I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com
and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Membolos dari sekolah
sudah menjadi permasalahan pada banyak sekolah. Tidak hanya di kampung kita di
Sumatra (dan Indonesia) malah juga di Australia. Siswa yang membolos dari
sekolah bisa disebabkan oleh banyak factor seperti rendahnya motivasi belajar,
kurangnya pengawasan dan kepedulian orang tua terhadap anak, lebih menariknya
aktivitas bermain di luar sekolah disbanding aktivitas dalam sekolah dan kurang
menariknya pembelajaran/ iklim sekolah.
Apapun alasannya
siswa yang membolos perlu untuk dicegah dan guru/ sekolah musti proaktif untuk
mencegahnya. Karena pendidikanmerupakan isu
sensitif maka sekolah dan pemerintah negara bagian di Australia berusaha keras
untuk memastikan kehadiran murid di sekolah tinggi persentasenya. Untuk
mencegah murid bolos, murid-murid ini ditawari hadiah, seperti iPod, voucer
untuk belanja di kantin, dan makan siang gratis. Selain itu, sekolah
juga akan mengirimkan SMS ke orang tua murid segera setelah absen pagi.
Menurut laporan situs “news.com.au” (http://www.informasipendidikan.com/pendidikan-luar-negeri)
bahwa untuk meningkatkan angka kehadiran murid sekolah—di beberapa kawasan
hanya 60-70 persen yang hadir—menjadi penting guna meningkatkan performa
akademik, khususnya di daerah-daerah yang tingkat sosial ekonominya lebih
rendah. “Sekarang kita banyak mendengar alasan-alasan anak-anak tidak sekolah,
alasan yang tidak pernah kita dengar 20 tahun lalu,” demikian tulis buletin
salah satu sekolah pemerintah.
“Alasan itu antara lain merayakan ulang tahun sendiri atau saudara
dekat, absen karena tidur terlalu malam setelah menonton televisi, pergi
belanja membeli pakaian, atau anak yang tidak mau sekolah karena tidak mau ikut
kegiatan olahraga.” Menurut salah satu buletin sekolah di Sydney Barat,
berbagai alasan ini menunjukkan, para orang tua tidak memberikan contoh yang
baik kepada anak mereka.
“Anak-anak Australia hanya menghabiskan 15 persen dari waktu
mereka seharian di sekolah. Waktu tidur mereka malah lebih panjang dibandingkan
kehadiran di sekolah,” tulis buletin Sekolah Menengah Condobolin.Sebuah buletin dari sekolah di kawasan Sydney
Barat menulis bahwa “anak-anak yang tingkat kehadiran di sekolah melebihi 85
persen akan mendapatkan hadiah”. Hadiah diberikan kepada murid dari setiap
tingkatan dan mereka yang beruntung akan mendapatkan sebuah iPod. “Semua murid
kelas VIII diharapkan menggunakan iming-iming ini untuk meningkatkan pendidikan
dan kehadiran sekolah mereka. Mereka yang hadir lebih dari 85 persen di kuartal
ini akan diundang menghadiri makan siang bersama dan mendapatkan sertifikat,”
demikian bunyi salah satu itemnya.
Pemerintah Federal Australia merasa perlu untuk memberikan dana
tambahan kepada sekolah-sekolah sehingga tingkat kehadiran murid bisa naik.
Beberapa sekolah menggunakan SMS untuk memberitahu orang tua atau pengasuh bila
anak mereka tidak hadir, dan usaha ini berhasil meningkatkan kehadiran sebesar
8 persen. Selain itu, orang tua juga diancam terkena denda bila mereka
kedapatan mengizinkan atau membantu anak mereka bolos dari sekolah. Dendanya
bisa mencapai 11.000 AusD (atau sekitar Rp 110 juta).
