Kamis, 29 November 2007

Obrolan Buat Mahasiswa

Obrolan Buat Mahasiswa
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Banyak pria dan wanita mampu menyelesaikan pendidikan universitas dan memperoleh pekerjaan yang layak tetapi belum mampu mendapatkan teman hidup. Secara bergurau orang banyak bertanya kenapa mereka harus begitu dan mereka pun akan mengemukakan alasan masing-masing. Bisa jadi alasan mereka mencapai jumlah sebanyak seribu satu. Ada yang mengatakan ingin untuk memperdalam studi atau memantapkan karir dulu. Soal teman hidup itu gampang sebab bisa diatur kemudian.
Masih ada alasan lain. Bagi orang yang sibuk dapat mengatakan or­ganisasi sebagai alas an. Yang lain mungkin karena pertimbangan ekonomis atau moral. “Kawin wah dengan apa orang akan dihidupi. Apakah mau kalau makan rumput? Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang wanita, misalnya teman sebangku dalam bis, bisa jadi berbunyi “Saya sendiri sudah siap untuk menikah tetapi mungkin jodoh belum ketemu”.
Lamaran dari seorang jejaka yang punya pendidikan tinggi dan pekerjaan tetap kepada seorang gadis manis berjalan lebih mudah dan lancar. Terutama bagi orang tuanya. Pinangan atau lamaran tampak lebih menentramkan hati dan keputusan yang dibuat ber­sama famili berjalan lebih mudah apabila dibandingkan dengan lamaran yang diajukan oleh jejaka yang keadaannya biasa-biasa saja apalagi bagi yang belum punya pekerjaan. Orang memberi mereka dengan istilah hari depannya masih dalam tanda tanya. Disamping faktor ekonomi, faktor psikologi dan sosiologi juga ikut menentukan seorang dalem men­dapatkan jodoh. Pembicaraan ten­tang teman hidup merupakan bagian dari dialog mahasiswa di kampus. “Hei cepat cari pen­damping hidupmu selagi kamu masih kuliah disini, nanti kalau sudah tamat tentu sulit lagi men­dapatkannya. Entah kalau kamu berminat untuk ikut kontak jodoh”.
Kalau kita bertanya, “Kamu ini kapan lagi tanggal mainnya atau, kapan kamu layangkan undangan buat saya?”. Rata-rata orang men­jawabnya dengan bergurau pula dan paling kurang dengan senyum kecut. Itupun kalau perasaan lagi kurang sreg. “Wah, sulit bagi saya untuk menjawabnya, pacar saja belum punya. Barangkali dia belum menemukan calon pendamping hidup karena persyaratan terlalu banyak. Rata-rata mahasiswa banyak juga yang begitu.
Tidak aneh untuk didengar bila ada seorang pemuda yang punya pendidikan tinggi, pekerjaan lumayan dan penampilannya gagah pula. Tetapi sulit baginya untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Begitulah kenyataan dalam hidup ini. Pintar otaknya tetapi belum tentu pintar pergaulannya. Mahasiswa yang pekerjaannya.
Belajar melulu dan pergaulan diabaikan, memang menciptakan dirinya sangat mahir dalam menyelesaikan problema ilmiah, tetapi dalam menyelesaikan problema romantisnya, musti minta tolong dulu sama teman. Sebab kalau tidak tentu keringat dinginnya keluar duluan dan kon­sep kalimat dalam kepala lenyap diterbangkan angin. Baginya lebih mudah menemui dosen killer dari pada menemui si dia, orang-orang yang begini banyak sekali.
Untuk mendapatkan teman hidup yang cocok sebaiknya harus kita kenal lebih dulu. Jangan serahkan saja sama mat comblang atau lihat-lihat jauh saja. Untuk dapat men­genalnya kita harus mempunyai atau membina hubungan yang akrab terlebih dahulu. Tidak perlu mengungkapkan kemesraan dulu, cukup biasa-biasa saja.
