Pengalaman Bekerja di Jepang
Penglaman
positif menjadi pekerja di negeri sakura bukanlah pengalaman penulis, tetapi
ini adalah pengalaman seorang pemuda bernama Yose (Yoserizal). Seorang tetangga
penulis di Bukitgombak- Batusangkar, yang baru saja mengakhiri pekerjaan dan
telah tinggal di Jepang selama tiga tahun. Penulis berfikir bahwa pengalaman Yose dan pengalaman remaja/pemuda yang pernah
bekerja di sana sangat layak untuk ditulis.
Cukup
banyak sebutan untuk negara Jepang. Sebagian menyebutnya dengan nama “negara
matahari terbit, negara samurai, dan negara sakura”. Namun tidak perlu disebut
atau diberi gelar dengan negara tsunami atau radiasi nuklir, karena ini membuat
kepedihan bagi mereka sebagai tetangga kita.
Setiap
orang yang baru datang ke negara dengan empat musim pasti akan mengalami cultural shock- kejutan budaya. Iklim di
negara kita yang dapat dikatakan sebagai “summer
all the time- musim panas sepanjang tahun”. Musim dingin di sana memang
menusuk tulang, kalau bekerja di ladang tidak tahu kalau tangan kita tergores
duri. Suhu dingin membuat perasaan sakit tidak terasa dan baru tahu kalau kita
sudah mencuci cuci tangan.
Pekerja
asal Indonesia yang datang buat pertama kali di Jepang akan mengalami cultural shock dari segi bahasa.
Pengiriman tenaga Indonesia menuju Jepang memang lebih professional dan
bertanggung jawab dibanding pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Sebelum
keberangkatan, semua peserta dilatih untuk trampil dalam berkebun- sebagaimana
mereka kelak akan diserap kedalam perusahaan perkebunan- mereka musti tahu/
trampil dalam pembibitan, menanam dan memanen. Kemudian mereka juga harus bisa
menguasai bahasa Jepang dengan aktif- mereka tahu dengan huruf kanji, romanji,
katagana dan hiragana.
Ternyata sampai di negara
sakura, bekal bahasa Jepang yang mereka kuasai belum cukup. “Bahasa Jepang yang
dipelajari di Indonesia adalah bahasa Jepang standar untuk kota Tokyo.
Sementara penduduk di sana memakai bahasa Hogeng, yaitu bahasa daerahnya. Yose
sendiri berdomisili di perfektur Ibaraki dan ia harus memahami bahasa Jepang
versi Ibaraki Ben. Sebetulnya bahasa Jepang yang dipelajari oleh pekerja
Indonesia sudah bisa dipahami oleh penduduk asli Jepang. Namun mereka
meresponnya dalam bahasa daerah atau
bahasa Hogeng.
Adaptasi pendatang ke Jepang
selain dengan faktor cuaca dan bahasa adalah juga dengan disiplin kerja. Bagi
bangsa Jepang disiplin kerja adalah nomor satu. Pekerjaan yang dilakukan buruh
tidak berat, namun mereka perlu kerja cepat, karena umumnya mereka bekerja
dengan menggunakan mesin. Kalau lengah sedikit maka kita tertinggal dan mesin
jalan terus. Pekerjaan di Jepang memang serba pakai mesin dan pekerjaan di
Indonesia dikerjakan secara manual. Bekerja dengan sesama manusia terasa santai
dan bisa ngobrol sambil bekerja dan bekerja di Jepang memerlukan hasil
maksimal. Semua produk desa di Jepang serba maksimal- hasil panen padi
maksimal, hasil produk susu maksimal, hasil produk sayur juga maksimal. Mengapa
?, ya karena Orang Jepang bekerja lebih serius dan lebih disiplin sehingga bisa
memenuhi konsumsi penduduk yang cukup padat.
Musim di Jepang ada empat
macam, masing-masing berganti setiap tiga bulan . Haru atau musim semi jatuh
pada bulan Maret, April dan Mei. Ini adalah iklim paling ideal dan paling bagus.
Suhu terasa sejuk sama halnya dengan suhu atau cuaca di daerah pegunungan di
Indonesia. Habis musim haru, datanglah musim Natsu.
Natsu atau musim panas jatuh
pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Musim panas terasa sangat panas, yang panas
bukan mataharinya, tetapi cuacanya. Angin yang bertiup juga terasa panas. Boss
nya pada perusahaan Jepang juga memahami, sehingga dalam musim panas istirahat
siang diberi lebih lama. Namun kita pergi bekerja lebih cepat, karena selama
musim panas siang hari terasa lebih panjang. Jam 4 pagi, fajar sudah menyinsing
dan jam 5 pagi orang sudah bisa pergi bekerja. Dalam musim panas orang merasa
malas untuk makan, namun mereka ingin minum air lebih sering.