Kali ini
kami tidak punya janji dengan Pak Ismet. Pagi ini dia pergi ke dokter gigi,
namun kami akan bertemu di kampus Deakin, dimana Pak Ismet bekerja sebagai
Dekan pada Fakultas sastra dan Bahasa, sementara Ibu Rebecca sebagai ketua
jurusan pada jurusan Bahasa Indonesia dan sekaligus sebagai Ahli Bahasa
Indonesia di sini.
Kami
melintas dari depan apartement Punthill, apartemen kami yang baru juga bernama
punthill dan juga terletak di perempatan jalan. Kami kemudian menyusuri jalan
dan palang nama kampus Deakin terlihat dengan jelas dari kejauhan. Kadang-
kadang kami berfoto- foto di jalanan untuk membuat foto memori.
Jam 11.00
pagikami sudah berada di komplek
universitas Deakin dan kami menemukan kantor ibu Dr Rebecca pada sebuah blok di
nomor D.3.07. Ibu Rebecca belum sampai di kantornya dan kami diminta oleh
seorang dosen yg sedang bekerja di kantor sebelah untukmenunggu sebentar pada sebuah ruang pustaka
kecil. Memang benar bahwa ibu beki datang dan kami diajak untuk melihat- lihat
ruangnya.
Deakin
Universitas adalah suatu Universitas Publik Australian dengan hampir 40,000
jumlah mahasiswanyadalam2010. Universitas inimenerima lebih dari 600 juta AusD untuk biaya
operasional pendidikan dan harga asset1.3 milyar USD. Universitas inimenerima lebih dari35 USD untuk
danariset dalam tahun2009 dan mempunyai 835 mahasiswa riset.Universitas inimempunyai kampus di kotaGeelong, Melbourne, dan Warrnambool, Victoria. Universitas diberi
namamenurut pemimpin Pergerakan
Federasi Australian dan Perdana Menteri Australia yang kedua yaitu Deakin
Alfred.
2. Jurusan Bahasa Indonesia di Deakin Universitas
Saat kami di pandu oleh ibu Rebbeca keliling komplek
kampus Universitas Deakin, kami juga diajak masuk ke sebuah kelas mirip studio-
ya sebuah kelas laboratorium. Kelasnya bisa menampung sekitar lebih dari
seratus mahasiswa, dilengkapi oleh media audio visual. Percsakapan mahasiswa
dan dosen bisa di rekam.
Ibu Rebbeca cukup mahir dalam mengoperasikannya dan kami
mendengar model percakapan dalam bahasa Indonesia melalui suara penutur
Australia. Saat itu ibu Rebbeca juga dibantu oleh dua orang Australia keturunan
India dalam mengoperasikan fasilitas audio visual yang lain.
Kami rasa bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di
Universitas Deakin sudah sangat maju. Malah untuk membuat kualitas penguasaan
bahasa Indonesia maka Universitas Deakin membuat kegiatan bersama dengan universitas
di Indonesia, termasuk dengan UNP (universitas alumni bagiku). Aku pernah
mengintip dan mendengar bagaimana bule- bule belajar Bahasa Indonesia di UNP-
Universitas Negeri Padang (http://www.ganto.web.id).
Di Ruang
Sidang Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Padang (UNP), sembilan orang mahasiswa Universitas Deakin Australia tengah
belajar bersama seorang dosen. Saat seorang lelaki berperawakan tinggi dan
berkulit putih masuk ke dalam kelas, seorang mahasiswa berkulit putih lainnya
tengah berdiri di depan kelas dengan memegang sebuah spidol. Dia berusaha
menggambar pancuran dan kotak kecil yang ditulisi Soap. Lalu, Ia
bertanya pada rekan-rekannya, “Sedang apa?” Setelah hening sebentar, satu
diantara mereka menjawab, “Mandi,”. Ketika gambar yang dibuat mampu ditebak
oleh temannya, Ia kembali ke tempat duduk. Seseorang yang lain maju ke depan
kelas dan melakukan hal yang sama.
