Rabu, 13 Januari 2016

Mencegah Drop-Out Sedini Mungkin



Mencegah Drop-Out Sedini Mungkin

            Semua orang tua sangat  memahami tentang betapa pentingnya manfaat pendidikan bagi anak. Mereka semua selalu mendukung kelangsungan pendidikan dan malah mencarikan sekolah terbaik buat anak-anak mereka. Sekaligus ini juga bentuk respon yang kuat atas kebijakan pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Kemudian malah secara spontan mereka melanjutkan wajib belajar secara spontan buat anak hingga kelas 12 (di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas).
Fenomena sosial bahwa cukup banyak orang tua yang juga menginginkan putra-putri mereka untuk memperoleh pendidikan tinggi. Hingga sekarang di berbagai kota telah bermunculan cukup banyak perguruan tinggi, dan ini memberi sinyal bahwa orang tua sangat peduli untuk memberi anak-anak mereka pendidikan yang lebih tinggi.
            Harapan mereka pada anak adalah agar mereka bisa menyelesaikan pendidikan mereka dari SD, SLTA terus hingga SLTA dan Perguruan tinggi. Namun dalam pelaksanaannya tidak mudah- tidak seperti membalik telapak tangan- karena ada harapan yang  tidak terpenuhi. Kita dapat menjumpai fenomena bahwa banyak pendidikan anak-anak mereka yang tercecer di tengah jalan. Maksudnya mereka putus sekolah atau drop out dalam menjalani pendidikan ini.
            Angka putus cukup banyak terjadi di tengah- tengah kehidupan kita. Bila kita bandingkan tentang fenomena putus sekolah di negara kita dengan di negara- negara  maju, maka kita menjadi malu karena memikirkan eksistensi pendidikan dan kegagalan akademik negara kita. Menurut Ketua Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan- Kerlip (http://rumahkerlip.blogspot.co.id/), tentang angka drop out- menyebutkan bahwa jumlah anak terlantar tersebar di 34 provinsi mencapai 4,1 Juta jiwa (Kemensos RI, 2014) dan menurut Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal - PAUDNI, tahun 2014 tercatat bahwa ada 7,39 juta anak putus sekolah.
Bruce Stronach (1995) menulis tentang sosial, budaya dan pendidikan di Jepang. Drop out juga terjadi di negara maju, seperti di negara Jepang- namun angkanya sangat kecil, kalau angka drop out kita sangat besar. Kementerian Pendidikan Budaya Olahraga Sains dan Teknologi Jepang mengumumkan hasil surveinya- Maret 2014 (http://www.tribunnews.com/internasional/2014) tentang angka drop-out pendidikan masyarakatnya. Bahwa sekitar 60.000 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan dan Perguruan tinggi (universitas) di Jepang mengundurkan diri di tengah jalan alias drop out (DO). Jumlah tersebut tersebut terjadi karena faktor pencarian kerja paruh waktu atau kerja non permanen yang dilakukan oleh siswa dan mahasiswa. Dorongan mencari kerja ini karena kehidupan di Jepang memang  sangat mahal, membutuhkan biaya untuk hidup yang besar.
Persentase 60 ribu dari total penduduk Jepang 127 juta adalah sekitar 0,0005 % (5 per sepuluh ribu) pertahun. Sebaliknya kalau di negara kita, seperti yang telah disebutkan di atas, ada  7,39 juta anak yang drop out dari sekolah pertahun. Persentasenya untuk ukuran penduduk kita 260 juta adalah 0,029 % (29 perseribu) pertahun. Angka 60 ribu dibandingkan dengan angka 7,39 juta tentu jauh sangat kecil, yaitu 1:125.
Angka drop out di Jepang juga ada penyebabnya. Sebuah survei yang dilakukan oleh Japan Institute for Labour Policy and Training, terhadap 2.000 responden yang berusia 20-an yang berdomisili di Tokyo pada tahun 2011 memperlihatkan hasil bahwa separuh (50 persen) dari yang berhenti sekolah/kuliah (drop out) tersebut karena desakan hidup yaitu memiliki pekerjaan tidak tetap dan 14 persen di antaranya tidak bekerja.
Sementara itu penyebab utama putus sekolah di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Kondisi ekonomi negara kita dibandingkan negara maju masih belum beruntung. Jumlah anak miskin mencapai 44,4 juta anak atau  lebih dari 50% dari seluruh populasi anak (UNICEF, 2012). Separuh dari 83 juta anak Indonesia tidak memiliki akta kelahiran yang seharusnya menjadi hak mereka. Jumlah anak yang kekurangan gizi pada tahun 2014 meningkat dari 15% menjadi 17%. Mereka berasal dari daerah kantong-kantong kemiskinan, terpencil, terluar dan tertinggal.
