Pola Belajar Siswa Cenderung Menunggu Komando Guru
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam bahasa Perancis kata “apprendre” berarti belajar, dan kata “travailler” berarti bekerja. Namun dalam percakapan “je me travaille”, bukan dimaksudkan sebagai “saya suka bekerja” tetapi “saya suka belajar”. Demikianlah orang Perancis, orang Eropa dan orang-orang dari negara maju kalau belajar mereka menghadapinya dengan sepenuh hati ibarat sedang bekerja. “Monsieur, kalau begitu bagi orang Perancis belajar itu adalah bekerja ?”
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam bahasa Perancis kata “apprendre” berarti belajar, dan kata “travailler” berarti bekerja. Namun dalam percakapan “je me travaille”, bukan dimaksudkan sebagai “saya suka bekerja” tetapi “saya suka belajar”. Demikianlah orang Perancis, orang Eropa dan orang-orang dari negara maju kalau belajar mereka menghadapinya dengan sepenuh hati ibarat sedang bekerja. “Monsieur, kalau begitu bagi orang Perancis belajar itu adalah bekerja ?”
Memang begitu bagi orang orang dan bangsa yang sudah punya budaya belajar bahwa mereka kalau belajar bersikap sungguh-sungguh, seolah-olah sedang mengerjakan sebuah proyek atau pekerjaan besar. Menjadi students bisa jadi dianggap sebuah profesi. Maka begitu anak belajar di primary school, secondary school dan university (SD, SMP, SMA, SMK, Madrasah dan Perguruan Tinggi) memandang bahwa menjadi students (siswa da mahasiswa) adalah sebagai profesi dan mereka telah punya budaya dan karakter untuk serius dalam belajar. Dapat kita katakan bahwa mereka belajar secara professional- sekali lagi, dengan serius dan penuh perhatian. Belajar tanpa terlalu banyak diperintah dan dikomandokan oleh orangtua, guru, dosen dan professor. Lantas bagaimana keprofesionalan, keseriusan dan kesungguhan, belajar generasi kita ?
Sebagian dari mereka sudah ada yang punya karakter dan budaya belajar serius sehingga mampu berprestasi di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dan bahkan memperoleh juara olimpiade. Mereka berasal dari rumah, sekolah dan lingkungan sosial yang punya budaya belajar. Namun cukup banyak dari generasi, teman-teman dan lingkungan kita sendiri yang belum begini. Itu disebabkan bahwa mayoritas dari siswa belajar tanpa target.
Belajar tanpa target terjadi karena kita (guru dan orangtua) bisa memberi mereka komando, kebiasaaan menggantungkan belajar pada guru, anak tidak terbiasa dalam membuat keputusan atau pendapat sendiri, mereka jarang punya pengalaman sukses/ berprestasi, karena terlambat berkenaan dengan buku, dan akibat korban disiplin yang serba berlebihan, juga karena akibat anak tidak boleh melakukan kesalahan.
Belajar tanpa target telah menjadi fenomena dalam kalangan (sebahagian) siswa. “Hari ini aku harus membantu ibu, setelah itu aku harus membaca buku membaca novel 20 halaman, besok aku ulangan harian sejarah dan aku membaca sejarah satu jam…” Memang jarang sekali siswa yang punya target atau menulis agenda untuk dilaksanakan setiap hari. Kecendrungan hidup tanpa target adalah efek negatif dari kehidupan mereka yang terlalu banyak dibantu oleh orang tua. Akibat banyak dibantu dan serba diarang maka banyak siswa yang miskin pengalaman, menjadi serba tidak terampil- gagap dalam membantu diri sendiri. Tidak tahu cara merapikan kamar sendiri, tidak terbiasa dalam mencuci pakaian, jarang atau tidak pernah terlibat dalam membersihkan rumah dan tidak berpengalaman bagaimana menggoreng sebutir telur.
