Selasa, 23 Januari 2018

Buatlah Dirimu “Menarik” Maka Sukses Segera Datang

Buatlah Dirimu “Menarik” Maka Sukses Segera Datang

Mencari Makna Sukses
Keinginan untuk meraih sukses menjadi impian banyak orang, mulai dari yang berusia muda hingga berusia dewasa. Demikian juga di kalangan remaja. Mereka belajar keras. Mereka sangat yakin bahwa untuk meraih sukses adalah dengan cara banyak belajar. Oleh sebab itu mereka membaca banyak buku, menaklukan berbagai buku teks, berharap ketika diberi UH (ulangan harian) oleh bapa dan ibu guru bisa meraih nilai yang sempurna. Kalau semua nilai banyak yang sempurna maka itu adalah gerbang kesuksesan.
Kalau di sekolah, siswa yang tinggi nilainya dialah yang dikatakan sebagai orang yang sukses. Jadinya andai ada teman-teman yang jago dalam smua bidang akademik, maka mereka berhak memperoleh jempol dari siapa saja, utamanya dari guru dan orangtua, dan juga pengakuan dari teman-teman.
            Dengan demikian parameter sukses di mata remaja adalah kemampuan akademik mereka. Bahwa orang yang sukses itu adalah yang mampu meraih nilai UH yang tinggi, meraih juara OSN (Olimpiade Sains Nasional), yang meraih juara kelas dan lulus dari SMA dengan nilai UN (Ujian Nasional) yang sangat tinggi.
Selanjutnya bahwa  orang yang sukses- kalau bisa jebol di perguruan tinggi favorit di pulau Jawa atau pada jurusan- jurusan favorit di perguruan tinggi negeri yang terkemuka di Indonesia. Jadinya, sekali lagi, begitu banyak remaja yang berjibaku dalam mengejar akademik semata hingga bisa memperoleh kejuaraan dalam suatu perlombaan, prestasi akademik, hingga lulus dengan nilai yang gemilang.
Kriteria sukses ini tidak salah, namun kriteria sukses musti diperluas. Nilai akademik yang tinggi tetap penting untuk digapai. Namun apakah mereka betul- betul bisa meraih sukses dengan mudah  setelah 5 tahun atau 10 tahun kemudian?  
            Mari kita cari makna kata sukses terlebih dahulu. Bahwa sukses itu bentuknya bisa jadi beragam dan berbagai motif yang bisa melandasi keinginan kita. Sukses dalam karir, misalnya,  akan terbentuk berdasarkan nilai yang kita anut. Makna sukses itu dikonstruksi oleh interaksi kita (individu) dengan lingkungan sekitar. Ada yang memandang lulus jadi PNS sebagai ukuran sukses. Juga seseorang yang dagangan ritelnya laris, dapat dikatakan sebagai orang sukses (Nurul Duariyati, 2006). 
Ada sebuah artikel yang bercerita tentang sukses yang ditulis oleh Melisa Stanger (2012). Judul artikelnya “Attractive people are simply more successful”, bahwa orang- orang yang terlihat attraktif (lebih menarik) dan akan lebih mudah dalam  meraih sukses. Dengan arti kata, orang- orang yang terlihat menarik akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan dan memperoleh bayaran yang lebih tinggi. 
Orang yang menarik biasanya memperoleh promosi pekerjaan lebih cepat, dibayar lebih mahal dari pada orang-orang yang kurang menarik dan bekerja pada bidang yang sama. Dengan demikian betapa penting menjadi orang yang terlihat menarik, karena mereka yang menarik mampu memperoleh nafkah lebih baik dari pada orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja.
            Daniel Hamermesh (2011) membahas tentang orang yang terlihat “attraktif” akan bisa menjadi lebih sukses. Ia menulis tentang fenomena ini menjadi sebuah buku yang berjudul “Beauty pays: why attractive people are more successful”.
            Kemudian, Melisa Stanger (2012) juga meneliti tentang eksistensi  attraktif (kecantikan/ketampanan) sebagai  faktor signifikan dalam meraih kesuksesan. Terbukti bahwa orang yang menarik mampu memperoleh lebih banyak uang dari perusahaan. Mereka juga memberi kontribusi yang lebih signifikan dalam memajukan perusahaan tempat mereka berkarir. Sehingga mereka dipandang sebagai karyawan yang lebih bernilai dan lebih penting. 
            Dalam pengalaman sosial yang lain bahwa para salesmen yang menjajakan dagangan- secara door to door- ternyata salesmen yang penampilannya lebih menarik lebih laris menjual dagangannya kepada pelanggan. Para pelanggan sendiri lebih suka membeli produk dari para salesmen  yang memiliki wajah yang good looking.
            Dario Maestripieri (2012) menulis tentang “The truth about why beautiful people are more successful- The truth about why beauty pays. Dia mengatakan bahwa orang orang yang memiliki penampilan “good looking” atau menarik  lebih memiliki daya tarik, sehingga banyak orang yang senang untuk berinteraksi dengannya. 
Pelanggan senang menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol- melakukan kebersamaaan- dengan orang memiliki pribadi yang menarik. Perusahaan juga akan sering membayar bonus yang lebih pada mereka yang memiliki daya tarik. Tidak sia-sia kalau banyak orang sangat peduli dengan arti sebuah penampilan. Menghabiskan dana ekstra buat perawatan tubuh, hingga mereka bisa tampil lebih menarik. 
            Daniel Hamermesh (2011)  selanjutnya mengatakan bahwa faktor good looking bukan hanya sebagai faktor utama mengapa seseorang punya daya tarik. Namun faktor karakter (karakter positif) seperti keberanian, sopan santun, ramah tamah, dll, juga membentuk seseorang jadi attraktif.
Kecantikan dan ketampanan seseorang dapat memantulkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri adalah bagian dari prilaku. Orang- orang yang memiliki penampilan good looking atau menarik akan punya rasa percaya diri, dan selanjutnya mereka juga akan punya rasa harga diri mereka (self esteem) yang lebih tinggi. Jadinya mereka menjadi orang yang disenangi dan lebih mudah diterima oleh banyak kalangan.

