Selasa, 12 Februari 2013

KEDATANGAN DI TANAH KANGGURU

Kedatangan Di Tanah Kangguru

1. Sambutan Hangat Prof. Ismet Fanany
            Ternyata style Pak Ismet Fanany memang seperti yang diceritakan oleh Bapak Shadiq Passadigu (Bupati Tanah Datar). Orangnya ramah, welcome dan sangat menolong. Sementara itu istrinya, Dr Rebbeca Fannany, orangnya tenang, anggun, mudah senyum dan berbicara seperlunya.
Pak Ismet langsung mengajak kami menuju mobilnya- seperti jeep atau land-cruiser. Inhendri Abbas tampak sangat mengagumi mobil Pak Ismet. Katanya bahwa diperkirakan harga mobilnya, keluaran pabrik mobil Nissan, hampir satu milliard Rupiah. Kami semua bergerak menuju mobil yang punya nomor polisi YBO-508, Victoria- the place tobe. Dari belakang aku lihat Pak Ismet menenteng tas kecil dan juga menghela koper. Pak Ismet terlihat sibuk dengan barang- barang itu, lebih sibuk dari pemilik barang/ bagasi itu sendiri.  Aku tahu kedua bagasi itu milik Desi. Aku segera mendekati Desi.
“Dessi…!!! Jangan biarkan Pak Professor membawa barangmu seperti itu. Pak Ismet itu Professor hebat disini”. Kataku separoh berbisik pada Dessi. Dan Dessi jadi sadar, ia bergegas mencegah Pak Ismet untuk membawa bagasinya.
“Maaf Pak…..tidak usah bawa bawa bagasi saya….biar saya yang membawanya…!!!” Kata Dessi dengan rasa bersalah. Dan ternyata Ibu Rebbecca ikut pula menjinjing bagasi kami.
“Ah itu tidak masalah Dessi. Professor di sini juga bisa menjadi sopir hingga menjadi tukang angkat” Kata Pak Ismet sambil berseloroh dan aku lihat Ibu Rebbeca ikut tersenyum mendengar selorohan Pak Ismet. Kami semua mengikuti langkah Pak Ismet dan Bu Rebbecca yang cukup cepat. Sambil melangkah, mereka bercerita cerita seputar way of life orang Melbourne dan pengalaman hidup mereka..
Akhirnya kami semua sudah duduk dalam mobil yang nyaman itu, dan mobil melaju di atas jalan raya yang lebar dan mulus. Aku tidak tahu dengan nama- nama daerah yang kami lalui maka mataku cukup liar membaca segala sesuatu yang terlintas di depan. Kota Melbourne adalah sebuah kota paling besar di Australia namun terasa sepi mungkin kami punya pembandingnya kota Jakarta. Jalan raya yang kami lalui memang sangat bagus pada hal itu bukan jalan toll- jalan bebas hambatan, namun juga sepi…mobil yang lewat juga jarang.
Kedua sisi sepanjang  jalan sering aku temui diberi pagar dengan tembok tinggi. Buat apa ya…! Aku berfikir dalam hati mengapa musti diberi pagar tinggi dan kemudian aku tahu bahwa itu salah satu usaha pemerintah Australia untuk menyelamatkan hewan Australia seperti kangguru atau koala agar tidak ada yang tersesat ke jalan raya dan ditabrak oleh mobil dengan kecepatan tinggi. Setelah berada lama di Australia, apakah Pak Ismet sudah lupa dengan tanah airnya (?).
“Bapak Ismet….sering datang ke Indonesia ?” Tanyaku pada Pak Ismet untuk memecah kebekuan dan mengajak teman- teman lain untuk mulai mengobrol.
“Sering juga….dalam tahun ini kami datang ke Indonesia sebanyak 3 kali. Saya ke Indonesia untuk urusan seminar, membuat kerja sama pendidikan dengan suatu sekolah atau MoU dengan suatu sekolah atau perguruan tinggi, ya MoU tentang pendidikan dan juga untuk melakukan suatu riset. Hitung- hitung juga untuk bisa pulang kampung”. Kata pak Ismet dengan bersemangat.
Sudah hampir tengah hari dan tentu saatnya untuk waktu makan siang. Maka rencana kami menuju sebuah mall atau restaurant. Sepanjang jalan aku mendengar tape recorder Pak Ismet melantunkan lagu-lagu Minang nostalgia. Jadi Pak Ismet pencinta lagu Minang ya dan bukan mencintai lagu Michael Jackson (?). Aku perhatikan bahwa koleksi kaset lagu Minang Pak Ismet sangat banyak. Buk Rebecca sendiri menyimpannya dalam sebuah box plastic yang cukup besar.
“Mengapa Pak Ismet tidak memutar lagu Australian Country atau lagu- lagu yang popular di dunia dalam bahasa Inggris ?” Tanyaku karena ada rasa ingin tahu.
“Ya untuk menyambut kedatangan bapak dan bu (anda semua) ke sini agar tidak terasa terlalu asing di Australia dan juga untuk mengingatkan saya pada kampung halaman saya. Juga untuk mengobat rasa rindu- homesickness”. Kata Pak Ismet menjelaskan.
“Saya malah kalau lagi berada di Padang, saya suka berkunjung ke toko kaset (toko musik) dan saya paling suka mencari lagu Minang untuk melengkapi koleksi lagu- lagu Minang saya. Lagu yang sedang saya putar ini mungkin sekarang sudah susah untuk dijumpai”. Kata Pak Ismet lagi.