Meskipun
berasal dari negara yang berbahasa Inggris, namun tidak terdengar sekalipun
kata-kata dalam bahasa asing. Mereka murni berbahasa Indonesia. Selama empat
hari dalam seminggu mereka belajar Intensif Bahasa Indonesia bersama
dosen-dosen dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka adalah Michael
Filius; Breanna Funston; Erin Mc’ Lean; Eloise Clarke; Clover Hart; Stephanie
Cowdy; Jessica Capkin; Aimee Mc’ Leahlian dan Alexandra Everard. Mahasiswa yang
berjumlah sembilan orang ini berlatar belakang studi yang beragam, ada yang
berasal dari jurusan kesehatan (Health science), ekonomi (finance) dan lain
sebaginya.
Di
Australia, mereka berasal dari latar belakang jurusan yang berbeda. Ada yang
dari jurusan Kesehatan, Ekonomi, dan sebagainya. Namun, di UNP mereka
dipertemukan dalam sebuah kelas mata kuliah Umum Bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh peraturan kampus setempat yang memberi pilihan kepada mahasiswa
untuk belajar di Negara asli pemilik bahasa tersebut atau menambah waktu
belajar satu tahun lagi untuk belajar bahasa indonesia yang diajar oleh
dosen di sana. “Akhirnya, mereka memilih untuk belajar di sini”.
Tidak hanya
belajar Bahasa Indonesia, para bule dari Tanah Kangguru itu juga
mempunyai tiga kegiatan lainnya, yaitu; kegiatan budaya sehari-hari di mana
mereka harus belajar bagaimana cara membuat janur, menari tarian tradisional
dan mengenal batik Indonesia. Selanjutnya, kegiatan studi lapangan dengan
mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti; Padang Ekspres, Dinas
Pariwisata, Puskesmas dan Home Industri. Setelah berkunjung ke tempat tersebut,
mereka juga diharuskan membuat laporan sepanjang 1000 kata dalam bahasa
Indonesia. “Hal ini berlaku untuk semua tempat yang kami kunjungi,” ujar
Stephani.
Program ini
bernama Kursus Intesif Bahasa Indonesia bagi Mahasiswa Deakin University,
sedangkan di Australia sendiri program ini disebut In Country Study Program.
Program ini telah terlaksana selama beberapa tahun belakangan. Tiap
tahun, selalu ada mahasiswa dari Deakin University yang belajar bahasa
indonesia di UNP. “Dua bulan rasanya mungkin belum cukup untuk mempelajari
bahasa Indonesia dan juga budayanya tapi kami harus segera kembali ke australia
untuk melanjutkan study,”
Acara
perpisahan yang bertemakan malam kesenian tersebut menyajikan atraksi seni dari
kesembilan bule itu dengan menampilkan berbagai macam budaya indonesia
khusus sumatera barat yang telah dipelajarinya selama kuliah di UNP, seperti
tari persambahan minangkabau, berpidato dalam bahasa indonesia, menayangkan
video yang berisikan semua kegiatan mereka. Kemudian acara ditutup oleh
Rektor UNP.
3. Akomodasi
Buat Mahasiswa Asing
Saat kami diajak oleh ibu Beki mengelilingi ruangan
kampus Deakin, aku menjumpai satu ruangan- kantor- yang mengurus masalah
pemondokan atau akomodasi bagi mahasiswa asing. Aku juga jadi berfikir tentangseperti apa tempat tinggal/akomodasi di
australia? Berikut ada beberapa catatan untuk menjawab hal ini (http://achmad.glclearningcenter.com):
1). Umumnya
orang2 pada tinggal di flat/apartment, karena penduduk Melbourne sudah padat, meskipun tidak padat seperti Jakarta, Dhaka, Kolkata, atau Delhi.
2). Jarang
sekali orang yang tinggal di rumah, yang tinggal di rumah biasanya para orang
tua yang sudah lama tinggal di Melbourne.
