baik berkaca pada pengalaman orang lain agar tidak terulang sebagai pengalaman kita. Misalnya, ada seorang mahasiswa baru menuntut ilmu pada jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Walaupun orangtuanya telah mengeluarkan dana hampir 20 juta rupiah sejak dari mengikuti kegiatan bimbingan belajar sampai dengan membayar SPP semester pertama tetapi ia belum bisa merasakan kesulitan orangtua. Tentu saja ketampanan wajahnya tidak dapat menutupi keletihan fisik dan jiwa orangtua dalam memikirkannya.


Kemandirian dalam belajar agaknya belum kita miliki dan beberapa orang pelajar lain. Pantas ada yang mengatakan bahwa sebagian pelajar sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Kita dan juga Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak kita sentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca.


Aktivitas kita sebagai pelajar di sekolah pada waktu senggang banyak kita habiskan untuk ngobrol dan debat kusir. Kita jadi gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog sementara tugas-tugas sekolah dan tugas rumah kita banyak yang tidak selesai. Dan persiapan pelajaran untuk waktu berikutnya juga belum beres. Ini adalah gambaran ketidakmandirian kita sebagai pelajar dalam menjalankan tanggung jawab kita sebagai pelajar. Tidak hanya itu, kita dan banyak teman barangkali juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Kadang-kadang kita bersikap aneh. Dalam berfikir dan ngobrol kadang-kadang kita kok suka berpikir mengambang, melakukan debat kusir dan berkelakar hampir sepanjang waktu. Kita baru melakukan tugas dengan baik kalu masih dikontrol oleh pihak guru, di sekolah, dan orang tua saban waktu. Ini, sekali lagi adalah ciri-ciri dari ketidakmandirian kita dalam belajar meski secara biologis kita sudah dapat dikatakan sebagai orang dewasa.


Dari bahan bacaan dan dari internet kita dapat menemui info bahwa cukup banyak penulis membahas tentang kegagalan pendidikan remaja atau membahas tema tentang ketidakmandirian siswa dalam belajar. Ada yang mencela sekolah sebagai penyebab dan ada pula yang mencela factor rumah. Namun faktor lingkungan rumah adalah penyebab yang lebih dominan.


Memang, lingkungan rumah cukup dominan untuk menentukan dan menciptakan apakah kita mandiri atau tidak dalam belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak mereka kepada sekolah semata adalah faktor penyebabnya. Penyebab lain adalah kealpaan orang tua untuk memberi model dalam memanfaatkan waktu, membiarkan kita berkeliaran, hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai tidur lagi pada di malam berikutnya, namun bagi yang sudah sadar dan sudah tahu cara untuk belajar mandiri tidak perlu banyak sewot pada orang tua. Cukup perlihatkan selalu sikap hormat kita pada mereka.


Pelajar-pelajar yang gemar berkeliaran pada jam belajar, meski mereka bersekolah pada kelas atau sekolah favorit, dan pergi sekolah hanya untuk pergi mengobrol dengan teman-teman adalah produk lingkungan rumah, atau orang tua yang tidak acuh atas masalah pendidikan. Banyak pelajar yang mengabaikan pelajaran dan keberadaan buku-buku yang ada dalam tas mereka atau pada perpustakaan. Gambaran sekolah di mata remaja yang memiliki semangat dan motivasi belajar rendah adalah bukan sebagai tempat untuk menuntut ilmu, menekuni aneka buku ilmu pengetahuan, tetapi citra atau gambaran sekolah bagi mereka adalah sekedar tempat huru-hara, atau pergi ke sekolah hanya sebagai suatu seremonial saja.


Ilmu paedagogi/ ilmu mendidik menyatakan bahwa ada tiga ranah atau aspek belajar yang kita miliki yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Ketika aspek ini harus dikembangkan melalui PBM dan kegiatan ekstra kurikuler. Dalam aplikasi terlihat kurang berimbang. Penyebabnya karena kita terlalu menyanjung aspek otak atau kognitif terlalu tinggi. Kegiatan pengembangan afektif atau pembinaan sikap cukup kurang karena miskin model dan miskin pembinaan. Dan wajar saja kalau sikap kita, pelajar sekarang, ada yang cenderung makin lama makin beringas, karena di rumah kita tidak diwarisi dengan sikap dan nilai-nilai moral dan agama yang mantap kecuali hanya segelintir keluarga saja yang memperhatikannya. Dan sekolah lebih memperhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan dan olahraga.


Kerap kali siswa yang telah belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka.


Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah bertambah membengkak angka ‘drop out’ mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun disana ada dosen sebagai ‘penasehat akademis’ tetapi seringkali kontak antara mahasiswa dan pembimbing akademis belum maksimal.


Dan andai kata mereka yang tidak memiliki kemandirian dalam belajar, tidak beruntung untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tentu akan terjun ke tengah masyarakat untuk menambah angka pengangguran yang telah bengkak juga. Untuk kesudahannya adalah mereka sering menjadi parasit dalam sosial. Pergi merantau untuk mencari pengalaman hidup dan mengadu untung, akan tidak berani dan kalau tetap tinggal di kampung akan tetap bersandar, atau malah juga mengganggu pihak sosial lainnya. Kemudian apabila mereka berumah tangga, tentu juga akan mengganggu pihak wanita, paling kurang keberadaannya adalah sebagai beban bagi mertua. Kecuali kalau mereka telah berani untuk mengambil keputusan dan melakukan perobahan sikap hidup secara total.


Fenomena social sekarang bahwa ada pria-pria yang belum mapan ekonominya menikah dengan wanita yang punya posisi, ini tidak salah, Penyebabnya adalah karena banyak wanita yang tekun menuntut ilmu dan mengembangkan life skill dan sukses dalam memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai tempat untuk mengembangkan aktualisasi diri. Dan cukup banyak pria yang belum mandiri (maaf) menikah dengan wanita mandiri dimana pada akhirnya keberadaan mereka adalah bukan sebagai pemimpin bagi wanita tetapi adalah sebagai pelengkap saja dalam perkawinan.


Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu penyandung untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain.


Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar mereka ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena prilaku kita yang pasif membuat guru kita juga kurang dinamis- guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Disamping itu pengabdian guru belum sepenuhnya bersifat ideal sebagai guru. Ada kalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis dimana mereka baru sudi untuk berbuat kalau ada imbalannya.


Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya.


Taman Kanak-kanak sekarang, sebagian kecil telah ada mendorong usaha anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu Taman Kanak-kanak lebih terfokus untuk tempat belajar, menyanyi, menari dan kemudian dilupakan. Sekarang TK telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sebagai teori. Kita merasa salut melihat telah ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya untuk berlangganan majalah dan memesankan kepada orang tua di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh diharapkan untuk kita dan pelajar di level sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Disamping menyediakan fasilitas belajar bagi murid-muridnya juga menginginkan orang tua ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar agaknya perlu ditingkatkan untuk menyongsong masa depan.


8. Menumbuhkan Etos Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri
“Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis (2006) sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.


Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.


A.A. Navis. (2006). Alam takambang Jadi Guru, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.


Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.


Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.


Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.


Keluarga Junior dengan jumlah anak yang hanya rata-rata 2 orang sebagian cendrung bersifat terlalu posesif sehingga punya kesan banyak “serba” yaitu serba melarang, serba melarang, serba membantu anak dan lain-lain. Sehingga terkesan menjadi serba memanjakan anak dan serba membelenggu kebebasan untuk berkreasi , berekspressi dan melakukan kreatifitas. Sikap possesif keluarga junior ini agaknya didorong oleh rasa khawatir orang tua yang berlebihan. Khawatir atau takut anak terjatuh dan cedera. Sehingga semua gerak-gerik anak selalu diawasi dan dicemasi. Hal ini membuat anak menjadi serba ditolong dan serba dilindungi. Akibatnya anak kurang aktif dan kreatif dan kurang melaksanakan ekplorasi dalam dunianya ini berarti anak akan miskin dengan pengalaman hidup.


Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan. Disini tidak ada kecendrungan kita untuk mengatakan bahwa keluarga senior atau keluarga dengan banyak anak jauh lebih baik. Namun disini tersirat sebuah penekanan bahwa orang tua dengan keluarga kecil, sebagai keluarga berencana, perlu untuk menjadi arif dan lebih matang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Mereka perlu untuk selalu menimba ilmu dari buku dan pengalaman hidup, malah kalau perlu menimba pengalaman hidup, mendidik anak, dari keluarga senior tadi.


Schwartz, DJ.(1997) Berfikir dan Berjiwa Besar, the magic of thinking big. Jakarta: Gunung Jati.
David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1997) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.


Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka. Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.


Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak, lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.


Kebingungan bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini, seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.


Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.


Anak-anak yang sering diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja. Untuk membebaskan anak dari kebingungan dan tanpa cita-cita dalam hidup maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektive (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.


Pelajar-pelajar dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah generasi yang sangat diharapkan oleh bangsa kita. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.


Bagian Tiga:
Sorotan

9. Siapakah Idola Mu ?
10.Tidak Perlu Jadi Sinetron Maniak
11. Jangan Biarkan Diri Miskin Dengan Spiritual
12. Ada Apa Dengan Mahasiswa ?
13. Jangan Banyak Mengeluh
14. Kuliah Dan Gaya Hidup
15. Harus Peduli Untuk Jadi Intelektual


9. Siapakah Idola Mu ?
SUDAH milyaran rupiah dana yang dihamburkan agar penataran dan pelatihan bagi generasi muda untuk memantapkan rasa kebangsaan dapat terwujud. Disamping itu media massa, lewat media cetak dan media elektronik, juga diserutkan agar segenap generasi muda dapat memahami arti semangat perjuangan 45.


Semangat perjuangan 45 adalah semangat yang tidak mengenal istilah pantang mundur demi meraih kemerdekaan. Malah nyawa, harta dan keluarga adalah taruhannya. Bagaimanakah semangat generasi muda, remaja, yang hidup di tahun 2.000-an ini? Tanpa mengadakan penelitian yang akan membuang-buang waktu dan dana kita dapat mengatakan bahwa rata-rata generasi muda sekarang banyak yang memiliki semangat perjuangan yang belum sempurna patriotiknya..


Andaikata kita pajangkan sederet nama mulai dari nama artis sinetron, olahragawan sampai kepada nama tokoh pahlawan yang telah berjasa banyak bagi bangsa ini. Maka artis dan olahragawan kerapkali sebagai tokoh Idola mereka yang utama dan para pahlawan sering sekedar idola pelengkap saja. Sebetulnya tidak salah kalau generasi muda termasuk para pelajar menjadikan para artis dan olahragawan sebagai idola mereka, tidak mengapa bila tokoh-tokoh idola mereka baik luar-dalam. Maksudnya penampilan luarnya sama baik dengan karakter mereka yang sesungguhnya. Sekarang yang kita pertanyakan adalah apakah masih ada kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa kita ini?


Cukup kagum juga kita, dari membaca koran dan majalah, bahwa di luar negeri, seperti Amerika, masih ada generasi muda mereka, yang mempunyai kontak batin dengan pahlawan yang telah terpisah selama puluhan generasi atau ratusan tahun. Mereka masih kenal baik sehingga dalam pembicaraan harian, mereka pun mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh pahlawan bangsa mereka. Penyebaran buku-buku biografi adalah salah satu faktor pembentuk tetap adanya hubungan batin antara mereka dengan para pahlawan.


Bagaimana kontak batin antara para pelajar dengan para pahlawan bangsa? Rata-rata, kecuali sebagian kecil, Cuma sebatas mengenal nama mereka saja. Oh, kalau Sisingamaraja itu berasal dari tanah Batak, Imam Bonjol dari daerah Minang dan Pangeran Diponegoro berasal dari daerah anu …! Atau anak didik kita Cuma dapat mengenal tahun-tahun saja. Bahwa Sukarno, Presiden RI pertama dan tokoh Proklamator, lahir tahun sekian dan Kihajar Dewantara mendirikan sekolah itu tahun sekian. Dan bisa jadi generasi muda sekarang hanya mengenal pahlawan hanya sebatas nama, karena nama-nama jalan juga mengabaikan nama-nama para pahlawan. Oh, itu jalan Pattimura dan ini jalan Rang Kayo Rasuna Said dan yang lain adalah jalan R.A Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Haji Agus Salim, Jalan Sukarno-Hatta atau jalan Prof. Dr Hamka, dan lain-lain. Tetapi mereka kemungkinan tidak pernah tahu bahwa Rang Kayo Rasuna Said itu adalah pejuang wanita dari ranah Minang yang merupakan wanita pertama yang masuk ke dalam bui karena perjuangan bangsa. Atau mereka kurang mengetahui bagaimana Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan Hamka bergelut dengan buku-buku untuk menuntut ilmu demi perjuangan kemerdekaan bangsa. Atau bagaimana Sukarno berlatih berpidato di kegelapan malam semasa kecil dan Raden Ajeng Kartini beserta adik-adiknya berjuang menentang adat yang kolot demi membebaskan kaum wanita dari belenggu kebodohan untuk memperoleh emansipasi dan harga diri.


Pokoknya cukup sederhana pengetahuan remaja pelajar tentang para pahlawan yakni sebatas nama, tahun-tahun kejadian dan daerah asal mereka. Mereka memperoleh itu lewat hafalan dan kemudian secara pelan-pelan melupakan apa yang dihafal sebelum sempat dijiwai sampai pada akhirnya para pahlawan itu terlupakan dan terputus dalam kontak batin. Kalau begitu siapakah yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tentu saja kita semua, para pelajar, juga guru-guru kita, akibat cara belajar dan cara penghayatan kita yang masih rendah dan salah kaprah.


Sebetulnya selain lewat proses belajar mengajar di sekolah remaja pelajar masih dapat mengenal para pahlawan lewat media masa seperti televisi, majalah, koran-koran, membaca biografi mereka dan sekarang lewat internet. Tetapi acara-acara kepahlawanan sering kalah menarik dibandingkan dengan acara hiburan dan film-film. Sehingga anak-anak didik kita di rumah memperhatikannya tidak dengan sepenuhnya hati dan malah meninggalkan acara tersebut. Begitu pula kerapkali anak didik lebih tertarik dengan membaca gosip para bintang film dan mengabaikan biografi para pahlawan kalau ada. Walau tidak semua pelajar yang berbuat begitu.


Agaknya pelajar kita cukup peka juga. Mereka dapat mengatakan bahwa pelajaran yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan pahlawan kepada mereka adalah seperti pelajaran, Sejarah, Agama, KWN, dan Bahasa Indonesia. Dan tentu pada umumnya seluruh guru-guru juga bertanggung jawab untuk memperkenalkan para pahlawan kepada kita sebagai generasi muda.
Suatu hari ketika ditanya, kepada pelajar tentang metode proses belajar mengajar yang baik dalam rangka mempelajari dan mengenal tokoh-tokoh pahlawan lewat mata pelajaran yang kita sebutkan di atas. Maka murid mengatakan bahwa metode yang terbaik adalah guru mencatatkan ringkasan pelajaran dan kemudian menerangkan pelajaran atau sebaliknya guru menerangkan pelajaran kemudian baru mencatatkan keringkasan yang telah dibuat guru.


