Pengalaman Terakhir
1. Bagaimana Menggunakan Fasiltas Bandara?
Kami minta
bantuan receptionist apartemen Punthill untuk memesan taxi dengan kebarangkan
dari hotel jam 06.00 pagi. Pada hal pada jam tersebut kantor receptionist
apartement masih tutup. Buka kantor baru
jam 08. 00 pagi.
“No problem” Katanya. Kalau di
Indonesia pemesanan taxi per-telefon. Namun di Melbourne sudah serba online. Ia
akhirnya memberi kami bukti sudah memesan taxi dan besok pagi persis jam 6.00
taxi sudah datang. Kami kemudian pergi ke kamar apartemen di lantai atas.
Malam itu
kami bersiap siap, mem-packing barang barang lagi. Merapikan peralatan dapur
dan menyiapkan sedikit makanan buat subuh. Menjelang tidur aku mensetting jam
agar terbangun jam 4.00 pagi (dini hari). Agar kami bisa bersiap siap untuk
berangkat. Tidak aku saja, Inhedri Abbas- juga memasang setting jam untuk
bangun lebih cepat.
Malam itu
aku tidak bisa tidur nyenyak. Fikiran separoh bangun dan separoh tidur. Aku
khwatir ketiduran dan khawatir tidak mendengar alarm jam buat bangun. Aku tidak
tahu apakah dua orang teman ku bisa tidur pulas apa tidak.
Akhirnya
aku bangun jam 4.00 pagi dan segera
mandi pakai shower panas. Kemudian sholat subuh- meski aku sendiri tidak tahun
pukul berapa subuh masuk untuk kota Melbourne. Kemudian aku dengan teman ku
juga bangun- mandi- berpakaian dan sholat.
Cepat saja
rasanya waktu merangkak. Sudah lewat jam 5.00 pagi aku dan juga temanku tidak
punya selera buat sarapan. Kami memutuskan untuk turun ke lantai dasar untuk
menunggu taxi. Kami memeriksa kamar apartemen buat terakhir kali, memeriksa
apakah masih ada barang- bsarang kecil kami yang tertinggal- dan yang penting
lagi passport, visa dan dompet kami.
Jam 6.00
pagi kurang lima belas menit. Kami harus
keluar. Kunci apartemen kami letakkan di atas meja receptionist. Aku memberi
warning buat dua temanku:
“Desi….Inhendri….apakah
sudah siap untuk keluar, apakah masih butuh toilet, di luar tidak ada toilet.
Kalau kita sudah keluar maka nanti kita tidak bisa masuk lagi ke ruang
receptionist”. Setelah memastikan semuanya beres, ya kami menghela bagasi ke luar.
Dan siap menunggu kedatangan taxi.
Pagi terasa
dingin dan sepi. Jalan raya juga sepi. Beberapa taxi juga lalu lalang, namun
belum ada yang mengarah ke depan apartemen punthill. Aku berkata pada teman
kalau- kalau sopir taxi lupa dan tidak
tahu dengan nomor HP dan juga alamat kita. Ya kami masih khawatir, namun
kemudian sebuah taxi putih masuk menuju kea rah kami.
“Good morning….How are you ?”
Sapa sopir taxi berkulit putih.
“Thank you,
anda datang sangat tepat waktu dan kami sudah menunggu taxi anda”. Aku membantu
sopir memasukan barang- barang ke dalam box belakang taxi dan tak lama setelah
itu taxi melaju.
Kami saling
bertukar cerita dengan sopir taxi dalam bahasa Inggris. Aku duduk di depan
dengan alas an aku sebagai guide dan bahasa Inggrisku sangat bagus disbanding
dua temanku yang lain. Sopir tersebut juga dahulunya sebagai immigrant
keturunan Eropa- aku lupa nama negaranya, namun bukan England. Setelah beberapa
menit kami sampai di Bandar udara Melbourne dan ia mengantarkan kami ke gate
bagian transfer menuju Sydney.
“How much we must pay..?”
“79
dollar…” Jawabnya. Oh berarti lebih sedikit dari Rp. 800. Ribu. Kami
menyerahkan dollar dan kemudian saling bersalaman dengan akrabnya. Kami
mengikuti langkah penumpang lain menuju ruangan counter pelabuhan. Ruangan
terminalnya sangat megah. Namun kami merasa bengong kemana mau pergi.