Riset Tentang Kecantikan/Ketampanan
            Riset tentang daya tarik (attraktif) dan dampaknya juga telah dilakukan oleh Sean N. Talamas, dan temannya (2009). Judul laporan risetnya :Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic Performance. Pribahasa lama mengatakan bahwa “not to judge a book by its cover- jangan menilai sebuah buku hanya dari covernya.” Bahwa wajah seseorang sering memberikan kesan pertama, dan kesan ini selanjutnya berpengaruh dalam membuat keputusan.
Sebenarnya faktor kesehatan dan kecerdasan seseorang musti lebih utama sebagai penentu dalam menilai seseorang. Namun lagi-lagi faktor daya tarik- faktor wajah yang menarik (attraktif) memberi bias-membuat seseorang selalu bersifat memihak menilai penghargaan dan penilaian yang lebih pada orang gagah atau orang yang cantik.
Daya tarik juga mempengaruhi dalam penilaian akademik. Bahwa remaja (siswa atau mahasiswa)  yang menarik penampilannya cenderung memperoleh nilai kompensasi- nilai yang lebih tinggi dari dosen dan teman-temannya. Sean N, dkk (2009) membatasi studi tentang bagaimana penampilan wajah mempengaruhi keunggulan seseorang dalam melakukan wawancara.
Georgia Soares (2013) juga menemukan bahwa orang-orang yang wajahnya kurang terawat- bernoda, jerawatan, ada goresan luka dan komedo-ini semua bisa mempengaruhi kualitas wawancara dan penurunan kuaitas rasa percaya diri. Dia mengatakan:
When looking at another person during a conversation, your attention is naturally directed in a triangular pattern around the eyes and mouth. The more the interviewers attended to stigmatized features on the face, the less they remembered about the candidate's interview content.”
Bila anda sedang melihat seseorang saat melakukan wawancara, perhatian anda secara tak sengaja akan terfokus pada wilayah segi-tiga di sekitar dua-mata dan mulut.  Kalau anda memperhatikan ada titik noda pada wajah objek (orang yang sedang diwawancarai) dan anda lebih fokus pada noda tersebut maka anda akan kurang memperhatikan kualitas pernyataan yang diberikan.
Ada kesan bahwa orang yang ditanya (sedang diwawancarai) akan kehilangan daya tarik, sehingga banyak informasi penting yang ada pada mereka akan kurang tergali. Dengan arti kata orang yang memiliki noda pada wajah bisa kehilangan momen dalam memberi pernyataan yang meyakinkan anda.
Sebaliknya orang yang wajahnya gagah atau menarik. Hal ini akan mendatangkan rasa percaya diri dan kharisma tersendiri.  Dikatakan bahwa orang-orang yang daya punya daya tarik akan punya keuntungan yang lebih besar dalam masyarakat  dibandingkan orang- orang yang kurang menarik. Sebenarnya itu bukan efek dari “prasangka atau prejudiced” namun itu sebagai respon biologi manusia atas daya tarik yang ada pada seseorang.
Sehubungan dengan uraian di atas tentang kesuksesan dalam belajar, bekerja, dan faktor noda pada wajah yang merusak daya tarik penampilan. Saya juga teringat pada pengalaman sendiri. Bahwa ada teman masa remaja saya yang sangat rajin dan disiplin dalam belajar sehingga setiap dia ujian, dia mampu meraih nilai ujian yang lebih tinggi. Dalam ujian harian, ujian tengah semester, dan ujian kenaikan kelas, dia juga mampu meraih angka- angka yang fantastis. Sehingga pada rapornya tertera nilai-nilai yang mengagumkan. Bagaimana reaksi teman- teman kepadanya?
            Sebagian merasa kagum pada kemampuan akademiknya dan yang lain merasa biasa-biasa saja, apalagi melihat performance-nya yang juga sedikit kaku, kurang ramah, kurang suka berkomunikasi sehingga banyak orang yang kurang tertarik buat ngobrol dengannya.
“Karena dia sendiri juga kurang peduli dengan penampilannya. Dia membiarkan wajahnya kurang terawat sehingga membuat lawan jenis juga malas banyak ngobrol dengannya atau ngobrol hanya sebatas basa-basi saja”.
            Sehubungan dengan judul tulisan ini, yaitu buatlah dirimu “attraktif atau lebih menarik” agar sukses segera datang. Daya tarik atau attraktif memang sangat dipengaruhi oleh faktor good looking-wajah yang tampan atau wajah yang cantik. Namun itu semua merupakan anugerah dari Tuhan (Allah Swt). Daniel Hamermesh (2011) juga menambahkan bahwa bagi mereka yang memiliki faktor wajah yang kurang beruntung, tentu akan juga bisa membuat keberuntungan yang lebih. Mereka masih memiliki tempat- tempat lain untuk mewujudkan kesuksesan mereka.
            “Jangan mencari pekerjaan dimana faktor wajah menjadi penentu keberhasilan. Maka jangan putuskan untuk menjadi pembawa acara di TV, namun bisa bekerja sebagai penyiar radio. Jangan menjadi aktor film, namun carilah tempat pekerjaan yang anda senangi dimana wajah bukan sebagai faktor penentu yang utama,” demikian nasehat Daniel Hamermesh (2011).

