Pengalaman Belajar di
Amerika
Mengikuti proram
pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh
pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Program tersebut adalah AFS (American
Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang)
masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua
minggu. Karena program ini terbatas untuk beberapa orang saja dan juga cukup
bergengsi maka tentu saja setiap peminat harus punya persiapan yang matang
untuk memenangkan seleksi penyisihan.
Miftahul Khairi (17
tahun), siswa SMAN 1 Bukittinggi, putra
dari Bakri Harun (Kepsek SD 15 Matur, Agam) dan Rasmiati (Hakim Pengadilan
Agama di Maninjau), dan juga sebagai keponakan Penulis, telah beruntung bisa mengitu program
pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga
disebut dengan Negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (Ari)
terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti
program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan
orangtua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada
umumnya, Ari biasa-biasa saja, rajin tapi kadang-kadang juga malas. Suka
membantu orang tua, suka belajar dan juga suka main game online.”Namun kenapa kamu tertarik mengikuti program
pertukaran pelajar ?”. Itulah pentingnya bergaul dan bertukar cerita dengan
banyak orang. Suatu hari kakak teman yang baru saja kembali mengikuti program
pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin
tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin
mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang
bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di
Amerika.
Ia memperoleh informasi
bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini adalah mereka yang selain mampu
berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi.
Ia pun juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah.
Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan
mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus. Kadang-kadang Ari juga
pergi ke internet untuk melakukan browsing
tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia-
tentang global warming, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian
Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain.
Ari melompat hampir
setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi
pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa “preparation is mother of successfulness”. Tentu saja persiapan Ari
yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal
berdebat, menguasai kesenian dan life
skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang. Ari juga belajar
tari minang, silat minang, masakan minang, dan juga membaca buku-buku tetang
budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta
bangsa. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan
berani dan sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang
serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa
saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh
Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES
(Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang.
Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi
test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris
tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang
kerja kelompok atau team-work.
Tip dan trick agar
menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self”. Penilaian dengan skor
rendah selama aktifitas team work
adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois
dan adanya kesan arrogant atau
angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk karakter cooperative,
leadership, dan kreatif. Tipe “be
yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar adalah untuk semua
karakter orang- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris. Yang dinilai tidak
hanya cerdas, ramah, cooperative,
leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan
begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi ?”. kelima peserta yang lulus
kemungkinan “feeling between belive or
not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat
seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka
juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang
begitu tinggi dengan sejuta mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi
kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan
teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu
menuju negara Paman Sam ?”. Selain faktor bahasa dan pengeahuan budaya juga
harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya,
buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti
pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan budaya- belajar
tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan
ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia
berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orang tua. Mereka diberi
program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri
sendiri. Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”. Dan setelah
itu acara Talent Show- penampilan
bakat- yang disuguhkan buat orang tua peserta yang baru saja mengantarkan
anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan
kamu saat terbang melintasi samudra pasifik ?”. Peserta program AFS dan Yes
tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA (Garuda
Indonesia Airways) tidak memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa,
karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat
sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline
System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang
lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang
selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka
pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang
bisa tidur.
Peserta transit di
Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga
setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United
Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta
menjadi too excited karena sudah
begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan
“ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari
mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat
orang-orang dalam pesawat terbang moderen ?”. Bule-bule dalam pesawat umumnya
tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell,
sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang
dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus
orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian
individualitas dan masyarakat social. Dalam masyarakat barat atau budaya
individu terkesan bahwa “no personal
space”.
Akhirnya pesawat United
Airline mendarat di bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta YES
diberi orientasi tentang way of life di
USA. Program Yes adalah program scholarship
penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar
atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga
ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim
lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World
Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada
masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam masyarakat muslim, USA
mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes
disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa
tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara
bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat
Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St.
Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan
Ari, pertama kali tinggal dengan host
famiyy ?”. Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa,
budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin
memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala kurang mengerti dengan
bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda. Untuk memahami
komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage. Tentang akanan, masakan Indonesia
lebih mengutamakan taste and flavour,
sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang
pas menurut lidah orang Indonesia.
