HaMPIR DITABRAK MOBIL
Sore tadi aku mempelajari suasana apartement punthill di
Knox city ini. Kami telah tinggal di sini hampir satu minggu dan sudah merasa
seperti rumah sendiri. Aku dan juga
teman-teman sudah bisa tertidur nyenyak dan menikmati kenyamanan apartemen.
Apartemen ini terdiri atas 4 lantai dan kamar kami ada
pada nomor 217. Dalam ruangan apartemen seperti yang pernah aku ceritakan
terdapat 2 kamar. Kami berbagi kamar, satu untuk Desi- kamar perempuan- dan
satu laki buat kamar laki-laki. Sekali lagi bahwa kami merasa nyaman karena
sekarang bisa punya privacy. Namun kami
selalu menjaga sopan santun satu sama lain. Ya kesopanan dalam berbahasa dan
juga kesopanan dalam berpakaian. Ini berguna untuk menjaga agar tidak ada
fitnah terhadap kami bertiga selama dalam perjalanan dan juga menjaga diri
sebagai orang Islam.
Saat Desi memasak di dapur- kami kami yang laki- laki berada agak jauh
dan melakukan aktifitas lain. Ternyata Desi jago masak dan masakannya lebih
lezat dari restaurant Melbourne. Mungkin karena masakannya halal sehingga kami
bisa makan dengan rasa aman hingga kenyang. Sementara kalau makan di restoran,
hati akan berkata “makanannya halal atau haram ?”. Disamping itu memasak
makanan sendiri ternyata juga bisa menghemat keuangan kami- dan strategi
bertahan hidup di kota yang mahal.
“Meskipun di mall atau di restoran tersedia aneka cita
rasa makan dunia, seperti di restorant think Asia, namun aku kehilangan selera
buat menyantap makanan. Kata Pak Ismet bahwa kita harus menguasai fikiran saat
makan agar kita bisa makan di restoran internasional- karena disana juga ada
yang halal. dan kata Ibu Rebecca bahwa kalau kita ingin maju maka coba memakan
hidangan yang baru dan yang berbeda. Termasuk mengkonsumsi makanan selain makanan
Indonesia”.
Wah aku tidak bisa demikian, bukannya aku tidak bisa
menyantap makanan tersebut. Namun sebagai orang Islam yang telah mempelajari
dan memahami ajaran Al Quran, makan makan halal adalah sangat harus. Aku tidak
percaya diri makan disamping hidangan haram. Apalagi di restoran dalam kota
Melbourne bertaburan kue-kue haram yang ada kata-kata “pork, pig, ham, bacon
dan itu berarti mengandung babi”.
Bagaimana seleraku tidak hilang- saat berada di restoran
kota Melbourne- begitu melihat satu piring makanan halal bersanding di
sebelahnya ada satu porsi steamed pork ata satu porsi bacon. Bacon dan pork
sangat diharamkan oleh agama Islam. Kita hidup dengan syariat Islam. Makan di
restoran yang aku khawatir tentang kehalalannya, aku cenderung hanya memesan juice atau sebotol coca cola saja.
“Pak Inhendri …..uncle Joe lebih menyukai masakan yang di
rumah, maksudnya yang di apartemen. Meskipun dendeng yang dibawa dari
Batusangkar ketika dikunyah terasa keras…sekeras batu, namun terasa lebih enak
di lidah dan nyaman di hati”
“Iya..uncle Joe, karena bahan makanan kita adalah halal
dan dendeng yang dibawa dari kampung jadi keras karena kelamaan dalam kulkas”. Kata Desi. Sore ini kami
memasak mie pake telor dan juga goring teri yang kami beli dari knoxcity mall
kemaren sore.
Usai makan malam, aku lebih dulu bangkit dari kursi. Aku
mengemas piring- piring dan gelas kotor. Aku mencuci semuanya pada was basin di
dapur. Kemudian aku rapikan permukaan tempat memasak dan juga kompor setelah
suhunya dingin. Aku bersihkan semua sebagaimana tempat tersebut bersih saat
pertama kali kami datang.
Kebiasaan membantu ikut merapikan dapur tentu saja
membuat Desi bisa berbahagia. Di rumahku di Batusangkar aku juga melakukan
hal-hal demikian, sekaligus untuk memberi model atau suri teladan buat
anak-anak ku bahwa seorang pria/ seorang ayah jugaharus cekatan, bisa memasak
dan merapikan dapur. Dia harus bisa mengurus diri dan juga mengurus
keluarganya.
Kami punya rencana untuk pindah apartemen besok. Lokasinya dekat
ke universitas Deakin dan agar kami gampang pergi ke kampus. Kami harus punya
persediaan, apalagi di apartemen baru nanti kami tidak tahu kalau- kalau ada
mini market atau mall tempat untuk membeli kebutuhan harian.