3). Sistem
lantai berbeda dengan indonesia jadi perlu adaptasi, di Australia jika ada rumah dengan 2 lantai, maka lantai
bawah yang sejajar tanah disebut ground floor,
dan lantai di atasnya disebut first floor
atau level1.Di Indonesia yang bawah
disebut lantai 1, yang atas disebut lantai 2.
4). Akomodasi
adalah hal yang krusial bagi student, kalau akomodasinya tidak mendukung
bagaimana bisa belajar?
5). Pihak
kampus juga menyediakan layanan akomodasi bagi student-nya.
6). Secara
umum akomodasi untuk single lebih banyak tersedia jika dibandingkan akomodasi
untuk family.
7). biaya
sewa di oz adalah per week, dan pembayarannya adalah setiap 2 minggu (disebut
juga fortnightly).
8). untuk
single, biayanya sekitar 180-250AUD perweek.
Ada juga
pemondokan yang murah di Australia, namanya “lodge”. Aku tahu dengan istilah
ini dari teman satu taxi dengan kami dari Batusangkar menuju Padang (minggu
lalu0. Ia mengatakan bahwa ia mengikuti program guru magang (shadowing teacher)
di Perth- Australia Barat- ia tinggal pada lodge.
Menurut
pengertianku bahwa lodge adalah semacam rumah kost yang harga sewanya lebih
murah. Karena sewanya murah maka fasilitas kebutuhan juga terbatas, tidak
seperti tinggal di apartemen. Tinggal di lodge ya ibarat tinggal di rumah
sederhana, bisa masak sendiri dan hidup lebih bisa berhemat.
Sewaktu bincang- bincang dengan Pak Ismet Fanany aku
betul- betul merasakan betapa Australia merupakan negara yang luas dan jumlah
penduduk relative sedikit. Jumlah penduduk Australia secara keseluruhan mungkin
sebanyak penduduk Jabodetabek atau “Jakarta Bogor Depok Tanggerang dan Bekasi).
Dengan demikian ia masih membutuhkan pendatang atau immigrant. John Duke
(seorang volunteer pada Kantor Dinas Pendidikan Sumatra Barat) membenarkan
statemenku ini.
Para immigrant di Australia pada umumnya sejahtera dan
hidupnya beruntung, sebagai mana halnyaNasrin Zaher, guru Bahasa Indonesia dan
sekaligus guru berprestasi Australia dari Norwood Secondary College- Melbourne.
Aku juga mencari info tentang cerita immigrant yang lain.
Ketika aku
berada di Bandara Melbourne- saat mau transfer ke Sydney- aku sempat
berbincang- bincang dengan seorang Bapak asal (immigrant) Vietnam. Ia berbagi cerita
mengenai pengalamannya sebagai pengungsi dan perubahan sikap Australia mengenai
pengungsi dalam beberapa tahun terakhir. Ia menuturkan pengalamannya sebagai
pengungsi dan perubahan sikap masyarakat Australia mengenai pengungsi.
Ia
mengatakan bahwa salah satu topik yang banyak diperdebatkan di Australia adalah
topik mengenai pengungsi. Di satu pihak, ada yang khawatir bahwa negara ini
menerima terlalu banyak pengungsi. Di pihak lainnya, ada yang mengatakan
penerimaan lebih dari 13 ribu pengungsi oleh Australia setiap tahunnya adalah
sebuah kewajiban internasional yang penting dan menguntungkan bagi Australia
sendiri.
“Saya kira
kita tidak perlu lagi membuktikan, karena sejarah kita sendiri menerima
pengungsi sejak Perang Dunia II adalah buktinya. Kalau kita melihat masyarakat
kita (Australia) sekarang, keanekaragaman, kekayaan, dan keterbukaan masyarakat
kita memberikan harapan besar bagi pengungsi’.
Pria
Vietnam itu sendiriadalah seorang pengungsi.