Daya Tarik Bisa Datang Dari Kualitas Kepribadian
            Apakah “daya tarik atau attraktif” hanya ditentukan oleh faktor keberuntungan secara biologi, yaitu bentuk wajah yang cantik atau tampan dan tubuh yang bagus? Tentu tidak dan tidak mutlak demikian.
Daya tarik seseorang juga bisa datang dari kualitas pribadinya. Saya pernah membaca artikel pada sebuah majalah tentang Sri Owen. Sri Owen (2008) dalam journal dan weblognya menulis tentang dirinya- Something About Myself.” Dia lahir di Padang Panjang- Sumatera Barat. Pada masa kecil ia sangat senang melihat neneknya memasak di dapur. Kehidupan Sri di Sumatra Barat tidak berlangsung lama, kedua orangtuanya pindah ke Jawa,dan menetap di Magelang.
Ia menyelesaikan pendidikan SMA di Magelang, kemudian melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada, jurusan Bahasa Inggris.  Dia menyukai Bahasa Inggris karena bercita-cita melanjutkan studi dan jalan-jalan ke luar negeri. Saat tinggal di Yogyakarta Sri sering menjadi interpreter (penerjemah) untuk tamu VIP. Dia sering ikut kegiatan membaca puisi dan drama buat disiarkan oleh radio di Yogyakarta. 
Sri berjumpa dan berkenalan dengan Roger Anthony Owen,  seorang dosen muda berkebangsaan Inggris yang mengajar Sejarah di UGM. Roger adalah pemuda Inggris yang bertumbuh tinggi dan wajah tampan. Sementara Sri adalah wanita Sumatra Barat (Indonesia). Kecantikan wajahnya  biasa- biasa saja. Namun lambat laun Roger Anthony Owen jatuh cinta pada Sri. Mengapa itu bisa terjadi?
Daya tarik Sri bukan terletak pada fisiknya. Kecantikan yang dimiliki oleh Sri bukan semata-mata ditentukan oleh faktor wajah. Pribadi Sri yang menarik, wawasannya yang luas dan daya tarik dari dalam diri Sri membuatnya punya pesona tersendiri di mata Roger Anthony Owen. Hingga akhirnya  Roger  bersimpati, jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah dengan Sri. Setelah menikah nama Sri lebih akrab disapa dengan “Sri Owen”.
Mereka berdua kemudian pindah ke London. Sri  mendapatkan pekerjaan di BBC di bagian siaran Indonesia sebagai penyiar, produser dan penerjemah. Ternyata Sri Owen juga punya talenta dalam bidang kuliner, khususnya masakan Padang dan masakan Indonesia. Urusan masak-memasak inilah yang kemudian membawa Sri Owen menjadi seorang penulis masakan Indonesia. Dia punya obsesi untuk menulis tentang masakan Indonesia. Suaminya, Roger, sangat mendukung. Sri dan suaminya juga sering masak bareng dan menjamu teman-teman untuk memperkenalkan masakan Indonesia di rumahnya yang sederhana.
Kesuksesan utama Sri Owen, selain punya banyak teman di dunia, juga karena bakat kuliner yang didukung oleh kemampuan jurnalistik dan menulisnya. Buku masakannya yang berjudul “The Home Book of Indonesian Cookery”, sangat populer dan laris manis. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul “Die Indonesiche Kuche.”
Selain menulis buku mengenai masakan, Sri Owen juga aktif mengisi demonstrasi masakan di sejumlah acara, diantaranya pernah tampil di ABC Channel dan sejumlah televisi di Inggris lainnya serta MTV Helsinki. Sri Owen juga tercatat sebagai anggota Guild of Food Writer, London dan IACP (International Association of Culinary Professional) USA serta Society of Author London.
Bagaimana implikasi dari judul artikel ini? Bahwa orang dengan penampilan yang menarik akan lebih mudah buat meraih sukses. Ternyata daya tarik seseorang tidak selalu tergantung dari kondisi fisik, seperti bentuk wajah. Namun kualitas kepribadian juga menjadi faktor yang berpengaruh. Sebagaimana yang dimiliki oleh Sri Owen, wawasannya yang luas, kemampuan berkomunikasi, tatakrama, dan kecakapan hidup, semua membuat pribadinya terlihat penuh pesona.
Jadi wajah yang hanya sebatas  good looking, yaitu cantik atau ganteng, belum bisa memberikan jaminan bahwa seseorang punya daya tarik bagi orang lain. Lebih lanjut mari kita miliki kemampuan berkomunikasi, keterampilan dalam beradaptasi, bergaul, mengambil keputusan, bersimpati dan kemampuan sosial lainnya.