Karena kita telah terlatih menjadi “beo” atau menerima saja apa yang telah disuguhkan guru lewat cara menghafal ibarat sapi di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang berisi tulisan dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran tanpa singgah di kepala, telah menyukai metode ini. Pada hal cara belajar kita sudah salah kaprah karena dapat mematikan kreatifitas berfikir kita. Sedangkan orang-orang dari negara maju telah lama meninggalkan cara belajar yang masih kita terapkan. Namun kita dalam tahun 2000-an ini masih ada yang terpaku pada cara belajar, mencatat, menghafal dan menunggu perintah guru untuk membaca.


Cukup banyak ragam metode belajar yang salah kaprah ini. Kadang kala kita belajar tetapi malah kita asik bercerita mengelantur kesana kemari tentang tokoh-tokoh pahlawan di dalam negeri dan di luar negeri, tanpa jelas salah benarnya, kemudian pada akhir, dalam belajar, ya kita mencatatkan atau menyalin saja keringkasan yang telah dibuat oleh teman atau pergi ke tempat fotokopi. Ada lagi pembelajaran kita yang setiap kali PBM, kita kok Cuma jadi orang yang pasif melulu- tidak pernah mengemukakan pandangan dan pendapat pada bapak dan ibu guru yang mengajar, atau meringkas isi halaman dari buku sejarah, duduk di kelas sampai kuap-kuap.
Bagi guru kita, memperkenalkan para tokoh pahlawan lewat proses belajar mengajar adalah sangat ampuh untuk menangkal agar anak didiknya tidak tercabut dari akar budaya dalam arti mereka tidak melupakan pahlawan bangsa. Tetapi pelaksanaan proses belajar mengajar tidaklah sesederhana metode yang di atas tadi. Idealnya setiap guru, terutama guru, KWN, Agama, Sejarah dan Bahasa Indonesia dari sekolah dasar dan bagi pelajaran yang terkait di tingkat SLTP dan SLTA harus menguasai topik-topik. Kita, sebagai pelajar juga musti kritis dengan materi pelajaran yang bukan sekedar hafalan belaka. Ini adalah cara yang tepat agar kita tidak menjadi beo. Malah sangat ideal lagi kalau kita, dan juga guru-guru kita- guru-guru mata pelajaran Sejarah KWN, , juga membaca buku-buku biografi tanpa terlebih dahulu berlindung dibalik alasan. Kita sering mendengar banyak orang yang senantiasa mengungkapkan “ah aku tidak punya waktu untuk membaca guna untuk menambah ilmu”.


Sering alasan-alasan kuno ini kita ungkapkan tentang kesibukan seolah-olah kita lebih sibuk daripada Pak SBY, Pak B.J. Habibie yang memiliki segudang jabatan dan pekerjaan atau KH Zainuddin MZ, ulama sejuta umat. Mereka juga mempunyai rumah tangga dan anak-anak, disamping tanggung jawab terhadap pekerjaan yang banyak tetapi tetap mempunyai waktu untuk belajar atau menambah ilmu. Bagi sebagian pelajar yang selalu berlindung dibalik alasan “sibuk” ternyata untuk nongkrong di café, warung kopi atau untuk bergosip tanpa kita sadari kita telah menghabiskan waktu selama berjam-jam terbuang percuma.


Pengenalan tokoh-tokoh pahlawan kepada pelajar lewat proses belajar mengajar dan lewat membaca biografi mereka merupakan sarana yang tepat membuat kita jadi heroik, karena lewat kegiatan ini kita terkondisi dengan belajar. Ada usaha-usaha positif yang lain, diberi guru kita, agar kita lebih mengenal para pahlawan. Misalnya kalau bapak dan ibu guru memberikan tugas untuk membuat sinopsis dari biografi-biografi pahlawan. Begitu pula menugaskan kita untuk membuat resensi dari sebuah buku yang mengandung biografi seorang pahlawan. Agar kita tidak asal tulis atau mungkin memalsukan karya tulis orang lain. Maka ada baiknya kita mempersiapkan diri kalau guru mengujikan atau menyuruh kita untuk mempresentasikan di depan kawan-kawan sambil melatih keberanian untuk tampil di depan umum.


Melowongkan waktu bagi guru dan murid untuk dapat membaca setiap buku biografi sangat besar manfaatnya. Selain untuk menambah wawasan juga sebagai sarana untuk “cermin diri” untuk memacu prestasi dan untuk mencari idola sebagai jati diri kita dalam rangka mengembangkan kwalitas diri. Semoga.


10. Tidak Perlu Jadi Sinetron Maniak
Adalah merupakan fenomena sepanjang masa bahwa pengaruh budaya luar selalu menyusup ke dalam tradisi kita lewat mode atau gaya hidup. Dulu, beberapa belas tahun atau dua dekade yang lalu, gaya hidup berkacamata hitam, memakai anting- anting besar, berambut kribo dan bercelana Spanyol adalah pilihan anak muda. Kemudian datang mode breakdance, rambut punk-rock, bertato, beranting sebelah telinga, membuat grafitty- coretan- coretan. Dan sekarang mode tidak hanya menjadi konsumsi anak muda pareman, tetapi juga dikonsumsi secara habis- habisan oleh sebahagian siswa SMP dan SLTA (SMA, MA dan SMK) dan malah juga sebahagian mahasiswa yang nota-benenya sebagai calon intelektual, mengadopsi gaya hidup yang aneh sebagai kebutuhan primer mereka. Fenomena yang diuraikan diatas tentu ada penyebab dan pemicunya.


Setiap orang sudah tahu bahwa apa itu “media massa” dan kita tidak perlu lagi mencari defenisinya. Setiap orang sudah tahu bagaimana bentuk media massa itu, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa audio visual atau televisi sangat ampuh dalam menyedot perhatian puluhan ribu malah jutaan penonton. Media massa cetak, seperti beberapa jenis tabloid, koran dan majalah, juga mampu menyedot banyak perhatian pembaca.


Kedua jenis media massa diatas mampu memberikan dampak positif dan negative pada masyarakat. Terutama televisi dengan layar kacanya mempunyai manfaat dalam menghibur dalam mendidik masyarakat. Namun porsi menghiburnya kelewat banyak dibandingkan porsi mendidik dan memberikan informasi pada orang banyak. Unsur hiburan televisi telah menciptakan banyak masyarakat (baca: generasi muda dan anak didik) berprilaku serba aneh dan asing dari gaya hidup masyarakat sekitarnya.


Televisi telah lama menjadi kebutuhan primer masyarakat, seperti kebutuhan terhadap makan, minum atau sandang, pangan dan papan. Apalagi sejak menjamurnya stasiun televisi swasta yang menawarkan iklan dan menyuguhkan hiburan yang membius para pemirsa sampai malas bekerja dan belajar, maka banyak masyarakat memilih untuk membeli televisi dengan ukuran layar lebih jumbo, memajangnya ditengah rumah dan menyulap ruang tamu menjadi theater bagi keluarga.


Dahulu, sebelum televisi masih sebagai “makhluk yang langka”, banyak anak- anak yang begitu dekat dengan sang nenek, ingin tidur bersama sambil menikmati bedtime story (cerita menjelang tidur) atau kisah hidup sang nenek sewaktu muda. Namun itu kini tinggal kenangan, malah banyak anak- anak memilih untuk lebih akrab dengan kotak elektronik yang bernama televisi itu. Kemudian istilah atau kosa- kata bedtime story akan segera menghilang dari kamus dan pengalaman hidup mereka.


Adalah menjadi suatu fenomena sosial bahwa sekarang sebahagian anak-anak memang lebih akrab dengan pesawat televisi dari pada anggota keluarga dan famili yang lain. Mereka tampak begitu senang dan ikhlas menghabiskan waktu berjam-jam demi menikmati tayangan hiburan televisi yang muncul sambung bersambung sepanjang waktu. Malah mereka sudi untuk berteriak, marah- marah sambil mengungkapkan kata- kata emosional bila merasa terusik oleh siapa saja.


Begitu pula dengan pelajar di sekolah, mereka lebih dekat dan mengenal lebih banyak nama- nama stasiun televisi dengan program tayangannya, nama presenter yang kerap tampil di layar kaca, dibandingkan dengan mengenal nama dan pribadi guru- guru mereka. Mereka lebih suka kalau duduk bersama dengan teman sebaya untuk membahas acara- acara televisi, bintang iklan, tokoh- tokoh artis sinetron daripada membahas mata pelajaran dan “pe er demi pe er” yang baru saja ditugaskan oleh bapak dan ibu guru. Malah sering karena kelewat rajin mengikuti program sinetron, membuat mereka lalai dalam mengerjakan pekerjaan rumah tadi.


Orang tua kita jarang tahu atau mungkin tidak mau tahu kalau televisi itu punya segudang mudharat atau kerugian. Kalau kita berjalan menelusuri daerah perumahan, kita temui banyak rumah yang membiarkan televisi on air atau menyala di tengah keluarga selama berjam-jam, malah ada yang menyala sampai 24 jam. Bagi keluarga yang punya rumah besar tentu tidak begitu masalah. Sebab tentu mereka masih punya kamar atau ruangan untuk menyepi agar anggota keluarga mereka yang rajin bisa belajar berfikir di bahagian kamar lainnya. Tetapi mayoritas bangsa Indonesia tidak kaya, mereka mempunyai rumah berukuran kecil, atau satu rumah dihuni oleh satu sampai tiga keluarga atau lebih, malah banyak keluarga yang hidup menumpang. Apa lagi bagi mereka yang hidup di daerah perkotaan, satu rumah kecil untuk menampung beberapa orang, mereka tidur ibarat ikan dalam kaleng sarden. Fungsi rumah pasti tidak ada kecuali hanya sebagai tempat tidur pada malam hari dan keluyuran pada siang hari. Dan bayangkan bila disana juga menyala siaran televisi yang non stop pasti tidak ada disana terdengar kata- kata untuk memotivasi anak untuk belajar.


Televise kita lihat juga menjadi assesori di sekolah. Banyak guru-guru dan stakeholder sekolah juga tidak menyadari seberapa betul manfaatnya televisi itu sehingga televisi itu harus hadir dalam kantor majlis guru dan menyala dari pagi sampai sekolah usai. Pada mulanya televisi hadir di sana adalah dengan alasan agar guru tidak ketinggalan informasi. Namun karena bagusnya kemasan tayangan iklan dan sinetron yang datang silih berganti telah membuat guru-guru kita terbius dan enggan untuk menunaikan tugasnya sebagai guru dalam kelas dan membiarkan siswa kucar- kacir.


Memang benar bahwa iklan dan sinetron adalah materi utama pada semua stasiun televisi yang ada di Indonesia ini. Manfaat utama dari program sinetron yang ditayangkan tiap saat dengan judul yang silih berganti terhadap masyarakat luas (juga jutaan anak didik) adalah sebatas untuk menghibur saja. Namun hakekatnya bisa membuat masyarakat, apalagi anak didik menjadi salah didik.


Pada umumnya tema berbagai sinetron yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia adalah tentang “cinta” yang diberi bumbu dengan unsur kemewahan, kekayaan kekerasan dan kemanjaan atau kecengengan. Sering karakter tokoh dalam sinetron- sinetron tersebut kurang berimbang dan tidak logika dengan porsi yang juga kurang berimbang.


Penokohan untuk dunia pendidikan ,misalnya, maka penulis naskah sinetron sering membuat citra bahwa figur atau tokoh siswa yang pintar itu adalah sosok seorang pelajar memakai kaca mata minus, kuper (kurang pergaulan), pribadinya terlalu baik namun mudah untuk diinjak- injak oleh pribadi teman lain. Sementara itu peran tokoh guru yang dicitrakan oleh penulis naskah sinetron adalah figur guru yang miskin, kampungan atau guru yang super killer. Tema cerita tentang hal ini dikemas seapik mungkin dan ditayangkan kepada publik, yang mana penontonnya adalah ratusan ribu bahkan jutaan anak anak sekolah se Indonesia. Namun apa tujuannya untuk mengemas cerita seperti ini, apakah untuk mengangkat citra pendidikan atau malah untuk menghempaskanya (?).


Sekarang , sebagaimana yang telah disebutkan tadi, bahwa banyak pelajar yang lebih mengenal figur presenter dan tokoh- tokoh sinetron pujaan mereka pada layar kaca dari pada mengenal figur guru – guru mereka di sekolah. Apalagi bila bapak dan ibuk guru mereka di sekolah tidak pula memoles diri dengan SDM yang tinggi dan penampilan yang anggun atau gagah. Maka semakin larilah siswa untuk menjadikan mereka sebagai panutan, model atau sebagai “uswatul hasanah (contoh teladan yang baik)”. Seolah- olah figur bagi bapak dan ibu guru yang demikian bisa berpuas diri dengan dengan dendang lagu “hymne guru- pahlawan tanpa tanda jasa” yang dihadiahkan siswa setiap Senin pagi saat upacara penaikan bendera.


Bahwa dalam hidupnya pelajar memperoleh pendidikan langsung dari guru di sekolah dan dari tokoh sinetron dan presenter pada layar kaca televisi mereka di rumah. Anak didik akan membandingkan dua jenis figur dengan kultur yang saling mempengaruhi mereka. Yaitu guru-guru yang senantiasa berusaha membuat dan mengajak mereka agar bisa menjadi insan yang memiliki kognitif, afektif dan psikomotorik (keterampilan) yang mantap. Atau agar mereka bisa memiliki keterampilan yang berganda dengan memantapkan intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient mereka, dengan tarikan tokoh sinetron dan presenter yang penampilan mereka yang tidak lagi membumi dan sudah jauh dari akar budaya bangsa ini- tubuh cantik dibalut pakaian super ketat dan super mini, rambut dicat cukup norak, penampilan yang dibuat-buat dan menjanjikan seribu kemewahan, kekayaan, kecengengan dengan pesan-pesan yang menghalalkan hal-hal yang selama ini taboo- berciuman dimuka publik, hamil sebelum nikah, dan lain- lain adalah suatu hal yang wajar dan lumrah.