2. Mengenal Australia Lebih Dekat
Pertamakali menginjak kaki di Bandara Sydney dan Melbourne  sudah dapat dirasakan tentang ragam budaya dan gaya hidup negara Australia. Beragam budaya dan gaya hidup Australia mencerminkan tradisi liberal demokratis dan nilai-nilai, kedekatan geografis untuk kawasan Asia-Pasifik dan pengaruh sosial dan budaya dari jutaan migran yang telah menetap di Australia sejak Perang Dunia II.  Ya….benar bahwa Australia adalah produk dari perpaduan unik dari tradisi mapan dan pengaruh baru. Penduduk asli negara itu, Aborigin dan Torres Strait Islander masyarakat, adalah penjaga dari salah satu tradisi tertua di dunia budaya melanjutkan. Mereka telah tinggal di Australia selama selama ribuan tahun dan sisanya orang Australia adalah migran atau keturunan migran yang tiba di Australia dari sekitar 200 negara sejak Inggris mendirikan pemukiman Eropa pertama di Sydney Cove pada tahun 1788.
Pada tahun 1945, penduduk Australia adalah sekitar 7 juta orang dan terutama Anglo-Celtic. Sejak itu, lebih dari 6,5 juta migran, termasuk 675 000 pengungsi, telah menetap di Australia, secara signifikan memperluas profil sosial dan budaya.  Saat ini Australia memiliki penduduk lebih dari 21 juta orang. Lebih dari 43 persen warga Australia lahir di luar negeri baik sendiri atau memiliki satu orangtua yang lahir di luar negeri. Penduduk asli Australia diperkirakan di 483 000, atau 2,3 ​​persen dari total.
Banyak orang yang datang ke Australia sejak tahun 1945 termotivasi oleh komitmen keluarga, atau keinginan untuk lepas dari kemiskinan, perang atau penganiayaan. Gelombang pertama para migran dan pengungsi kebanyakan berasal dari Eropa. gelombang berikutnya datang dari kawasan Asia-Pasifik, Timur Tengah dan Afrika.
            Berarti ini adalah hari pertama kami di Melbourne dan hal pertama yang aku ingin tahu dan tanya langsung adalah tentang  Australia dan Melbourne. Ya…..penduduk Australia dewasa ini ada sekitar 22 juta orang dan penduduk kota Melbourne ada 4 juta orang. Jadi benua Australia adalah ibarat sebuah pulau besar dengan penduduk yang cukup sepi atau sedikit. Seperlima penduduk Australia hanya ada di kota Melbourne.
            “Saya rasa bahwa total penduduk Australia….ya sebanyak penduduk Jabodetabek- atau daerah yang meliputi Jakarta Bogor Depok Tanggerang Bekasi” Timpal Pak Ismet.
            “Dan bahwa 40 % penduduk Australia tidak lahir di Australia. Mereka adalah pendatang/ immigrant dan lahir di negara asal mereka di Eropa dan juga di Asia”. Kata Pak Ismet melanjutkan.
            Dalam mobil itu hanya ibu Rebbeca sendiri yang keturunan kulit putih/ Amerika Serikat. Sementara itu kami semua dan juga suaminya (Pak Ismet) sangat asyik ngobrol dalam Bahasa Indonesia dan malah juga dalam bahasa Minang. Aku piker bahwa Ibu Rebbeca tidak tahu bahasa Minang.  
            “Ibu Rebecca mengerti bahasa Minang dan juga bahasa Indonesia…kemudian mengapa Ibu Rebecca mencintai bahasa Indonesia ?” Aku bertanya dengan rasa penasaran.
“Ya saya sangat mengerti dengan Bahasa Indonesia karena saya dosen Bahasa Indonesia. Saya juga mengerti Bahasa Minang tetapi saya tidak bisa mengucapkan bahasa Minang” Kata Bu Rebecca dalam aksen bahasa Indonesia dengan lidah Amerika. Jadi kedengarannya enak untuk didengar.
“Saya sekarang mengajar bahasa Indonesia di Universitas Deakin di kota ini / Melbourne. Pada mulanya saya tidak suka bahasa Indonesia dan saya juga tidak kenal dengan kota Jakarta. Saya dulu kuliah di Cornel University USA. Saya memperoleh beasiswa dari program departemen pertahanan Amerika Serikat dan ia membuka program Bahasa Asia dan saya direkomendasikan untuk belajar Bahasa Indonesia. Dan di situ saya berjumpa dengan Ismet Fanany”. Kata Rebbeca.
“ Kami sering bertemu dan juga bertukar pendapat hingga timbul rasa simpati dan saling menyukai. Selanjutnya kami berkenalan dan tentu ada proses selanjutnya. Kami memutuskan untuk menikah dan dalam perkawinan kami, saya mempunyai dua orang anak. Satu laki- laki dan satu perempuan”. Kata Rebbeca lagi.
“Anak saya yang besar suka tekhnik dan anak yang kecil suka musik. Ia juga sedang mengambil program Doktor. Jadi mereka punya minat yang berbeda”. Demikian Ibu Rebecca menjelaskan sejarah singkatnya.
“Pendidikan mereka tentu harus melebihi pendidikan orang tua mereka. Anak saya yang besar juga sudah menjadi dosen sekarang”. KataPak Ismet menyela pembicaraan kami. Pak Ismet dan Ibu Rebbecca menikah pada tahun  1979, berarti pernikahan mereka sudah cukup lama juga.
Mobil Pak Ismet tetap melaju dan kemudian kecepatannya berkurang hingga bergerak menuju tempat parkir pada sebuah plaza. Aku melihat pada areal parkir plaza, pada tiap tonggak terdapat nomor. Itu berguna untuk menandai pada nomor berapa mobil anda berlokasi. Sekali lagi bahwa Pak Ismet tahu bahwa kami semuanya pasti sudah merasa sangat kelaparan dan juga merasa sangat mengantuk, karena terbang ke Australia dari Jakarta berarti menyonsong waktu, malam terasa amat singkat hingga kami hampir tidak punya waktu buat tidur, Kami terus terang diserang rasa kantuk yang hebat.