Percepatan Belajar Untuk Merespon Perubahan

Percepatan Belajar Untuk Merespon Perubahan

Kosakata Yang Menghilang
            Ada kata-kata yang sering dipakai dalam berkomunikasi, istilah bahasa Inggrisnya adalah high frequency, dan kata-kata yang jarang dipakai dan istilah bahasa Inggrisnya low frequency. Banyak kata- kata yang dulu sering dipakai dalam berkomunikasi, namun sekarang sudah amat jarang didengar dan telah menjadi kata-kata yang langka.  
            Anda masih kenal dengan kata-kata “perangko dan filateli”? Tentu saja ini sudah menjadi sebuah kata yang asing di telinga para remaja sekarang. Filateli adalah hobby seseorang dalam mengkoleksi perangko. Sekarang banyak benda-benda yang tidak dikenal lagi karena sudah tergerus oleh zaman. Yaitu seperti benda- benda “telegram, telegraf, kartu pos, warkat pos, piringan hitam, mesin ketik, type-ex kertas, kertas stensilan, dll.” Ini semua juga sudah asing di telinga para remaja, dan termasuk beberapa kosakata yang cenderung menghilang dari peredaran.
            Tiga puluh tahun lalu banyak remaja yang tidak sabaran buat menunggu datangnya malam minggu. Karena mereka ingin menikmati hiburan lewat layar tancap atau janjian di gedung bioskop. Namun sekarang layar tancap sudah jadi masa lalu dan ribuan gedung bioskop yang jadi kosong dan dialih-fungsikan untuk tujuan bisnis yang lain.
            Perubahan tetap terjadi sepanjang waktu. Dulu anak-anak sering curi-curi kesempatan agar bisa menikmati permainan seperti “play station, ninetendo, game block, dll”. Sekaligus benda-benda tersebut menjadi musuh orangtua karena gara-gara keasyikan bermainan, mereka jadi lupa dengan tugas rumah, PR dan tugas sekolah lainnya. Game atau permainan tersebut juga telah tergerus oleh zaan dan ditinggalkan. Game online berada disimpang jalan karena sekarang atas nama kasih sayang banyak orangtua memanjakan anak dengan membelikan mereka android. Dan kini mereka dimanja dan disibukan oleh android, benda yang mendidik dan sekaligus merusak minat belajar.    
Kita memang sedang dilanda oleh perubahan. Dahulu perubahan terjadi secara perlahan-lahan- atau secara evolusi. Kini perubahannya sudah sangat drastis atau terjadi secara revolusioner. Ya bahwa kita dan banyak orang berada dalam arus perubahan yang cepat.
Apa yang musti kita lakukan untuk mengantisipasi ini semua yang berdampak pada semua lini kehidupan kita? Tentu saja kita harus berubah. Dan sangat tepat kalau kita juga melakukan perubahan yang cepat. Perubahan terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat dimana kondisi sosial yang berlaku pada masa tersebut yang mempengaruhi pribadi mereka (Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, 2009).
Kunci untuk menghadapi perubahan adalah dengan pendidikan atau pembelajaran, tepatnya dengan percepatan pembelajaran atau accelerated learning. Orang-orang yang ingin berubah seharusnya membaca buku accelerated learning. Ada banyak buku tentang percepatan belajar, dua diantaranya adalah buku yang berjudul the accelerated learning handbook (Dave Meier, 2002) dan accelerated learning for 21st century (Coline Rose dan Malcom.J.Nicholl, 2003).
            Coline Rose dan Malcom J Nicholl (2003:8-38) memaparkan tentang percepatan belajar secara khusus. Dia menyatakan bahwa belajar harus dimulai sedini mungkin dan tidak boleh berhenti sampai manusia meninggal dunia. Yang berkuasa di dunia sekarang adalah orang yang punya pikiran. Pekerjaan yang bernilai sekarang adalah pekerjaan yang memakai otak, punya skill dan bakat di bidang apa saja. Orang yang berpendidikan rendah, lemah ekonominya akan selalu tergantung pada orang lain.
            Negara dengan penduduk yang tidak berdaya akan menjadi pengangguran. Dan negara akan rugi karena harus membayar dana sejahtera dan kesehatan. Kekayaan bangsa ada pada kualitas otak penduduknya, yaitu: kreatif dan terampil. Untuk itu memang diperlukan accelerated learning atau cara belajar cepat untuk beradaptasi dengan perubahan.
            Dahulu perbedaan utama setiap orang adalah “kaya harta dan miskin harta”. Namun sekarang perbedaan utama adalah antara orang yang “kaya pengetahuan dan miskin dengan pengetahuan”. Maka pendidikan adalah sarana untuk menjadi kaya dengan pengetahuan dan juga modal utama bagi seseorang agar bisa beradaptasi.
Mari kita pergi ke berbagai sekolah. Mungkin kita mengunjungi SMP, SMA, SMK, atau ke Madrasyah, dll. Disans kita akan berjumpa dengan para remaja sedang menuntut ilmu dan mereka saling bertanya tentang masa depan:
“Apa cita-cita mu?...apa mimpimu kelak?....apa rencanamu setelah tamat SMA dan setelah kuliah? Ingin jadi apa kalau kamu besar nanti?”
Ini semua adalah pertanyaan yang bersifat konvensional. Ternyata pertanyaan yang demikian tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Kalau dahulu orang yang jago di sekolah rata-rata memperoleh pekerjaan, namun di zaman sekarang, orang yang biasa-biasa saja saat bersekolah, namun setelah dewasa bisa jadi orang terpandang. Seakan-akan kondisi jadi terbalik. Maka pertanyaan yang lebih tepat untuk diajukan adalah:
            “Apa yang dapat kamu kerjakan jika kamu tumbuh dewasa nanti?” Pertanyaan tersebut lebih menunjukan bahwa seseorang punya kemandirian, kreativitas, inovasi, atau punya visi dan misi serta pro terhadap perubahan yang selalu terjadi.

