Indonesia Bangsa Yang Jarang Kena Contreng (V) Di Dunia
Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pemilu (pemilihan umum) sudah terselenggara selama beberapa kali. Untuk melakukan voting peserta pemilu cukup menusuk gambar partai dengan sebuah paku besar. Kata “tusuk” sudah menjadi kosakata popular bila musim kampanye datang. Malah dalam kampanye di zaman orde baru pelaku dan pendukung partai meneriakan yel-yel untuk tiga partai; “tusuk beringin…, tusuk ka’bah…, dan tusuk banteng…!” Namun yel-yel “tusuk” pada pemilu tanggal 9 April 2009 tidak berlaku lagi, peserta pemilu diminta untuk “mencontreng”. Mereka disarankan untuk mencontreng nomor atau gambar caleg (calon legislative) sang idola. Sinonim kata contreng adalah centang atau check-list. Namun kata contreng tetap lebih populer.
Usai pemilu anggota caleg dan pendukung antusias atau takut setengah mati untuk mengetahui hasil polling melalui contreng. Bagi yang memperoleh banyak tanda contreng tentu merasa amat berbahagia, berpesta pora atau melakukan sujud syukur. Yang sedikit memperoleh tanda contreng atau kalah suara itu membuat mereka berduka yang berkepanjangan. Kita seharusnya mendoakan caleg tersebut agar tidak stress dan depresi, moga-moga Allah Swt menentramkan hati mereka.
Mencontreng tidak hanya identik untuk pemilu. Dalam melakukan observasi dan penelitian, peneliti menggunakan tanda contreng untuk option pada skala likert (lima pilihan), dan skala gutmann (dua pilihan), atau pilihan lain.
Organisasi berskala dunia dan badan PBB- seperti World Bank, Unicef, Unesco, LSM-LSM dunia lainnya- juga sering melakukan penelitian. Penelitian yang berhubungan dengan tingkat buta huruf, kejahatan korupsi, dan tingkat hutang luar negeri, maka Indonesia sering memperoleh tanda contreng. Namun penelitian tentang tingkat kesejahteraan, tingkat kualitas pendidikan, tentang income masyarakat, maka Indonesia jarang kena contreng. Contoh lebih kongkrit, sebuah survey yang dilakukan oleh majalah Japan Close-Up (Maret 2001) tentang factors that contribute to success in society yang menjadi respondenya adalah warga negara di Jepang, Cina, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia dan India. Namun kita betanya-tanya “mengapa Indonesia tidak masuk sebagai responden atau sample dalam survey itu ?”
Juri-juri yang terlibat dalam event olah raga dunia seperti sepak bola, tour de france, tenis, atletik, renang, dan lain-lain, jarang yang mencontreng Indonesia. Para peneliti tentang life expectancy, life quality, perdagangan dan industry, tingkat income nasional, dan penelitian tentang hal-hal yang positif maka Indonesia merupakan negara yang jarang kena contreng, mengapa demikian ?
Indonesia masuk atau tidak masuk hitungan untuk di-polling atau dicontreng tergantung pada beberapa faktor, yaitu seperti endeavor (kerja keras), karakter, bakat, pengalaman hidup, kesehatan, dan latar belakang pendidikan. Endeavor memang faktor yang patut menempati urutan pertama. Urutan berikutnya adalah faktor kesehatan, karakter dan latar belakang pendidikan.
Endeavor atau kerja keras umumnya belum dimiliki oleh bangsa kita. Hal ini kita kupas bukan karena kita benci pada bangsa ini, tetapi sebagai usaha refleksi- koreksi diri dan melakukan perbaikan terhadap kualitas diri. Untuk membuktikan, coba lihat cara berjalan kebanyakan anak-anak sekolah kita. Jalanya tidak smart, tampak agak pelan, dan kesannya loyo, tidak semangat, dan kalau ngobrol ya kemanja-manjaan dan rada kekanak-kanakan. Ini adalah sinyal bahwa budaya belajar keras dan kerja keras kurang sempurna.
Kalau kita melewati deretan perumahan penduduk, akan terlihat deretan tiang-tiang antene parabola dan antene UHF (Ultra High Frequency) sebagai pertanda bahwa warga di sana adalah orang yang suka hiburan. Rumah-rumah mereka telah disulap menjadi home theatre, hampir sepanjang waktu televisi, tape recorder, vcd playermenyala. Anak-anak sampai orang tua adakalanya terpaku di depan layar menghabiskan umur. Ini berarti bahwa budaya menonton adalah budaya utama kita.
Kemudian bila kita lewat menelusuri kantor-kantor pemerintah, akan dijumpai beberapa anggota PNS asyik ngobrol sambil berdiri. Atau mereka ngumpul-ngumpul sambil menghisap rokok dan menghabiskan secangkir kopi. Sementara itu lantai kantor dan perabot di kantor ada yang sudah kusam karena lupa untuk dirawat. Ini juga sebagai sinyal bahwa budaya kerja pegawai pemerintah masih dalam taraf basa-basi.