Aki atau musim gugur jatuh
pada bulan September, Oktober dan November. Setelah musim panas berlalu, tentu
daun-daun pada pepohonan berubah. Cuaca dalam musim aki terasa sama dengan
musim semi, dan malah sudah terasa dingin. Dalam musim gugur dedaunan pohon
momi berubah menjadi warna merah, sehingga tampak ibarat bunga yang menempel
pada pohon, dahan dan ranting. Banyak orang pada musim aki mengabadikan momen
ini dengan kamera mereka- karena pemandangan begitu indah/ eksoktik.
Musim Fuyu atau musim dingin
jatuh pada bulan Desember, Januari dan Februari. Orang mengatakan musim dingin
sebagai musim salju karena dalam musim ini kadang-kadang ada salju namun
kemudian mencair di tengah hari yang dingin. Dalam musim ini suhu berkisar
antara -70 C sampai 70 C. Perubahan lain dalam musim ini
adalah semua orang memakai pakaian berlapis, paling kurang tiga lapis- baju
lengan panjang, sweater dan jaket perlengkapan kerja. Keinginan makan dalam
musim dingin sangat tinggi, namun kita
enggan untuk minum, kecuali minum air yang agak hangat.
Ternyata bangsa Jepang
berkarakter sedikit tertutup terhadap pendatang baru, paling kurang untuk
memulai pergaulan. Itu karena orang Jepang tidak begitu bergaul dan mereka
tidak suka punya banyak teman. Menurut Yose bahwa paling kurang karakter begini
untuk di daerah Kanto- Jepang Timur yang meliputi Tokyo, Ibaraki, Shaitima dan
Fukushima. Namun kalau orang Jepang sudah akrab dengan kita maka mereka bisa
akrab terus. Yang lain, bahwa kalau kita tidak menepati janji maka simpati
mereka akan rusak pada kita.
Sebagian penduduk pribumi
Jepang, memperoleh informasi yang terbatas dari TV. Program televisi Jepang
jauh dari susana hura-hura. TV di sana tidak menayangkan iklan. Program TV
mereka banyak berkisar siaran berita, film, dan humor. TV Jepang banyak
memberitakan tentang prestasi dan keunggulan dari dalam negeri sendiri dan amat
sedikit memberitakan tentang negara lain, sehingga mereka kurang tahu tentang
negara lain. TV menayangkan hal-hal yang mereka anggap aneh, dari Indonesia
misalnya, ditayangkan tentang suku Asmat, suku Mentawai, tentang orangutan, sehingga
Jepang memandang Indonesia sebagai negara terbelakang.
Penduduk Jepang yang belum
pernah ke luar negeri memiliki pandangan sempit tentang luar negeri dan merasa
super untuk negeri sendiri. Mereka akan sering bertanya “apa kulkas ada di
Indonesia, apa pesawat terbang ada di Indonesia…?” Pertanyaan demikian terasa
cukup bodoh, ya itu adalah akibat efek berita TV Jepang yang kurang berimbang
dan transparan. Malah berita bencana tsunami tidak begitu tercakup dalam berita
untuk konsumsi bangsa mereka sendiri-
mungkin tujuannya agar bangsa sendiri tidak begitu larut dalam duka lara. Namun
orang Jepang yang sudah pernah pergi ke luar negeri, memiliki wawasan luas
dan akan menghargai bangsa-bangsa lain.
Memang bangsa Jepang memiliki
percaya diri yang lebih tinggi dan menghargai bangsa sendiri lebih tinggi.
Tentang produk sendiri, bahwa produk dengan kualitas terbaik dijual untuk
konsumsi bangsa sendiri dan produk nomor dua dijual untuk tujuan ekspor.
Kemudian tentang cara gaya berbicara bahwa bangsa Jepang tidak berbicara
keras-keras di tempat umum khawatir mengganggu orang lain. Suku bangsa asal
Thailand kerap dianggap suka bicara dengan aksen yang lebih keras. Bangsa
Jepang terlihat senang menggunakan body language atau gerak gerik tangan dalam
berkomunikasi. Mereka berbicara dan terbiasa menggunakan kalimat-kalimat
singkat dan jelas tanpa diikuti oleh tertawa sampai terbahak-bahak.
Mengapa kedisiplinan sudah
menjadi budaya orang Jepang ? Salah satu penyebabnya adalah faktor musim. Dalam
musim panas yang hanya berlangsung 3 bulan, orang harus disiplin bercocok tanam
dalam waktu yang pendek dan berfikir bagaimana hasil bisa berlipat ganda.
Terlambat saja dalam bercocok tanam akan menyebabkan gagal panen.
Unsur tanah di Jepang lebih
sehat. Mereka menghindari pemakaian pupuk kimia, namun mereka memakai pupuk
organik yang dikelola oleh pabrik. Mereka juga mengkonsumsi nasi dan banyak
sayur. Sayur mereka dimasak tidak sampai matang, mungkin separoh matang. Orang
Jepang tidak memanjakan anak, tapi mengajak mereka agar hidup mandiri. Bila
memberi permen atau kue untuk anak, ya
tidak langsung disuapkan ke mulut, tetapi diberikan melalui tangan mereka.