Percepatan Belajar
            Untuk beradaptasi dengan perubahan demi perubahan yang terjadi secara drastis (revolusioner), salah satunya dengan cara menyadur cara belajar cepat atau accelerated learning. Cara belajar cepat sangat berguna untuk menyerap dan memahami informasi dengan cepat. Bagaimana cara menerapkan cara belajar tersebut?
Accelerated learning bisa diaplikasikan di rumah dan juga di sekolah. Untuk aplikasi di sekolah, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
            - Ubah ruang kelas dengan total.
            - Belajar melalui serangkaian aktivitas.
            - Belajar dengan menggunakan emosi.
            - Belajar dengan menggunakan musik dan dekorasi.
            - Proses belajar mengajar harus bebas dri tekanan.
            Semetara itu, cara belajar cepat juga bisa diadopsi di rumah sama halnya dengan penekan yang ada disekolah dan hanya dua hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua, yaitu seperti:
- Menyediakan kondisi rumah yang kaya dengan stimulas (rangsangan).
- Membebaskan suasana rumah dari stress, ini berguna agar anak-anak
  tumbuh mandiri.
Dalam menerapkan cara belajar cepat maka guru dan orangtua dihimbau dalam mendidik dan menumbuhkan nilai-nilai moral agar melibatkan unsur emosi seperti adanya “suasana ruangan yang ceria dan orang-orang yang terlihat bahagia”. Selanjutnya Coline Rose dan Malcom.J.Nicholl (2003:85-115) menjelaskan tentang metode cara belajar cepat dengan teknik MASTER, yaitu singkatan dari:
-          Motivation (apa gunanya belajar bagiku, agar termotivasi mereka harus merasa tertarik lebih dahulu).
-          Acquire (memperoleh informasi dengan semua indera).
-          Search (eksplorasi subjek).
-          Trigger (memicu memori).
-          Exihibit (apa yang kita peroleh).
-          Reflect (bagaimana kita belajar). 
            Dalam buku “Tuntutlah Ilmu Sampai Negeri Prancis (Marjohan dan Ranti, 2012)” kita dapat membaca bagaimana perjuangan Ranti Komala Dewi bisa maju dan berkembang. Itu dia peroleh karena dia juga melakukan cara belajar cepat secara tidak langsung.
Kelemahan yang dimilikinya dapat menjadi kekuatannya. Pun, kekuatan Ranti dapat menjadi kelemahannya. Ungkapan seperti itu bukanlah sesuatu yang terlahir dari kekosongan belaka, namun nyata adanya dan tentu saja faktual. Paling tidak, kisah luar biasa yang dituangkan dalam buku tersebut. Ini menjadi saksi sekaligus bukti akan kebenaran ungkapan tersebut.
Di dalam buku tersebut kita dapat menyimak kisah perjuangan seorang anak dusun nan sederhana dalam meraih mimpinya untuk kuliah di Eropa. Bagaimana perjuangannya dalam mencari beasiswa. Bagaimana hari-hari musim dingin Eropa telah menempanya menjadi sosok yang tidak takut berjuang meraih mimpi. Kita bisa mengikuti pengalaman manis, getir, haru, dan bahagia ketika Ranti dan teman-temannya tinggal di Prancis, ketika mereka pontang-panting mencari kamar sewa, ketika mereka mengikuti kuliah perdana di Sorbonne dengan keterampilan berbahasa Prancis yang nyaris nol, karena belajar bahasa Perancis dengan accelerated learning akhirnya ia mampu berbahasa Perancis. Belajar bahasa lebih mudah dilakukan dalam konsep sebuah cerita.
Buku tersebut saya tulis berdasarkan pengalaman langsung dari Ranti Komala Dewi. Lebih dari sekadar buku “kuliah sambil jalan-jalan di Prancis”, buku ini merangkum pula segala pembelajaran kehidupan yang berhasil disarikan oleh Ranti selama ia meniti tangga-tangga menuju puncak pencapaian mimpinya. Banyak pula pengamatan-pengamatannya yang bernas tentang orang-orang dan kebudayaan Prancis. Semuanya layak disimak dan dijadikan pembelajaran kehidupan.
Saya juga memaparkan pengalaman Doni Adinata dalam melakukan percepatan belajar, khusus selama kuliah di Jerman, sebagaimana ditullis dalam buku “Akhirnya Kutaklukan Kampus Jerman (Marjohan Usman dan Syaiful Amin, 2013)”. Kenapa Donni begitu istimewa? Sebenarnya, ada banyak alasan mengapa pemuda itu begitu istimewa. Namun, saya hanya butuh satu istilah untuk menyebutnya istimewa, yakni “luar biasa karena ia telah melakukan accelerated learning”.
Dibesarkan dalam keluarga broken home sejak kecil dan di tengah himpitan ekonomi yang mendera, tak lantas membuat Donni Adinata- pria yang saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Indonesia-menjadi pesimis. Justru, hal itu semakin memperkuat tekadnya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Selepas menamatkan pendidikan SMA-nya di Padang Pariaman (Propinsi Sumatera Barat), Donni Adinata memutuskan untuk belajar di Pulau Jawa. Melalui jalur PMDK, akhirnya ia diterima di Universitas Diponegoro dan lulus dengan predikat cum laude.
Belum puas dengan ijazah sarjana teknik yang diperolehnya, ia kemudian mulai rajin berburu beasiswa ke luar negeri untuk mewujudkan impiannya. Perjuangan keras dan berbagai kisah menarik pun mengiringi perjalanan hidupnya saat ia diterima kuliah di University of Malaya di Malaysia, dilanjutkan ke RWTH Aachen University di Jerman hingga meraih gelar doktor.
Belajar semua bahasa asing meliputi aspek berbicara, menyimak (mendengar), membaca dan menulis. Dulu dia merasa sulit belajar bahasa Inggris. Namun sekarang dia rasakan bahwa bahasa Inggris tidak begitu sulit. Bahasa Jerman malah lebih sulit karena bahasa ini mempunyai artikel, grammar yang berbeda dari bahasa Inggris dan tentu juga kosa katanya.
Dave Meier (2002: 23) yang bukunya berjudul accelerated learning, mengatakan bahwa belajar adalah berkreasi bukan mengonsumsi. Untuk accelerated learning perlu keterlibatan total dalam pembelajaran. Belajar berpusat pada aktifitas bukan berpusat pada presentasi. Belajar bukanlah sejenis olahraga untuk ditonton tetapi menuntut peran serta semua pihak. Untuk accelerated learning perlu kegembiraan belajar dan ini penentu utama kualitas dan kuantitas belajar. Kegembiraan bukan berarti menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Kegembiraan berarti bangkitnya minat dan semangat kita.