Aku mengiyakan segala perkataan Pak Ismet. Pak Ismet membawa kami ke dalam sebuah outlet masakan oriental, tentu saja masakan kesukaan Pak Ismet dan ibu Rebecca. Plaza yang kami kunjungi terlihat megah. Aku percaya bahwa tentu saja Pak Ismet ingin memberi sebuah kejutan (big surprise) untuk makan siang di sana buat kami. Kami mengikuti lankah pak Ismet kemana saja ia pergi, ya ibarat anak kecil ikut dengan orang tuanya.  
Terus terang bahwa aku juga lapar dan aku memilih makanan yang kira-kira sesuai dengan seleraku. Aku antri di belakang warga kulit putih. Sementara itu aku mengintip jenis menu dari balik kaca lemari saji.
“Wah…aku merasa lapar bangeet. Aku membaca ada masakan yang bermerek Melayu. Itu …itu aku suka, bumbunya harum”.
“Ada Malay food, tapi di belakang piring saji itu ada hidangan lain yaitu steamed pork atau babi rebus pakai bumbu. Astaghfirullah….aku orang Islam, nggak boleh makan babi. Aku mulai merasa was- was dan mecurigai bahwa ada makanan yang tidak halal bercampur baur dengan makanan halal”. Aku mencubit pundak Inhendri Abbas dan selera makanku hilang sama sekali.
“Mau memesan apa Pak Inhendri ?” Aku bertanya Inhendri. Aku rasa Inhendri mencari makanan yang juga halal, namun ia harus menambah kosa-kata bahasa Inggrisnya. Kira- kira Inhendri tahu nggak dengan arti kata pork, ham, beacon, dll yang berarti babi (?).
“Aku suka masakan Melayu” Kata Inhendri Abbbas.
“Tapi anda harus lihat di depannya ada steamed pork ?” Kataku
“Apa itu steamed pork ?” Inhendri bertanya.
Steamed pork berarti babi rebus,…lihat tu….kadang kadang sendok steamed pork juga jatuh ke piring hidangan Melayu” Aku berbisik dan memberi komentar. Inhendri juga kehilangan selera makan dan kami memilih hidangan yang paling berseberangan arah dengan makanan yang haram. Aku memilih sayur- sayuran namun aku tetap tidak berselera untuk menyantap hidangan karena saraf seleraku pada otak sudah terganggu oleh konsep makanan tidak halal.
“Aku memilih nasi dan sayur yang lokasinya terletak jauh dari daging babi. Entah bagaimana aku dan dua teman lagi tidak bisa menghabiskan makanan. Sementara itu Pak Ismet dan Ibu Rebecca tenang- tenang saja, mereka mampu makan dengan lahap meskipun mereka dikelilingi oleh makanan beraroma tidak halal”.     

Sydney- Melbourne


Sydney- Melbourne

1. Sebuah Pengalaman Transit
            Kami masih berada dalam gate 2 di bandara domestic Sydney. Aku merasa senang menuliskan pengalaman pribadi dan kemudian aku juga membaca- baca koran lokal. Sementara itu Desi dan juga Inhendri Abbas melihat lihat foto lewat hape mereka. Penumpang yang bakalan terbang satu pesawat denganku untuk menuju Melbourne sudah mulai berdatangan ke gate 2. Sambil menunggu penerbang berikutnya aku cari info tentang Sydney. Dalam hati aku berfikir:
“Seperti apa tinggal di Australia khususnya Sydney? Hmm seperti apa yah? Yang jelas kehidupan di Sydney ada yang sama dan ada yang beda dengan negara lain”. Beberapa hal tentang kehidupan di Sydney (http://achmad.glclearningcenter.com) yaitu bahwa:
1). Sydney adalah kota busniss dan turis, sehingga banyak festival atau acara disana. Bagi orang- orang yang suka dengan festival, tentu saja Sydney adalah tempatnya.
2). Sebagai kota turis, banyak tempat yang bisa dikunjungi. Sebernarnya tempatnya biasa-biasa saja, cuman di make-up dengan baik kemudian didukung dengan marketing yang gencar sehingga jadi object tujuan turis.
3). Orang Sydney ramah & baik. asal kita berani ngomong aja, mereka mau membantu orang asing.
4). Australia menggunakan Sistem 2 mingguan (fortnightly) untuk aktivitasnya,  misal bayar sewa setiap 2 minggu, gajian juga dibayar setiap 2 minggu.
            “Alhamdulillah suhu udara di Sydney masih seperti suhu di Indonesia. Sebelumnya aku sempat merasakhawatir kalau suhu di sini lebih dingin, karena aku tidak membawa jaket. Desi juga sudah mencari tahu lewat internet bahwa suhu di sini cukup hangat, maklum sudah di permulaan musim panas”.
            Aku melepaskan pandangan ke sekeliling. Dari kejauhan aku memperhatikan keluarga muda Australia dengan dua anak mereka yang masih kecil. Orang tua muda tersebut cukup sabar mengasuh anak- anak mereka yang agressif- pegang ini dan pegang itu. Aku melihat ibu muda Australia tidak pernah membentak anaknya yang mungkin terlihat sedikit usil. Ia tetap bersikap manis, jadi ia tidak mengatakan “jangan….jangan…jangan” atau seribu kata- kata omelan dan larangan.
            Di depanku duduk sepasang suami istri yang usianya sudah tua- kakek nenek. Penampilan mereka tetap modist- memakai celana jean dan sepatu olah raga ala remaja. Mereka selalu berkomunikasi, saling berpegangan jari dan terlihat sangat akrab.