Figur guru dan figur artis sinetron (dan juga figur presenter) selalu berusaha berlomba dalam mempengaruhi pribadi pelajar. Karena figur artis dan presenter dibawakan oleh orang- orang yang sangat cerdas dan lincah namun gaya hidup mereka sudah serba tiruan dari gaya hidup dunia lain (baca: dunia barat) maka jadilah mereka sebagai tokoh yang dikagumi oleh jutaan pelajar se Indonesia dan sekaligus terpelantinglah figur guru sebagai panutan yang selalu serba bersahaja, dengan SDM dan penampilan yang juga pas- pasan pula dari fikiran anak didik mereka Maka terpaksalah mereka mendidik generasi muda yang bermentalkan (sebagian) cengeng, manja, sok elit, dan tiap malam sebelum tidur bermimpi untuk hidup mewah. Barangkali itulah penyebabnya kalau pesan- pesan pendidikan yang disampaikan oleh ibu dan bapak guru tidak sampai pada tujuannya. Guru asyik ngobrol di depan kelas sampai kering kerongkongan namun anak didik mereka masih bermimpi bersama tokoh tokoh artis sinetron yang selalu mereka dambakan sepanjang hari pada layar kaca di rumah mereka.


Adalah amat tepat kalau kini para orang tua harus mencurigai bahwa bila remaja yang dididik dan tumbuh di depan mata kita menjadi generasi yang tampil serba aneh adalah gara gara tayangan iklan dan sinetron pada layar televisi yang dipajang dan dihidupkan sepanjang waktu di rumah. Sinetron dicurigai sebagai pemicu remaja atau para pelajar menjadi tercabut dari akar budaya ABS- SBK (Adat Bersandi sarak- Sarak bersandi Kitabullah).


11. Jangan Biarkan Diri Miskin Dengan Spiritual
Walau agama Islam lahir di Timur Tengah lebih dari 15 abad yang lalu namun pemeluk terbesar agama ini adalah di Indonesia. Tentu saja kita (pemeluk Islam di Indonesia) merasa bangga dengan status negara sebagai mayoritas pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun kita perlu berfikir- melakukan refleksi- tentang apakah sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia, jumlah yang besar hanya dari segi kuantitas namun untuk kualitas cendrung amat rendah, karena pemeluknya masih jauh dari pemahaman dan pengamalan spiritual dan cenderung mengadopsi nilai hedonisme (paham mencari kesenangan hidup) semata mata. Jauhnya kita- sebagai pemeluk Islam- dari pengamalan agama yang berkualitas adalah gara-gara pola pendidikan di rumah yang miskin dari sentuhan spiritual. Diduga ada banyak faktor sebagai penyebabnya, beberapa di antara nya adalah akibat kehadiran televisi di rumah yang amat sarat dengan nuansa sekuler, kepedulian orang tua kita yang berlebihan terhadap fasilitas hiburan daripada pendidikan. Karena kualitas pengajaran agama di rumah hanya sebatas pandai membaca abjad Arab atau alif- ba- ta saja dan akibat dari pemodelan- panutan atau suriteladan- orang tua kita yang lemah dalam mengimplementasi kan ajaran agama.


Televisi memberikan dampak negatif dalam mengikis nilai spiritual. Kehadiran tabung elektronik ini di tengah keluarga bangsa Indonesia dimulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu televisi mungkin masih dianggap sebagai kebutuhan lux atau kebutuhan sekunder. Karena saat itu hanya keluarga yang tergolong mampu yang bisa memiliki pesawat televisi. Kemudian sekitar tahun 1990 pesawat televisi secara besar- besaran hadir di tengah masyarakat. Maka benda ini tidak lagi dianggap sebagai barang mewah, namun sudah dianggap sebagai kebutuhan primer, karena kadang kala penduduk dengan rumah gubuk juga mampu menghadirkan pesawat televisi dengan layar jumbo di tengah keluarga mereka.


Pada mulanya program televisi dirancang oleh orang yang berduit- pemilik stasiun televisi adalah untuk memberi masyarakat Indonesia program pendidikan dan program hiburan yang masih ramah lingkungan. Serasi dengan warna dan corak adat kita sebagai bangsa timur- memperhatikan nilai agama dan nilai adat istiadat. Pada masa itu orangtua masih bisa bersyukur atas kehadiran televisi yang belum begitu mencemaskan terhadap perkembangan anak. Dampak televisi pada waktu itu hanya baru sebatas membuat anak- anak kecanduan duduk berjam-jam di depan pesawat televisi dan mengabaikan pelajaran.


Namun sejak pengelola media masa – media cetak dan media elektronik- sudah berubah misi suci mereka untuk mendidik bangsa ini dan atas nama globalisasi mereka merasa enteng untuk menghadirkan program hiburan yang kurang berkualitas ditinjau dari segi agama dan sebagai bangsa timur. Maka itulah awal bangkitnya krisis demi krisis dan melangkah masuk ke tengah keluarga bangsa Indonesia. Karakter sebahagian orang kita yang punya kebiasaan menonton televisi selama berjam- jam membuat sesuatu yang mereka tonton membekas dalam diri mereka. Karena sesuatu yang dilihat atau ditonton berulang-ulang bisa mempengaruhi prilaku seseorang. Sementara itu kita tahu bahwa materi utama dari program televisi adalah iklan dan rentetan hiburan demi hiburan. Iklan yang ditayangkan tujuannya adalah untuk mengajak dan menjanjikan gaya hidup yang konsumerisme, gaya hidup serba mewah dan serba megah. Program- program yang ditayangkan televisi lambat laun akan mampu untuk mencuci otak jutaan penonton yang umumnya adalah anak- anak muda.


Hiburan yang dikemas dengan menghadirkan figur selebriti- artis dan presenter- yang sengaja dipoles dengan gaya sekuler, jauh dari nilai agama, ini terpantul dari gaya mereka dalam berpakaian, bertindak dan bertutur, telah mengajak jutaan penonton yang berusia muda agar bersikap dengan cara yang sama. Di saat program televisi tidak lagi sebagai sahabat bagi keluarga, namun hanya sebagai pembawa mudharat atau bencana atas pelunturan nilai budaya itu sendiri. Maka cara yang tepat bagi orang tua adalah agar memilih atau mengatur jam tayangan program televisi sesuai dengan pola pendidikan dan pola pengasuhan anak di rumah. Atau mungkin mereka tidak perlu membeli pesawat televisi sama sekali.


Fenomena yang terlihat sekarang adalah bahwa rumah tangga terlihat lebih kaya dengan sarana hiburan namun miskin dengan sarana pendidikan. Orang tua kita lebih peduli untuk menghadirkan sarana hiburan buat keluarga dengan kemampuan dan ukuran kantong mereka dari pada menghadirkan sarana pendidikan . Adalah cukup mudah bagi kita untuk menemui sarana hiburan seperti VCD player, paly station, tape recorder sampai kepada menghadirkan sarana hiburan yang berharga sangat mahal. Tentu saja tidak ada salahnya bila orang tua menyediakan sarana hiburan seperti ini, namun adalah kurang bijaksana apabila mereka kurang peduli untuk melengkapi sarana belajar keluarga.


Inilah kenyataan bahwa lebih mudah bagi kita untuk menjumpai kepingan VCD dangdut atau film kartun- karena umumnya orang kita masih demam gemar menonton- dari pada menemui buku , majalah dan koran yang berkualitas pada tiap keluarga. Pada hal salah satu fungsi bacaan adalah untuk mendidik anggota keluarga. Tetapi kalau bangsa kita belum terbiasa membaca maka bagaimana mereka bisa menjadi orang yang kritis dalam berfikir. Kita tahu bahwa salah satu manfaat dari kebiasaan membaca adalah untuk membentuk seseorang menjadi orang yang kritis dan analitis dalam berfikir.


Kita tahu bahwa banyak rumah tangga yang belum memiliki perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Yang baru ada yaitu kepedulian orang tua untuk menyediakan bioskop sebagai sarana hiburan keluarga. Maka kalau kualitas bangsa ini lemah dalam bidang pendidikan (membaca), tentu inilah salah satu sebagai penyebabn ya kita miskin dengan kualitas pendidikan. Untuk itu kini adalah tepat kalau orang tua agar peduli untuk menghadirkan perpustakaan mini sebagai sarana belajar keluarga. Dan juga sangat tepat bagi keluarga untuk menanamkan kebiasaan dan kegemaran membaca- bagi anggota keluarga sejak dini bagi anak anak mereka.


Untuk menjadi warga yang berkualitas maka setiap anggota masyarakat harus gemar membaca. Ajakan atau perintah untuk membaca akan kurang berarti kalau hanya sekedar memerintah atau menyuruh saja. Menyediakan sarana belajar dan memberi mereka model langsung adalah sangat efektif. Karena Pemberian model jauh lebih efektif dari pada memberi mereka khotbah sebanysk seribu kali. Maka sebelum anak menyukai membaca tentu orang tua harus membiasakan diri untuk membaca terlebih dahulu. Pendidikan agama bagi keluarga, dalam bentuk khutbah dan ceramah dari orang tua untuk membentuk anak akhlak anak, cendrung kurang bermanfaat, karena khutbah dan ceramah akan dirasakan sebagai hal yang serba membosankan. Yang lebih berkesan dalam mendidik agama atau spiritual anak adalah melalui pemberian model langsung dari orang tua, dan kemudian melibatkan anak secara langsung dengan kegiatan beragama bersama orang tua dan anggota keluarga yang lain. Orang tua perlu menetapkan prilaku yang standard untuk bertindak bagi anggota keluarga, misalnya tata cara berpakaian, cara berkata, bergaul dengan tetangga, dan lain- lain, yang sesuai dengan ajaran agama dan harus dicontohkan atau dimodelkan oleh terlebih dahulu oleh orangtua. sangat tidak bijak, misalnya, bila seorang ayah hanya pandai menyuruh anak untuk rajin shalat serta itu ia sendiri jarang melakukan sholat atau ibadanya bolong-bolong dan tidak pernah terlihat oleh anak menyentuh kitab suci untuk dibaca. Adalah bukan model yang tidak tepat kalau seorang ibu yang hanya pandai menyuruh anak gadisnya berpakaian muslim sementara dia sendiri berpakaian you can see, celana hawaii dan pakaian ketat serta rambut diberi cat dengan penampilan mirip dengan selebriti atau presenter televisi.


Kita akui bahwa pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap kitab suci Al Quran hanya sebatas pandai membaca alphabet “alif-ba- ta” saja, tanpa pernah mengerti apa yang dibaca. Membaca al-Quran seperti ini dianggap belum sampai ke dalam hati sanubari, tetapi baru sebatas kerongkongan saja. Idealnya untuk peningkatan pemahaman al Quran adalah dengan menggunakan metode translation (menterjemah) untuk pembelajaran ,di TPA dan TPSA. Tentu saja ini perlu kajian dan manajemen khusus, serta memberi mereka gaji yang berkualitas dengan gaji yang juga tinggi. Atau juga tepat apabila kalau pembelajaran al Quran di TPA dan TPSA menggunakan pendekatan khusus, yaitu kursus bahaa Arab setelah santri anak didik tuntas dalam membaca Al Quran. Tentu saja kelak jumlah pemeluk Islam yang menguasai bahasa Al Quran atau bahasa Arab jumlahnya melebihi dari orang yang mengerti bahasa Inggris dan pada hakekatnya kelak umat islam di Indonesia tidak lagi seperti buih di pinggir pantai, jumlahnya banyak tetapi mudah hancur ditiup oleh badai kehidupan.



12. Ada Apa Dengan Mahasiswa?
Banyak pria dan wanita mampu menyelesaikan pendidikan universitas dan memperoleh pekerjaan yang layak tetapi belum mampu mendapatkan teman hidup. Secara bergurau orang banyak bertanya kenapa mereka harus begitu dan mereka pun akan mengemukakan alasan masing-masing. Bisa jadi alasan mereka mencapai jumlah sebanyak seribu satu. Ada yang mengatakan ingin untuk memperdalam studi atau memantapkan karir dulu. Soal teman hidup itu gampang sebab bisa diatur kemudian.


Masih ada alasan lain. Bagi orang yang sibuk dapat mengatakan or­ganisasi sebagai alasan. Yang lain mungkin karena pertimbangan ekonomis atau moral. “Kawin wah dengan apa orang akan dihidupi. Apakah mau kalau makan rumput? Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang wanita, misalnya teman sebangku dalam bis, bisa jadi berbunyi “Saya sendiri sudah siap untuk menikah tetapi mungkin jodoh belum ketemu”.


Lamaran dari seorang jejaka yang punya pendidikan tinggi dan pekerjaan tetap kepada seorang gadis manis berjalan lebih mudah dan lancar. Terutama bagi orang tuanya. Pinangan atau lamaran tampak lebih menentramkan hati dan keputusan yang dibuat ber­sama famili berjalan lebih mudah apabila dibandingkan dengan lamaran yang diajukan oleh jejaka yang keadaannya biasa-biasa saja apalagi bagi yang belum punya pekerjaan. Orang memberi mereka dengan istilah hari depannya masih dalam tanda tanya. Disamping faktor ekonomi, faktor psikologi dan sosiologi juga ikut menentukan seorang dalem men­dapatkan jodoh. Pembicaraan ten­tang teman hidup merupakan bagian dari dialog mahasiswa di kampus. “Hei cepat cari pen­damping hidupmu selagi kamu masih kuliah disini, nanti kalau sudah tamat tentu sulit lagi men­dapatkannya. Entah kalau kamu berminat untuk ikut kontak jodoh”.


Kalau kita bertanya, “Kamu ini kapan lagi tanggal mainnya atau, kapan kamu layangkan undangan buat saya?”. Rata-rata orang men­jawabnya dengan bergurau pula dan paling kurang dengan senyum kecut. Itupun kalau perasaan lagi kurang sreg. “Wah, sulit bagi saya untuk menjawabnya, pacar saja belum punya. Barangkali dia belum menemukan calon pendamping hidup karena persyaratan terlalu banyak. Rata-rata mahasiswa banyak juga yang begitu.


Tidak aneh untuk didengar bila ada seorang pemuda yang punya pendidikan tinggi, pekerjaan lumayan dan penampilannya gagah pula. Tetapi sulit baginya untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Begitulah kenyataan dalam hidup ini. Pintar otaknya tetapi belum tentu pintar pergaulannya. Mahasiswa yang pekerjaannya.


Belajar melulu dan pergaulan diabaikan, memang menciptakan dirinya sangat mahir dalam menyelesaikan problema ilmiah, tetapi dalam menyelesaikan problema romantisnya, musti minta tolong dulu sama teman. Sebab kalau tidak tentu keringat dinginnya keluar duluan dan kon­sep kalimat dalam kepala lenyap diterbangkan angin. Baginya lebih mudah menemui dosen killer dari pada menemui si dia, orang-orang yang begini banyak sekali.


Untuk mendapatkan teman hidup yang cocok sebaiknya harus kita kenal lebih dulu. Jangan serahkan saja sama mat comblang atau lihat-lihat jauh saja. Untuk dapat men­genalnya kita harus mempunyai atau membina hubungan yang akrab terlebih dahulu. Tidak perlu mengungkapkan kemesraan dulu, cukup biasa-biasa saja.