Cerdas Bermental Sopir Atau Bermental Penumpang?

Cerdas Bermental Sopir Atau Bermental Penumpang?

Buku Pemberi Inspirasi
Salah satu program unggulan Metro TV adalah “Big Cicle.” Host acaranya sering mengundang Prof. Rhenald Kasali Ph.D untuk mengomentari inovasi-inovasi dalam bidang perekonomian. Saya mendengar namanya saat saya mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2012. Rhenald Kasali ikut memberikan kuliah umum buat kami, para guru berprstasi. Setelah itu kami semua memperoleh buku “Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang” (Rhenald Kasali, 2011).
Rhenald Kasali adalah seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia, khususnya dari bidang ekonomi. Ternyata dia juga sangat peduli pada dunia pendidikan. Saat itu kami- para peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Saya merasa lebih dekat dengan pemikirannya dan saya sengaja mencari semua buku-buku yang ditulisnya pada sebuah toko buku di Padang. Saya pun menemukan buku-buku karangannya seperti: Let’s Change, Change leadership Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya yang Self Driving Menjadi Driver atau Passenger? Menjadi best seller dan sangat mengagumkan dan menginspirasi banyak orang. Memang membaca buku bisa memberi banyak inspirasi bagi kita.
Saya membaca buku-buku Rhenald Kasali dan saya merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Salah satu bukuya memberi saya pemahaman tentang apa yang ditulisnya, adalah pada buku Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?(Rhenald Kasali, 2016).
Saya ingin berbagi tentang bukunya- memaparkan lagi pemikiran Rhenald Kasali atas fenomena pendidikan yang telah membentuk kita menjadi orang yang cerdas namun susah untuk bergerak- untuk maju. Sengaja saya paparkan agar para pembaca yang berusia remaja bisa memahami dan setelah itu bisa mengambil sikap untuk melakukan update atau revolusi mental demi untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Rhenald Kasali megatakan bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver (bermental sopir atau bermental penggerak) yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus (juga di SLTA), tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia (mahasiswa dan siswa) bermental passenger (bermental sopir atau bermental passif).
Dikatakan bahwa generasi muda sekarang cenderung banyak yang pandai, namun outputnya adalah menjadi manusia-manusia bermental penumpang. Setelah menjadi cerdas, mereka tidak tahu mau berbuat apa. Ilmu pengetahuan atau kecerdasannya tidak mampu menggerakkan dirinya apalagi untuk menggerakan orang lain.
Orang-orang demikian kalau belajar fokusnya adalah sebatas bisa menaklukan isi buku teks, yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian- sebatas jago berteori. Jadi pintar mereka hanya sebatas pintar di atas kertas.
Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka kualitas sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana cerdas di atas kertas. Sementara itu dalam praktek pendidikan, banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana realita kehidupan ini terjadi. .   
            Ditambah lagi bahwa model pendidikan pada tingkat pendidikan dasar (di tingkat SD dan SMP)- yang mana model pembelajaran yang sering terjadi bercorak konvensional. Yaitu sebatas membiasakan para siswa hanya pandai menghafal pelajaran (sambil melipat tangan dan duduk manis saat belajar). Maka setelah itu terbentuklah orang-orang muda menjadi generasi yang pasif.

