Tanggung Jawab Kepala Sekolah Unggulan Dalam Mengembalikan Mutu Pendidikan
Oleh Marjohan
KEADAAN sekolah-sekolah kita selama ini. Ibarat orang yang menderita sakit parah. Tetapi belum lagi sampai menderita kanker karena, mudah-mudahan, masih dapat disembuhkan.
Macam-macam cara yang ditempuh dalam mengobat mutu pendidikan yang anjlok ini. Mulai dari pembenahan kurikulum sampai kepada pembenahan disiplin, meski masih tetap bersifat seruan dan teori-teori. Maka kini, khusus untuk Sumatera Barat, Drs. Basri AS,M.M sebagai Kakanwil Depdikbud membenahinya lewat kepala sekolah unggulan.
Sekarang telah terlihat perbedaan pengangkatan kepala sekolah, yakni sistem lama dan sistem baru.
Pengangkatan kepala sekolah dalam sistem lama telah gagal dalam mengembangkan mutu suatu sekolah. Kriteria kepala sekolah seperti profesionalisme, berakhlak, punya manajemen, punya jiwa kepemimpinan dan kompetensi fikiran kurang diperhatikan karena faktor tender. Agaknya bukan rahasia lagi bahwa calon kepala yang unggul dalam jumlah finansial, walau tidak berakhlak atau berkompetensi, itulah yang akan menjadi kepala sekolah. Dimana pada akhirnya untuk mengembalikan dana yang hilang selama masa tender, maka ia menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis. Malah dana operasional yang seharusnya digunakan untuk kelancaran PBM bisa menguap ibarat kapur barus.
Pengangkatan kepala sekolah pada masa sekarang lebih berorientasi kepada kwalitas dengan harapan agar kepala sekolah selalu bersifat kompetitif dan selektif. Mudah-mudahan bersih dari faktor materi atau tender-tenderan.
Pengangkatan kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria telah menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa selama menjadi kepala sekolah. Apalagi jabatan kepala sekolah cenderung bersifat jabatan abadi.
Ada beberapa dosa kepala sekolah yang menarik untuk diungkapkan. Seperti prosentase kehadiran kepala sekolah di sekolah yang kurang. Alasan pribadi dan sepele membuatnya berani mengatakan bahwa dia lagi dinas luar. Bila persentase kehadiran kecil maka bagaimana seorang kepala sekolah itu dapat menjadi panutan. Kemudian juga kurang transparan dalam masalah keuangan. Seperti dalam laporan pemanfaatan uang sumbangan orang tua murid kepada BP. 3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dimana sekian puluh ribu rupiah digunakan untuk menutupi honor guru. Padahal dalam kenyataan honor tadi telah disunat sampai lima puluh persen dan dilipat masuk kantong. Begitu pula penggunaan dana operasional yang mana penggunaannya sering dirahasiakan. Dan tahu-tahu dana pendidikan ini digunakan untuk membangun istana pribadi atau membeli kendaraan luks. Dosa lain dari kepala sekolah selama ini adalah tidak melakukan supervisi kelas, meskipun hanya untuk lima menit saja. Sehingga sekarang ini kebanyakan guru mengajar ibarat dosen saja tetapi dengan cerita yang mengelantur kesana kemari.
Sampai detik ini masih banyak kepala sekolah yang tidak wajar sebagai kepala karena tidak memiliki ilmu manajemen dan sikap kepemimpinan, sehingga mereka memperlihatkan sikap yang aneh-aneh. Ada yang suka menggertak guru-guru dengan nilai BP. 3 atau dihalangi naik pangkat. Banyak juga kepala yang suka mendikte guru-guru, suka pilih kasih sampai kepada suka mengambil muka kepada pejabat pengawas sekolah. Misalnya memberikan laporan yang serba bagus yang berlawanan dengan fakta sebenarnya. Malah tidak sedikit kepala sekolah yang sengaja menjaga wibawa dengan cara “jarang ngomong” dengan guru-guru sebagai bawahan, dimana pada akhirnya dia sendiri akan menjadi bahan gosip oleh guru-guru pada waktu senggang.