Tidak sedikit pemuda yang menyerahkan soal cinta pada orang lain termasuk kepada orang tua sendiri. Bagaimana kita akan dapat mengenal calon jodoh den­gan baik kalau perjumpaan kita dengannya cuma dua atau tiga kali saja. Jatuh cinta lewat pandangan pertama hangat-mengasyikkan. Para penyair telah mengambilnya sebagai teman lagu sepanjang masa. Tetapi bagi kita pertimban­gan yang matang tetap harus dijadikan sebagai prioritas utama. Pernah terjadi pandangan pertama seorang pria pada seorang wanita tertarik hanya karena dia lincah, cantik dan pintar langsung dipinang dan menikah. Tetapi perkawinan mereka terpaksa bubar beberapa bulan setelah itu. Kisah perkawinan tentu tidak harus sesingkat dan berakhirnya semudah itu, bukan? http://penulisbatusangkar.blogspot.com/


Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang

Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dalam tahun 2000-an ini telah kita rasakan belajar dan mengajar dalam dua bentuk kurikulum di SMA. Dalam kurikulum lama kita telah me­rasakan suasananya. Dalam kurikulum lama, kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); walaupun dalam kertas semua kurikulum dianggap sama bagus. Namun dalam pelaksanaannya terjadi anggapan merasa superior dan inferior basi siswa-siswanya.
Dulu jurusan A1, A2, A.3 dan A4 dianggap sama. Tetapi da­lam perjalanan, mungkin dise­babkan oleh seleksi alam atau mungkin karena permintaan tidak ada. maka jurusan. A4 mati pada awal perjalanan. Dan tinggallah tiga jurusan, seolah­-olah sebagai tiga kontestan jurusan SMA dimana anak-anak yang berada pada jurusan A1 atau ilmu fisika merasa superior dan siswa yang belajar pada jurusan A3 atau ilmu sosial merasa inferior. Maka siswa SMA tampak satu tubuh
Keteledoran dalam pembagi­an jurusan yang lama adalah karena sistem penjurusan siswa berdasarkan tingkat kognitif mereka. Total siswa pada kelas satu dibagi atas tiga kategori dalam penjurusannya di kelas dua. Kelompok. pintar masuk ke jurusan ilmu fisika yang me­nengah masuk ke jurusan ilmu biologi, dan jurusan ilmu sosial bagi siswa yang menempati rangking kelompok bawah.
Dalam suasana belajar dalam penjurusan ala kurikulum lama juga mempengaruhi sikap guru. Walau secara lahir mereka berpura-pura sama menyukai semua jurusan. Terlihat bagi guru yang mengajar pelajaran umum dan mengajar pada semua jurusan mengalami perubahan semangat dan motivasi. Kalau guru mengajar pada jurusan yang dipandang superior pengabdiannya lebih tinggi. Belum lagi bel masuk berbunyi dia telah nongkrong dalam kelas karena begitulah kecintaannya dalam mengajar. Tetapi langkah dan wajahnya tampak begitu lesu kalau segera masuk ke jurusan inferior. Yang sering terjadi adalah penundaan masuk kelas, atau guru sengaja membuat alasan badan kurang enak atau sakit kepala.
Suasana yang sering terlihat pada jurusan inferior adalah kealpaan guru setiap saat Dan kalaupun ada guru yang masuk maka proses belajar mengajar yang sering terlihat adalah mencatat melulu sampai semua siswa mengeluh karena tangan mereka pegal-pegal. Atau ada siswa ada: yang berseru “kalau begini belajar lebih baik bukunya difoto kopi saja buk guru!” Mendengarkan sentilan demikian bisa pula menyebab­kan benturan kecil antara guru dan murid. Kadang kala inipun juga dijadikan sebagai bahan untuk menghabiskan jam pe­lajaran. Bayangkan ada guru yang. sengaja marah-marah se­lama dua jam pelajaran sebagai pengisi waktu.. Tetapi, tidak ada hikmahnya guru asyik cerotet dimuka kayak murai dan murid asyik pula-ngerumpi di be­lakang. Seolah-olah mereka mengatakan “anjing menggonggong kalifah berlalu”.
Bagi guru yang mengajar bidang studi program inti terasa adanya pengkotak-kotakan. Gu­ru yang mengajar kelas superior seringkali bisa ber­bangga hati dan membesarkan lobang hidung karena program pengajarannya berjalan dengan lancar. Dan bagi guru program inti pada kelas inferior ter­dengar banyak masalah. Mere­ka merasa seolah-olah gagal dalam mengajar dan mengeluh sepanjang waktu.