Buruh Migran Bisa Jadi Lebih Cerdas Dari Mahasiswa
Dalam realita kehidupan bahwa para mahasiswa dan juga siswa bisa dikalahkan oleh orang-orang yang bukan bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka itu tidak bersekolah tinggi. Mereka dipaksa oleh lingkungan (oleh takdir atau nasib) untuk berpikir kritis menghadapi dunia baru yang sangat menuntut. Buruh migran bisa jadi lebih cerdas dari mahasiswa atau dari sebahagian sarjana(?) 
            Para buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan, misalnya, banyak yang memiliki pikiran yang lebih hebat dibanding sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan hidupnya. Pada akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi orang dengan karakter penumpang, bukan bermental driver.
            Rhenald Kasali dan juga para tokoh pendidik yang pro kemajuan sudah lama komplain terhadap praktek pembelajaran di dunia pendidikan. Mengapa?
Karena metode pembelajaran di sekolah-sekolah yang terlalu berorientasi pada kognitif. Guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif, namun tidak menguasai semua subjek (mata pelajaran).
Potensi para siswa hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah tidak mendorong munculnya (tumbuhnya) critical thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan (mendidik) generasi yang bersifat bebek-bebek dogmatik.
            Sementara itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa hanya dari ujian tertulis, yaitu dari buku test dan kertas test. Rhenald Kasali- sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dalam kelas marketing (mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan seorang marketing (marketer) dengan nilai A. Mengapa?
Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman, berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan temannya. Pada hal seorang marketing (marketer) itu seharusnya punya pribadi yang  menarik dan menyenangkan.
            Akhirnya orang-orang seperti itu (mahasiswa tadi) kelak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam memasarkan dirinya dan kelak jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang frustasi (depresi).  
            Juga merupakan fenomena bahwa sekarang banyak calon mahasiswa berebut untuk bisa kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di tanah air ini. 
Pemikiran yang cerdas adalah “jangan pernah menjual label-label universitas. “Wah aku ini lulusan universitas X pasti perusahaan besar yang hebat akan mudah menggaetku,” namun jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan unggul yang engkau miliki !.
Agaknya banyak generasi muda termasuk bagi mereka yang baru jadi sarjana, juga setuju dengan pendapat bahwa label universitas belum bisa menjamin kita untuk sukses. Kecuali kualitas pribadi kita sangat ditentukan oleh cara kita berproses dan komitmen kita sendiri.

Self Sebagai Kendaraan Kita
            Sesungguhnya Allah Swt telah memberi kita “diri” yang bisa kita sebut dengan kata “self”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih arah, mau dibawa kemana self tersebut. Apa mau diarahkan untuk menjadi orang yang bermental penumpang (self-passenger) atau menjadi orang yang bermental pengemudi (self-driver) nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver?
            Pilihan yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat benar bahwa kita harus mampu untuk:
Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”.
            Namun kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau juga mungkin kita sendiri yang “bermental passenger- yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Amatilah sebuah mobil yang sedang lewat. Di dalamnya banyak penumpang dan seorang sopir. Maka seorang penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver). Dia tidak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk atau ngobrol. Sementara seorang driver harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan harus bisa merawat kendaraan.
            Seseorang yang menjadi passenger, dia akan punya diri dengan kualitas sebagai pengikut. Dia punya mental yang kerdil- itu terjadi karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap (statis) atau kurang bergerak.
Sebaliknya seseorang yang menjadi driver- dia akan mampu mendorong- karena memiliki settingan otaknya  (mindsetnya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai terjadinya perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya empati.   
            Telah banyak orang yang didik begitu lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi sarjana, mereka tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu menggerakan (self-drive in) dirinya sendiri, apalagi menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka bertarung habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau menjadi beban bagi orang lain.
            Pendidikan hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang terbiasa berpikir.

Belajar Berpikir Atau Sebatas Pandai Menghafal
Belajar artinya adalah berpikir, ibarat seorang driver yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa mengambil jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Rhenald Kasali (2016) menambahkan bahwa masalah yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia politik, juga di dunia birokrasi dan akademik. Semua tidak lepas dari pengalaman bagaimana manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga sejak dari kecil. Melalui tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan potensi atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen juga tidak mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering bertanya:
“Mama, ..papa..ini boleh nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa sudah waktunya atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini cocok atau tidak??”
Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan. Orangtua masih membelenggu pikiran mereka dengan hubungan batin pada pikirannya. Saat mereka ingin ikut berkemah dengan teman-temannya, orangtua mengatakan:
“Jangan ikut berkemah nak ..nanti kau sakit.”
Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi, travelling, orangtua juga merasa keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orangtua juga menetapkan syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit orangtua yang mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya masih banyak diurus orangtua.
Rasa ketergantungan pemuda yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan. Yang orangtua lupa bahwa mereka telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang mampu berpikir secara mandiri karena orangtua yang melatihnya dari kecil hingga dewasa. Seolah-olah orangtua tak rela menjadikan mereka menjadi manusia dewasa yang mampu berpikir sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu ingin dibimbing orangtua.
Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam kendaraan keluarga. Sudah seharusnya para remaja juga bisa melatih diri  untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan.
Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya untuk punya keterampilan, untuk mandiri. Setelah itu anaknya terbang dan hidup mandiri.
Maka kita sebagai anak-anak muda, para remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri ini selalu terpasung oleh sesuatu yang kita bawa dari masa lalu. Untuk itu mari kita lakukan perubahan !!!