Bagaimana kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan seleksi dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan selektif dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan agak terbelenggu. Ini tentu saja akibat kepemimpinan kepala sekolah yang asal diangkat saja. Dimana mereka seolah-olah memiliki hak veto. Dalam rapat, misalnya kepala sekolah tampak cenderung memaksakan ide atau konsepnya sebagai keputusan yang mutlak. Salah seorang guru mengungkapkan bahwa karena sebagian kepala sekolah kurang luas wawasannya menjadi alergi atas kritikan bawahannya. Sehingga untuk menghindarinya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya berdampak buruk atas kelancaran proses belajar mengajar.
Kita sadari bahwa yang membuat ekspresi guru tetap terkungkung adalah karena faktor diri sendiri yakni karena wawasan yang kurang luas dan tidak terlatih untuk berbicara, juga karena faktor kepala sekolah.
Dalam interaksi antara kepala dengan guru-guru sebagai bawahan lebih terlihat sikap subjektif. Guru yang sering menemui kepala, walau sembrono dalam mengajar, maka itulah yang dianggap baik dan loyal sehingga bisa tinggi dalam penilaian DP. 3-nya. Sedangkan guru yang biasa-biasa saja, pada hal sangat bertanggung jawab dalam pelaksanaan KBM, karena kurang ngomong maka dinilai biasa-biasa saja. Jadi inilah akibat Kepala Sekolah yang malas mengadakan turba (turun ke bawah) untuk meninjau guru-guru dan sekaligus menjalin hubungan sosial dan emosional.
Seperti yang kita kenal tentang tipe guru secara umum yaitu guru yang suka menolak gagasan kepala, yang karena dianggap kurang tepat, dan guru yang suka ‘nrimo’ atau guru yang berwatak ‘yes-man’. Guru yang pertama selalu menghadapi kesukaran karena adanya benturan-benturan pendapat dengan sang kepala. Dan sebetulnya tentang pendekatan ada mereka yang melakukan tapi caranya kerap kurang mengena. Seorang guru wanita mengatakan bahwa ada kepala yang dekat dengan bawahan tetapi tetap mempunyai wibawa. Sebenarnya inilah kepala yang mempunyai tipe ‘leadership’ & ini adalah tipe kepala yang dapat dijadikan kepala unggulan. Dan ada pula kepala yang dekat dengan bawahan tetapi dibawa lalu saja, ini terjadi karena ia tidak punya potensi dan bakat dan berhak untuk dimutasikan sebagai guru biasa saja.
Pada mulanya kita kurang yakin akan gerakan penggantian atau pemutasian massal atas pucuk pimpinan sekolah di Sumatera Barat ini. Tapi sekarang kenyataan ini telah sama-sama kita lihat dengan terlaksananya penyerahan SK (surat keputusan) mutasi kepala SMP dan SMU, SK promosi dari wakil-wakil yang lolos seleksi menjadi kepala, SK pensiun dan SK kepala sekolah untuk menjadi guru biasa.
pada mulanya keberadaan kepala sekolah itu tergambar dalam ungkapan ‘tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas’. Namun sekarang ungkapan itu berubah. Dimana kepala sekolah yang dinilai tidak mampu, langsung diberhentikan dan kembali menjadi guru biasa.
Pada mulanya tergambar bahwa seolah-olah jabatan kepala sekolah itu dapat dibeli lewat tender. Dan sekarang dalam manajemen dunia pendidikan yang baru telah berubah. Dulu faktor X lebih menentukan keberadaan seseorang untuk menjadi kepala sekolah.
Selama ini jabatan kepala sekolah merupakan jabatan abadi. Jika tidak ada promosi jabatan, maka tetaplah ia bertahan sebagai kepala sekolah selama bertahun-tahun. Dan kalau kebetulan daerah itu adalah daerah basah dan jiwa kepala sekolah adalah jiwa wiraswasta maka sempurnalah sudah sekolah itu sebagai lahan bisnis dan bukan sebagai lahan pendidikan.
Selama ini, terlepas dari berprestasi atau tidak, menjadi kepala sekolah tidak begitu sulit. Biasanya kepala sekolah mengusulkan wakilnya untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah. Setelah itu entah bagaimana prosedurnya, sudah keluar saja SK kepala sekolah.