Selain faktor kemiskinan, faktor pendidikan orang tua yang rendah dan minimnya ilmu parenting orang tua juga pemicu terjadinya putus sekolah bagi anak- anak Indonesia. Malah karena kegagalan mendidik orang tua- fail parenting- maka jumlah anak berhadapan dengan hukum/berstatus tahanan atau narapidana jugasignifikan banyak yaitu 5.730 orang. BNN menyebutkan bahwa 22% pengguna narkoba di Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa.
Terkait dengan fenomena drop-out, ada 2 bentuk respon sekolah yaitu ada sekolah yang sungkan untuk mengungkapkan jumlah drop out, takut akan mengganggu proses perekrutan murid di sana, tetapi ada pula sekolah yang secara terbuka mengungkapkan jumlah murid yang drop out dari sekolahnya. Namun kalau di negeri kita pihak sekolah atau Dinas Pendidikan seolah-olah membiarkan saja anak-anak yang drop-out. Semua berpulang kepada keputusan orang tua mereka.
Kalau digambarkan perbandingan grafik demografi antara Jepang dan Indonesia, maka akan terlihat gambar yang sangat mencolok. Yaitu kalau di Jepang saat memasuki pendidikan Sekolah Dasar tercatat jumlah muridnya sebanya 100 %. Kemudian saat masuk SMP dan tamat SMP populasinya tetap sebanyak saat berada di SD. Kemudian ke pendidikan SLTA dan tamat dari SLTA juga tetap 100 %. Kemudian masuk ke Perguruan tinggi dan tamat dari Perguruan tinggi populasi mahasiswa tetap 100 % atau karena ada yang tercecer di jalan karena drp-out dalam angka yang kecil maka tamatan Perguruan tinggi tetap mendekati angka 100 %. Dengan demikian grafik demografi pendidikan Jepang dari SD hingga Perguruan tinggi menyerupai sebuah limas yang hampir sempurna.
Cukup kontra dengan gambar grafik pendidikan di tanah air kita. Saat masuk SD ada populasi siswa sebanyak 100 %, saat tamat SD bisa jadi menjadi 90 %, karena ada sekitar 7 juta anak yang drop out. Kemudian terus ke SMP dan saat tamat ada lagi yang tercecer dan tingga menjadi 80 %. Selanjutnya melanjutkan ke SLTA dan saat tamat tercecer lagi dan tinggal 65 %. Kemudian yang melanjutkan ke Perguruan tinggi juga berkurang, mungkin hanya 40 % dan nanti saat wisuda dari Perguruan tinggi hanya 35 %, karena juga ada yang tercecer di jalan. Dengan demikian gambaran grafik demografi pendidikan kita hampir menyerupai sebuah Piramida. Dengan demikian kira perlu merasa bersimpati atas fenomena pendidikan dan harus bisa menemukan penyebab dan solusinya.   
Penyebab tercecernya pendidikan anak-anak kita, sehingga mengalami drop-out, adalah faktor kemiskinan. Secara umum orang hanya melihat gara-gara kemiskinan harta. Pendapatan yang sangat rendah sehingga tidak punya dana buat menggenjot mutu pendidikan anak. Dibalik itu bahwa beberapa bentuk kemiskinan yang memberi dampak pada anak-anak untuk melarikan diri dari sekolah atau drop-out. Yaitu kemiskinan pada SDM orang tua, SDM guru di sekolah dan faktor media atau sarana buat mendorong anak untuk termotivasi dalam bergairah untuk belajar.
Saat lahir semua anak memiliki tingkat kepintaran yang sama, yaitu menangis dan mengeluarkan bunyi yang belum punya makna. Namun setelah 5 tahun, 10 tahun atau berusia remaja terlihat perbedaan kepintaran pada unsur verbal, numerical dan sosial, dll. Semua perubahan yang menunjukan kualitas diri sangat ditentukan oleh peran sentuhan, rangsangan, pengarahan dan didikan dari orang tua. Seperti kata sebuah ungkapan “the man behind the gun”. Kualitas penggunaan sebuah senjata ditentukan oleh siapa orang yang memegangnya. Apakah mau bertujuan baik atau bertujuan kurang baik (?).
Seorang yang terlahir dari keluarga yang tidak mengenal konsep parenting, bagaimana menjadi orang tua yang ideal, dan orang tua yang tidak memahami bagaimana mengelola rumah tangga dan mengadopsi gaya memimpin keluarga bersifat laizes faire (serba membiarkan) maka mereka akan menumbuhkan anak ibarat bunga liar yang tumbuh di luar taman. Yaitu seorang anak yang berpotensi yang terkesan salah urus dan salah asuh.
Bila kita sempat tinggal dengan saudara-saudara kita yang mengadopsi pola keluarga di kelas, maka terlihat manajemen keluarga tanpa job-description yang jelas. Rumah mereka dari pagi hingga datang lagi malam bising dengan hingar binger suara televisi. Anak- anak tidak mengenal disiplin waktu, sehingga cukup banyak yang bisa tertidur hingga larut malam. Makanya banyak anak anak Indonesia yang kurang tidur hingga pergi sekolah dengan mata mengantuk.