Tidak sedikit pemuda yang menyerahkan soal cinta pada orang lain termasuk kepada orang tua sendiri. Bagaimana kita akan dapat mengenal calon jodoh den­gan baik kalau perjumpaan kita dengannya cuma dua atau tiga kali saja. Jatuh cinta lewat pandangan pertama hangat-mengasyikkan. Para penyair telah mengambilnya sebagai teman lagu sepanjang masa. Tetapi bagi kita pertimban­gan yang matang tetap harus dijadikan sebagai prioritas utama. Pernah terjadi pandangan pertama seorang pria pada seorang wanita tertarik hanya karena dia lincah, cantik dan pintar langsung dipinang dan menikah. Tetapi perkawinan mereka terpaksa bubar beberapa bulan setelah itu. Kisah perkawinan tentu tidak harus sesingkat dan berakhirnya semudah itu, bukan?


13. Jangan Banyak Mengeluh
Banyak orang-orang ber­bahagia karena telah sukses. Suk­ses gara-gara telah menguasai medan mereka masing-masing. Apakah sukses mereka itu karena gara-gara tentu saja tidak. Rata-rata orang yang berkecim­pung dalam bidang ekonomi, suk­ses setelah melalui perjuangan dan perjalanan hidup yang panjang. Mereka telah jungkir balik dalam bidang ilmu dan telah ter­jungkir dan terbalik dalam bidang pengalaman. Begitu pula bagi mereka yang telah meraih sukses di bidang lain, seperti bidang kesehatan, olahraga, pendidikan, jurnalis, hukum dan seterusnya.


Pada umumnya orang hanya pandai berdecak kagum kepada hasil kesuksesan kesuksesan saja. Dan malontarkan sejumlah kata-kata pujian, sanjungan atau kekaguman. “Wah dia sungguh hebat. Andaikata dia itu saya... Wah betapa senangnya”. Tetapi orang lupa bertanya bagaimana pengorbanan awalnya, bagaimana seseorang itu memulai usahanya untuk merebut sukses. Banyak bintang-bintang film tenar, politikus besar, sarjana terkemuka lainnya menuturkan bahwa kesuksesan mereka peroleh setelah melalui sekian jum­lah penderitaan. Ada yang memulainya sebagai pembantu rumah tangga, ada sebagai kuli kasar. Pokoknya sesuai dengan profesi masing-masing.


Kesuksesan yang diperoleh itu ada karena warisan. Seorang pen­gusaha kaya tentu akan mendidik dan melatih keturunannya, kemudian melimpahkan kesuk­sesan itu. Kesuksesan seperti ini daya tahannya kurang kuat diban­dingkan dengan kesuksesan yang dimulai oleh seseorang dari nol besar. Atau kesuksesan seseorang yang diperoleh dari pengalaman hidupnya.
Untuk sukses seseorang musti memiliki disiplin hidup yang tinggi. Banyak orang yang meramaikan kata “sukses”. Mari sukseskan… atau hidup sukses adalah.... Pada hal kesuksesan ini diperoleh dari “disiplin”. Sekarang kita heran, mengapa orang yang hidupnya telah nampak berkecukupan (sukses), punya banyak rumah bagus, istri cantik dan kenalan luas. Tetapi masih berkeluh kesah. Ia masih mengatakan kurang sukses dalam jiwa. Kira-kira apalagi yang harus ia kuasai agar dapat sukses jiwanya (baca : bahagia). Oh barangkali ia perlu menguasai fikiran.


Banyak orang yang lari dari kenyataan hidup dan mengak­hirinya dengan meneguk racun. Ada pula orang yang tega memuluskan hubungan hidup yang ada ini. Malah ada yang melarikan diri ke dalam kehidupan khayal, tertawa sendiri atau menangis sendiri. Orang awam menamainya “gila” dan orang ahli memberinya istilah “scizoprenic”. Yang begini biasanya punya cita-cita menjadi orang gede, tapi berusaha malas mengkhayal ken­ceng. Akhirnya, ya gila dong.



14. Kuliah Dan Gaya Hidup
Tampak secara global kehidupan mahasiswa tidak jauh berbeda dengan kehidupan anak sekolah menengah atas. Pergi kuliah, kemudian mencatat apa saja yang keluar dari mulut dosen lengkap dengan titik komanya. Kegiatan yang paling digemari bila kuliah usai duduk berkelompok kelom­pok, bukan mendiskusikan tentang masalah perkuliahan tetapi hanya cenderung bersifat kelakar, ledek meledek. Ada yang mendengar tentu ada yang jadi tukang cerita. Macam-macam ceritanya, persis seperti yang terkandung dalam syair lagu “panggung sandiwara”.


Kegiatan mereka yang paling umum di tempat kost adalah ber­main domino sambil tertawa ter­bahak bahak, tidur sambil mendengar kaset atau ngumpul-ngumpul untuk berbagi gosip ten­tang acara televisi, tentang kasus pejabat yang korupsi sampai kepada gosip bagaimana menak­lukkan hati pacar. Sedangkan kaum wanita ngumpul-ngumpul membicarakan tentang mode, ten­tang apa isi kamar kost kawan yang sombong sampai kepada masalah nasib.


Kemudian bila diadakan ten­tamen, musim ujian, pada saat itu barulah mereka kasak kusuk. Melengkapi catatan, membuat jimat ala anak SMA sampai men­cari sopir pada waktu ujian ber­langsung. Soal ujian pada beberapa jurusan terasa agak san­tai. Apabila dalam ujian untuk mata kuliah umum suasananya terasa lebih acuh karena hubungan antar mahasiswa begitu pula hubungan mahasiswa dengan dosen bersifat siapa lu siapa gua saja. Memang telah ada perguruan tinggi swasta sengaja memasang monitor untuk meningkatkan mutu akademik yang lebih objektif tetapi itu hanya segelintir saja dari populasi per­guruan tinggi yang ada.


Dari sekian banyak mahasiswa yang santai atau ada juga mahasiswa yang serius dalam men­ghadapi kuliah. Mereka tekun menghadapi buku catatan, banyak mengurung diri dari pergaulan. Dalam menghadapi tentamen, mereka sengaja menahan kantuk pada malam hari untuk dapat men­ghafal semua isi catatan. Memang belajar dengan care menghafal telah membuat mereka sukses dan mampu. membuat mereka memperoleh, indeks prestasi tiga koma sampai indeks prestasi empat. Tetapi apakah mereka dapat dikatakan sebagai mahasis­wa yang, intelektual?


Dapat kita katakan bahwa belajar dengan cara menghafal tidak ubahnya ibarat merekam bagi sebuah kaset kosong dan ahli pendidikan mengatakan bahwa belajar dengan cara demikian dapat mematikan kreatifitas otak untuk berfikir. Memang banyak mahasiswa berindeks prestasi bagus cuma karena menghafal kemudian punya peluang untuk menjadi staf akademik perguruan tinggi, misalnya. Maka mereka rata-rata tampil sebagai obyek yang membosankan, demikianlah pengakuan beberapa orang mahasiswa.


Adalah seorang mahasiswa mempunyai prestasi belajar diatas rata-rata, dia selalu mengungkap­kan rasa pesimis yang berkepan­jangan. Dia mengeluh hendak jadi apa dan kerja dimana kelak bila telah lepas dari perguruan tinggi. “Lho kamu kuliah di Universitas dituntut untuk menjadi intelektual, keluhan seperti itu cuma panas keluar dari mulut pemuda awam. Sekarang bangunlah dan in­trospeksi dirimu tentang bagaimana wawasan berfikir dan pola pergaulanmu?”


Bukan kebetulan apabila ada mahasiswa begitu lepas dari perguruan tinggi langsung aktif dalam suatu bidang pekerjaan. Kesuksesan begini tentu telah mereka rintis jauh hari sebelum­nya. Karena kesibukan ganda, sebagai mahasiswa dan merintis mencari lapangan kerja, rata-rata dalam bidang akademik prestasi mereka sedang-sedang saja, tetapi dalam mempraktekkan kerja tidak perlu lagi kasak kusuk.


Ada beberapa orang mahasiswa, dulu sering meninggalkan tempat kost selama berminggu minggu sampai berbulan bulan. Nongol di kampus apabila ada jadwal kuliah setelah itu ia cabut lagi. Memang kuliah sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Walau mereka wisuda dengan indeks prestasi sedang tetapi wawasan berfikir luas. Kini mereka sukses dalam mengelola usaha agrobisnis, men­gelola ekspor bahan pangan dalam wilayah SIJORI, Singapura-Johor-­Riau dan mengelola usaha-usaha bisnis lainnya. Sedangkan kawan-kawannya yang dulu santai, goyang goyang kaki, kini setelah wisuda sibuk mengepit ijazah dari kantor ke kantor. Dan selalu saja kalimat “tidak ada lowongan kerja” membuatnya terduduk lesu.



15. Harus Peduli Untuk Jadi Intelektual
Adalah jumlah populasi generasi muda menempati posisi yang sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.


Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.


Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku.


Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda,seperti yang ditulis oleh Bobby De Porter (2002) yang menulis dalam bukunya Quantum Teaching, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu- mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.


Bobby De Porter.(2002). Quantum Teaching.(Terjemah). Bandung: Kaifa

Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan adalah juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.


Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.


Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.


Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.


Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.


Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.


Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur penonton (remaja dan pelajar) sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan.


Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.


Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.


Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan- mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang deman mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarskat. Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri- memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian musti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.


Kalau kita melangkah ke lingkungan universitas- mulai dari universitas berkualitas rendah sampai berkualitas tinggi. Pasti disana akan ditemui banyak mahasiswa- sebagai intelektual muda yang seharusnya penampilan mereka seperti tokoh intelektual senior mereka, atau paling kurang mereka mengambil penampilam dan mode panutan dari dosen- dosen dan guru besar (profesor) sebagai panutan dalam bertindak- melakukan aksi, berbicara dan berfikir. Namun kenyataannya adalah mereka malah tampil ibarat selebriti dari kampus yang suka mejeng dengan pakaian model mutakhir yang dipopulerkan oleh selebriti pujaan mereka, menyandang tas yang isinya malah MP3, recharger mobile phone, kue bermerek luar negeri dan sebagai pelengkap musti ada buku catatan tipis sebagai bukti berstatus mahasiswa. Fungsi kampus bisa berobah sebagai tempat pamer dan lomba penampilan dan sedikit sekali, bagi sebagian mahasiswa sebagai calon intelektual, sebagai unjuk presrasi.


Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini mereka- para tokoihn intelektual dan juga tokoh agama) harus turun dari menara gading intektual mereka yang sakral, membuka pintu rumah seluas- luasnya dan turun mobil untuk menemui dan menemani generai muda untuk berbasgi dan basgi mereka yang sibuk dalam mencari identitas diri, agar mereka kelak mampu untuk menapak hari depan mereka.

Bagian Empat:
Fenomena Yang Harus Diobah

16. Mengapa Kita Malas Membaca Dan Menulis ?
17. Buanglah Karakter Jalan Pintas
18. Internet Diserbu dan Perpustakaan Ditinggalkan
19. Pornografi Masuk Lewat HP dan Internet
2o. Basmilah Sampah Secara Total!
21. Kondisi Lingkungan dan Kesehatan Jiwa



16. Mengapa Kita Malas Membaca Dan Menulis ?
Semua bahasa di dunia mempunyai empat aspek yaitu membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Kemudian berdasarkan ekspresi, bahasa dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk yaitu bahasa lisan (oral) dan bahasa tulisan. Orang yang suka ngobrol dapat dikatakan sebagai orang yang berbudaya lisan dan yang senang menulis dan membaca maka merek dapat dikataan sebagai orang yang senang dengan budaya tulisan.


Budaya lisan adalah budaya orang kebanyakan dan ini adalah budaya berbahasa orang grassroot level- orang awam atau orang kebanyakan. Budaya ini kerap terjadi di warung kopi, di mall, sampai kepada ekspresi berbahasa yang dilakuan oleh kaum pria dan wanita yang asyik berbagi gossip. Budaya lisan sangat bagus untuk selalu dikembangan dan dipertahankan, apalagi kalau mempunyai manfaat untuk saling berbagi. Namun budaya tulisan – membaca dan menulis- tentu lebih tinggi kualitasnya. Untuk bangsa Indonesia- dan mungkin juga di mana mana di belahan bumi ini - budaya tulisan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu, yaitu oleh orang- orang yang terdidik dengan baik (atau kalangan intelektual). Mereka tidak terbiasa dan tidak tertarik melakukan ngobrol ngalor ngidul-ngobrol dengan topik mengambang melulu. Pastilah orang yang memilih budaya tulisan ini akan memiliki pola berfikir yang lebih kritis dan analitis - critical thinking and analytical thinking. Sementara orang yang terjebak ke dalam budaya lisan cenderung memiliki pola berfikir mengambang- atau global thinking- dan ini tentu bukan generalisasi untuk semua orang.


Bila seseorang ingin maju maka sangat tepat bila ia mengadopsi budaya tulisan- membaca dan menulis- sebagai kebiasaan dan kebutuhannya. Kebiasaan ini- seperti disebutan di atas- akan menjadikan seseorang bersifat analitis dan kritis dalam berfikir. Orang di negara- negara maju seperti di Singapura, Jepang, Australia, Eropa dan Amerika tentu saja mereka semua terbiasa hidup dengan budaya tulisan. Membaca dan menulis sudah menjadi konsumsi hidup mereka sehari- hari. Maka adalah juga ideal bila seseorang ingin maju maka mereka harus membiasakan diri untuk banyak membaca dan menulis,dan kemudian melakukan otodidak- belajar secara mandiri- serpanjang waktu.


Soekarno, Moh Hatta, Bj Habiebie, Gus Dur, Soesilo Bambang Yudhoyono, dan lain- lain tentu saja mereka menjadi orang besar bukan secara kebetulan tetapi adalah karena mereka mengadopsi budaya tulisan melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya atau berkualitas tinggi. Sementara Pramudya Anantatur, Buya Hamka, Haji Agus Salim,dan lain-lain, tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayan dan tokoh intelektual yang sangat berukalitas. Dapat dipastikan bahwa tentu saja mereka pada masa kecil tidak pernah bermimpi dan bercita- cita untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seperti cita- cita sebahagian sarjana sekarang.


Dunia pendidikan, mulai dari SD sampai kepada Perguruan Tinggi pasti merupakan tempat yang tepat untuk membentuk setiap orang menjadi manusia yang terdidik. Agar menjadi lebih berkualitas maka mengadopsi budaya tulisan- banyak membaca dan banyak menulis. Lebih lanjut orang akan setuju untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan dapat diidentikan sebagai pabrik otak. Di sini akan terdapat unsur- unsur seperti input, proses dan output. Proses dalam pabrik pendidikan ini berlangsung begitu lama. Pemerintah dalam hal ini meluncurkan program ”wajar”- wajib belajar- sembilan tahun. Yaitu proses pendidikan di tingkat SD dan SLTP.


