Sydney- Melbourne
1. Sebuah Pengalaman Transit
Kami masih berada dalam gate 2 di bandara domestic Sydney. Aku
merasa senang menuliskan pengalaman pribadi dan kemudian aku juga membaca- baca
koran lokal. Sementara itu Desi dan juga Inhendri Abbas melihat lihat foto
lewat hape mereka. Penumpang yang bakalan terbang satu pesawat denganku untuk
menuju Melbourne sudah mulai berdatangan ke gate 2. Sambil menunggu penerbang
berikutnya aku cari info tentang Sydney. Dalam hati aku berfikir:
“Seperti
apa tinggal di Australia khususnya Sydney? Hmm seperti apa yah? Yang jelas
kehidupan di Sydney ada yang sama dan ada yang beda dengan negara lain”. Beberapa
hal tentang kehidupan di Sydney (http://achmad.glclearningcenter.com) yaitu bahwa:
1). Sydney
adalah kota busniss dan turis, sehingga banyak festival atau acara disana. Bagi
orang- orang yang suka dengan festival, tentu saja Sydney adalah tempatnya.
2). Sebagai
kota turis, banyak tempat yang bisa dikunjungi. Sebernarnya tempatnya biasa-biasa
saja, cuman di make-up dengan baik kemudian didukung dengan marketing yang
gencar sehingga jadi object tujuan turis.
3). Orang
Sydney ramah & baik. asal kita berani ngomong aja, mereka mau membantu
orang asing.
4). Australia
menggunakan Sistem 2 mingguan (fortnightly) untuk aktivitasnya, misal bayar sewa setiap 2 minggu, gajian juga
dibayar setiap 2 minggu.
“Alhamdulillah suhu udara di Sydney masih seperti suhu di
Indonesia. Sebelumnya aku sempat merasakhawatir kalau suhu di sini lebih
dingin, karena aku tidak membawa jaket. Desi juga sudah mencari tahu lewat
internet bahwa suhu di sini cukup hangat, maklum sudah di permulaan musim panas”.
Aku melepaskan pandangan ke sekeliling. Dari kejauhan aku
memperhatikan keluarga muda Australia dengan dua anak mereka yang masih kecil.
Orang tua muda tersebut cukup sabar mengasuh anak- anak mereka yang agressif-
pegang ini dan pegang itu. Aku melihat ibu muda Australia tidak pernah
membentak anaknya yang mungkin terlihat sedikit usil. Ia tetap bersikap manis,
jadi ia tidak mengatakan “jangan….jangan…jangan” atau seribu kata- kata omelan
dan larangan.
Di depanku duduk sepasang suami istri yang usianya sudah
tua- kakek nenek. Penampilan mereka tetap modist- memakai celana jean dan
sepatu olah raga ala remaja. Mereka selalu berkomunikasi, saling berpegangan
jari dan terlihat sangat akrab.
Kami duduk sudah agak lama di gate 2, namun belum
terlihat isyarat/ tanda- tanda keberangkatan. Pada hal aku merasa sudah agak
lama menunggu untuk terbang. Aku memutuskan untuk melihat layar monitor di luar
gate 2.
“Kita harus pindah, karena QF 423 tujuan Melbourne pindah
ke gate 4. Kita pindah ke sana segera”. Untuk memastikannya aku kembali
bertanya pada customer service.
“Oh..betul….betul, untung aku lihat keluar (lihat monitor)
kalau tidak sering melihat kita bisa kehilangan pesawat. Meskipun bahasa
Inggrisku bagus namun aku kalau tidak konsentrasi juga kesulitan untuk
mendengar pengumuman dari suara flight
attendant yang ngomongnya kelewatan cepat. Beda dengan bahasa Inggris yang
dibacakan dibandara Padang atau Jakarta, sangat jelas dan bahasanya dieja- eja ”.
Wah betul ..kalau kita malu bertanya, bisa jadi sesat di terminal internasional.