Keluarganya tiba di Australia sebagai bagian dari gelombang pertama “orang
perahu”sebelum tahun 1980-an. Hang baru
berusia awal Remajaketika dia dan
keluarganya melarikan diri dari Vietnam, yang saat itu dilanda perang, dengan
menggunakan perahu nelayan ke Malaysia. Walaupun dia tidak ingat banyak
mengenai perjalanannya dengan perahu tersebut, dia masih ingat melihat
kebahagiaan orang-orang dewasa di perahu itu ketika mereka melihat daratan atau
ketika mendapatkan pertolongan dari badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, dan
Palang Merah di sebuah kamp pengungsi di Malaysia.
Kami sudah terbiasa dengan suasana apartemen punthill
knoxcity. Kami bisa tidur nyenyak, nonton TV, masak bareng atau pergi ngobrol
dengan Barry dan Judy May- pemilik apartemen. Kemaren kami harus merapikan
dapur kembali sebagaimana tempat itu bersih pada awal masuk. Setelah itu kami
turun ke lantai dasar, sekalian membawa semua barang- barang buat pindah ke
apartemen lain. Dan belum sempat kami duduk pada parlour, Judy sudah
menyodorkan sehelai kertas berisi tagihan.
“Pay 3
dollar for your internet !!!”
“Of course
Judy….no worried, malah kami mau nambah quota internet namun internet anda
tidak jalan”. Kami melunasi semua masalah keuangan apartemen. Beberapa menit
kemudian Pak Ismet datang dan kami kembali menyusun barang- barang ke dalam
jeep.
Pagi ini
kami mengunjungi sebuah secondary school. Di sekolah tersebut ada guru Bahasa
Indonesia yang terbaik di Australia. Namanya Nasrin Zaher. Salah seorang guru
di sana telah memberi respon dan minta maaf, sebab bila kami sampai di sana
akan dijumpai suasana sekolah yang berantakan. Ya karena sedang beres- beres
untuk memasuki liburan Natal. Orang disana menyambul liburan Natal secara
besar- besaran ibarat kita di Indonesia menyambut hari Lebaran.
“Bulan
Desember adalah bulan yang sibuk. Nanti kalau kita sampai di sana tidak boleh
mengambil foto, kecuali minta izin. Mengambil foto siswa juga tidak boleh harus
minta izin pada orang tua mereka. Ini berguna bagi mereka untuk mengantisipasi
kejahatan internet- kejahatan Face Book. Paling kurang ada izin dari pihak
sekolah”. Kata Pak Ismet memberi warning pada kami.
Mendekati
lokasi sekolah kami mengontak pihak guru lagi ya..untuk memberi kabar bahwa
kami sudah berada di sana. Kami menunggu untuk dipekenankan buat masuk ke
komplek sekolah. Ya…akhirnya kami diperkenankan untuk masuk dan disambut oleh
staff Norwood Secondary College.
Kami
berlima akan melihat-lihat dan juga melakukan Tanya jawab tentang pembelajaran
pada sekolah ini. Sekolah merupakan sebuah dunia- yaitu dunia besar yang
terlihat dalam sebuah miniature.
“Dimana-mana
di dunia ini semua anak, semua siswa sama saja. Mereka senang berteriak-
teriak, senang mencoret coret. Bagi orang dewasa yang tidak mengerti
perkembangan anak akan buru- buru berkomentar bahwa anak tersebut anak nakal.
Namun kondisi positif siswamusti dikondisikan dan dibangun melaluisekolah.
Karakter tersebut adalah seperti karakter cinta kebersihan, tidak membuang
sampah sembarang, saling menghormati, peduli pada sesama. Ya sekali lagi
bahwakarakter yang demikian memang dibina melalui sekolah”.
“Guru musti
menjadi model terlebih dahulu, berbahasa yang santun pada siswa, juga peduli
dengan prilaku hidup bersih dan tidak merokok di areal sekolah”.
Komplek sekolah ini dari depan terlihat kecil
dan sempit,namun setelah kami menelusuri ke dalam maka …di belakang terlihat
bangunannya memanjang dan juga luas. Semua ruangan kelas dikelilingi kaca. Itu
karena Australia cuaca dan suhu sering ekstrim jadi dengan demikian suhu bisa
diatur.