Keluarga yang punya pembantu yang mengurus seluruh kebutuhan rumah telah membuat anak menjadi tahu beres. Makan, minum dan pakaian tingga beres saja. Akibatnya anak punya kelebihan waktu dan tidak memanfaatkannya secara efektif, kecuali kerjanya hanya mengelamun, memanjakan kulit (ber-make up) dan takut dengan cahaya matahari, kulit jadi hitam karena figurnya pada poster di dinding kamar berkulit putih, mengotak atik phone cell untuk mengirim sms mubazir, menghibur diri sepanjang waktu dengan mp3 mereka, dan asyik dengan kegiatan egosentris sehingga tidak peduli dengan lingkungan, apalagi jika juga tidak ikut dalam kegiatan sosial di sekolah dan masyarakat.
Karakter siswa yang lain adalah terbiasa belajar kalau ada komando atau perintah dari guru. “ Fajar, kenapa kamu tidak mengerjakan PR latihan nomor 13 ini”, kata seorang ibu. “Itu belum di suruh oleh ibuk guru”, jawab anaknya. Demikian prilaku belajar yang sangat tergantung bagi seorang anak tidak saja untuk siswa SD, malah sudah menjad fenomena bagi mereka yang belajar di tingkat SD, SMP, SMA, SMK, MAN dan sampai di Perguruan Tinggi. Kebiasaaan ini terbentuk karena mereka terkondisi dalam memandang bahwa belajar atau membaca buku pelajaran sebagai beban. Mereka baru belajar kalau sudah disuruh oleh guru karena topik tertentu akan diuji oleh guru di sekolah. Kalau demikian hal nya maka berarti mayoritas mereka masih memiliki motivasi ekstrinsik- yaitu motivasi yang masih datang dari luar. Kebisaaan ini juga terbentuk oleh streotipe (anggapan umum) bahwa anak atau siswa yang baik adalah anak yang patuh, mengikuti perintah dan menghentikan larangan, “Kalau tidak disuruh membaca buku, ya buat apa harus membaca”.
Selalu mengantungkan pembelajaran pada guru sangat umum dilakukan oleh banyak pelajar. Dapat ditelusuri bahwa ini adalah akibat negatif dari pola pembelajaran teacher centered yang berkepanjangan, yaitu pembelajaran yang terpusat pada guru. Dalam aktifitas belajar dalam poa begini gurulah yang selalu aktif dan siswa pasif. Apa yang dikatakan oleh guru maka itulah yang benar. Dalam anggapan siswa bahwa semua ucapan guru “mutlak benar dan takut untuk dibantah, karena kalau sang guru tidak sudi maka nilai kita bisa merah dalam rapor”.
Kelas tradisionl, walau gedungnya sudah mewah, dengan setting bangku yang berbaris menghadap guru, sehingga siswa harus duduk dengan manis, mendengar semua penjelasan guru, tidak boleh menyela, apalagi mengganggu, “kalau terkesan menyela lebih baik mengusir sang siswa ke luar kelas”. Guru tidak boleh diprotes dan dibantah. Pembelajaran dalam gaya begini terjadi sepanjang masa, dari generasi ke generasi, dan telah membentuk pola belajar siswa hingga menjadi serba tergantung pada siswa.
Ciri lain yang membuat siswa kita berbeda dari siswa di negara maju adalah tidak terbiasa dalam membuat keputusan. Pola hidup seperti ini bisa jadi pola yang terbawa dari rumah. Kecuali bagi orang tua yang membiasakan kebersamaan- selau makan bersama, ngobrol bersama alam keluarga, sehingga setiap anggota keluaga bisa ngobrol menyampakan fikiran, unek-unek yang terasa dalam hati. Setiap anggota keluarga berhak berbicara dan juga harus mendengar. Maka mereka akan terpola menjadi berani dan mandiri dan bisa mengambil keputusan. Namun ini tidak berlaku bagi keluarga yang tidak punya hubungan komunikasi yang utuh, kecuai di sana yang terdengar adalah gaya bahasa satu arah yang berisi anjuran, nasehat, ancaman dan larangan “ kamu harus…., kamu tidak boleh…..!”. Atau contoh kongkritnya “pergilah mandi nak.., pergilah makan…, pergilah belajar…!”.
Kadang-kadang kita menjadi orang tua yang hanya pintar menyuruh tanpa harus memberi model dan anak harus menjadi manusia yang serba patuh. Dalam suasana komunikasi yang begini biasanya jarang tercipta pola kebersamaan. Ibu punya kesibukan sendiri, ayah juga asyik dengan kegiatannya dan anak sibuk menonton televisi karena televisi sudah menjadi surrogate mother atau ibu asuh bagi anak agar betah di rumah.