Gambaran selama ini bahwa kepala sekolah itu adalah hak milik, dapat dibeli dan dapat dipesan atau dititipkan. Dan di sekolah selama ini kepala sekolah lebih banyak duduk di belakang meja dan mengabaikan tanggung jawabnya yang lain.
Selama ini kepala sekolah seakan-akan lebih memperhatikan diri dan keluarganya dari pada memperhatikan bawahannya. Menjaga jarak dan jarang ngomong dengan guru-guru dan dengan pegawai. Dapat dihitung berapa kali ia berkomunikasi dengan pesuruh sekolah. Tidak ada gambaran bahwa kepala sekolah itu adalah sebagai bapak dari bawahannya sebab akibat sikapnya bawahan menjadi risih dan gugup kalau sama-sama berkumpul.
Karena selama ini orientasi kepala sekolah adalah membisniskan sekolah, walau hanya untuk segelintir saja, dan niat memimpin tidak ikhlas maka loyalitas (dedikasi) dan akhlak menjadi kabur. Apalagi kemampuan otak, manajemen dan profesionalisme serba nihil maka dampak kebijakan kepala sekolah kepada siswa sebagai objek sasaran pelaksanaan pendidikan juga kabur. Susunan program intrako dan ekstra kurikuler bagusnya hanya di atas kertas saja dan sulit untuk dibuktikan dalam pelaksanaan.
Jadi akibat kepala sekolah kurang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di sekolahnya maka guru-guru juga tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru pergi ke sekolah untuk mengajar hanya asal membayar hutang saja. Akibat pengabdian perangkat sekolah kurang becus maka murid-murid juga tidak becus dalam belajar dan genaplah kemerosotan itu dalam gambaran NEM yang tiap tahun semakin merosot juga. Maka setelah terjadi perobahan besar-besaran maka kini tanggung jawab kepala sekolah unggulan dalam mengembalikan mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki manajemen yang berantakan ini.
Oleh Marjohan
KEADAAN sekolah-sekolah kita selama ini. Ibarat orang yang menderita sakit parah. Tetapi belum lagi sampai menderita kanker karena, mudah-mudahan, masih dapat disembuhkan.
Macam-macam cara yang ditempuh dalam mengobat mutu pendidikan yang anjlok ini. Mulai dari pembenahan kurikulum sampai kepada pembenahan disiplin, meski masih tetap bersifat seruan dan teori-teori. Maka kini, khusus untuk Sumatera Barat, Drs. Basri AS,M.M sebagai Kakanwil Depdikbud membenahinya lewat kepala sekolah unggulan.
Sekarang telah terlihat perbedaan pengangkatan kepala sekolah, yakni sistem lama dan sistem baru.
Pengangkatan kepala sekolah dalam sistem lama telah gagal dalam mengembangkan mutu suatu sekolah. Kriteria kepala sekolah seperti profesionalisme, berakhlak, punya manajemen, punya jiwa kepemimpinan dan kompetensi fikiran kurang diperhatikan karena faktor tender. Agaknya bukan rahasia lagi bahwa calon kepala yang unggul dalam jumlah finansial, walau tidak berakhlak atau berkompetensi, itulah yang akan menjadi kepala sekolah. Dimana pada akhirnya untuk mengembalikan dana yang hilang selama masa tender, maka ia menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis. Malah dana operasional yang seharusnya digunakan untuk kelancaran PBM bisa menguap ibarat kapur barus.
Pengangkatan kepala sekolah pada masa sekarang lebih berorientasi kepada kwalitas dengan harapan agar kepala sekolah selalu bersifat kompetitif dan selektif. Mudah-mudahan bersih dari faktor materi atau tender-tenderan.
Pengangkatan kepala sekolah tanpa memperhatikan kriteria telah menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa selama menjadi kepala sekolah. Apalagi jabatan kepala sekolah cenderung bersifat jabatan abadi.