            Kami duduk sudah agak lama di gate 2, namun belum terlihat isyarat/ tanda- tanda keberangkatan. Pada hal aku merasa sudah agak lama menunggu untuk terbang. Aku memutuskan untuk melihat layar monitor di luar gate 2.
            “Kita harus pindah, karena QF 423 tujuan Melbourne pindah ke gate 4. Kita pindah ke sana segera”. Untuk memastikannya aku kembali bertanya pada customer service.
            “Oh..betul….betul, untung aku lihat keluar (lihat monitor) kalau tidak sering melihat kita bisa kehilangan pesawat. Meskipun bahasa Inggrisku bagus namun aku kalau tidak konsentrasi juga kesulitan untuk mendengar pengumuman dari suara flight attendant yang ngomongnya kelewatan cepat. Beda dengan bahasa Inggris yang dibacakan dibandara Padang atau Jakarta, sangat jelas dan bahasanya dieja- eja ”. Wah betul ..kalau kita malu bertanya, bisa jadi sesat di terminal internasional.
            Pramugari peswat Qantas domestic juga terlihat berusia tua- sama halnya dengan pramugari pesawat Qantas internasional rute Jakarta- Sydney. Meskipun mereka terlihat tua namun mereka tetap berpenampilan sangat rapi, cerdas dan cantik.
            Pesawat kami meluncur meninggalkan landasan pacu bandara Sydney, kemudian terbang tinggi ke angkasa. Dari ketinggian aku lihat bahwa ternyata bandara Sydney berada di pinggir pantai. Setelah peswat terbang lebih tinggi aku melihat landscape daratan  kota Sydney. Tidak begitu padat, jalan rayanya juga terlihat sepi oleh transportasi public.
            Bule- bule dalam pesawat domestic terlihat saling kenal satu sama lain dan tidak terlibat begitu individualis layaknya dalam pesawat internasional. Mereka ternyata berprilaku seperti penumpang pesawat domestic kita- saling ngobrol, makan-makan, mendengar music dan juga membaca. Terlihat kaum wanitanya lebih suka membaca dan yang pria lebih suka main game
            Lagi- lagi aku melihat sepasang kakek-nenek yang terlihat begitu mesra. Mereka saling mengenggam jari dan ngobrol dari hati ke hati. Aku tidak tahu kalau- kalau ada kakek-nenek di kampung kita yang juga terlihat romantik. Ternyata cinta perlu dirawat hingga tua- sampai menjadi kakek- nenek.
            Setelah terbang hampir 2 jam, akhirnya pesawat mulai terbang lebih rendah. Awak peswat mengumumkan bahwa kami telah berada dalam wilayah kota Melbourne. Aku melihat pemandangan kota Melbourne, di bawah terlihat banyak bangunan namun juga tidak begitu tinggi. Kota Melbourne menyisakan banyak  tanah kosong yang ditumbuhi pohon- pohon yang tidak begitu lebat.



2. Melbourne, Here We Come..!!!
            Akhirnya pesawat Qantas domestik berhenti dan kami akhirnya harus ke luar pesawat dan Melbourne adalah destinasi akhirku di Australia. Kami pergi ke kounter untuk pengambilan bagasi. Aku membayangkan suasana penyambutan seperti di Cengkareng atau di BIM dengan penyambut yang berjubel di luar. Inhendri sudah mengontak Prof. Ismet Fanany. Melbourne here we come- Melbourne ini kami datang. Ya Melbourne adalah kota destinasi kami. 
            Kami segera keluar terminal di daerah zone 4. Aku tidak mengenal siapa yang bakal menyambut kami atau Prof. Ismet itu seperti siapa ya (?). Selama hidup aku belum pernah jumpa dengan Prof Ismet. Kami belum melihat ada tanda- tanda kedatangan Prof. Ismet. Dalam hati aku berfikir…kalau ternyata Pak Ismet berhalangan atau sakit…siapa yang bakal menunggu kami atau kami mau kemana. Fikiran ini tentu tidak aku ungkapkan pada dua temanku.
            “Hey…kami sudah menunggu sejak tadi, kenapa tidak melihat kami….?” Tanya Prof. Ismet agak heran. Aku merasa bersalah dengan statemennya dan aku tidak ingin dianggap orang yang sombong atau tidak tahu etika pergaulan.
            “Maaf Pak, kami membayangkan suasana penyambutannya seperti di Indonesia, dimana penyambut menunggu di luar. Itu makanya kami ke luar untuk lihat sana dan lihat sini. Ternyata suasana terminal Indonesia jauh berbeda dengan terminal bandara di Australia”. Demikian aku membela ketidak tahuan kami dengan kehadiran Prof Ismet dan istrinya Dr Rebecca. Prof akhirnya memahaminya, ia kemudian menyebut nama kami dan mencocokannya dengan wajah kami.
“Thanks Pak Ismet. mArjohan memang nama saya, yang cantik ini Desi dan yang berwibawa adalah Inhendri Abbas”. Kata ku lagi memberikan konfirmasi pada Pak Ismet dan Dr. Rebbeca.  

Jakarta- Sydney


Jakarta- Sydney

1. Air Port Antar Bangsa
            Bandara Sukarno- Hatta tentu saja merupakan bandara modern dan terbesar di Indonesia. Usai mengambil koper pada bagasi counter, kami segera keluar  untuk menemukan toilet dan musholla buat sholat zuhur- pengganti sholat Jum’at dan melakukan sholat jamak zohor dan ashar. Kami selanjutnya beristirahat dan ingin menikmati makanan siang (lunch) pada gallery restoran. Desi Dahlan yang kami tunjuk sebagai bendahara selama perjalanan segera memesan makanan.