Adalah merupakan suatu fenomena bahwa banyak masyarakat (orang tua) secara swadana dan swadaya menganjurkan dan mengirim anak- anak mereka ke Perguruan Tinggi. Maka proses pendidikan dalam pabrik otak bisa berlangsung selama 18 tahun. Banyak yang percaya bahwa kalau seseorang bisa sekolah lebih tinggi hingga tamat dari Universitas atau Akademi maka kehidupan mereka akan menjadi lebih baik Sertifikat atau ijazah yang diperoleh lewat Perguruan Tinggi bisa menjadi tiket mencari kerja. Menjadi karyawan di perusahaan besar, BUMN, dan menjadi PNS adalah mimpi sebahagian dari mereka saat masih kuliah dan setelah tamat dari Perguruan Tinggi.


Tidak dapat dipungkiri bahwa karater sebahagian pelajar sampai kepada karater mahasiswa di Perguruan Tinggi, mereka masih terperangkap ke dalam budaya lisan dan budaya tulisan terasa sebagai beban. Banyak pelajar dan mahasiswa yang cendrung terperangkap dengan budaya lisan- dimana sepanjang hari aktivitas mereka hanya mengobrol, bercanda dan berdebat kusir- cendrung menjadi orang dengan fikiran dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara mereka yang membiasakan diri dengan budaya tulisan tentu akan lahir menjadi manusia dengan pola berfikir kritis dan analitis.


Sebahagian kaum pendidik, yaitu guru- guru yang mengajar mulai dari Tk , SD, SMP, SLTA dan malah juga ada Dosen , sebahagian ada yang terjebak dan hanyut dalam budaya lisan. Budaya lisan- ngobrol dan berceloteh- terasa mudah dan budaya tulisan- membaca dan menulis- terasa melelahkan dan membosankan. Kalaupun ada kegiatan membaca dan menulis itu hanya sebatas melakukan tugas rutinitas yang dangkal sebagai seorang pendidik. Namun apabila mereka melakukan budaya tulis secara refleksi (renungan) dan menganalisa maka tentu mereka patut diberi dua acungan jempol.


Bila seluruh pelajar, dan guru-guru bisa menyenangi kebiasaan membaca dan menulis maka tentu perpustakaan dan toko buku menjadi tempat yang amat menyenangkan dan mereka tentu akan pergi menuju tempat mendidik (sekolah) dengan tas yang penuh berisi buku buku, dan jurnal pendidikan. Tidak seperti fenomena yang terlihat sekarang dimana sebahagian orang-orang yang sudah punya karir, mungkin sebagai guru, karyawan, profesional muda, orang-orang yang baru jadi sarjana yang kalau pergi ke tempat kerja lebih suka membawa tas kecil, ibarat pergi ke pesta, yang isinya cuma, sisir, lipstik dan dan cermin dan guru pria juga datang dengan gaya santai tersendiri pula.


Absennya budaya membaca dan menulis di kalangan kaum terpelajar juga ikut mempengaruhi gaya hidup dan gaya belajar anak-anak muda. Budaya negatif kita sekarang adalah seperti budaya rekayasa, dan budaya yang hanya gemar mengejar manfaat sesaat. Budaya ini


Budaya membaca dan menulis juga belum menjadi bahagian gaya hidup mahasiswa, apalagi bagi mahasiswa yang kuliah pada universitas pinggiran. Kualitas pendidikan mereka susah untuk diandalkan dalam kompetisi pada bursa tenaga kerja. Fenomena jauhnya budaya membaca dan menulis dari Kuliah Dan Gaya Hidup teridentifikasi dari gaya hidup dan prilaku mereka. Pergi kuliah dengan tubuh dibungkus penuh assesori, tangan Cuma lebih senang menggenggam ponsel dari membawa bacaan yang berkualitas. Kemudian duduk atau jalan- jalan di depan kampus dengan karakter ”ala anak SLTA” berdialog dengan ekspressi bahasa cengeng dan kemanja-manjaan. Jauh dari kesan gaya mahasiswa yang intelektual dengan gaya bahasa atau bicara penuh analitis dan kritis.


Pastilah kini pemerintah, ahli pendidik dan para stakeholder menjadi lelah memikirkan karater kita yang belum terbiasa dengan budaya tulisan- gemar membaca dan menulis. Fenomena inilah sebagai penyebab mutu bangsa yang besar ini susah untuk berkompentisi. Karena warganya belum terbiasa membaca dan menulis akibatnya mereka cuma memiliki pola fikiran yang kurang kritis dan analitis. Mengatasi fenomena ini lebih tepat dengan menghidupan kembali gerakan gemar membaca dan gemar menulis dari level pendidikan yang lebih rendah (Tk dan SD) sampai keperguruan tinggi yang langsung diimplementasikan dalam ehidupan dan bukan cuma hanya lewat seminar dan simposium yan hanya dihadiri oleh kalangan tertentu yang cendrung untuk mengkonsumsi buat memperkaya wawasan sendiri.



17. Buanglah Karakter Jalan Pintas
Kita, sebagai generasi muda, sekarang sangat akrab dengan computer dan laptop. Karena kedua produk ini dilengkapi dengan fitur (feature) pendidikan dan hiburan seperti game dan lagu. Apalagi sejak produk ini telah menjadi mata pelajaran- dengan nama TIK (Teknologi Informasi Komunikasi)- pada jenjang pendidikan SMP dan SLTA. Ada satu kata atau frase yang sudah dikenal baik oleh pengguna computer yaitu “short cut” atau jalan pintas. Lewat short cut pengguna computer bisa langsung masuk ke dalam file, folder atau program yang ingin dioperasikan pada komputer.


Sebahagian pelajar dan mahasiswa sekarang cenderung suka belajar dan bekerja dengan cara ngebut atau dengan menggunakan berbagai muslihat atau tipuan (mungkin dengan mencontek atau memakai jasa orang lain untuk memuluskan tujuan) adalah dapat dipandang sebagai karakter jalan pintas. Atau dapat juga dikatakan sebagai budaya instant (sekarang ditanam besok dapat dipanen,nonsense bukan ?). karakter jalan pintas- belajar/ bekerja santai namun masa depan cerah- jarang sekali membuat mereka sukses. Fenomena umum adalah bahwa manusia yang berkarakter jalan pintas, rata- rata berakhir dengan masa depan yang suram. Namun bagaimana karakter jalan pintas telah tumbuh subuh pada pribadi sebahagian pelajar dan mahasiswa ? Tentu karakter ini terbentuk secara perlahan-lahan dalam proses kehidupan sosial mereka sejak dari masa anak-anak sampai ke masa remaja/ dewasa.


Karakter anak-anak zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan karakter anak-anak zaman dahulu. Ketika lahir mereka sama-sama pandai menangis dan sama- sama melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Namun mereka menjadi berbeda satu sama lain dalam hal karakter karena genotype atau karakter turunan dari orangtua dan ditambah dengan faktor stimulus (rangsangan) dan pengalaman hidup yang dialami. Faktor yang terakhir yaitu stimulus dan pengalaman hidup sangat menentukan pembentukan karakter “ingin jalan pintas/ budaya instan”.


Dari usia dini sampai usia 5- 8 tahun, semua anak di dunia masih bersifat patuh dan berkarakter sebagai anak manis- anak yang baik dan pasif. Rentangan usia ini adalah masa-masa pembentukan karakter. Mereka memang menerima input-input untuk pembentuk karakter atau prilaku- apakah kelak berkarakter smart atau ingin jalan pintas. Namun menjelang usia akil balig (remaja)- di akhir tingkat SD dan di awal tingkat SMP, kecendrungan pola karakter mereka terlihat lebih jelas- karakter ingin jalan pintas atau suka bekerja/belajar keras. Pada ambang masa remaja ini mereka memperlihatkan fenomena senang memberontak- memperlihatkan opini sendiri dan ingin mencari jati diri. Karakter suka memberontak ini makin menajam ketika mereka dalam masa remaja. Sebahagian orang tua/ orang dewasa yang kurang memahami perkembangan jiwa anak sering kesulitan untuk beradaptasi dengan mereka. Masa ini dinamakan sebagai masa panca roba. Masa panca roba pada hakekatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memaski usia dewasa. Kalau dalam masa remaja mereka terlihat suka jalan pintas maka dalam usia dewasa dini karakter jalan pintas bisa terlihat lebih jelas atau factor sugesti dan saran dari luar mengikis karakter ingin jalan pintas.


Karakter jalan pintas terbentuk tanpa disadari dalam proses hidup. Ada sejumlah faktor penyebab terbentuknya karakter ingin jalann pintas- ciri-ciri oknumnya seperti pemalas, motivasi belajar rendah, dan bergaya hidup ingin senang terus. Ini merupakan kontribusi negatif dari faktor ekstrinsik.


Setiap orang sejak usia dini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mendapat stimulus atau pengaruh dari tiga jenis lingkungan. Sarwono (2007) dalam artikelnya “:faktor-faktor yang menyebabkan anak malas belajar” (http://sarlito.hyperphp.com/) mengatakan bahwa jenis lingkungan yang mempengaruhi anak rajin atau malas adalah seperti lingkungan mikro, lingkungan meso dan exo.


Manusia atau orang-orang yang berada dalam lingkunan mikro seorang anak adalah orang- orang yang berada dalam keluarga mereka seperti kakek-nenek, ayah-ibu, bibi-paman. Kemudian juga bisa sekolah yaitu guru-guru mereka, juga suster atau babysitter di tempat penitipan anak, pembantu rumah tangga dan tetangga dekat atau orang-orang seputar rumah. Lingkungan mikro yang lain adalah kondisi atau kualitas rumah mereka, tempat bermain mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan anak dan dijumpai nya tiap hari.


Saat anak berusia lebih kecil , orang-orang yang ada dalam lingkungan keluarga/ di rumah mempunyai peran penting dalam membentuk karakter mereka dari stimulus dan pengaruh yang diberikan, apakah anak menjadi orang rajin, sabar, dan tekun. Ayah dan ibu yang cerdas tentu dapat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang dengan menyediakan sarana pendidikan dan permainan berkualitas dan sekaligus memberi anak model untuk tumbuh menjadi manusia yang ulet.


Kalau anak kehilangan peran ayah dan ibu- mungkin karena kesibukan karir atau karena factor nasib, maka peran mendidik/ mengasuh anak bisa saja digantikan oleh nenek, bibi, paman, atau pembantu rumah tangga. Maka orang-orang tadilah sebagai penentu pembentukan karakter anak. Akan sangat beruntung kalau peran pengganti sebagai pengasuh anak memiliki kualitas dalam mengasuh anak.


Lingkungan ekstrinsik berikutnya adalah lingkungan meso yaitu bentuk hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, pergaulan antar teman, guru-teman, dan lain-lain. Bentuk dan kualitas hubungan mereka sangat mempengarungi prilaku seorang anak (pelajar). Mereka akan menyerap prilaku dan nilai dari apa yang mereka amati. Teman-teman yang berkarakter baik namun suka meremehkan guru, sebagai contoh, dapat memberi inspirasi bagi temannya untuk berperilaku yang sama. Atau figur seorang guru yang memiliki kharisma di mata anak didik, namun ia perokok berat atau senang mengunjungi night club juga bisa memberi inspirasi bagi anak didik dalam berperilaku. Ketika usia anak beranjak remaja, maka pengaruh orang tua bisa jadi hilang atau berkurang. Apalagi kalau orangtua kurang mencikaraui (mengurus) soal pendidikan anak. Maka peran pengganti dalam mempengaruhi anak bisa jadi datang dari guru, orangtua teman, famili, atau orang yang sering dijumpai oleh anak.


Dalam zaman sekarang dengan bentuk keluarga inti- karena faktor migrasi dan tinggal jauh dari kaum kerabat/ kampung halaman- maka ikatan emosi remaja/ anak dengan kerabat , bisa jadi juga dengan orangtua sendiri, tidak begitu dekat. Sehingga apa yang dirasakan oleh sebahagian orangtua bahwa anak mereka tidak lagi mendengarkan perkataan (opini) dan nasehat mereka. Anak makin sering membantah, menolak opini dan larangan mereka. Karena anak telah memiliki kriteria opini sendiri dan tidak mudah menerima orang lain, maka dalam usia ini terkesan bahwa anak suka melawan orangtua. Apalagi semenjak mereka melihat banyak contoh yang kontra dari hal yang dilihat di dalam rumah dengan apa yang dikatakan oleh orangtua sendiri.


Suatu hari seorang ibu berkata “nak rajin-rajinlah belajar agar kelak bisa berhasil dalam hidup”, tetapi dalam kenyataan anak melihat tetangganya sendiri yang begitu rajin belajar (tetapi kuper atau kurang pergaulan) begitu tamat dari perguruan tinggi dengan IPK (indeks prestasi kumulatif) cum laude telah menjadi pengganggur. Contoh lain, orangtua melarang anak usia 15 tahun agar tidak menyetir mobil, namun anak berargumen (membantah) bahwa anak tetangga (atau temannya di sekolah) diizinkan menyetir mobil sejak dari bangku sekolah dasar. Jika anak disuruh sholat, maka anak akan protes karena papanya juga tidak sholat.


Di luar lingkungan mikro dan meso ada lagi lingkungan exo. Lingkungan exo adalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh pribadi pelajar/ mahasiswa, akan tetapi masih besar pengaruhnya pada pembemtukan karakter mereka, seperti keluarga besar, polisi, dokter, presenter, bintang sinetron/ selebriti, tokoh politik, dan lain-lain. Intensitas interaksi tidak langsung (lewat menonton atau membaca) juga menentukan bentuk karakter pelajar/ mahasiswa. Cukup banyak pelajar dan mahasiswa sekarang yang belum terkondisi dengan budaya tulisan- budaya membaca dalam keluarga. Yang umum terlihat adalah banyak yang terkondisi dengan budaya menonton televisi dan budaya lisan- budaya ngobrol sampai debat kusir- berdebat tanpa analisa yang dalam atau berdebat dengan emosi dan kepala panas.


Cukup banyak remaja dan mahasiswa yang terkondisi dengan dua kebisaaan/ budaya ini- menonton dan budaya ngobrol. Ini tumbuh subur karena banyak rumah yang memiliki televisi dan sarana hiburan lain, namun tidak tahu kapan harus menonton dan memperoleh hiburan. Sementara itu cukup banyak orangtua yang belum memiliki konsep atau pola mendidik bagi keluarga. Konsep mereka begitu praktis, bahwa mereka terpaksa menghidupkan televisi atau sarana hiburan agar anak-anak tidak keluyuran ke rumah tetangga. Kalau perlu televisi dan VCD player hidup 24 jam.