Kami bertiga segera turun menuju ground floor. Rencananya
kami ingin membeli beras harus- beras Thailand, aku berharap agar beras Solok
dari Sumatera Barat juga bisa dijual di Australia, aku rasa beras ini lebih
gurih dari beras Thailand.
Apartement kami persis berlokasi di persimpangan jalan-
avenue atau jalan lebar. Jalan raya makin malam makin terasa agak ramai. Aku
menyeberang pada garis penyeberangan saat mobil-mobil berhenti. Kami memilih
suasana aman untuk menyeberang walau lampu merah masih menyala bagi kami- para
penyeberang. Kami menyeberang sambil berlarian melintasi empat ruas jalan.
“Ayo..rari Desi….lari Pak Inhendri…..!!!” Seruku.
“Teeeet…….teeeeeeet”. Kami tidak melihat bahwa ada dua
mobil berlari kenjang dan berhenti mendadak disamping kami. Klaksonnya memecah
suasana malam.
“Astahgfirullah…jangan jangan kita tertabrak dan mati di
negeri orang….”Kataku merasa cemas. Kami akhirnya mencapai pinggir jalan dengan
detak jantung yang kencang. Kami berusaha untuk menenangkan diri dan belajar
dari kesalahan.
“Bukan itu masalahnya….kita yang tidak mempelajari tata
cara menyeberang melintasi jalan luas di Melbourne ini. Kita harus tahu cara
menyeberang yang baik”. Kata Inhendri Abbas.
Ya…kami melangkah terus dengan nafas terengah-engah dan
sangat takut melintasi trotoar menuju mall knoxcity. Kami tidak bisa
membayangkan kalau kami bertiga tertabrak dan andai sopir mobil sedang mabuk.
Tentu kami akan menjadi berita di media massa di kampung kami.
Kami terus memacu langkah mendekati gerbang masuk mall.
Di jalan dekat gerbang pada jalan terlihat garis batas dengan cat merah dan
tertulis ‘’no smoking beyond this point’ atau dilarang merokok dalam wilayah
garis ini.
“Dan
wowww..ternyata sudah jam 9.00 malam- masih terlihat senja di musim panas-
namun mall sudah tutup. Pintu mall tidak bisa dibuka lagi, berarti tidak terima
pengunjung.”
Kami putar
haluan menuju pulang. Saat berjalan di trotoar aku melihat mobil- mobil publik
menyalakan lampu tanda tidak menerima penumpang lagi dan aku membaca tulisan
pada dindingnya “no in service”, maksudnya bahwa bobil tidak melayani trayek
lagi, sopir juga butuh istirahat maka ia harus pulang ke rumah.
Kami sampai
lagi di perempatan dan bersiap-siap untuk menyeberang namun kami kurang percaya
diri untuk menyeberang. Khawatir kalau kami kena serempetan klakson mobil lagi.
Untuk jalur kecil kami merasa aman dalam menyeberang. Sekarang kami bertiga
sudah berdiri pada tonggak rambu-rambu traffic light. Kami harus mematuhi
peraturan lalu lintas sebanyak 100 %. Kami menunggu lampu hijau buat
menyeberang.
Mobil- mobil
melaju cepat bila lampu hijau menyala buat mereka. Ya ibarat perlombaan mobil
saja, start dan langsung ngebut. Wah lampu hijau buat kita kok tidak muncul-
muncul. Kami melihat ada petunjuk cara menyeberang pada tiang traffic light.
Ada gambar gambar orang dengan cat merah dan cat biru, kemudian diikuti dengan
pesan/ peringatan:
“Walk in care- berjalan dengan hati hati,
bila lampu merah menyala jangan menyeberang. Bila lampu hijau menyala maka cross with care. Bila lampu merah
berkedip- kedip maka menyeberang berakhir, jangan menyeberang lagi !”
“Ya coba
sekali lagi, lampu hijau mengapa belum menyala. Mobil mobil sudah berkali
berkali berhenti dan berangkat”
“Astaga….ini
ada tombol request-nya untuk menyeberang..!”. Kami pun memencel tombol tersebut
dan tidak beberapa lama setelah itu memang menyala lampu hijau. Kami sekarang
menyeberang dengan rasa aman dan percaya diri.
Sampai di
seberang kami terus menuju apartement. Kami semua terlihat begitu ceria- ceria
seperti anak anak Sekolah Dasar yang menang dalam ujian. Kami terkekeh- kekeh
hingga di gerbang apartement.
“Wah sebuah
pengalaman yang sangat manis dari Australia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them