Pramugari peswat Qantas domestic juga terlihat berusia
tua- sama halnya dengan pramugari pesawat Qantas internasional rute Jakarta-
Sydney. Meskipun mereka terlihat tua namun mereka tetap berpenampilan sangat
rapi, cerdas dan cantik.
Pesawat kami meluncur meninggalkan landasan pacu bandara
Sydney, kemudian terbang tinggi ke angkasa. Dari ketinggian aku lihat bahwa
ternyata bandara Sydney berada di pinggir pantai. Setelah peswat terbang lebih
tinggi aku melihat landscape daratan
kota Sydney. Tidak begitu padat, jalan rayanya juga terlihat sepi oleh transportasi
public.
Bule- bule dalam pesawat domestic terlihat saling kenal
satu sama lain dan tidak terlibat begitu individualis layaknya dalam pesawat
internasional. Mereka ternyata berprilaku seperti penumpang pesawat domestic kita-
saling ngobrol, makan-makan, mendengar music dan juga membaca. Terlihat kaum
wanitanya lebih suka membaca dan yang pria lebih suka main game
Lagi- lagi aku melihat sepasang kakek-nenek yang terlihat
begitu mesra. Mereka saling mengenggam jari dan ngobrol dari hati ke hati. Aku
tidak tahu kalau- kalau ada kakek-nenek di kampung kita yang juga terlihat
romantik. Ternyata cinta perlu dirawat hingga tua- sampai menjadi kakek- nenek.
Setelah terbang hampir 2 jam, akhirnya pesawat mulai
terbang lebih rendah. Awak peswat mengumumkan bahwa kami telah berada dalam
wilayah kota Melbourne. Aku melihat pemandangan kota Melbourne, di bawah
terlihat banyak bangunan namun juga tidak begitu tinggi. Kota Melbourne
menyisakan banyak tanah kosong yang
ditumbuhi pohon- pohon yang tidak begitu lebat.
2. Melbourne, Here We Come..!!!
Akhirnya pesawat Qantas domestik berhenti dan kami
akhirnya harus ke luar pesawat dan Melbourne adalah destinasi akhirku di
Australia. Kami pergi ke kounter untuk pengambilan bagasi. Aku membayangkan
suasana penyambutan seperti di Cengkareng atau di BIM dengan penyambut yang
berjubel di luar. Inhendri sudah mengontak Prof. Ismet Fanany. Melbourne here we come- Melbourne ini
kami datang. Ya Melbourne adalah kota destinasi kami.
Kami segera keluar terminal di daerah zone 4. Aku tidak
mengenal siapa yang bakal menyambut kami atau Prof. Ismet itu seperti siapa ya
(?). Selama hidup aku belum pernah jumpa dengan Prof Ismet. Kami belum melihat
ada tanda- tanda kedatangan Prof. Ismet. Dalam hati aku berfikir…kalau ternyata
Pak Ismet berhalangan atau sakit…siapa yang bakal menunggu kami atau kami mau
kemana. Fikiran ini tentu tidak aku ungkapkan pada dua temanku.
“Hey…kami sudah menunggu sejak tadi, kenapa tidak melihat
kami….?” Tanya Prof. Ismet agak heran. Aku merasa bersalah dengan statemennya
dan aku tidak ingin dianggap orang yang sombong atau tidak tahu etika
pergaulan.
“Maaf Pak, kami membayangkan suasana penyambutannya
seperti di Indonesia, dimana penyambut menunggu di luar. Itu makanya kami ke
luar untuk lihat sana dan lihat sini. Ternyata suasana terminal Indonesia jauh
berbeda dengan terminal bandara di Australia”. Demikian aku membela ketidak
tahuan kami dengan kehadiran Prof Ismet dan istrinya Dr Rebecca. Prof akhirnya
memahaminya, ia kemudian menyebut nama kami dan mencocokannya dengan wajah kami.
“Thanks Pak
Ismet. mArjohan memang nama saya, yang cantik ini Desi dan yang berwibawa
adalah Inhendri Abbas”. Kata ku lagi memberikan konfirmasi pada Pak Ismet dan
Dr. Rebbeca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them