Figur-figur yang kerap muncul dalam layar televisi seperti presenter, public figure, dan bintang sinetron, begitu figur yang ada dalam film pada DVD juga mempengaruhi karakter pelajar/ remaja/ mahasiswa sebagai penontonnya. Setelah menonton figur- figur tadi mereka memperoleh inspirasi untuk meniru perilaku dan gaya hidup yang sama- cara berbicara, cara berpakaian dan sampai kepada assesori yang dipakai oleh figure tontonan mereka tadi. Figur dalam lingkungan exo cukup banyak mewarnai prilaku remaja (pelajar dan mahasiswa) sekarang seperti memakai anting pada sebelah telinga, bertato, mencat rambut dengan warna norak, memakai celana model melorot dan menyembulkan celana dalam , gaya hidup mengamburkan uang lewat pemakaian HP yang kurang efektif, berpenampilan norak/ keren dengan rokok terselip dibibir, dan lain-lain.


Prinsip dan konsep mendidik praktis seperti ini sering membunuh karakter anak untuk ikut berpartisipasi dalam belajar dan bekerja- merapikan rumah. Pada akhirnya anak memetik kegagalan dalam bidang akademik di sekolah dan akhirnya timbul pro dan kontra antara sekolah dan rumah. Kata guru “anak bodoh karena orangtua kurang peduli dalam mendidik anak”, dan kata orangtua, “anak gagal karena guru kurang berkualitas dalam mengajar”.


Harus diakui bahwa menjadi orangtua dan pendidik (guru) di zaman sekarang memang sulit. Karena banyak orangtua dan guru yang belum pernah mengalami situasi seperti sekarang pada masa kecilnya. Guru dan orangtua dulu, waktu kecil, cuma cenderung meniru saja cara- cara mendidik dan berperilaku orangtua dan senior mereka. Kemudian, memang sulit mengubah pola berfikir seseorang dari pola berfikir tradisionil sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Namun bagaimana pun berat dan sulitnya mendidik dan mengajar anak, orang tua dan guru perlu melakukan revolusi dalam mengajar dan mendidik anak- memiliki wawasan dan memahami fenomena sosial zaman sekarang, karena kalau tidak maka mereka akan menjerumuskan generasi muda dalam kesulitan yang lebih besar karena mis-communication antara mereka.


Mengantisipasi/ mencegah agar kita sebagai pelajar/mahasiswa/remaja tidak terjebak dan ketularan dengan karakter “ingin hidup enak lewat jalan pintas” yang hanyak banyak dalam bentuk iming-iming dalam mimpi. Karakter ingin hidup dengan jalan pintas/ budaya instan sering terekspresi lewat moto dan gaya hidup mereka: hidup santai masa sepan cerah. Maka idealnya orangtua dan guru kita perlu memaksimalkan peran mereka dalam mendidik (terutama bagi orangtua) dalam membentuk karakter anak menjadi orang yang rajin dan ulet dalam belajar dan bekerja. Kita sebagai anak tidak perlu minta discount untuk tidak ikut bekerja membantu membersihkan dan merapikan umah “WAh mama, nanti ajalah, atau wah papa aku tidak punya waktu membantu kan lagi banyak pe-er”. Memang kita tidak perlu dibebaskan agar tidak terlibat membantu orangtua bekerja di rumah- sebab ini cendrung mematikan potensi kita dalam memiliki life skill/ kecakapan hidup. Beruntung ya kalau orangtua tua kta bias emberi dan menjadi model (uswatul hasanah- suri teladan), berperilaku terlebih dahulu agar kita bisa menjadi orang yang rajin dan ulet dan menyediakan/ memperkaya wawasan anak serta memilihkan tempat pendidikan dan bermain yang berkualitas bagi mereka. Kalau mereka belum mampu, tidak apa, kita bisa mencari figur-figur positif lainnya lewat membaca biografi orang-orang ternama.


18. Internet Diserbu dan Perpustakaan Ditinggalkan
Perpustakaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memajukan pendidikan suatu sekolah, institute, dan suatu negeri. Perpustakaan merupakan khazanah ilmu atau gudang ilmu, karena di sanalah ilmu-ilmu yang sudah ditulis dalam bentuk buku, jurnal, majalah dan Koran dikumpulkan. Kalau dibuat perumpamaan- ibarat tubuh manusia- maka perpustakaan adalah ibarat kepala atau otak. Maka perpustakaan adalah otak bagi suatu sekolah atau bagi suatu universitas.


Perpustakaan juga mempunyai peranan penting dalam menumbuhkan kegemaran membaca masyarakat- reading society. Pemerintah dan masyarakat Indonesia sejak dulu berusaha keras untuk memajukan peradaban sosial melalui gerakan gemar membaca. Ini terwujud dalam pendirian banyak perpustakaan di berbagai tempat. Setiap orang mengenal bahwa ada beberapa jenis perpustakaan seperti; perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan universitas, perpustakaan sekolah, perpustakaan mesjid, perpustakaan anak jalanan sampai kepada perpustakaan mini atau perpustakaan keluarga.


Sungguh hati akan senang melihat kebisaaan membaca masyarakat, seperti yang direpresentasikan oleh masyarakat Jepang dan masyarakat dari Negara maju -di Singapura, Eropa dan Amerika-, yang menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan mereka, sama halnya dengan kebutuhan makan, minum atau terhadap sandang, pangan dan papan. Orang Indonesia pasti senang mendengar cerita tentang kebisaaan membaca orang-orang dari Negara maju tersebut, yang mana mengisi waktu senggang mereka- sambil menunggu mobil atau sambil bergelantungan dalam mobil masih asyik membaca buku. Membaca agaknya juga sudah menjadi kesenangan bagi sebahagian orang kita, misalnya mereka membaca Koran sambil menikmati sarapan pagi. Namun membaca mungkin belum menjadi kebutuhan, kecuali hanya bagi segelintir orang saja- dan bagi orang secara umum, mereka membaca hanya sekedar pengisi waktu senggang saja.


Di daerah perkotaan ada tempat membaca yang rilek dan orang menyebutnya dengan taman bacaan. Bisaanya taman bacaan menjadi tempat mangkalnya anak-anak sekolah yang membolos saat jam PBM (proses belajar mengajara) di sekolah. Mereka datang ke sini untuk membaca komik silat atau untuk menyewa novel-novel porno. Pemilik taman bacaan memungut uang sewa untuk komik dan novel porno tersebut- kalau tidak ada novel porno maka tentu taman bacaan ini tidak pernah laku.


Sebagian siswa yang membolos- sebagai dorongan libido usia remaja- terbisaa merobek halaman novel yang berbau porno atau mencuri novel porno tersebut untuk dibahas- berbagi cerita seks- bersama teman sebaya di sekolah. Tetapi- dahulu- bila ketahuan oleh guru di sekolah maka mereka pasti akan diproses atau berurusan dengan guru. Karena ada kesepakatan bahwa sekolah harus bebas dari pornoaksi dan pornografi.


Beberapa tahun lalu, perpustakaan sekolah, perpustakan umum dan perpustakaan daerah, dan sebagainya, masih merupakan tempat favorite untuk dikunjungi oleh pembacanya. Tempat ini menjadi pilihan utama bagi pelajar, mahasiswa, pengunjung umum dan orang-orang yang punya selera intelektual. Pemerintah merespon kebutuhan membaca mereka dengan menyediakan bermacam-macam bentuk dan judul bacaan untuk memenuhi kebutuhan kognitif, emosional dan spiritual pembaca. Mereka- pengunjung perpustakaan- juga tahu bahwa perpustakaan adalah tempat yang khidmat setelah tempat beribadah (mesjid) sehingga mereka sepakat untuk menjaga ketenangan- no speaking area- di dalam perpustakaan. Berbicaralah seperlunya agar pembaca yang lain tidak merasa terusik.


Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan ICT (information communication technology) begitu pesat. Setiap orang sekarang sangat familiar dengan beberapa produk teknologi informatika. Sekaligus telah menambah kosakata mereka seperti computer, laptop, hand phone, voucher, internet, virus, hacker, dan lain- lain yang telah menambah kosakata mereka sebagai masyarakat modern. Namun sekarang kalau kita pergi ke lorong-lorong taman bacaan yang dulu pernah ramai sebagai tempat favorite untuk membaca novel porno dan komik silat, bagi siswa yang melarikan diri dari kebosanan di sekolah, kini telah menjadi sepi. Yang tinggal hanyalah komik silat dan novel porno yang sudah berdebu karena tidak disentuh lagi oleh pembacanya.


Perpustakaan kini sedang mengalami nasib yang sama dengan taman bacaan- menjadi tempat yang sepi atau mati suri, ditinggalkan oleh pengunjungnya, kecuali yang terlihat adalah penjaga pustaka yang selalu menguap, mengantuk dan bosan karena kekurangan pekerjaan. Perpustakaan sekolah- pada banyak sekolah- kehilangan daya tarik. Kecuali menjadi tempat asylum –tempat singgah atau mengusir siswa pemalas dalam membuat PR agar bisa menyelesai PR di sana. Maka timbulah citra bagi mereka bahwa perpustakaan adalah sebagai penjara sekolah atau tempat rehabilitasi mental.


Perpustakaan daerah atau perpustakaan umum-yang ada pada beberapa kota kecil yang didanai moleh pemerintah- juga cendrung sepi dengan pengunjung, atau lonceng kematian sudah bergema di sana. Bagaimana dengan perpustakaan fakultas atau perpustakaan universitas ? Pada beberapa universitas atau fakultas yang lupa mengurus perpustakaan juga dapat ditemui sudah tidak rapi lagi, tidak ada tambahan koleksi baru dan buku-buku usang hampir beserakan, karena pustakawan sudah segan/ malas untuk bekerja.


Kalau begitu fenomen yang terjadi, maka perpustakaan sekarang telah menjadi tempat yang kehilangan daya tarik untuk dikunjungi. Mengapa ? Karena pengunjung perpustakaan telah memilih internet- warnet (warung internet) sebagai tempat yang menarik. Kehasdiran internet diserbu ramai-ramai. Sementara pengunjung taman bacaan- siswa yang membolos dari sekolah- mungkin memilih tempat bermain- play station- dan juga mencari game di warnet sebagai tempat pelarian dari sekolah yang mereka namai sebagai penjara.


Terus terang bahwa perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap tetap lebih bermanfaat dan berkualitas dari pada internet. Sebab tidak semua tulisan yang ada dalam internet yang berkualitas- di upload oleh doctor dan professor. Sekarang siapa saja- mahasiswa, murid SD dan sampai kepada anak ingusan- bisa menulis catatan harian, sampai kepada artikel dengan kupasan yang enteng dapat mereka simpan- upload- ke dalam situs internet. Atau mereka sendiri bisa membuat website sendiri menggunakan fitur multiply, wordpress, blogspot, dan lain-lain. Pengguna internet yang kurang selektif bisa terjebak dan menggunakan tulisan yang kurang berkualitas- tulisan anak ingusan- sebagai referensi tulisan ilmiah mereka.


Lebih Parah lagi, kehadiran warung internet dengan box berdinding tinggi telah memberi kesempatan bagi pengguna internet- termasuk yang ingusan/ baru akil balig sampai kepada pengguna internet puber ke dua- untuk melakukan cuci mata atau zina mata, mengakses situs porno- gambar porno dan tube porno yang tersedia dengan gratis dalam koleksi film atau clip yang berlimpah ruah. Pengguna internet dengan berbekal flasdisk, yang dicolokkan ke dalam CPU, bisa mendownload clip porno yang sangat ampuh untuk memanjakan libido mereka, merusak akhlak dan menyuburkan generasi amoral dan membutakan mata bathin/ spiritual bangsa Indonesia ini.


Perpustakaan megah yang dibiarkan sepi oleh pengunjung telah memberikan dampak negatf. Buku-buku berkualitas jelas bakal tidak akan tersentuh. Tersus terang bahwa perpustakaan tetap mempunyai peran dalam menjaga minat baca masyarakat, andai tidak berfungsi lagi, tentu bisa keilangan peran- banyak masyarakat akan buta ilmu pengeahuan yang dalam. Mereka akan tidak tahu lagi dengan judul-judul buku best seller, tidak kenal penulis favorite di Indonesia dan di dunia. Ada kalanya mereka juga akan punya problema dengan penulisan proposal, skripsi, tesis dan disertasi- kesulitan mencari buku referensi.


Ada langkah tepat bagi penanggungjawab perpustakaan dan untuk mencegah agar tidak segera datangnya lonceng kematian bagi perpustakaan, yaitu melengkapi perpustakaan dengan sarana internet- menggabungkan internet dengan perpustakaan, untuk maju memang butuh biaya. Ini adalah cara yang tepat untuk menghidupkan perpustakaan. Dengan demikian pengunjung perpustakaan bisa mengases internet sebagai sarana untuk mencari informasi. Sekaligus mereka tentu akan menyentuh, membolak-balik dan membaca jurnal, majalah, Koran, dan buku-buku lain. Maka dengan cara begini minat baca masyarakat tetap terjaga. Mencegah agar perpustakaan tidak mati suri, ditinggalkan oleh pengunjung memang perlu alternative dan fikiran yang serius. Kini semua orang bertanggungjawab untuk menggerakan dan mengaktifan fungsi pustaka. Ini semua mempunyai tujuan untuk mencerdasan manusia- seluruh bangsa Indonesia.



19. Pornografi Masuk Lewat HP dan Internet
Kosakata “pornografi” bukanlah kosakata baru. Semua orang sudah mengetahuinya. Anak- anak pra-remaja dan remaja pun sudah mengerti dengan maksud kata pornografi itu. sekarang kosa kata pornografi sudah melebar dan kita juga mendengar kosa kata “pornoaksi”.


Sampai detik ini orang tua di rumah dan guru di sekolah tetap menganggap tabu dengan perkataan dan perbuatan porno. Mereka tetap melarang keberadaan unsur- unsur pornografi dan pornoaksi mendekati anak- anak dan pelajar. Orangtua akan merasa tercoreng mukanya kalau salah satu anggota keluarga terlibat dalam budaya atau dampak pornoaksi, seperti ada anak gadis nya yang menerima tamu laki- laki sambil memakai rok mini pada malam minggu. Atau anak laki- laki nya jalan berpegang tangan dengan gadis lain, dan sampai kepada pelanggaran norma yang lebih berat lainnya.


Dalam pendidikan di rumah tangga, orangtua selalu menekankan pemberian pesan moral dan hukuman pada anggota keluarga agar tidak melakukan unsur- unsur porno- pornoaksi dan pornografi, seperti membuka aurat, menyimpan benda- benda porno- buku porno, majalah porno, vcd porno, dan lain- lain. Rasa ingin tahu, ajakan teman dan pengaruh budaya luarlah yang membuat benda- benda porno menyusup masuk ke dalam rumah secara sembunyi- sembunyi. Benda- benda tersebut adalah seperti majalah, kaset dan dokumen porno yang disimpan serta dirahasiakan oleh anak- anak remaja.