Rumah kaca di Jepang sangat membantu dalam musim dingin, yaitu untuk mengatur suhu buat tanaman atau ternak.
Walau penduduk di sana kurang
punya amalan agama seperti kita di Indonesia. Namun mereka lebih menghargai
alam- hewan dan tanaman. Yose hampir tidak menemui orang Jepang menembak
burung, membunuh serangga, melempar kucing dan anjing liar. Mereka juga
mencintai lingkungan. Andai mereka menjumpai tanaman bunga liar tumbuh dekat
kebun, maka bunga tersebut langsung dirawat, dibersihkan dari rerumputan.
Orang kita sebahagian suka
mempertahankan karakter boros. Di tempat pesta banyak orang yang senang
menyisakan makanan dan minuman walaupun terasa sangat lezat. Entah apa alasan
mereka untuk berbuat demikian. Namun orang Jepang malu dikatakan sebagai orang
yang boros, itu karena mereka menganut budaya suka berhemat. Hemat dalam
mengkonsumsi air, listrik, makanan dan penggunaan waktu. Dalam perjalanan
menggunakan transportasi umum terlihat karakter hemat waktu atau menghargai
waktu. Mereka tidak suka ngobrol keras-keras, dan mereka malah lebih suka tidur
atau mendengar lagu lewat walkman dan membaca komik (bagi remaja dan
anak-anak). Inilah penyebab mengapa industri komik tumbuh cukup subur. Prilaku
seperti ini adalah juga wujud dari menghargai waktu.
Pendidikan keluarga di Jepang
berorientasi pada kemandirian dan disiplin. Walau Jepang kaya raya dan
memproduksi banyak sepeda motor, namun anak-anak tidak diizinkan memakai sepeda
motor sampai mereka memperoleh cukup umur untuk memperoleh SIM- surat izin
mengemudi- dalam usia 17 tahun. Anak-anak Jepang tidak diantarkan ke sekolah
langsung pakai kendaraan. Tapi diantar ke tempat perkumpulan anak-anak dan
kemudian anak-anak berjalan menuju sekolah.
Pada umumnya orang Jepang
menyukai rumah dengan lantai papan. Maka agar lantai tidak rusak oleh jejak
telapak kaki, mereka selalu memakai kaus kaki. Rak sepatu ada di luar rumah.
Begitu masuk rumah, sepatu dilepas dan selanjutnya memakai sandal khusus rumah,
itulah mengapa kaki orang Jepang bersih-bersih. Mereka tidak menyukai banyak
perabot yang serba rumit, cukup yang sederhana atau yang model minimalis saja.
Ada juga kesamaan budaya
Jepang dengan kita, yaitu saling berkunjung dan juga membawa buah tangan atau
oleh oleh dan saling berharap oleh-oleh. Namun Jepang termasuk bangsa yang suka
menangis. Meluapkan kegembiraan juga menangis apalagi kalau merasa sedih. Kalau
gagal bangsa Jepang juga menangis. Malah cukup banyak bangsa Jepang yang
melakukan hara-kiri- bunuh diri- kalau merasa gagal.
Rata-rata bangsa Jepang ingin
memiliki anak satu atau dua orang. Namun sekarang dalam kondisi ekonomi yang
cukup sulit maka ada orang tua muda di Jepang yang takut memiliki anak. Sebab
setiap anak yang lahir dikenai pajak.
Masa puberitas anak-anak/
remaja Jepang datang lebih cepat. Sebahagian remaja yang berpacaran sudah
mengenal hidup bersama- samen leven. Perilaku ini tidak layak untuk kita ikuti
karena tidak cocok bagi kita dan bangsa yang menganut ajaran Islam.
Banyak kenangan manis yang
terasa setelah tiga tahun tinggal dan bekerja di Jepang. Yose sangat terkesan
dan juga terbiasa dengan budaya positif bangsa tersebut seperti suka kerja
serius, kemandirian, disiplin yang tinggi (selama di Jepang ia tidak pernah
melihat sopir yang ngebut dan meniup klakson) dan juga dengan kebersihan.
Berbeda dengan pekerja yang datang dari negara timur tengah yang sebagian
memang terbentuk mental buruh atau mental pembantu- yang tidak tahu apa yang
musti dikerjakan begitu pulang lagi ke tanah air. Maka bagi Yose yang tumbuh
adalah mental suka kerja keras dan kemandirian. Kini ia tengah merintis usaha
yaitu membuka ruko, usaha peternakan, perikanan dan mengolah hasil tanam dan
juga berencana untuk segera berumah tangga dengan gadis pujaan hati.
dari pengalaman teman penulis tersebut sepertinya sudah benar-benar tergambar kehidupan dan buaday sehari-hari bangsa jepang. sangat menarik dan sangat ingin berkunjung ke jepang
BalasHapus