Karena seringnya bermasalah kelas-kelas interior membuat kelas itu sering tanpa. guru. Kadang-kadang dalam sehari mereka hanya belajar dengan satu guru atau kadang-kadang dalam seharian mereka tak belajar. Adanya kekosongan waktu menyebabkan mereka senang melakukan iseng-iseng. Mengganggu keamanan seko­lah, berteriak-teriak, seperti anak-anak idiot atau melempar dan merusak apa yang dapat dijangkau oleh tangan mereka. Memang apa yang mereka ker­jakan itu tanpa mereka sadari. Kelas-kelas inferior terlihat lebih berantakan. Dinding penuh dengan corat-coret dan bekas telapak kaki dan kabel-kabel listrik pada rusak seolah­-olah habis digigit oleh monster.
Kekosongan waktu yang di­alami oleh kelas inferior sering­ membuat reputasi suatu sekolah turun di mata masyarakat. Ada masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah kambing, mungkin kelas-kelas­nya jorok dan beraroma seperti kandang kambing. Dan ada pula masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah “delapan sepuluh” itu sebabnya karena anak-anak sekolahnya tiba pukul delapan dan pukul sepuluh sudah pulang lagi. Para pelajar hanya mampu berada di sekolah cuma selama dua jam. Sekolah seperti ini cukup ba­nyak di .daerah-daerah. Apa yang dapat diharapkan dan diterima oleh pelajar dalam suasana sekolah yang begini kecuali hal-hal biologis, mung­kin. Apa lagi secara biologis para pelajar tengah berada dalam usia remaja yang penuh gelora dan badai. Dan karena sekarang media-media yang berbau ranjangan sudah mudah memperolehnya maka banyak juga mereka yang diamuk oleh asmara. Yang tidak dapat me­ngontrol diri ya telah mengada­kan eksperimen yang bukan-bukan ditempat objek wisata atau rumah kosong. Bagi mere­ka yang fantasi karena kondisi rumah yang broken akan men­jadi lebih frustasi pula di sekolah. Sudah barang tentu barang-barang terlarang mulai dari ganja, morfin, minuman keras, ectasy sampai kepada penyele­wengan moral lainnya adalah menjadi hal yang lumrah. Tetapi karena tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisip­linan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisiplinan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak semudah membalik telapak tangan. Sekarang rendahnya disiplin menjadi pemicu terjadi tawuran pelajar. Yakni kenakalan dan perkelahian pelajar menjadi pendengaran umum kalau tidak diatasi.
Bukti rendah disiplin sekolah adalah siswa dibiarkan saja berambut gondrong memakai anting-anting sebelah atau baju bercorat-coret. Tetapi mereka bisa saja mengikuti pelajaran di dalam kelasa tanpa ada teguran. Malah ada guru yang merasa takut untuk menegur siswa yang tampak macam-macam. Pada hal guru-guru tadi belum men­coba berdialog dengan pelajar yang bermasalah. Mana tahu pelajar yang bermasalah tadi menderita “skin hunger” dan amat butuh simpati dari bapak dan ibuk guru. Mereka butuh didengar dan dipahami saja.
Menurut seorang pakar kriminologi, saya lupa namanya, ada cara tertentu untuk membuat disiplin tegak di sekolah. Kata­nya, seorang kepala sekolah haruslah seorang yang manajer, advisor dan seorang edukator. Jadi dengan demikian ia bisa meningkatkan mutu lembaga dan mengubah prilaku siswa yang bermasalah. Begitu pula seorang guru untuk sebuah kelas ia pun harus menjadi manajer, advisor dan edukator.