Sangat disayangkan apabila ada orangtua dan orang dewasa dari pihak keluarga yang pura- pura tidak peduli untuk mencegah hadirnya benda- benda porno dalam rumah. Atas nama demokrasi dan keindahan seni kemudian sudi untuk menyimpan dan memamerkan benda- benda porno dalam keluarga.


Sekolah sejak dari dulu tetap commit untuk mengharamkan benda- benda dan unsur- unsur porno hadir dalam lingkungan sekolah. Dahulu, sebelum teknologi dan informasi tidak begitu berkembang, guru-guru sudah melakukan tindakan anti atau kontra terhadap benda- benda dan unsur- unsur pornografi. Secara berkala mereka melakukan razia anti pornografi. Kejahatan siswa dalam hal pornografi pada mulanya adalah seperti menyimpan stensilan- atau tulisan cerita cabul yang diketik dan diperbanyak pada kertas stensil, komik dan novel porno sampai kepada foto- foto porno yang mereka peroleh lewat pedagang koran asongan di terminal bus atau lewat teman dan juga kaset video BF.


Selain itu, siswa remaja yang karena ingin tahu, menyimpan produk pornografi dan alat- alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana) seperti kondom, spiral, dan lain- lain, apabila tertangkap tangan oleh guru- guru menyimpannya tentu akan diproses karena melanggar hukum sekolah. Proses hukumnya bisa melibatkan orangtua dan kalau perlu pihak sekolah memindahkan atau memulangkan siswa yang bersangkutan ke orangtuanya.


Kemudian apalagi ? Begitu kemajuan teknologi informasi semakin pesat maka bentuk atau eksistensi unsur-unsur porno menjadi semakin apik pula dan makin sulit dilacak. Film porno, foto porno, kaset video porno memang jarang lagi dikantongi remaja secara ilegal, karena produk ini sudah kadaluarsa. Maka sekarang produk kepingn vcd porno, dengan kulit berlabel film kartun agar bisa mengelabui pihak yang mencurigai, pada halnya isinya berisi adegan terlarang, secara terang- terangan mudah beredar dan dijual lewat pedagang kaki lima dan siswa yang dilanda gejolak birahi mudah mencarinya.


Hal lain, yang berhubungan dengan pornografi adalah bahwa sekarang orang tua perlu untuk melakukan cek dan ricek kalau ingin menitipkan anak pada sekolah yang berasrama, kecuali kalau kondisi kehidupan anak- anak di asrama cukup kondusif seperti tinggal di rumah sendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa kehidupan siswa yang kurang diawasi dan miskin aktivitas di asrama, maka penghuninya sering dilanda oleh gejolak dorongan libido. Pengalaman seksual yang kurang sehat mudah diperoleh oleh anak- anak yang tinggal di sana.


Siswa yang tinggal di asrama yang kurang terkontrol, dalam usia pubertas yang diiringi oleh dorongan libido yang tinggi, namun mereka kurang terlibat dalam aktivitas olah raga, seni dan kesibukan positif lain, maka siswa penghuni asrama mencari penyaluran libido secara intens. Maka kalau kondisi rumah lebih baik dan orang tua bisa mengembangkan potensial anak, maka mengapa harus mengirim anak ke sekolah dengan asrama yang tidak terjamin kualitas pendidikannya.


Sekarang semua orang tahu bahwa teknologi telekomunikasi semakin canggih, maka produk yang bernama hand-phone menjadi benda yang paling digemari oleh remaja. Kini banyak anak- anak atau remaja yang pintar merayu dan bermohon pada orangtua agar mereka dibelikan hand-phone. Pada mulanya hand-phone dirancang dengan fungsi untuk berkomunikasi. Namun kolaborasi ahli bisnis dan ahli teknologi menciptakan produk hand-phone menjadi semakin menarik, dilengkapi dengan aksesoris; camera, lagu, game, dan fiture yang lain. Maka kemudian fungsi memiliki hand-phone berubah, tidak lagi sebagai sarana berkomunikasi, namun berubah menjadi sarana untuk membentuk life style atau gaya hidup.


Sekarang hand-phone yang pas menurut selera siswa adalah kalau ada kamera, lagu, game dan aksesoris lain. Hand-phone yang seperti ini sangat layak dibawa dan dipamerkan di sekolah, namun kalau desain hand-phone terlalu sederhana maka mereka jadi malu dan ingin untuk menyimpannya dalam tong sampah.


Diam-diam guru di sekolah melihat gerak gerik dan prilaku yang mencurigakan atas prilaku siswa yang memiliki hand-phone berkamera ini. Mereka melakukan razia maka ditemukan sederetan film-film porno dan gambar porno yang mereka saling kirim lewat blue-tooth atau inframerah. Maka guru-guru dengan hati nuraninya sebagai pendidik menjadi amat sedih dan terluka. Ternyata orangtua bisa dikibuli oleh anak mereka sendiri. Segudang janji yang diikrarkan anak sebelum dibelikan hand-phone tidak terbukti. Berbarengan dengan datangnya teknologi hand-phone maka datang pula teknologi internet. Sarana internet dirasakan amat penting untuk mengakses informasi dan sarana untuk berkomunikasi.


Perpustakaan merupakan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan informasi. Tetapi sarana internet terasa jauh lebih menarik dari pada perpustakaan. Dan sekarang fenomena yang terjadi adalah kehadiran internet telah membuat perpustakaan menjadi sepi dan hanya layak sebagai gudang untuk menyimpan buku- buku. Akibatnya kini banyak perpustakaan yang menjadi sepi oleh pengunjung dan buku- bukunya sendiri mulai menguning dan dipenuhi debu.


Mengapa remaja pergi ke internet? Banyak remaja atau pelajar menjawab bahwa mereka pergi ke internet atau ke warnet (warung internet) untuk mencri ilmu dan informasi. Jawaban mereka 100 % sangat benar, namun kenapa warnet sengaja dirancang dengan bilik- bilik kecil dengan dinding agak tinggi, dari balik dinding bilik kecil tadi terdengar suara penuh curiga dan mata waspada.


Maka begitu mereka selesai mengakses internet lewat mesin yahoo, google dan mesin lain maka akan tersisa kosa kata mesum bahwa remaja- mulai yang bau kencur sampai kepada remaja usia hampir dewasa- baru saja mengkonsumsi gambar, film dan artikel jorok atau porno.


Dahulu ketika zamannya bioskop lagi menjamur, maka unsur- unsur seks lah yang membuat bioskop tersebut jadi ramai oleh pengunjung. Dan sekarang hal itu juga terjadi pada internet. Karena ada unsur- unsur seks, maka internet juga menjadi makin laku. Namun sekarang bagamana lagi ? Di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru pasti mengharamkan unsur- unur seks atau pornografi menyentuh siswa. Namun di luar rumah dan luar sekolah, yaitu di warnet- wanet unsur- unsur seks dan pornografi begitu mudah diakses dan di download. Kini siapa yang patut mengawasi anak- anak dan remaja tidak ketagihan oleh unsur- unsur pornografi bila mereka berada di luar rumah dan sekolah ?.


Bila kejahatan seksual meningkat di tengah masyarakat, maka dapat diprediksi bahwa keberadaan warnet ikut berpartisipasi untuk menyuburkan budaya pornoaksi dan pornografi. Rangsangan- rangsangan pornografi lewat internet telah berpotensi untuk meningkatkan gelora libido mereka yang tidak terkontrol, pada akhirnya bermuara pada kejahatan seksual; incest, kehamilan di luar nikah, pengguguran kandungan, pelecehan seksual dan lain- lain. Orang tua dan guru tentu selalu menyerukan dan berpesan agar anak- anak mereka selalu ingat dengan ungkapan; say no to situs porno. Namun untuk pengawasan yang lebih kompeten di luar rumah dan sekolah tentu adalah tanggung jawab pemerintah dan pengelola internet itu sendiri.
2o. Basmilah Sampah Secara Total!


Di mana - mana sekarang banyak orang membicarakan tentang lingkungan hidup. Topik lingkungan hidup dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai seminar,simposium, dan diskusi di berbagai tempat mulai dari level sederhana sampai ke ruangan konvensi berharga mahal. Namun setelah itu hasilnya hanya cukup sebagai agenda dan bahan berita pada media cetak dan media elektronik yang bertajuk lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dibicarakan itu eksistensinya tak akan lebih baik kalau tidak diikuti oleh aksi perbaikan lingkungan di lapangan.


Dalam membahas masalah lingkungan hidup tidak salah kalau kita juga meminjam ungkapan internasional yang berbunyi sebagai berikut ”think globally and act locally”. Ungkapan ini berarti bahwa berfikirlah secara luas dan bertindaklah secara lokal. Pengaplikasian ungkapan ini bahwa secara global kita tahu bahwa kondisi lingkungan hidup dunia saat ini juga menjadi pembicaraan orang - orang yang duduk di tingkat antar negara. Sekarang masalah global yang dirasakan adalah seperti pemanasan bumi, masalah kekurangan pangan, kemiskinan, dan berbagai multi krisis lainnya.


”Act locally” atau bertindaklah secara lokal. Saat ini bila kita berpergian di pulau Sumatra ini dan khususnya di Sumatera Barat, mari kita lemparkan pandangan ke depan dan ke alam sekitar. Bila kita arif maka kita akan melihat bahwa alam atau lingkungan hidup tidak lagi seharmonis lingkungan hidup di masa silam atau beberapa puluh tahun yang lalu. Dulu dalam foto dan dari pengalaman masa kecil, bila kita berpergian ke luar kota maka kita masih bisa melihat dan menemui banyak pohon-pohon raksasa yang berdaun rindang, air sungai mengalir dengan warna bening, kicauan burung, langit yang biru dan udara dengan aroma alam yang bebas dari asap kendaraan. Tapi sekarang hal- hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang mahal dan langka untuk ditemui.


Kita bersyukur bahwa pemerintah dan sebagian masyarakat sudah mengelola dan mengatasi kehancuran alam dan mencegah terjadinya ”illegal logging”. Kita masih punya harapan untuk bisa bermimpi untuk memiliki lingkungan hidup dengan alam yang indah pada masa mendatang.


Mengembalikan kualitas alam seperti kualitas alam (lingkungan hidup) seperti pada beberapa puluh tahun yang silam, alam yang hijau dan bersih terhampar ibarat permadani atau ibarat susunan permata zamrud seperti yang didendangkan oleh lagu-lagu lama. Ini tidak mungkin diperoleh secara ”top down” atau menunggu perintah dari atas turun ke bawah semata untuk kembali menata alam ini. Mengembalikan alam yang lestari dan harmoni adalah sangat tepat lewat prosedur ”bottom up”, yaitu kebijakan yang tumbuh dari masyarakat atau dari ”grass root level”. Kebijakan bersifat ”top down” tidak akan bertahan lama kalau orang orang di tingkat ”grass root level” atau rakyat biasa bersikap masa bodoh.


Dalam kenyataan kita temui bahwa banyak orang yang berada di tingkat ”grass root level”, dan orang itu bisa jadi adalah juga kita sendiri, cendrung bersifat masa bodoh atas masalah kebersihan lingkungan hidup. Bila tidak percaya dan untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah berdiri di tempat di mana banyak kendaraan lewat dan kita dapat melihat bahwa akan ada tangan imut-imut sampai ke tangan yang dibaluti emas dan intan berlian dengan senang hati melemparkan secuil sampah bungkus makan instant untuk mengotori jalan raya yang asri.


Kebiasaan melemparkan sampah nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita. Atau kalau tidak sudi dengan pernyataan ini, maka kita bisa membuat pernyataan bahwa membuang sampah adalah bagian dari gaya hidup kita sendiri. Kepedulian kita atas topik sampah baru sebatas kepedulian akan masalah kebersihan di lingkungan rumah semata-mata. Memang banyak orang dan kita sendiri yang sudah peduli untuk membersihkan dan merapikan rumah dua kali sehari dan merapikan lingkungan rumah sekali dalam seminggu. Namun sampahnya bagaimana ?


Banyak orang yang suka punya kebiasaan buruk mereka membuat dan menjaga lingkungan rumah sendiri menjadi bersih namun bersikap masa bodoh terhadap kebersihan lingkungan orang. Secara masa bodoh mereka menumpuk sampahnya ke lahan orang lain. Dan bila ada papan peringatan dengan tulisan ”dilarang membuang sampah di sini” maka mereka dengan senang hati menumpuk sampah ke tempat yang dimana mereka suka tanpa memikirkan efek selanjutnya terhadap alam dan terhadap orang lain.


Kebiasaan membuang sampah sembarangan, seperti pernyataan di atas tadi, bahwa membuang sampah sembarangan sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang desa dan orang kota. Untuk kondisi rumah tangga di desa, masalah membuang sampah dan penumpukan sampah tidak begitu masalah karena di sana mungkin masih ada lahan untuk menguburkan sampah. Namun untuk kebersihan lingkungan hidup seperti di tempat keramaian dan di sepanjang jalan. Sampah seolah-olah sudah menjadi dekorasi sepanjang pinggir jalan raya mengalahkan indahnya dekorasi alam dengan tanaman dan tumbuhan bunga yang warna warni.


Bagaimana dengan lingkungan perkotaan ? Adalah sesuatu yang memalukan untuk dideskripsikan. Kita akan sulit membedakan antara mana pasar dan mana kandang kerbau (maaf) kita sering susah payah kalau berjalan untuk mencari tempat yang akan kita injak. Karena lumpur bercampur kompos, sampah yang membusuk, sudah menjadi aspal di areal pasar. Begitu pula dengan para penghuni wilayah perkotaan, mereka itu, sekali lagi, adalah bisa jadi kita semua sebagai orang-orang yang sudah menjadikan membuang sampah sebagai gaya hidup. Di sana cukup banyak orang yang yang sudi mengotori dan mencemari lingkungan hidup perkotaan. Tidak percaya ? Coba lihat air yang mengalir dalam got dan sungai (di dalam kota), betapa kualitas airnya sudah memberi isyarat bahwa tidak ada lagi kehidupan biota air di dalamnya. Kemudian bagaimana dengan kualitas udara dan pohon-pohonan ?


Kebiasan membuang sampah yang sudah menjadi budaya jelek atau bahagian dari hidup kita, agaknya sulit untuk dikikis habis kalau ajakan untuk mengobah kebiasaan ini hanya ”bersifat ajakan atau cuma sekedar semboyan”. Himbauan, semboyan dan peringatan yang hanya tertulis pada sekeping papan. Seribu kali seminar dan diskusi untuk mengatasi masalah sampah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup akan tidak berarti apa-apa tanpa ada aksi dan contoh atau model dari figur- figur bagi generasi yang lebih muda.