Ruang kelas
di Indonesia tidak perlu demikian, tidak perlu ditiru karena bisa bikin lebih
panas. Namun yang perlu diadopsi mungkin tentang pola pelayanan dan pengelolaan
sekolahnya.Aku pergi ke dalam toilet
ya..sangat bersih. Hal- hal kecil yang belum menjadi perhatian kita di Sumatra
adalah mengenai mkebersihan toilet.
Meskipun
toilet itu tempat pembuangan sampah biologi kita namun ia tidak semestinya
dibiarkan jelek, diabaikan dan tidak mendapat prioritas utama. Toilet harus
bersih, terang dan juga perlu diberi aroma harum.
“Seharusnya
pengelola sekolah mewujudkan sebuah sekolah bisa bersih dan menjadi tempat yang
menyenangkan agar para siswa juga memikirkan untuk memiliki tempat yang bersih-
rumah dan kamar yang bersih”.
Untung
selama berada di Melbourne belum ada turun hujan, sehingga perjalanan kami
kemana-mana terasa lebih nyaman. Kami juga bisa bertemu dengan Nasrin Zaher
yang terpilih sebagai teacher of the year untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Kami juga pergi ke ruang kerjanya dan benar bahwa ia adalah guru
Bahasa Indonesiasebab aku menemukan ada dua buah kamur Indonesia- English. Aku
sempat mewawancarai Nasrin Zaher:
“Nama saya
Nasrin Zaher, saya guru dari Melbourne Australia. Asli saya dari Afganistan. Saya
lahir di Afganistan dan sudah 19 tahun tinggal di Australia. Saya suka Bahasa
Indonesia, orang Indonesia dan makanan Indonesia. Saya beruntung dalam bulan
Januari sampai Februari bisa pergi ke Jakarta dan juga ke Bali”.
“Cara saya
belajar bahasa Indonesia adalah saya selalu berbicara bersama teman dari
Indonesia dalam bahasa Indonesia. Saya juga mempelajari budaya dari Indonesia”.
Demikian sambung Nasrine.
Nasrine
tentu saja sudah jadi warga Australia dan kini umurnya 31 tahun. Ia memiliki
pribadi yang mempesona. Ia banyak senyum- ramah, tutur bahasanya sopan dan
lembut, ia mampu memberikan pelayanan informasi padakami. Aku yakin bahwa
siswanya menyukai pribadinya sehingga juga suka belajar bersamanya.
Kadang-
kadang aku memisahkan diri dari dari kelompok agar aku bisa mengambil foto-
foto tentang Norwood Secondary College. Aku mengambil foto-foto ruangan kelas,
ruang labor, gambar- gambar pada dinding. Penempelan gambar atau karya siswa
pada dinding merupakan bentuk apprersiasi sekolah atas karya siswa.
Secara umum
kami tertarik dengan manajemen sekolah ini. Dalam struktur manajemen sekolah,
di sini ada kepala sekolah, wakil dan ada coordinator serta juga walikelas. Namun
posisi gurunya tidak boleh jabatan rangkap atau overlap. Sekolah ini berlokasi
di Byron street, Ringwood Victoria, 313. Ia memiliki kampus sendiri untuk
jenjang pendidikan kelas 7 hingga kelas 12. Jumlah siswa 1050 orang.
Secara umum
sekolah ini sangat mengesankan. Penataan kelasnya menarik dan variatif. Bentuk
kursi dalam kelas tidak selalu persegi empat pada permukaanya, bisa melengkung.
Meja dan kursi tidak harus dari kayu- bisa dari logam atau plastik. Pada
dinding kelas ada hiasan/ lukisan yang ditata dan juga memajang karya siswa.
Juga ada foto- foto siswa yang meraih prestasi pada bidang akademik dan juga
non akademik. Ini bisa memberi efek motivasi pada siswa untuk selalu maju.