            Aku memesan masakan Padang karena nanti kalau sudah di Australia aku bakalan susah untuk menemui makanan Padang. Sementara itu Pak Elfan mengontak biro perjalanan untuk segera bisa  mengantarkan tiket, passport dan visa kami. Lagi- lagi aku meminta Inhendri Abbas untuk menjepret wajahku melalui kamera phonecell. Seperti biasa bahwa aku segera mengupload foto dan berita dimana saja berada pada wall FB-ku agar teman- teman juga mengikuti kisah perjalananku ke Australia.
            “Wow…hidangan kesukaanku, nasi pake asam pedas ikan tongkol dan juga ada goreng terong dan goreng petai campur cabe muda”. Aku selalu terbiasa untuk memilih hidangan seafood/ ikan laut dari pada goreng  ayam atau daging sapi, karena kadar kolesterol ikan lau lebih rendah dan berarti lebih sehat. Berapa harga satu porsi ?
            “Di restaurant di komplek bandara ini, harga makanan kadang kala bukan menurut porsi atau ukuran piring namun per item. Misalnya harga satu piring nasi, sekeping ayam dan sekeping gulai ikan”. Demikian penjelasan Desi Dahlan. Masakan Padang memang selalu cocok pada lidahku dan juga pada lidah banyak orang. Itulah hebatnya restaurant Padang ada di mana- mana di nusantara ini. Malah juga merambah ke berbagai manca negara, aku berharap bisamenemui restoran Padang di Australia.
            Aku menghabiskan semua makananku, aku tidak terbiasa menyisakan makanan- itu namanya mubazir dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Malah pada berbagai restaurant di Singapura juga ditulis di dindingnya “Love food and hate waste- jangan mubazir makanan”.  Sementara orang- orang kita kalau makan, di restaurant dan juga di tempat pesta, terkesan punya prilaku suka mubazir.
            “Mereka ambil segala lauk pauk dan menumpuk ke atas piring, kemudian hanya memakannya sedikit dan menyisakannya. Pergi dan membiarkan makanan banyak mubazir. Aku bersedih melihat perilaku bangsa kita ini saat makan pada setiap pesta perkawinan…mereka gemar mubazir…menyisakan banyak makanan. Perilaku ini mutlak untuk dibuang”. Aku berfikir bahwa ini termasuk gaya hidup yang dibuat-buat dan menganggap cara demikianlah yang menggambarkan sebagai orang berbudaya- pada hal itu adalah salah besar.  Ada kesan bahwa orang kita merasa gembira kalau ia dikatakan berprilaku boros atau tidak hemat dalam hidup.
            Menunggu selalu terasa membosankan. Aku mengatasi rasa bosa dengan cara berbincang- bincang dengan Desi- temanku dan ia juga seorang guru berprestasi nomor 1 tingkat nasional yang juga mengajar di Batusangkar- aku bertanya mengapa ia memilih karir sebagai guru. Aku tidak mau mengganggu Inhendri yang sering menelpon ke kampungnya, karena anaknya tadi pagi agak rewel saat ia berangkat.  
            “Oh ya, saat di SMA saya juga ingin melanjutkan kuliah ke fakultas kedokteran, namun saat itu belum ada program bidik misi, bea siswa- ya semacam program kuliah dengan biaya murah. Apalagi ayah saya hanya seorang PNS biasa dan ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara itu di sekolah saya punya guru biologi yang begitu smart dan saya mengidolakannya, akhirnya saya memutuskan diri masuk ke jurusan biologi dan menjadi guru biologi saja, ya itu ceritanya”. Kata Desi Dahlan
            Hurry up….hurry up..!!” Kataku begitu melihat Pak Elfan segera berdiri. Itu sebagai isyarat bahwa tiket, paspor dan visa kami sudah siap diproses. Seorang pria datang, namanya Niman. Niman adalah seorang pegawai dari biro perjalanan dan juga bertugas untuk urusan AC atau arrival check in, kali ini ia bertugas untuk membantu urusan penerbangan kami ke Australia.     
            Terasa lapar lagi, Desi memutuskan untuk pergi mencari toko makanan lagi dan aku menemaninya untuk mencari makanan spesifik dari Indonesia buat Pak Ismet nanti di Australia. Makanan spesifik asli Minang atau Padang tidak ada, kecuali makanan spesifik dari Jawa Barat. Itu oke jugalah dan kami pilih yang punya rasa pedas. Selanjutnya kami bergegas menuju terminal 2 di Cengkareng ini untuk tujuan keberangkatan internasional, kami harus mencari taxi untuk menuju ke sana.
Di terminal 2, Niman memberi masing-masing kami satu tiket, visa dan passport. Sebagai penggantinya kami harus membayar biaya penerbangan Jakarta- Sydney- Melbourne- Sydney dan kembali ke Jakarta sebanyak Rp. 45 Juta. Uang tunai yang dipegang Desi tentu saja sudah menyusut dari dalam dompetnya.   
Kami selalu tidak lupa dengan urusan ibadah dan kami melakukan sholat jamak magrib dan isya pada sebuah praying room (musholla). Jadi aku nanti tidak perlu lagi shalat isya dalam pesawat Qantas. Aku memperhatikan bahwa orang- orang yang sholat pada musholla itu sangat taat, sholatnya khusuk dan pribadi mereka terlihat tenang dan juga wajah mereka bercahaya. Beda dengan suasana di luar musholla, orang banyak yang lalu lalang namun saling tidak mengenal satu sama lain.