“Beda ya
dengan bandara di Padang atau di Jakarta. Di sini tidak terlihat counternya dan
juga tidak ada petugas counter” Yang terlihat hanya banyak mesin mungkin itu
namanya counter machine. Digunakan untuk memesan tiket dan juga untuk mengabil
kertas gulungan buat ditempel pada bagasi.
Kami
bertiga juga mencoba untuk menggunakan counter machine. Kami sudah mencoba
mengisi formulir lewat layar monitor pada counter machine…wah gagal lagi. Desi
melihat sekeliling dan ada seorang muslimah berkulit putih- memakai jilbab.
“Assalamualaikum…..hello….I am new person in Melbourne. I don’t
understand how to you use this machine”
“Oke let me help you”. Kata
muslimah tersebut. Kami menyerahkan kertas tiket dan ia mengetik lewat layar
monitor. Ia punya waktu yang terbatas karena ia harus terbang ke kota lain di
Australia. Tetapi okelah untuk selanjutnya kami juga bisa meniru apa yang ia
lakukan.
Muslimah di
Australia di Australia- wanita berkulit putih yang aku temui di bandara-
wahanya terlihat lebih tenang. Cara berbicara dan cara berjalannya terlihat
lebih lembut. Kontra dengan penampilan orang lain yang tampil hedon. Barangkali
ini hanyalah penilaian aku pribadi- namun temanku Desi dan Inhendri juga
melihat fenomena yang sama. Orang Australia sangat beruntung menjadi muslim
karena pribadinya tenang dan alam mereka terlihat damai dan juga indah.
“Mister Jo ..aku
bisa mengetiknya….ini sudah keluar kertas- kertas. Tetapi buat apa ya “. Tanya
Desi. Meskin kami bisa menggunakan counter machine namun masih bengong untuk
proses selanjutnya.
Aku melihat
kalau- kalau ada petugas bandara. Akhirnya aku melihat seorang pria berkulit
putih bertubuh tinggi, gagah dan ramah. Aku tahu bahwa ia bisa membantu kami
karena pada kantong baju seragamnya tergantung konkarde.
“Good morning.. I am new person in Melbourne,
I want to fly to indonrsia but I don’t know how to use counter machine”.
Pria itu tersenyum kemudian memandu kami untuk berjalan menemui operator
counter yang bisa membantu kami secara manual.
Kami
menyerahkan kertas tiket dan menunggu perintah demi perintah dari wanita
tersebut. Pelayanannya sangat bagus. Orang canti, rapi, ramah dan cerdas. Kami
menerima 3 tiket dan kami menyerahkan bagasi yang besar untuk dibawa ke bagian
counter bagasi pesawat. Ia menulis petunjuk selanjutnya- misalnya kemana kami
pergi lagi bila sudah beradadi bandara Sydney nanti.
“Thank you for your kindness service….”
Kata ku dan kami melangkah menuju gate 13. Kami berjalan dengan langkah agak
cepat menuju gate peswat Qantas. Sebetulnya di ruangan itu dilengkapi dengan
WiFi, tapi aku tidak begitu memperhatikan. Fikiranku bahwa kami harus bisa
terbang dengan pesawat Qantas jam 09.25.
2. Hampir Ditinggal oleh Pesawat di Melbourne
Kami
bertiga menunggu pesawat di sebuah gate dan penumpang kulit putih lainnya sudah
berdatangan. Aku selalu mengamati nomor peswatku QF 20 lewat monitor. Aku juga
ikut mengambil koran koran Australia tanpa harus membayarnya- membayar dengan sukarela.
Aku mendengar dengan jelas penunda keberangkatan menuju Sydney. Ada dua kali
penundaan mula- mula selama 20 menit, kemudian penundaan selama 45 menit.
Cukup lama
juga menunggu penundaan. Untung aku juga bisa menggunakan WiFi buatmengakses
FaceBook dan mengupload foto. Aku cukup asyik hingga aku tidak begitu mendengar
suara pelayan dari speaker. Yang jelas aku masih melihat ada kode QF 20. Namun
tiba tiba kode itu menghilang. Aku panic namun Desi dan Inhendri biasa biasa
saja, Mungkin mereka tidak tahu mengapa aku panic:
“Ya aku
takut ketinggalan pesawat dan kalau didenda seperti di bandara Sukarno Hatta
bisa dikenai registrasi ulang seharga 50 %. Untuk ukuran dollar cukup mahal.
Aku segera bertanya pada petugas.