Pernah dulu ,tahun 1994, saat nama SMA berubah dan kurikulum juga berubah. yang lalu kurikulum lama telah kita tinggalkan. Kita tidak lagi mengenal nama SMA karena telah berubah nama menjadi SMU. Muatan pelajaran dengan kurikulum 1994 dimana sistem dua shift menjadi tak memadai. Bayangkan kelas sore kerap kali kehilangan dua jam terakhir, yaitu jam ke 7 dan 8, karena faktor kegelapan sore yang merasuk masuk kelas. Untuk itu kita mau tidak man musti ber­mohon kepada pemerintah agar menambah jumlah kelas-kelas agar belajar semuanya cukup dalam sata shift saja. Dengan harapan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan sempurna, guru-guru tidak lagi terkotak menjadi kotak sore dan kotak pagi. Mudah-mudahan dengan cara begini guru akan lebih kompak dan kepala seko­lah sebagai seorang manajer, advisor, dan dapat pula menjalankan peranannya mendekati batas kesempurnaan. Begitu pula dengan sekolah shift ini kegiatan ekstra kurikuler dapat kita terapkan maka kekosongan waktu murid selama ini digunakan untuk iseng-iseng akan tertutupi.
Proses belajar mengajar dengan kurikulum 1994 ini, terasa cukup adil. Paling kurang sela­ma dua tahun yakni selama belum ada penjurusan. Guru-guru tidak lagi mengenal kelas superior dan kelas inferior. Kecuali kelas unggul, wah itu kan biasa. Dalam kurikulum baru ini tampaknya guru berada dalam satu desakan. Ya kalau mereka habis keluar dari kelas lamban, apakah ia guru kelompok IPA atau kelompok IPS sama-sama mendesah kesal. Dan kalau keluar dari kelas bagus atau kelas unggulan me­reka sama-sama mendesah gembira. Pendek kata dalam kurikulum 1994 ini guru kelompok IPA dan kelompok IPS mema­suki kelas yang sama selama dua tahun, yaitu untuk kelas satu dan kelas dua.
Tetapi, sekarang yang kita pertanyakan adalah bagaimana kenal ada tiga jurusan yaitu jurusan. Bahasa, sekarang dikedepankan, kemudian jurusan IPA dan jurusan IPS. Sekarang kedengarannya berdasarkan suara anak-anak ada juga mereka yang mengunggulkan jurusan IPA. Barangkali ini pe­ngaruh kebiasaan lama, atau anggapan bahwa kelompok IPA lebih terbuka luas kesempatan untuk pilihan jurusan kuliah atau pilihan mencari kerja.
Sekiranya penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan telah dibagikan oleh guru BK dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau kurikulum, tentu lonceng kematian akan menggema kembali bagi jurusan yang terpandang inferior. Inferior karena semua pelajar sepakat memandangnya rendah. Rendah karena sistem penjurusan berdasarkan ranking prestasi pelajar maka akan melimpahlah siswa bodoh pada suatu jurusan dan menumpuk pula siswa yang berbobot pada jurusan lain, yang pada akhirnya dianggap superior.
Kita sangat menginginkan populasi jurusan Bahasa, IPA dan IPS cukup berimbang. Yakni pada masing-masing jurusan ada siswa yang pintar, ada yang menengah dan siswa yang lambat dalam belajar. Kalau ingin membuat kelas unggul jurusan IPA dan kelas unggul IPS. Jadi tidak lagi membuat kelas unggul seperti sistem lama. Dimana dulu seolah-olah jurusan fisika adalah unggulnya jurusan di SMA dan jurusan lain adalah kelas kambing.
Agar proses penjurusan ini seragam pada semua sekolah. Untuk itu kita harapkan agar pihak atas membuat kebijaksanaan yang baku dalam penjurusannya. Misalnya penjurusan itu harus berdasarkan minat siswa dan tidak lagi berdasarkan sistem ranking. Dengan cara ini kita harapkan agar semua jurusan dapat hidup dan pelajar dapat meneruskan minat mereka sampai ke perguruan tinggi dengan konsisten. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/




Siswa Perlu Tahu Bahwa Bila Gagal Tak Perlu Frustasi

Siswa Perlu Tahu Bahwa Bila Gagal Tak Perlu Frustasi
(Sukses Tidak Selalu Lewat Universitas)

Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

HARUSKAH remaja tamatan SLTA frustrasi bila gagal untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri?. Sudah menjadi pemandangan umum setiap tahun bagi kita untuk menang­gapi eksistensi ini. Putera-puteri kita lepas dari SLTA berbondong-bondong pergi mengundi nasib untuk memperebutkan kursi-kursi di perguruan tinggi negeri. Kemu­dian bila hasil ujian diumumkan, maka sampailah mereka kedalam musim hujan tangis bagi putri manis dan keadaan duka bagi putera-puteranya. Sedangkan yang dapat bergembira paling cuma sekian belas persen. Dan sekian puluh persen lagi sungguh merupakan ledakan angka kesedihan. Tetapi perlukah mereka harus bersedih? Dan haruskah menganggur untuk selanjutnya? Tentu kita tidak perlu menganggur, sebab kitapun bisa mencari kesuksesan. Tidak selalu sukses dan keberuntungan itu dicapai lewat bangku universitas.