Sistem sekolah di sana
juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai
seragam, tetapi free clothes. Dalam
kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar.
Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama
berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun. Pendidikan di sekolah
kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran
bersifat memberi “explanation,
practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan
banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat-
walau materi sedikit. Di Indonesia materi terlalu padat dan siswa disuguhi dan
harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.
Ari secara langsung
melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya
sendiri (Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang
diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian. Suasana
pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam
kelas poloitik (atau KWN- kewarga negaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya
juga dengan bermain peran, sebagai presiden, anggota partlemen, sebagai
pengacara, sebagai narapidana.
Pelajaran seni di
Indonesia sudah berciri “praktek” dan di Amerika malah lebih banyak praktek,
misal kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik. Ada kesan dari
kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah buru-buru pergi les, les
matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer. Namun para
pelajar Amerika pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team
basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih
sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga, oleh
karena itu mereka terkesan berani dan agresif dalam bekerja dan bersosial.
Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam
hal olah raga, bahwa selalu ada
kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan
dalam masyarakat membuat self-believe,
life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat
tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status
atau “kamu anak siapa”, semua orang
sama-sama punya kesempatan untuk maju, seorang guru tidak membandingkan latar
belakang siswanya apakah dari orang tua miskin, kaya, kulit putih, kulit
berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu
ini juga bergantung pada karakter seseorang). Umumnya siswa di sana memiliki
“self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar
di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah
dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self
determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal
dalam hidup”.
“Di negeri kita anak
yang dipandang baik adalah sweet kid (anak manis) yaitu patuh, penurut dan
rajin”. Di negara Paman Sam, jarang sekali karakter “sweet kid”, semua orang
berkarakter “assertive” yaitu say what you feel dan tidak ada istilah bahasa
yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan
Amerika tentu berlaku istilah “different fish different pond- lain
lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak
berbelit-belit”.
Tentang appellation
atau panggilan, Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orang tua
angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan.
Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata:
kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil
adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika
menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah
serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang
diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”.
Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita,
fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan
efek bosan dan jera. Sementara hukum spangking “melampang” pantat anak, apalagi
sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, mencewer telinga dan hukuman
fisik lain. sudah lama ditinggalkan
karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum
tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orang tua yang menganiaya dan
sampai menelantarkan anak mereka.
“Bagaimana teman-teman
mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia ?”. Ternyata banyak
pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi
tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang
Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul
pertanyaan yang lucu-lucu. “Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu
tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar ?”
Orang di negara Paman
Sam memandang Indonesia sebagai negara
yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit
yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang
sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga
menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak
ada tari atau seni yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang
orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang
Ari sebagai remaja yang riang, lucu, smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan
pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah. Ternyata
pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering sering tampil dalam mata pelajaran
matematika, namun kita cuma kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret,
hospitality dan clever. Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di
telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat
kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan
sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan
kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama
dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi. Beda tentang
berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa
keramah tamahan itu hanya sekedar
memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja active mencari teman yag memiliki
minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .
“Bagaimana tentang
hubungan orang tua dan anak di Amrik ?”. Hubungan orang tua dan anak di sana,
ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu
ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja
melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street
construction, di restorant fast food. UMR (Upah Minimum Regional) di sana
adalah 7.25 Dollar Amerika per jam, atau
setara dengan Rp. 72.000. Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh
undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka menulis resume atau
lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur,
jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan
membeli barang yang mereka butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal
usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di
Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar ?”. Ari merasa bangga
sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh
orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi
ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia,
kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan budaya dan seni.
Orang Amerika kagum
dengan anak-anak Indonesia karena kecil kecil sudah mahir berbahasa Inggris,
mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa
asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat
duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorite di universitas ya sama
fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan
kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program
pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilagnan waktu belajar selama satu
tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah
atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu
untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan
yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti
pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh. Namun
setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa
nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti
anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determinasi Ari juga lebih
meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them