Niman menjelaskan pada kami mana yang visa dan mana yang kertas buat mengambil tiket rute Jakarta- Sydney dan Melbourne. Ia juga memberi beberapa penjelasan tambahan dan nasehat- nasehat kecil yang bakalan berguna selama perjalanan kami. Oh ya…kami ingin membeli dollar. Ia kemudian mengantarkan kami ke counter money changer dan ia kemudian say good bye pada kami.
Kami bermaksud menukarkan mata uang Rupiah ke dalam Dollar Australia, namun jumlah mata uang dollar Australia ternyata terbatas. Pegawai money changer mengupayakan bantuan, ia membawa lembaran pecahan ratusan ribu rupiah dan pergi ke counter temannya yang terletak agak jauh. Lama juga kami menunggu pegawai tersebut. Tiba- tiba kami mendengar suara pengumuman dari speaker di terminal ini.
Attention please to all passengers of Qantas Flight  from Jakarta to Sydney to be on board”. Itu berarti bahwa process boarding ke dalam pesawat Qantas internasional mulai bergerak.
Oh my God…..”. Kami mulai jadi gusar, pegawai money changer yang sengaja mau menukarkan mata uang kami dan juga membawa uang kami belum juga muncul.
“Kalau anda tidak memiliki cukup mata uang Australia maka….kembalikan uang kami”. Kami mulai mendesak. Petugas money changer juga tampak panik karena ia juga tidak memiliki mata uang rupiah.
“Oke mbak, kalau anda tidak punya mata uang Dollar Australia dan juga uang kami/ Rupiah, maka kami ambil saja Dollar Amerika sejumlah uang kami….” Aku mengusulkan sebuah alternative maka temanku dan juga pegawai money changer menyetujuinya. Ia menyerahkan sejumlah Dollar Amerika dan kami buru- buru menghitungnya, setelah itu berangkat dari sana.
“Oke…bagus, dari pada kita ketinggalan peswat dan kehilangan uang Rp. 45 Juta. Jangan- jangan gara- gara mengharap uang yang jumlahnya lebih kecil, kami kita kehilangan yang lebih besar yaitu tiket dan biaya perjalanan ke Australia yang cukup mahal buat ukuran kantong kami”. Kata ku pada Inhedri dan Desi sambil berjalan. Kami buru- buru melangkah menuju Gate D.6.
Where is gate D.6…?” Tanyaku pada salah seorang security dan ia menunjukan arah menuju halte keberangkatan. Orang-orang di wilayah sana juga meresponku dalam bahasa Inggris, barangkali mereka menduga mungkin aku warga Singapore atau dari Vietnam. Sebab wajahku juga mirip dengan wajah warga negara tersebut. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya kami sampai pada counter pemeriksaan koper dan tas dengan metal detector ya..untuk mendeteksi kalau- kalau ada benda yang mencurigakan dalam tas ku seperti pistol atau granat, ha ..ha ha..ha.
Nafas kami masih tersengal- sengal setelah berjalan kencang dan kami memutuskan untuk duduk pada ruang tunggu. Di sana aku melihat mayoritas warga berkulit putih. Mereka membawa family/ anak anak mereka berlibur- pulang liburan di Indonesia, mungkin di Yogyakarta, Bali dan lombok. Bedanya mereka terlihat sedikit berusia matang sementara anak- anak mereka terlihat masih kecil- kecil. Ya aku tahu bahwa mereka cukup berani untuk menikah dan punya anak setelah merasa cukup mapan di atas usia 30-an, malah mendekati usia 40-an. Kalau warga kita terlihat punya anak dalam usia yang lebih muda- di atas usia 20-an.   
 All passengers of Qantas Flight proceed on board…!!”. Instruksi suara pramugari membuat penumpang begerak menuju pesawat. Tentu saja yang masuk lebih dulu adalah penumpang business class dan setelah itu baru economy class yang dimulai dengan nomor 51. 
Aku menempati bangku nomor 51.F. Aku sedikit kaget, kalau dalam peswat Lion Air dari Padang, semua pramugari terlihat sangat muda dan cantik- cantik. Namun flight attendat pesawat Qantas ini terlihat sudah berumur tua- seperti nenek- nenek saja. Akhirnya pesawat bergerak menuju landasan pacu dan setelah aman membubung menuju langit yang penuh bintang. Pesawat ku terbang menuju arah timur.

2. Kesibukan Dalam Pesawat
Aku tidak bisa berbuat banyak dalam pesawat terbang dari Melbourne menuju Sydney, kecuali hanya menulis. Untuk itu aku membutuhkan lampu di atas kepalaku untuk pencahayaan. Untuk penerbangan malam bila tidak membaca atau menulis, ya lebih enak tidur saja. Pramugari berjalan mondar mandir memeriksa kenyamanan penumpang- walau mereka tidak muda lagi namun mereka memberi pelayanan maksimal bagi semua penumpang.
Ternyata rute penerbangan kami memang menempuh jarak waktu 6 jam antara Jakarta dan Sydney. Apa saja kegiatan selama 6 jam tersebut ? Untuk periode pertama kami diberi leaflet yang berisi tentang food and beverage (makan dan minuman). Tentu saja facilitas makan dan minum di kelas business berbeda dengan kelas economy.
Aku membaca leaflet dengan seksama. Kami diberi pilihan menu yaitu tentang meal atau snack. Pramugari memberi kami comfort kit, arrival document- seperti incoming passenger card dan kemudian beberapa kali pilihan menu.
Aku tidak bisa menghabiskan makanan Australia yang terasa tidak cocok pada lidahku. Aku kemudian menikmati pilihan hiburan melalui layar monitor pada sandaran bangku depan. Di sana ada pilihan hiburan seperti music, film dan game. Malam terasa lama dan kakiku mulai terasa pegal karena kelamaan menjulur- aku ingin untuk berbaring atau duduk di lantai, namun impossible. Tentu saja sebagai warga internasional aku harus mampu beradaptasi untuk bisa duduk nyaman dan tidur pada bangku yang sempit ini.