Untuk mencapai sukses itu tentu dengan jalan berwira­swasta. “Berwiraswasta?”. Ah sebuah kata yang memuaskan, dan memang banyak anak rema­ja yang sudah bosan dan jenuh mendengar perkataan ini. Pasti mereka beralasan bahwa tidak mungkin berwiraswasta kalau hanya dengan modal dengkul saja.
“Banyak cerita-cerita yang menguraikan perjalanan keber­hasilan hidup seseorang hingga menjadi jutawan dan pengusaha, yang memulai karir hanya dengan modal dengkul. Mereka mulai dari nol besar dan membuka lapangan kerja pada umumnya.
Abraham Lincoln dulu tidak pernah masuk Universitas tetapi dunia mengenalnya sebagai presiden Amerika pejuang persa­maan hak-hak azasi manusia. Levi Strauss adalah termasuk orang yang gagai dalam sekolah tetapi ia dapat mengembangkan pola pikirannya hingga banyak orang memakai celana Levi’s yang, populer itu. Thomas Alva Edison tidak pernah belajar di sekolah lanjutan tetapi ia berhasil dengan bola listrik yang tetap dipakai orang diwaktu malam. Sigmund Freud adalah orang yang gagal memasuki fakultas Psikologi, tetapi ia tidak berputus asa. Dia belajar sendiri dengan membaca banyak dan berkarya. Sekarang kita mengenal namanya sebagai orang yang pa­ling ahli dalam bidang Psikologi dan terkenal dengan analisa-analisanya. Masih banyak lagi contoh-contoh orang yang sukses termasuk orang-orang yang berada dalam propinsi, kota atau lingkungan kita sendiri.
Kita sering mendengar komen­tar remaja tentang orang-orang yang berhasil “Ah mereka sudah ditakdirkan jadi begitu”. Sebenar­nya kesuksesan itu bukanlah takdir dan bukan pula nasib yang datang saja dari langit tanpa harus berusaha selangkah demi selangkah. Lantas apakah kunci sukses mereka? Mereka tidak memandang lembaga pendidik sebagai forum pencetak tokoh-tokoh masyarakat serta tokoh il­mu pengetahuan secara mutlak. Dan mereka tidak harus maha­siswa. Mereka tidak menganggap bahwa kalau sudah mahasiswa pasti punya masa depan yang cerah. Yang perlu bagi mereka adalah terus berusaha dan terus terjun ke kancah kehidupan. Mereka tekun menggeluti suatu bidang yang bisa dikerjakan ditengah masyarakat yang hiruk pikuk dengan sejuta macam pekerjaan.
Orang-orang macam begini memandang kemuka dan melihat suatu kesempatan yang terben­tang luas. Mereka mulai belajar dan kehidupan tanpa mengenal lelah dan menyerah tanpa mem­buat teori yang bertele-tele, tetapi memikirkan analisa yang lang­sung dan tetap. Punya daya prakarsa dan vitalitas kerja yang tinggi. Mereka mempergunakan otak dan memperhitungkan gerak tangan dan kaki. Orang-orang macam inilah yang selalu men­capai sukses dalam masyarakat jadi buah semata-mata karena takdir atau nasib mujur. Mereka­lah yang turut menentukan keberhasilan itu.