Cukup banyak kritikan yang bisa dilontarkan pada orang tua. Mulai dari gaya berbahasa orang tua yang satu arah- hanya sebatas menyuruh, memerintah dan memarahi, hingga kepada orang tua yang tidak tahu cara melatih anak untuk tahu memiliki tanggung jawab dimana semua pekerjaan dimonopoli oleh orang tua. Anak anak yang miskin dengan pengalaman hidup akan tumbuh menjadi orang yang juga kurang kualitas.
Guru di sekolah merupakan orang tua kedua bagi anak. Dimana mereka punya tanggung jawab dalam “teaching and educating”, yaitu mendidik dan mengajar atau menumbuhkan kognitif dan karakter positif. Namun dalam realita adalah banyak guru yang bersifat sebagai “guru kurikulum”.
Ngainun Naim (2009) mengatakan bahwa guru kurikulum adalah mereka hanya sekedar pintar memindahkan isi buku ke dalam otak anak. Mereka tepat disebut sebagai “academic worker”. Yang dibutuhkan anak adalah guru yang inspiratif, guru yang berbagi waktu untuk memberi pencerahan. Maka sang guru paling kurang harus betul-betul menguasai dan mengaplikasikan kompetensi guru seperti “kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesioinal”.
Guru yang memiliki dan mengaplikasikan empat kompetensi perlu untuk selalu belajar dalam kehidupan. Belajar tentu butuh membaca, namun inilah fenomena bahwa banyak guru  yang tidak belajar lagi dalam kehidupannya. Mereka hanya sekedar mengulang ulang menyentuh buku-buku teks untuk ditampilkan buat siswa pada hari berikutnya. Saat siswa kehilangan gairah belajar, lemah minat dan motivasi belajar maka mereka kurang bisa memberi respon yang dibutuhkan anak- malah cukup banyak membuat jarak atau menjadikan konflik. Maka tumbuhlah problem demi problem dalam pengajaran.   
Agar angka drop-out bisa berkurang, dan bila perlu bisa mencapai titik nol, dengar arti kata menciptakkan “zero drop out” maka perlu dicari solusi. Pencegahan sejak dini lebih bagus sebelum drop-out terjadi. Penyebab utamanya adalah dari rumah. Pengalaman penulis yang beberapa tetangga yang anak-anaknya mengalami drop-out pada usia dini.
Anak-anak ini memang berasal dari keluarga yang miskin. Tidak hanya miskin secara finansial, namun juga terbelakang dari segi budaya. Tidak ada materi bacaan di rumah, tidak ada fasilitas pendidikan dan tidak ada konsep mendidik.
Sangat diperlukan campur tangan pemerintah untuk menyelenggarakan program atau kursus parenting bagi pasangan yang ingin melaksanakan pernikahan. Agar kelak mereka bisa membina rumah tangga tanpa meraba- raba. Lebih lanjut pemerintah perlu memberikan kursus-kursus parenting untuk berbagai lapisan masyarakat agar bisa terbentuk keluarga yang punya kualitas dalam mendidik keluarga mereka.
Bagi keluarga perlu untuk memiliki perpustakaan keluarga dan mengajak anggota keluarga mereka untuk peduli dengan membaca untuk menambah wawasan. Bagi keluarga yang telah mempunyai anak maka perlu segera untuk memperkenalkan disiplin waktu kepada mereka. Anggota keluarga perlu memiliki jadwal kegiatan di rumah, mulai dari bangun hingga pergi tidur lagi. Kemudia anak-anak perlu untuk diberi tanggung jawab, ini berguna untuk melatih mereka menjadi warga yang tahu dengan tanggung jawab. 
Juga keluarga yang sukses dalam membangun semangat belajar anak- dan menghindari drop out- adalah yang peduli selalu memotivasi anak untuk belajar. Mereka membangun komunikasi yang dua arah dengan gaya memimpin orang tua yang demokrasi. Ada suasana kebersamaan dan rumah bebas dari suasana bising. Ada selalu budaya belajar, beraktivitas dan penghargaan atas partisipasi buat setiap anggota keluarga.
Sekolah yang efektif juga berkontribusi untuk mendukung semangat belajar anak. Sekolah dan guru memberi pelayanan prima, tidak hanya sebatas mengejar target kurikulum, namun juga mengoptimalkan proses kegiatan belajar anak untuk menumbuhkah kognitif, psikomotorik dan afektif mereka. Sekolah efektif tentu saja merupakan sekolah yang menarik sehingga mampu mengundang partisipasi siswa buat belajar dan mengoptimalkan potensi mereka. Dengan demikian melalui peran rumah dan sekolah akan mampu mengurangi drop out anak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...