Aku hanya bisa tidur sesaat saja, karena kemudian tiba lagi waktu buat menikmati pilihan snack yang ke dua. Aku disuguhi yogurt, sunripe, susu dalam kotak kecil dan kue mangkuk, juga secangkir kopi.
“Wah saatnya aku dilayani oleh bule…bule, ha ha ha….!!!” Aku berbisik pada diri sendiri. Aku ingin tahu dimana posisi pesawat terbang pada peta dan aku segera mengamatinya pada layar monitor. Melalui GPS aku melihat pesawat kami terbang dari Jakarta langsung ke arah Australia Barat, kemudian berbelok menuju Australia bagian selatan selama 6 jam. Kecepatan pesawat rata-rata 625 km/jam dan kami berada pada ketinggian 38 ribu kaki dari permukaan bumi.
Aku mencari tahu tentang perbedaan waktu antara Jakarta dan Sydney. Kami bakal mendarat di Sydney jam 02.00 Wib dini hari. Ya saat ini sudah pukul  02.00 dini hari, namun di luar jendela terlihat cahaya terang, saat ini di Sydney menunjukan jam 06.00 pagi.
“Wah kita musti sholat subuh, sudah jam 06.00 di Sydney meski jam 02.00 menurut waktu IndonesiaBarat. Ya kami bertayamum- menempelkan tangan pada debu bangku pesawat dan mengusap pada muka dan tangan hingga siku- dan aku bersandar, memejamkan mata supaya bisa kosentrasi buat melakukan sholat subuh dalam pesawat. Aku berdoa pada Allah Swt …moga-moga shalat subuhku tidak sia- sia dan diterima oleh Allah Yang Maha Agung. Setelah sholat subuh hatiku  terasa tenang….alhamdulillah”.
Aku tadi merasa amat mengantuk dan ingin tidur agak sebentar, namun begitu melihat cahaya pagi dari balik jendela pesawat maka jam biologis dalam otaku segera mengusir rasa kantuk tersebut. Karena hari sudah siang dan sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara internasional Sydney. Flight attendant memberi pengumuman tentang waktu dan proses pendaratan pesawat. Alhamdulillah selamat di benua Australia.
Kami dan semua penumpang harus ke luar pesawat. Kemudian kami bergerak menuju counter immigrasi untuk verifikasi passport dan visa. Semua orang perlu tahu bahwa salah satu yang perlu diperhatikan ketika berkunjung ke Australia adalah aturan “custom”  yang lumayan ketat. Barang-barang seperti bahan makanan segar dan produk turunan susu tidak boleh dibawa masuk negara ini.
Sebelum berkemas, sebaiknya kita baca dulu peraturan custom (cukai) Australia di sini. Barang-barang berbahaya seperti senjata api, bahan peledak, dan obat-obat terlarang jelas tidak boleh dibawa masuk. Namun ada beberapa barang yang sepertinya tidak berbahaya yang masuk dalam daftar terlarang. Tapi nggak usah khawatir berlebihan, asalkan kita “declare” barang-barang bawaan kita ketika melewati pemeriksaan custom, pasti aman-aman saja.
Selanjutnya kami bergerak menuju ruangan claim bagasi. Selanjutnya kami bergerak menuju tempat transfer domestic flight atau transit menuju Melbourne. Namun sebelumnya kami harus menukarkan mata uang Rupiah dan juga Dollar USA ke mata uang Dollar Australia, karena di Jakarta kami mengalami problem penukaran mata uang.
Kami merasa senang dengan pelayanan money changer di Sydney ini, petugasnya muda, cantik, cerdas dan penampilannya menarik. Jadi kalau kita menjadi pelayan publik penampilan kita harus menarik agar orang senang dengan keberadaan kita. Seorang guru adalah juga pelayan publik, kalau begitu penampilannya harus canti dan tampan.  
Phonecell-ku berdering, oh…ternyata penawaran roaming. Namun secara otomatis kartu telkomselku (kartu AS) secara otomatis berubah menjadi Yes Optus. Bila aku mengontak keluarga ke Indonesia maka aku dikenai biaya roaming, satu sms harganya Rp. 24. 000 dan menelpon satu menit harganya Rp. 24.000. Tentu saja aku perlu berhemat untuk mengontak family ke Indonesia.
Aku kemudian memberi tahu Prof. Ismet Fanany lewat SMS bahwa kami sudah berada di Sydney dan 2 jam lagi bakal mendarat di bandara Melbourne. Kami bertiga segera menuju cek-in untuk penerbangan domestic menuju Melbourne, ya lagi- lagi kami harus bertanya tentang di mana lokasi untuk check in.
Don’t worry…kamu semua akan dibawa oleh mobil bandara”. Kata seseorang dan ya betul bahwa kami semua naik mobil bandara dengan lantai otomatis- bisa terangkat/ naik dan turun, untuk mengantarkan kami ke terminal kedatangan. Suasana terminal domestic tidak seramai terminal bandara Padang apalagi bandara Sukarno- Hatta, karena penduduk Australia juga sedikit. Aku kurang mengerti dimana lokasi pesawat yang bakal membawa kami terbang. Kami bertanya pada customer service lagi tentang dimana tempat yang harus kami tuju.     
“Oh ..ya, betul ini tempatnya, anda terbang dengan Qantas Flight 423 dengan boarding time pukul 09.40 waktu Sydney dan tiba di Melbourne pukul 11.35 pagi”. Kata petugas itu. Selama dalam areal bandara kami selalu ngobrol bertiga untuk memecah kebekuan.