Untuk bisa berubah ke arah yang baik atau ke arah yang kurang baik, maka model atau ”suri teladan” punya peran yang cukup penting. Kalau sekarang kita lihat gaya hidup dan prilaku anak-anak muda sekarang cenderung berubah dan tampak aneh dimata famili dan orangtua. Itu semua karena mereka terinspirasi dan mengikuti model yang mereka lihat- mungkin dalam media elektronik atau cetak dan bisa jadi figur yang mereka pungut langsung di jalanan raya sebagai panutan hidup. Syukur bila bila figur atau model yang mereka pungut tersebut bermental, berakhlak, berpribadi dan berwawasan baik.


Adalah contoh atau model untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan berasal dari pribadi orangtua, kakak, guru, pejabat pemerintah dan lain-lain. Pendek kata figur-figur yang demikian itu adalah kita semua.


Sering pelajaran yang diperoleh di sekolah kenyataannya berbeda dari fakta yang diperlihatkan oleh para figur model lewat prilaku dan gaya hidup mereka. Di sekolah kita diajarkan agar kita ”tidak boleh merokok dan harus hidup disiplin”. Tapi dalam kenyatan orang yang menjadi panutan hidup ini model bagi kehidupan kita melanggar aturan ini. Di sekolah ibu guru dan bapak guru mengajarkan agar kita harus membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula dari buku bacaan yang kita baca di rumah agar kita mesti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun fakta, ayah, ibu dan paman kita melempar sampah ke tengah jalan atau ke dalam got seenaknya.


Alangkah bingungnya anak anak yang dididik dan diajar agar bisa mencintai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup ini. Namun dalam realita, mereka melihat bahwa begitu banyak orang dewasa, guru, orangtua dan tetangga mereka dan apalagi orang orang yang mereka anggap terdidik tidak berbuat seperti yang mereka baca dan mereka pelajari. Akhirnya mereka juga berbuat seperti hal demikian. Akhirnya adalah lazim bila lingkungan ini menjadi kotor dan tidak rapi karena tangan orang-orang mulai dari usia muda sampai berusia tua, dari orang biasa sampai orang yang menganggap dirinya terdidik dan elit dan dari orang orang desa sampai kepada orang orang kota. Melihat kebersihan di daerah daerah lain di Indonesia dan juga negara tetangga, mereka bisa menjadi negara yang bersih dan asri, ini karena di sana sudah ada sistem dan sistem kebersihan itu sudah berjalan.


Ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk membuat alam atau bumi ini menjadi lestari, bersih dan harmoni. Kebijakan itu bisa bersifat ”top down” dan ”bottom up”. Kota Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi dan sekarang kota Batusangkar juga berbenah diri dan berbagai kota di Sumatera Barat, begitu juga dengan berbagai kota dan kabupaten lain di Indonesia, bergerak menuju kota dan daerah bersih adalah melalui kebijakan ”top down”- pemerintah bersama pemuka masyarakat telah mengumandangkan terompet ”jaga kebersihan dan jangan membuang sampah sembarangan”. Seruan ini kemudian diikuti dengan melakukan aksi melibatkan berbagai unsur dan lapisan masyarakat dan mendorong bagaimana agar sistem kebersihan ini bisa berjalan.


Namun bila diamati secara seksama bahwa sistem kebersihan bisa terganggu oleh sikap dan kebiasaan orang orang- mereka bisa jadi anak sekolah, pejalan kaki, pegawai, buruh, pedagang dan lain-lain- melempar puntung rokok, kulit permen, bungkus makanan dan beraneka macam pembukus terbuat dari plastik, sampah atau material lainnya berjatuhan mengotori bumi. Dan orang lain merasa tidak peduli atas keberdaaan alam yang bersih berubah menjadi ”amburadul” ini. Jalan raya telah menjadi ”tong sampah yang terpanjang dan terbesar di dunia” karena pengguna jalan raya dan pemilik kendaraan bermotor tidak punya perasaan sensitif dan tega untuk mencemari kebersihan ini. Coba lihat sekarang bila anda berpergian. Arahkanlah pandangan dan kita akan menjumpai ribuan sampai jutaan keping sampah bertebaran mengganti indahnya tanaman bunga. Namun apakah masih ada perasaan risih mereka (dan kita) melihat kenyataan ini.


Bila perasaan sensitif sudah hilang atas masalah kebersihan. Maka adalah tugas kita, sebagai figur model, untuk kembali mengembalikan perasaan ”sense of sensitive” dan kita patut mengajak dan memberi contoh masyarakat ”groot grass level” dan juga masyarakat yang berpendidikan tinggi tapi berhati kurang sensitif untuk memiliki rasa peduli kepada lingkungan. Pada mulanya usaha untuk mengembalikan rasa peduli ini bisa bersifat”bottom up”. Dengan meminjam istilah ungkapan seorang Kyai Indonesia, yakni ”memulai usaha pelestarian lingkungan hidup” dan menjaga kebersihan dan ”tidak membuang sampah sembarangan” dari diri sendiri dan sekarang ini juga. Ini dimulai dari rumah tangga, sekolah, pemerintah dengan kantornya, pemilik usaha ekonomi dengan toko-tokonya dan para pemilik kendaraan dan pengguna jalan raya agar memahami bagaimana pentingnya makna kebersihan dan kebersihan alam itu sendiri.


Merenungkan kembali, seperti yang kita nyatakan di atas tadi, bahwa sungai yang dulu berair bening sekarang berubah menjadi sungai dengan tumpukan sampah. Pinggir jalan raya dan taman-taman yang dulu hijau oleh tumbuhan serta rerumputan dan sekarang kotor dan semraut oleh tebaran sampah botol minuman sampai sampah bungkus makanan. Itu semua disebabkan oleh perbuatan orang orang yang datang kesana dan para pengguna jalan. Dimana yang bertebaran itu bersumber dari sampah yang mereka bawa dari rumah atau sampah yang sumbernya dan dari toko-toko untuk kemudian mereka lemparkan ke bumi seenaknya. Maka figur yang amat bertanggung jawab atas penggotoran bumi ini adalah para pemilik toko, pemilik warung, pengguna jalan raya, pengusaha transportasi, orang tua dan guru dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai orang terdidik.


Untuk mencegah agar setiap orang tidak membuang sampah seenaknya maka sangat diperlukan seribu sampai sejuta lagi spanduk yang bertuliskan ”jangan buang sampah” agar di pasang dan diukir di berbagai tempat mulai dari rumah, sekolah, kampus, pasar, persimpangan jalan, rumah ibadah, di desa dan di kota sampai ke tempat keramaian dan diikuti oleh perbuatan atau prilaku. Para figur harus melakukan agar bisa menjadi model bagi anak-anak dan generasi yang sedang sibuk menjadi figur atau model dalam usia indentifikasi diri mereka. Kemudian diperlukan pula agar kita menyediakan seribu sampai sejuta tong sampah. Namun jangan biarkan tong sampah itu tergeletak penuh dengan tumpukan sampah untuk jangka waktu lama apalagi bila menumpuk sampai sampai bertahun-tahun tindakan ”top down” amat dibutuhkan. Mimpi kita bisa terwujud untuk menjadikan daerah ini, negara ini agar bebas dari sampah lewat gerakan ”perang melawan sampah secara totalitas” sekarang ini juga dan mulai dari diri sendiri, sekolah sendiri, rumah sendiri, lingkungan sendiri.


21. Kondisi Lingkungan dan Kesehatan Jiwa
Agar kita memperoleh perasaan nyaman dan tenang maka tentu kita membutuhkan lingkungan. Sebetulnya suasana lingkungan itu, apakah terasa menyenangkan atau tidak ditentukan oleh kondisi fikiran. Selanjutnya kondisi fikiran mempengaruhi atau menentukan kondisi jiwa. Kalau begitu, kondisi lingkungan, fikiran dan jiwa saling mempengaruhi satu sama lain.


Banyak pelajar jadi kurang bersemangat dalam belajar, setelah kita observasi, atau kebetulan kita lihat, ternyata rumahnya atau tempat belajarnya begitu semraut. Kondisi lain adalah mungkin tempat tinggalnya pengap, sumpek, terlalu ramai sehingga hamper tidak ada tempat dan waktu baginya untuk belajar dan berfikir. Untuk mengatasinya maka ada dua kemampuan sosiologi yang dianugerahkan Allah Swt buat kita, yaitu kemampuan beradaptasi dan kemampuan berakomodasi.


Adaptasi adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan akomodasi adalah mengobah lingkungan agar sesuai dengan yang kita harapkan. Ada orang mampu belajar dan bekerja dalam keadaan tenang dan dalam keadaan bising. Berarti orang tersebut memiliki kemampuan beradaptasi. Ada pula orang yang tidak mampu belajar dalam kondisi pengap, panas dan bising, maka ia harus mengobah lingkungan- melakukan akomodasi- sesuai dengan kebutuhannya. Mungkin ia harus merapikan kamar belajarnya, mendekorasinya, memasang air conditioner dan mengatur music dan suara yang ada di rumah dan kamarnya. Bagi yang tidak bisa beradaptasi dan melakukan akomomodasi/ perobahan terhadap lingkungan maka strategi yang harus ia lakukan adalah “hijrah” atau pindah ke tempat yang lebih bagus kondisinya.


Untuk pelajar, bahwa tidak semuanya memiliki rumah yang dekat dengan sekolah. Khawatir kalau terlambat di sekolah maka mereka memutuskan untuk mencari tempat kos atau kamar kontrakan. Prioritas yang diperhatikan adalah ketersediaan air, listrik, kebersihan, ketenangan dan kenyamanan dalam belajar. Factor teman, atau manusia, tempat, suasana dan pengaturan waktu amat menentukan terhadap keberhasilan dalam belajar. Selain memperhatikan factor tadi, pelajar juga memperhatikan faktor spiritual- kedekatannnya dengan sang Khalik dan suasana hati.


Berbicara tentang otak/ fikiran dan jiwa, sebetulnya pekerjaan otak, fikiran adalah juga kerja jiwa. Pekerjaan jiwa seperti menyayan­gi, mencintai, membenci dilakukan oleh fikiran dengan mengaktifkan suasana hati atau perasaan. Maka untuk mendapatkan kesehatan jiwa maka setiap pelajar harus dapat menyesuaikan diri kepada lingkungan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lingkun­gan itu adalah seperti lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan manusia sendiri.


Disamping itu kita juga harus dapat mengendalikan diri yang patut dan yang tidak patut. Maka dalam hal ini kita perlu belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui bacaan yang dewasa ini mudah diperoleh dimana saja. Namun sekarang banyak orang tidak memanfaatkan kesempatan balk untuk memperoleh den menguasai ilmu paling kurang untuk keperluan diri terlebih dahulu.


Dalam hidup ini kita memiliki banyak kebutuhan, begitu pula dengan kebutuhan yang bersifat psikis yang kerap disebut dengan kebutuhan pribadi. Jiwa kita akan sehat kalau kebutuhan pribadi yang kita sebut juga dengan kebutuhan Psikososial dapat kita penuhi. Kebutuhan pribadi yang terpenting adalah seperti rasa kasih sayang, rasa sukses, kebebasan dan kebutuhan akan pengalaman dan kebutuhan akan rasa kekeluargaan.


Kita dapat menemukan banyak anak-anak yang lincah dan ceria. Kasih sayang yang mereka terima dari orang tua dan anggota keluarga membuat suasana jiwa mereka menjadi riang gembira. Jauh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di panti-panti asuhan dan anak-anak dari keluarga berantakan. Mereka sering hidup gelisah, banyak bersedih dengan tetapan mata kosong. Sebetulnya yang mereka harapkan supaya hidup gembira adalah kasih sayang.


Untuk mendapatkan generasi­-generasi yang sehat jiwanya maka kebutuhan-kebutuhan ini seharus­nya sudah dibiasakan sejak usia bayi. Begitu pula terhadap anak­-anak didik di sekolah, ibu dan bapak guru harus mengenal kebutuhan-kebutuhan ini dan kemudian memberikannya kepada anak-anak didik. Setelah itu kita harus ingat bahwa kebutuhan-kebutuhan psikososial ini akan bertambah dengan meningkatnya usia individu.


Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa jika suasana lingkungan dan sosial tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka seseorang akan berusaha mencari jalan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin saja jalan yang tidak wajar, dengan demikian terganggulah proses penyesuaian diri. Kita sering melihat banyak pemuda ngebut di jalanan. Ini bisa jadi karena mereka ingin dianggap hebat, barangkali di rumah kurang memperoleh kasih karena orang tua sibuk dengan diri sendiri.


Dalam penyesuaian diri, bila seseorang bersikap lincah maka ia akan memperoleh kemudahan dalam bergaul. Seseorang dalam penyesuaian diri ada yang tetap mempertahankan kepribadiannya. Dan orang yang beginilah orang yang memiliki kepribadian yang utuh. Sebaliknya ada pula orang melepaskan kepribadian. Tentu saja ini kurang baik dan malah dapat mendatangkan kegelisahan jiwa. Orang yang tidak dapat mempertahankan kepribadiannya dia akan sulit atau akan memperoleh masalah apabila ia pulang kampung, kalau ia seorang perantau, sebab tingkah lakunya, tentu tampak berbeda dari keadaan semula. Ini sering dalam art konteks negatif.


Untuk itu kita harus bersikap wajar-wajar saja. Sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang wajar dalam kehidupannya, maka dalam masyarakat ia tampak lebih tenang dan kurang dihadapkan kepada persoalan sosial. Ini biasanya dapat dirasakan oleh pembimbing sosial, pemuka agama dan profesi yang berkaitan dengan sosial lainnya. Sebab tingkat pengenalan mereka ter­hadap lingkungan menyebabkan mereka lebih mengerti. Di sini tidak kita ragukan lagi bahwa orang yang wajar-wajar saja dalam kehidupan akan memperoleh ketenangan dan kesehatan jiwa. Untuk itu, sehatkan dulu jiwamu, kawan. Percayalah, kau dalam gelisah.


Kalau begitu ketenangan dan kesehatan jiwa bukan kita peroleh dari kejeniusan, karena ia tidak menjamin dalam kehidupan jiwa dan kehidupan sosial. Dan bagi pelajar yang menuntut ilmu di sekolah kesehatan jiwa adalaha syarat mutlak untuk bisa mengikuti PBM (Proses Belajar Mengajar) secara lebih mantap Okay !


Biografi
Marjohan, M.Pd, adalah Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Program Pelayanan Keunggulan Kabupaten Tanah Datar dan penulis freelance pada koran Sriwijaya Post, Singgalang, Haluan dan Mingguan Canang,

E-newsletter (Situs Departemen Pendidikan Sumatra Barat). Pernah menulis pada journal speleologie (Toulouse- Perancis). Berdomisili di Batusangkar dan menikah dengan Emi Surya, memiliki dua orang anak, Muhammad Fachrul Anshar , dan Nadhilla Azzahra, (marjohanusman@yahoo.com).

Bahasa Asing Yang Dikuasai : 1. Inggeris
2. Perancis
e-mail : marjohanusma@yahoo.com
Phone Number : 085263537981



Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...