Cerdas Sebatas Memindahkan Isi Buku Ke Otak
Kita tidak bermaksud menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sebatas memberi tahu tentang kenyataanya- atau sebuah otokritik. Bahwa para pendidik dan juga para dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala kita (siswa dan mahasiswa), itu namanya kita belum menuntut ilmu, tetapi baru sebatas  memindahkan isi buku ke memory dalam kepala ini.
Rhenald Kasali mengatakan tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Bahwa kita di Indonesia terlihat banyak yang ketakutan dalam megungkapkan isi pikiran dan analisis kita kendati kita sudah dewasa. Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda (mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika kita (dan banyak anak Indonesia) begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua, Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara- Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di restoran, dll.   
Para mahasiswa yang dulu hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup di dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad.
Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita menyaksikan orang-orang yang dulu hidup begitu dimanjakan (akibat berada dalam comfort-zone). Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian.
 Oleh sebab itu mari kita biasakan belajar untuk keluar dari comfort zone (zona aman)- dari kebiasaan banyak diservis, serba dilayani dan merengek pada orangtua melulu. Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar emas.
Diakui bahwa memang banyak jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana  kalau di atas kertas cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu meraih nilai atau skor akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan apa bentuk karir mereka.
Ya generasi kita- generasi baru Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih tentu bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah. Secara langsung maka para orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
“Anak- anak tidak diajar bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang lebih sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya telah bermunculan generasi yang lebih banyak servis. Artinya anak-anak dibuat dengan kemampuan berpikirnya hanya sebatas bisa menghafal- hingga mereka menjadi generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
“Pergi sekolah untuk apa dan kuliah buat mencari apa?”
Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas atau sekolah yang bergengsi, yang dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan (disekolahkan). Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku atau dalam kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah jadi fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya universitas yang bergengsi dan punya label maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang dengan mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan tidak mau mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan berlabel unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih dari sebatas  teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan “total pribadi” yang sangat berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian pengalaman- yang penuh ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di sekolah kita dengan istilah “Race To Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana banyak anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat namun bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.

Fenomena Kehidupan Yang Terbalik
Fenomena memperlihtkan bahwa hidup ini sering situasinya jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi apa-apa. Sedangkan orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang terkesan bermalas-malas mereka malah memiliki mindset (pola berpikir) sebagai seorang driver, sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola beripikir) sebagai seorang passenger -ya sebatas  berharap jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental driver. Untuk itu kepada mereka yang sedang belajar bersungguh-sungguh kita bisa ajukan sejumlah indikator atau pertanyaan untuk melihat apakah kelak mereka menjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan mengapa hidup musti berubah, dan mengapa perubahan
   menuntut manusia untuk berpikir?
- Apakah orangtua/ lingkungan anda membelenggu perkembanganmu?
- Apakah anda tertantang untuk mengenal linkungan baru yang lebih
   banyak? Apa anda bertipe orang rumahan?
- Apa anda senang diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih
   mandiri?
- Apa anda tergila gila dengan gadget dan membuat anda sangat individualis
   dan kurang membuka diri?
- Apa anda suka melayani, dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau
   kendali diri, serta juga punya tanggung jawab?
-  Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa
   mengendalikan diri, teman- teman, lingkungan dan kedepannya untuk
   mengendalikan bangsa ini?
- Anda senang menonton orang bekerja? Atau terpanggil untuk ikut
   berpartisipasi?
- Anda mudah gelisah dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga
  dengan orang baru? Anda mampu beradaptasi dengan mudah?
- Dalam bergaul dan berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
  berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat orang?
- Apa anda memiliki disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang
  baik?
- Apa anda punya ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya?
- Anda mampu berkonsentrasi? Juga mampu mengendalikan emosi/
  amarah?
- Anda senang beraktivitas?
- Apa anda suka membuat-buat alasan? Suka mnunda nunda waktu,
  menunda pekerjaan, bekerja tanpa prioritas?
- Apa anda suka menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka
  membuang waktu?
- Apa anda bisa mengukur kemampuan diri?
- Apa anda orangnya sangat gigih? Sangat tekun? Sangat Pede? Tidak suka
  pasrah dan menyerah?
- Apa anda orang nya sederhana ada gaya hidup yang ribet?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas maka akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktek pendidikan yang cenderung mengantarkan kita menjadi orang yang bermental penumpang maka harus segera kita perbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus dibongkar habis. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri.
Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun. Dimana para siswa dibuat belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di lapangan pendidikan sering ditemukan para siswa yang pintar di sekolah, namun belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada para siswa yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya cenderung suka menghafal.
Memorizing is not the good way in thingking dan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik”.  
Maka para remaja (para siswa) dan juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa membuat siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal menjadi berpikir- thingking oriented.
Karena dengan kemampuan berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi model pembelajaran/pendidikan kita perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtua kita. Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang menjadi pribadi driver- yang mampu menggerakan dan mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk menjadi nation driver atau penggerak bangsa.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...