Ada beberapa dosa kepala sekolah yang menarik untuk diungkapkan. Seperti prosentase kehadiran kepala sekolah di sekolah yang kurang. Alasan pribadi dan sepele membuatnya berani mengatakan bahwa dia lagi dinas luar. Bila persentase kehadiran kecil maka bagaimana seorang kepala sekolah itu dapat menjadi panutan. Kemudian juga kurang transparan dalam masalah keuangan. Seperti dalam laporan pemanfaatan uang sumbangan orang tua murid kepada BP. 3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dimana sekian puluh ribu rupiah digunakan untuk menutupi honor guru. Padahal dalam kenyataan honor tadi telah disunat sampai lima puluh persen dan dilipat masuk kantong. Begitu pula penggunaan dana operasional yang mana penggunaannya sering dirahasiakan. Dan tahu-tahu dana pendidikan ini digunakan untuk membangun istana pribadi atau membeli kendaraan luks. Dosa lain dari kepala sekolah selama ini adalah tidak melakukan supervisi kelas, meskipun hanya untuk lima menit saja. Sehingga sekarang ini kebanyakan guru mengajar ibarat dosen saja tetapi dengan cerita yang mengelantur kesana kemari.
Sampai detik ini masih banyak kepala sekolah yang tidak wajar sebagai kepala karena tidak memiliki ilmu manajemen dan sikap kepemimpinan, sehingga mereka memperlihatkan sikap yang aneh-aneh. Ada yang suka menggertak guru-guru dengan nilai BP. 3 atau dihalangi naik pangkat. Banyak juga kepala yang suka mendikte guru-guru, suka pilih kasih sampai kepada suka mengambil muka kepada pejabat pengawas sekolah. Misalnya memberikan laporan yang serba bagus yang berlawanan dengan fakta sebenarnya. Malah tidak sedikit kepala sekolah yang sengaja menjaga wibawa dengan cara “jarang ngomong” dengan guru-guru sebagai bawahan, dimana pada akhirnya dia sendiri akan menjadi bahan gosip oleh guru-guru pada waktu senggang.
Bagaimana kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan seleksi dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan dalam kepemimpinan kepala sekolah yang lulus dalam seleksi ketat baru-baru ini? Dimana mereka adalah kepala sekolah yang bersikap kompetitif dan selektif dengan arti kata mereka adalah kepala sekolah unggulan.
Selama ini kesempatan bagi guru-guru untuk menuangkan gagasan agak terbelenggu. Ini tentu saja akibat kepemimpinan kepala sekolah yang asal diangkat saja. Dimana mereka seolah-olah memiliki hak veto. Dalam rapat, misalnya kepala sekolah tampak cenderung memaksakan ide atau konsepnya sebagai keputusan yang mutlak. Salah seorang guru mengungkapkan bahwa karena sebagian kepala sekolah kurang luas wawasannya menjadi alergi atas kritikan bawahannya. Sehingga untuk menghindarinya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya terpaksa dibuat jarak sosial dan pada akhirnya berdampak buruk atas kelancaran proses belajar mengajar.
Kita sadari bahwa yang membuat ekspresi guru tetap terkungkung adalah karena faktor diri sendiri yakni karena wawasan yang kurang luas dan tidak terlatih untuk berbicara, juga karena faktor kepala sekolah.
Dalam interaksi antara kepala dengan guru-guru sebagai bawahan lebih terlihat sikap subjektif. Guru yang sering menemui kepala, walau sembrono dalam mengajar, maka itulah yang dianggap baik dan loyal sehingga bisa tinggi dalam penilaian DP. 3-nya. Sedangkan guru yang biasa-biasa saja, pada hal sangat bertanggung jawab dalam pelaksanaan KBM, karena kurang ngomong maka dinilai biasa-biasa saja. Jadi inilah akibat Kepala Sekolah yang malas mengadakan turba (turun ke bawah) untuk meninjau guru-guru dan sekaligus menjalin hubungan sosial dan emosional.
Seperti yang kita kenal tentang tipe guru secara umum yaitu guru yang suka menolak gagasan kepala, yang karena dianggap kurang tepat, dan guru yang suka ‘nrimo’ atau guru yang berwatak ‘yes-man’. Guru yang pertama selalu menghadapi kesukaran karena adanya benturan-benturan pendapat dengan sang kepala. Dan sebetulnya tentang pendekatan ada mereka yang melakukan tapi caranya kerap kurang mengena. Seorang guru wanita mengatakan bahwa ada kepala yang dekat dengan bawahan tetapi tetap mempunyai wibawa. Sebenarnya inilah kepala yang mempunyai tipe ‘leadership’ & ini adalah tipe kepala yang dapat dijadikan kepala unggulan. Dan ada pula kepala yang dekat dengan bawahan tetapi dibawa lalu saja, ini terjadi karena ia tidak punya potensi dan bakat dan berhak untuk dimutasikan sebagai guru biasa saja.