Banyak orang yang berpandangan keliru, mereka menganggap bahwa seandainya seseorang bisa tamat pada perguruan tinggi tertentu maka akan mudah untuk memperoleh jabatan dan pekerjaan yang basah. Semua itu banyak tidak benarnya. Image yang demikian sama dengan Im­age yang dimiliki oleh orang-orang di kampung kita. Mereka mau saja menjual sawah dan ladang serta harta benda milik mereka asalkan anak bisa masuk universitas dan yang penting adalah menjadi mahasiswa. Bagi mereka gambaran seorang mahasiswa adalah orang yang terhormat, orang pandai dan calon penguasa negeri. Tak perduli walau mencangkul sawah tetangga yang penting anak bisa jadi mahasiswa, sungguh perlu dikasihi.
Banyak pelajar yang gagal masuk perguruan tinggi lantas frustasi sehingga memandang ke depan dengan rasa pesimis. Padahal sebetulnya ini tidak perlu terjadi. Alangkah baik bila remaja yang gagal itu melihat alam sekeliling dengan seksama sam­bil mempelajari orang-orang yang sukses di sekitar mereka. In­sya Allah mereka akan segera tahu bahwa anggapan masa depan itu suram adalah ang­gapan keliru. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Selasa, 27 November 2007

Pendidikan Yang Belum Mendidik

Pendidikan Yang Belum Mendidik

Oleh : Marjohan
(marjohanusman@yahoo.com)

Apa gunanya belajar begitu lama dan begitu tinggi, menghabiskan waktu belasan tahun, malah sampai dua puluh atau dua puluh lima tahun, kalau pada akhirnya menjadi sarjana pengangguran atau intelektual pengangguran. Dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mendidik generasi bangsa ini menjadi orang yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam realita pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mall, plaza dan tempat rekreasi. Barangkali itu semua terjadi karena kita , pemerintah, masyarakat, orangtua dan guru, telah salah dalam mendidik. Kalau begitu kita semua harus bertanggung jawab atas fenomena ini.
Generasi senior seperti orangtua, mamak, dan kakak yang sukses perlu tahu bahwa mereka harus membekali generasi muda, anak- anak , suatu kekuatan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini. Mereka tidak perlu untuk melakukan studi banding jauh- jauh, cukup belajar dari makhluk yang hidup di seputar mereka.
Induk ayam., secara instink tahu sekali bahwa ia perlu mengajar anak- anaknya agar bisa memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup. Ia memberi model (pelajaran dan contoh langsung) bagaimana agar mereka bisa memiliki cakar dan paruh yang kuat untuk mengais rezeki yang tersembunyi. Kucing liar (bukan kucing rumahan yang hidup manja) secara instink juga mengajar anak- anaknya lewat latihan dalam bentuk pemodelan- melonpat dan menerkam- agar anak anaknya bisa menjadi cerdas untuk melompat, menerkam dan mencakar rezki dan meghadapi problema hidup dengan tangguhnya.
Lantas bagaimana eksistensi orangtua dalam mendidik dan mewarisi kehidupan yang layak bagi anak ? Terus terang bahwa tidak banyak orangtua yang tahu teori tentang mendidik. namun mereka mewarisinya dalam bentuk pemberian model, latihan dan kesempatan dalam berbuat.
Orang tua, dalam generasi masa lalu, mempunyai banyak anak, karena program Keluarga Berencana belum mereka kenal. Saat itu alam dan lingkungan masih aman, ramah dan jauh dari berbagai jenis polusi. Mereka membiarkan anak lepas di alam bebas, mengeksplorasi alam. Bila sudah agak besar,dalam tradisi orang Minang masa lalu, maka anak laki- laki memilih tidur di surau. Disana mereka berbagi ilmu tentang life skill – kecakapan hidup- bersilat, berpidato dan mengolah lahan. Bila saatnya tiba, maka ayah dan / atau paman (mamak) memberi model dan peran dalam kehidupan- seperti mengurus kebutuhan kaum kerabat.. dan demikian juga anag gadis memperoleh peran sesuai dengan posisinya di rumah.
Ibu dan ayah karena punya banyak anak musti membanting tulang sebagai wujud tanggung jawab. Ibu pun kekurangan waktu dalam mengurus anak secara detail. Anak saat itu jauh dari karakter over protective (watak terlalu melindungi), karakter orang tua yang serba melarang dan karakter serba membantu.