Selanjutnya bila kita berkendraan menelusuri jalan luar kota akan dijumpai banyak lahan terlantar, kolam ikan dan kebun tidak terurus dan sawah-sawah dengan tanah subuh yang penuh dengan gulma. Generasi petani tidak lagi menghargai profesi bertani. Generasi muda mereka disugesti untuk menjadi tukang ojek atau exodus ke kota untuk jadi buruh dan melakukan dagang kecil-kecilan. Kalau gagal ya jadi penganggur.
Sebahagian manusia Indonesia sudah punya karakter bagus, namun sebahagian lagi bermasalah dengan karakter. Mereka terperangkap menjadi orang yang santai dan tidak tahu cara menghargai waktu. Kerja sedikit dan langsung merasa cepat puas. Kadang-kadang kita sendiri mungkin tidak memiliki agenda kegiatan dalam hidup dan kita menjadi orang yang bengong. Orang orang yang bengong dan pasif kerap hanya menjadi penonton dan bukan menjadi actor atau pelaku dalam hidup, menjadi buruh pabrik dan bukan menjadi pemilik pabrik. Menjadi konsumen dan bukan menjai produsen. Hal ini terjadi karena kita belum mengamalkan filsafat long life education- pendidikan seumur hidup.
Yang cendrung kita lakukan adalah baru half lifa education- pendidikan separoh umur. Fenomena ini sangat benar, kalau tidak percya ini dapat dibuktikan. Umumnya warga kita hanya belajar sampai level SLTA atau masuk Perguruan Tinggi. Tamat kuliah, menjai sarjana dan kemudian berhenti belajar. Kalau pun ada belajar atau membaca, itu pun cuma sebatas basa basi, mengisi waktu senggang. Coba perhatikan tas-tas yang disandang oleh wanita-wanita yang pernah kuliah dulu (sekarang mungkin jadi guru, pegawai swasta, BUMN, dan wiraswasta, ukuran tas mereka semakin kecil dan isinya cuma HP, sisir, lipstick, bedak, dompet, permen dan amat jarang yang membawa buku yang berbobot. Atau kita bertandang ke rumah-rumah mereka dan rumah penduduk kebanyakan, maka yang kita jumpai mungkin garasi dengan mobil second, lemari yang penuh dengan boneka dan keramik, rak-rak yang berisi tumpukan kaset vcd player dan amat jarang dijumpai rumah penduuk yang memiliki pustaka keluarga.
Faktor kesehatan juga menentukan kualitas bangsa Indonesia, berpengaruh apakah Indonesia kena contreng di dunia atau tidak. Bangsa Indonesia mungkin boleh dikatakan sebagai bangsa perokok. Coba lihat iklan dan poster apa yang banyak bertebaran di pinggir jalan ? “Merokok membuat anda lebih jantan, merokok sebagai selera pria sejati, merokok untuk selera petualang….!”. Begitu banyak kalimat kalimat indah untuk pembohongan publik. Sehingga amat banyak pria yang terpedaya oleh rokok, malah rokok itu sendiri sudah menjadi event budaya. Undangan untuk datang ke pesta di kampung-kampung pengganti undangan resmi adalah dengan menggunakan media sirih dan rokok dalam carano- sirih (sereh) untuk kaum perempuan dan rokok sebagai undangan buat kaum laki-laki.
Pendapat khalayak ramai yang salah adalah bahwa rumah yang berbudaya adalah yang menyediakan asbak rokok (?) karena laki-laki Indonesia memang perokok berat. PNS, pegawai swasta, pegawai BUMN, polisi, ABRI, mahasiswa, sebahagian pelajar, pedagang, petani, nelayan dan kaum buruh banyak yang telah menjadi perokok sejati. Pantaslah nasehat-nasehat yang bertuliskan seperti “merokok membuat anda impotent, merokok membuat janin cacat, merokok mengganggu kesehatan jantung dan paru-paru, pokoknya merokok merusak kesehatan ” tidak mudah dipercaya oleh pelajar, dan anak-anak. Malah pelajar memperoleh inspirasi dari guru perokok, anak meniru ayah dan keponakan meniru gaya merokok paman. Arti dan nilai kesehatan tidak begitu dijunjung tinggi.
Bumi Indonesia terkenal dengan keindahan dan keelokannya, tetapi mungkin juga terkenal dengan kejorokannya- sampah. Tidak percaya dan bukan asal bicara, mari kita telusuri jalan-jalan dari pinggir kota terus ke lokasi objek wisata- goa, pinggir sungai, pinggir laut, taman alam dan pinggir danau. Di sana bertebaran sampah- bungkus-bungkus makanan. Bangsa kita memang sangat gemar melemparkan sampah. Undang undang tentang sampah tidak efektif lagi, kecuali hanyak menggertak saja- membuang sampah didenda enam juta rupiah. Sungai kecil dan saluran air yang melewati kota bersampah dan tercemar limbah. Cegahlah anak-anak tak berdosa untuk bermain air dan mandi mandi dengan air sungai yang mengalir di kota, sebab berpotensi untuk kematian atau penyakit kalau airnya tertelan karena polusi logam berat dan racun.