Pada mulanya kita kurang yakin akan gerakan penggantian atau pemutasian massal atas pucuk pimpinan sekolah di Sumatera Barat ini. Tapi sekarang kenyataan ini telah sama-sama kita lihat dengan terlaksananya penyerahan SK (surat keputusan) mutasi kepala SMP dan SMU, SK promosi dari wakil-wakil yang lolos seleksi menjadi kepala, SK pensiun dan SK kepala sekolah untuk menjadi guru biasa.
pada mulanya keberadaan kepala sekolah itu tergambar dalam ungkapan ‘tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas’. Namun sekarang ungkapan itu berubah. Dimana kepala sekolah yang dinilai tidak mampu, langsung diberhentikan dan kembali menjadi guru biasa.
Pada mulanya tergambar bahwa seolah-olah jabatan kepala sekolah itu dapat dibeli lewat tender. Dan sekarang dalam manajemen dunia pendidikan yang baru telah berubah. Dulu faktor X lebih menentukan keberadaan seseorang untuk menjadi kepala sekolah.
Selama ini jabatan kepala sekolah merupakan jabatan abadi. Jika tidak ada promosi jabatan, maka tetaplah ia bertahan sebagai kepala sekolah selama bertahun-tahun. Dan kalau kebetulan daerah itu adalah daerah basah dan jiwa kepala sekolah adalah jiwa wiraswasta maka sempurnalah sudah sekolah itu sebagai lahan bisnis dan bukan sebagai lahan pendidikan.
Selama ini, terlepas dari berprestasi atau tidak, menjadi kepala sekolah tidak begitu sulit. Biasanya kepala sekolah mengusulkan wakilnya untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah. Setelah itu entah bagaimana prosedurnya, sudah keluar saja SK kepala sekolah.
Gambaran selama ini bahwa kepala sekolah itu adalah hak milik, dapat dibeli dan dapat dipesan atau dititipkan. Dan di sekolah selama ini kepala sekolah lebih banyak duduk di belakang meja dan mengabaikan tanggung jawabnya yang lain.
Selama ini kepala sekolah seakan-akan lebih memperhatikan diri dan keluarganya dari pada memperhatikan bawahannya. Menjaga jarak dan jarang ngomong dengan guru-guru dan dengan pegawai. Dapat dihitung berapa kali ia berkomunikasi dengan pesuruh sekolah. Tidak ada gambaran bahwa kepala sekolah itu adalah sebagai bapak dari bawahannya sebab akibat sikapnya bawahan menjadi risih dan gugup kalau sama-sama berkumpul.
Karena selama ini orientasi kepala sekolah adalah membisniskan sekolah, walau hanya untuk segelintir saja, dan niat memimpin tidak ikhlas maka loyalitas (dedikasi) dan akhlak menjadi kabur. Apalagi kemampuan otak, manajemen dan profesionalisme serba nihil maka dampak kebijakan kepala sekolah kepada siswa sebagai objek sasaran pelaksanaan pendidikan juga kabur. Susunan program intrako dan ekstra kurikuler bagusnya hanya di atas kertas saja dan sulit untuk dibuktikan dalam pelaksanaan.
Jadi akibat kepala sekolah kurang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di sekolahnya maka guru-guru juga tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru pergi ke sekolah untuk mengajar hanya asal membayar hutang saja. Akibat pengabdian perangkat sekolah kurang becus maka murid-murid juga tidak becus dalam belajar dan genaplah kemerosotan itu dalam gambaran NEM yang tiap tahun semakin merosot juga. Maka setelah terjadi perobahan besar-besaran maka kini tanggung jawab kepala sekolah unggulan dalam mengembalikan mutu pendidikan adalah dengan memperbaiki manajemen yang berantakan ini.