“Desi..kalau kamu ngobrol pake Bahasa Inggris, meskipun bahasa kamu broken, namun di telinga bule akan kedengaran sangat indah. Ya ibarat kita mendengar ngobrol dalam bahasa Indonesia yang hancur, juga kedengaran lucu”.
Dalam bis bandara aku juga mengajak Inhendri ngobrol bahasa Indonesia. Ternyata dalam bis juga ada orang Indonesia yang nguping mendengar kami ngobrol. Orang tersebut juga menyapa kami.
“Hallo apa kabar ? Saya warga Malang- Jawa Timur dan menikah dengan orang sini. Dulu aku bekerja sebagai butcher- tukang daging”.  Ternyata ia telah lama bermukim di sana dan menikah dengan wanita Australia. Namun ia masih berstatus WNI karena dengan cara demikian ia mudah berkunjung ke Indonesia, negeri yang sangat cantik di dunia. Selama dalam mobil bandara aku melihat bahwa generasi muda Australia juga suka main hape, Ipad atau BB. Sementara yang tua masih suka membaca novel.

3. Jangan Tersesat Di Airport
            “Jangan sampai tersesat di bandara Australia ya….” Ini adalah kalimat yang pernah diucapkan oleh Ibu Lisda dan Pak Elfan saat mengurus keberangkatan kami menuju benua Kangguru ini. Namun pengalaman- pengalaman kecil memang sering kami temukan.
Turun dari pesawat di bandara Sydney, aku  nggak tahu apa-apa dan berusaha percaya diri agar temanku nggak cemas. Dengan percaya diri (pede) aku ikuti arus orang-orang yang turun satu pesawat dengan kami. Meskipun jalan menuju pemeriksaan imigrasi dan custom lumayan panjang dan lama, namun tanda menuju ke sana juga jelas. Di sepanjang koridor ada tulisan dengan arah panah: Custom. Begitu mendekati pemeriksaan visa, arus terbagi menjadi dua: satu untuk pemegang paspor Australia dan New Zealand, satunya untuk pemegang paspor negara lain. Ada banyak petugas yang mengurusi pemeriksaan paspor ini. Antrian juga berjalan tertib, satu antrian dan selanjutnya menuju konter-konter yang tersedia.
Ketika sampai giliran kami diperiksa paspor dan visanya, ternyata ada masalah. Paspor Indonesia kami (salah seorang teman) tidak bisa dipindai di mesin si petugas. Waduh, aku jadi cemas. Apalagi petugas dengan galaknya (dengan tegas) menyuruh temanku mengisi (lagi) incoming passenger card. Padahal tadinya sudah aku tanyakan bahwa satu grup hanya mengisi satu kartu. Petugas selanjutnya menyuruh ke konter utama. Di sana, alhamdulillah paspor dan visa kami berhasil dipindai, dan kami pun “lolos” ke pemeriksaan selanjutnya: custom.
Sebelum ke pemeriksaan custom, kita harus mengambil bawaan kita yang tadinya ada di bagasi pesawat. Ada banyak ban berjalan, tinggal mencari yang cocok dengan nomor penerbangan kita. Di bandara sini tidak ada porter, jadi harus mengambil sendiri koper-koper kita. Tapi nggak usah khawatir, troli tersedia banyak, gratis, dengan roda yang mulus dan enteng didorong.
Selanjutnya lewat custom. Di sini ada dua pintu, yang ingin ‘declare’ barang bawaan, atau yang tanpa declare (mereka yang nggak bawa apa-apa, atau di incoming passenger card memilih “no” semua). Untuk amannya sih kita memilih “declare” aja dan pasrah diperiksa.
Hari ini kami banyak membawa makanan karena takut di sini bakalan susah mencari makanan Indonesia- makanan halal. Dengan naifnya kami membawa mie instan, kopi, teh, minyak goreng, bumbu instan, dll. Dalam peraturan ditulis bahan makanan dalam kemasan, asal jelas asal usulnya boleh dibawa masuk. Yang sama sekali dilarang adalah bahan makanan segar seperti buah, sayur, hasil masakan sendiri seperti gudeg (duh!), rendang, dll. Membawa tanaman dan bibit tanaman juga dilarang, alasannya untuk melindungi keragaman hayati Australia. Kalau membawa barang-barang yang harus dinyatakan, lebih baik taruh semuanya dalam satu koper, sehingga ketika pemeriksaan gampang, tinggal membuka satu koper saja.
Kami membawa beberapa  koper. Ketika pemeriksaan, satu koper yang berisi makanan dibuka dan diperiksa isinya oleh petugas. Beberapa yang tidak lolos adalah milo, kopi instan 3 in 1 dan camilan makaroni keju yang mengandung produk susu.
Aku sudah dengar bahwa ada banyak cerita seru dari sahabat tentang pemeriksaan custom ini. Ada yang beruntung koper-kopernya dilewatkan alat pemindai saja, tapi ada yang sampai semua kopernya dibuka dan diperiksa. Ada orang yang  kopernya sampai lama diendus-endus anjing pelacak, padahal dia bilang tidak membawa sesuatu yang mencurigakan. Asal jangan menyembunyikan barang apapun dari petugas.
Setelah lolos dari pemeriksaan di bandara dan sampai di Arrival Hall, gampang sekali menuju ke mana saja. Ada beberapa alternatif pilihan transportasi, semuanya nyaman: taksi, bis, dan kereta. Tinggal ikuti saja petunjuk gambar seusai arah panahnya. Pengalaman kami mungkin juga dialami oleh banyak orang yang datang ke Australia (http://www.thetravelingprecils.com).

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...