“Exuse me…this is my ticket, but I don’t see
flight QF 20 on monitor. I must fly to Sydneyand Jakarta”.
“Oh…you flight changing……” Aku memberikan
tiket dan juga tiket btemanku. Kami memperoleh tiket baru dengan kode QF 22.
Dan kami harus pergi ke gate 1 yang lokasi cukup jauh. Aku mengajak Inhendri
dan Dessi untuk ke gate. Desi cukup mengerti namun Inhendri tampak agak
bengong…, aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak kecuali kami menyambar
tangkai bagasinya dan menyeretnya menuju gate 1.
“Pak
Inhendri mau tinggal di Melbourne…silahkan…mau terbang ayo ikut kami”. Dia juga
bangkit dan kami berlarian menuju gate 1 untuk mendapatkan peswat QF 22. Cukup
lelah dan nafas juga terengah dibuatnya. Kami bettanya juga pada beberapa orang
untuk menuju gate 1. Akhirnya kami sampai. Dan terlihat semua penumpang sudah
masuk hanya tinggal beberapa orang lagi dan termasuk kami bertiga.
“Untung
kita lihat tadi monitor…untuk kita segera ke sini…..untung kitamasih belum
terlambat…..” Ucapku. Pokoknya banyak rasa beruntung saat itu. Kami dipersilahkan
masuk dan duduk pada bangku yang terpisah karena kami bertiga adalah penumpang
titipan dari pesawat QF 20 yang tertunda untuk terbang.
Andai kita ditinggal pesawat di bandara Australia….
Setelah
hampir dua jam peswat mendarat di bandara internasional Sydney. Kami mengikuti
petunjuk yang diberikan pelayan di terminar airport Melbourne tadi. Kami terus
ke gate kedatangan untuk mengambil bagasi namun kami tidak menemukan bagasi
kami. Setelah ditanya ke petugas bahwabagasi kami sudah forward menuju bandara
Jakarta lewat Qantas yang sama jadi don’t worry…!
“Ya,,,,ketika
kita keluar atau masuk ke suatu
negara kita harus melewati immigrasi.
Saat yang paling malas adalah berhadapan dengan para petugas imigrasi yang
terkadang memasang muka "sangar atau wajah serius".
Waktu
menuju ke imigrasi kami bertiga berpencar- pencar, Inhendri aku lihat di kiri
dan Desi sudah duluan namun ia terlihat jaleng dengan perempuan yang sudah
sering pulang pergi ke Australia. Desi saat itu memakai jilbab warna gelap dan
Desi badannya tergolong tinggi untuk ukuran rata- rata orang Indonesia. Dari
kejauhan aku lihat dan juga wanita yang bareng dia ditahan petugas. Kok bisa
begitu ?
“Ketika
bagian saya, saya dapat petugas yang terlihat agak santai, pas dia melihat muka asli dan foto saya di passport.
Dia bilang muka saya berbeda jauh, ga
mirip lagi dengan paspor....saya pikir dia mungkin becanda, ehhh ternyata dia memberi saya lewat dari imigrasi tapi pasport saya di
kasih ke petugas yang lainnya untuk menyakinkan muka saya bahwa sama dengan muka saya dalam photo saya di pasport. Saya berfikir bahwa ini
karena saya memakai jilbab hitam dan saya dicurigai sebagai teroris wanita yang
mungkin bisa meledakkan pesawat….ya ampun” Kata desi menjelaskan.
“Setelah
beberapa saat 1 petugas lainnya agak ragu kembal dan mencurigai saya dan
perempuan yang juga bareng saya. Petugas menggelah tas dan bagasi saya,
menggeledah pakaian saya dan mengintoregasi saya. Saya juga balik marah pada
mereka sehingga saya berkata : what are
you doing with me…I am not terrorist ?”. Kata Desi agak emosional.
Wah ada ada
saja pengalaman ini. Kami akhirnya sampai ke ruang tunggu untuk naik pesawat
Qantas tujuan Jakarta. Kali ini orang orang yang banyak berada dalam terminal
itu adalah orang orang Indonesia dan juga beberapa bule yang ingin berlibur ke
Indonesia seperti ke Bali, Lombok, pulau Jawa, Sumatera dan sebagainya. Bagiku
pikiranku sudah melayang jauh ke Indonesia , namun itulah sweet memoryku dan
sweet memiry kami yang terakhir, “Good bye Melbourne…Good bye Sydney…Good bye
Australia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them