Fenomena lain dalam pendidikan adalah bahwa juga banyak siswa yang jarang punya pengalaman berprestasi. Ini adalah dampak dari anak yang miskin dalam melakukan pengalaman hidup, akibat kita sebagai orang tua yang gemar serba melarang. Pada dasarnya anak-anak waktu kecil suka bekerja, bermain kreatif. Saat sang ayah sibuk membetulkan mesin motor maka anak juga asik membantu dengan tangkai obeng. “Ini adalah mengganggu di mata sang ayah dan harus dilarang”, namun asal melarang saja telah mematikan semangat kreatif bekerja mereka. Kecuali bagi ayah bijak, ia akan memberi anak kesempatan untuk beraktifitas pada sisi motor yang lain, yang tidak merusak.
Begitu pula saat ibu sibuk memasak, memotong sayur dan ikan di dapur, maka si upik juga membantu dan kesan dimata ibu adalah bahwa sang anak juga sedang mengganggu. Pada hal dalam naluri anak bahwa ia sedang mempelajari life skill atau keterampian hidup, mana tahu kelak bila dewasa ia akan memiliki restoran super internasional. Maka asal serba melarang sangat potensial mematikan aktifitas dan kreatifitas anak.
Demikianlah fenomena yang terjadi dalam ratusan ribu atau jutaan rumah di Indonesia. Tunas-tunas bangsa yang ingin beraktifitas sesuai dengan kodratnya karena dianggap mengganggu telah kena gusur untuk tidak banyak melakukan eksperimen dalam hidup. Pada hal yang mereka butuhkan adalah ingin mencoba. Bila orang tua cukup bijaksana, maka mereka tidak perlu mematikan potensi kreatif anak melalui penyediaan sarana serba kecil buat si buyung dan si upik, seperti sapu kecil, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul dan item-item lain yang layak untuk digunakan oleh anak.
Anak-anak yang kaya dengan pengalaman beraktifitas, karena diberitanggung jawab- bisa memasak, bisa mencuci, bisa merapikan kamar, bisa menjaga warung, bisa bekerja di kebun, bisa memasak telur dadar, dan lain lain. Kemudian kalau mereka bisa menyelesaikan sebuah tanggung jawab, memperoleh penghargaan dari orang tua maka tentu itu adalah wujud dari pengalaman sukses dalam hidup.
Terlambat berkenalan dengan buku juga menjadi penyebab banyak anak kurang terbiasa belajar dengan sungguh-sungguh. Dalam menumbuh kembangkan pengalaman anak umumnya orangtua memperkenalkan dan menyediakan permainan elektronik dan permainan konvensional seperti boneka, mobil-mobilan, pesawat-pesawat, layang-layang, dan sebagainya. Namun amat jarang bagi ayah dan ibu yang memperkenalkan bacaan- majalah dan buku cerita. Kalaupun ada hanya nanti lewat guru Tk yang memperkenakan majalah kanak-kanak, tetapi nanti tidak ada kelanjutan dari pihak orang tua untuk menanamkan kecintaan pada bacaan. Maka jadilah bahan bacaan, buku, majaah, komik, novel dan sebagainya menjadi hal yang langka daam kehidupan mereka. Pada hal anak-anak yang doyan membaca sejak usia kecil, di sekolah kelak mereka juga harus membaca, maka mereka tidak akan punya masalah dengan buku-buku saat belajar di SD, SMP, SLTA dan sampai Keperguruan Tinggi. Sekali lagi bahwa pola belajar anak cenderung menunggu komando banyak penyebabnya,maka untuk mengatasi sejak dini adalah dengan membantu anak agar punya agenda kegiatan dalam hidup mereka, stimulasi agar mereka terbiasa untuk punya inisiatif dalam belajar dan bekerja, orangtua perlu membantu agar mereka terkondisi belajar secara otodidak dan mandiri. Orang tua juga perlu memperkenalkan bahan bacaan sejak usia diri dan mereka perlu diberi tanggung jawab yang diikuti dengan penghargaan bila selesai beraktifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them