Pelajar pelajar putri kita gemar diet dan banyak yang salah diet. Diet bukannya semacam mogok makan karena takut gendut. Tapi adalah mengatur pola makan. Namun banyak pelajar salah diet dan jarang yang makan kalau pergi ke sekolah, mereka menuntut ilmu dalam keadaan kurang gizi. Di waktu istirahat mereka tidak mengkosumsi makanan bergizi maka pantaslah mereka susah payah menghadapi ulangan harian dan ujian nasional karena juga akibat faktor kurang gizi.
Anak-anak dan balita kita juga berpotensi menjadi generasi yang kurang gizi. Itu gara-gara mereka banyak yang susah makan. Mereka lebih menyukai permen, makanan industry dengan harga murah meriah dan mengundang penyakit karena kaya dengan bahan kimia- penyedap rasa dan zat pewarna. Anak- anak kita pun terdidik menjadi generasi yang percaya dirinya tumbuh kalau mengkonsumsi KFC, Burger, dan hidangan fast food yang kaya kolesterol dan kaya penyakit. Mereka kurang mengenal bagaimana citra rasa goreng singkong, godok ubi, onde-ode, lopi, rujak dan kue talam yang lebih sehat dan bergizi.
Latar belakang pendidikan termasuk hal yang menentukan apakah suatu Negara diperhitungkan di tingkat dunia atau tidak. Untuk Indonesia kenapa ia tidak banyak dicontreng/ diperhitungkan adalah karena posisi human development index yang rendah. Karena Indonesia adalah Negara besar di dunia maka ia seharusnya menjadi Negara yang hebat- kuat dan belajar untuk maju dari Negara maju.
Yang membuat suatu negara maju atau tidak adalah bukan berapa gedung pencakar langit dan berapa plaza modern yang ia miliki, tetapi berapa jumlah doktor dan professor yang mereka miliki. Tentu saja bukan doktor dan professor yang pasif, tetapi mereka yang kreatif dan innovative dalam melakukan riset untuk memajukan negaranya.
Dalam era otonomi daerah banyak beasiswa diberikan bagi undergraduate (sarjana S.1) untuk menyelesaikan program pascasarjana (graduate) dan doctoral (post graduate). Namun banyak mereka terkendala dengan kemampuan TOEFl (Test Of English Foreign Language) karena score di bawah 500 atau di bawah 550. Kalaupun bisa mengikuti program beasiswa namun juga banyak yang stagnant alias mandek karena terbentuk susah untuk menyelesaikan tesis dan disertasi. Yang licik mencari jalan pintas- minta tolong untuk menyelesaikan karya tulis- ini adalah pembohongan diri dan plagiat. Kalau tidak demikian maka meeka harus rela untuk drop out. Kemapuan menulis orang kita belum lagi terasah dan membuat momok untuk menyelesaikan pendidikan tinggi di universitas.
Kualitas pendidikan di negara maju memang berbeda dengan negara kita. Di sana pada umumnya orang tua banyak yang berpendidikan sarjana, master dan doctor. Bila anak anak punya problem dengan pelajaran sekolah maka orang tua mereka , sebagai guru ke dua di rumah, bisa membantu mereka untuk memahami pelajaran. Dan sangat kontra perbedaanya dengan kita, dimana rata-rata orang tua hanya tamatan SMP dan SLTA, satu satu lulusan Perguruan Tinggi, yang susah memahami pelajaran anak anak. Sehingga urusan pendidikan diserahkan bulat-bulat pada guru di sekolah. Guru adalah perpanjangan tangan orang tua di rumah atau sebagai pelimpahan mandate orang tua dalam mendidik anak. Maka tidak heran kalau banyak anak yang memiliki semangat belajar dan motivasi belajar yang rendah, karena orang tua kurang tahu tentang memberi motivasi.
Sekali lagi bahwa tulisan ini sama sekali bukan untuk mengekspos tentang hal yang minus di negara kita yang elok ini. Namun tulisan ini adalah untuk refleksi atau renungan moga-moga ada sumbangan untuk membentuk mind set baru agar bangsa kita bisa kena contreng, diperhitungkan, di dunia sebagai responden atau sample dalam penelitian positif. Oleh karena itu kita semua harus memiliki endeavor/ semangat kerja keras, karakter positif yang kuat, lebih menghargai pentingnya nilai kesehatan dari pada gaya hidup. Kemudian menjadikan dan mengamalkan long life education sebagai motto hidup, kemudian mengembangkan dan mengoptimalkan talent/ bakat, potensi diri, serta memperkaya pengalaman hidup. .
Tulisan Pak Guru ini adalah semacam pencerahan. Sangat layak dibaca oleh banyak orang. Pak guru, mohon bagi bagi rahasia untuk menumbuhkan ide dalam menulis.
BalasHapustrims
muhammad. A
caranya ya baca saja blog pak guru..., thaks
BalasHapus