Pada masa itu setiap anak dari kecil sudah mengenal hidup susah, mereka serba mencoba pengalaman hidup- diterpa oleh hujan dan panasnya kehidupan. Bila masa akhil balikh berakhir, memasuki awal usia dewasa. Mereka merasa malu untuk menjadi “anak mama”. Atau anak yang selalu berada di bawah ketek orang tua. Bagi mereka merantau adalah menjadi solusi dan alternative terbaik. Merantau untuk mencari hidup dan ilmu. Adalah fenomena pada saat itu, orang Minang dikenal sebagai perantau yang ulung. Mencari pengalaman hidup, belajar untuk hidup susah. Almarhum Buya Hamka memberikan perumpamaan ibarat memakan tebu, memulai dari ujung yang hambar dan kelak berakhir di ujung dengan kehidupan yang manis. Ujung yang manis sebagai hasil pengalaman hidup yang hambar dan pahit membuat orang Minang pada masa itu dikenal sebagai pedagang yang ulet dan tangguh di negeri orang.
Tetapi bagaimana keadaan generasi belakangan, generasi dimana setiap orang tua sudah agak tinggi tingkat pendidikannya, paling kurang tamat SLTA dan sudah paham manfaat memiliki dua atau tiga anak- keluarga yang kecil. Anak- anak yang tumbuh dalam keluarga kecil pertumbuhan biologinya lebih bagus, bisa memiliki asupan gizi yang lebih baik. Namun bagaimana dengan asupan pengalaman hidup mereka ?
Orang tua zaman sekarang, sebahagian, cendrung bersifat over protective , suka mencampuri kehidupan anak sampai terlalu detail, serba melarang dan banyak memanjakan anak dengan hal yang bersifat banyak hiburan dan serba membantu mereka. Orang tua zaman sekarang hanya lebih mencikaraui pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak , namun cendrung tidak tidak tahu atau kurang peduli terhadap perkembangan dan pendidikan pada aspek lain- kecakapan hidup, spiritual, emosional , sikap positive dan kecakapan lain nya.
Sekarang bila anak mampu bernyanyi sebagai artis organ tunggal, menyanyikan lagu syahdu dan romantis, maka ia akan dikagumi dan diberi sanjungan setinggi mungkin. Bila anak jagoan dalam matematika, maka orangtua hampir tidak sabar untuk memberi tahu pada setiap orang tentang kelebihan dan keunggulan anak. Namun bila anak tidak pandai membaca Alfatihah, lalai dalam menunaikan Shalat lima waktu adakalanya sebahagian orang tua tampak tidak peduli dan malah memaafkan.
Orang tua sadar betul bahwa mereka perlu mempersiapkan anak agar kelak bisa hidup sukses. Agar anak sukses di sekolah maka mereka punya resep yaitu “bebaskan mereka untuk melakukan tugas rumah”. Kerja anak Cuma belajar dan belajar- apalagi ia dibebani dengan segudang PR dari sekolah. Keperluan makan dan pakaian semua diurus oleh orang tua. Namun akhirnya anak menjadi gagap dalam menyapu, mencuci, memasak dan malah bersosial. Mereka diharapkan hanya bisa jadi juara kelas
Dalam kenyataan orang tua yang terlalu banyak berharap agar anak jadi pintar dan sempurna yaitu dengan cara serba membantu, serba memanjakan, serba mengatur dan serba melarang. Metode atau cara ini malah membuat anak jadi miskin dengan life skill – kecakapan hidup. Mereka tidak tahu bagaimana cara membersihkan rumah, dan bagaimana memasak rendang Padang. Ini salah satu potret dari pendidikan yang salah dalam mendidik.
Pendidikan yang bukan atau yang belum mendidik adalah fenomena yang juga terjadi dalam dunia pendidikan (baca: di sekolah). Sekali lagi, buat apa anak- anak belajar dari SD, SMP, SLTA dan terus ke Perguruan Tinggi dan tamat kalau hanya bisa menjadi pengangguran. Apakah ini sebagai hasil dari bentuk dan gaya pendidikan yang mereka lalui selama ini.
Hanya pendidikan pra sekolahlah – taman kanak kanak- yang berkesan bagi anak dan menyenangkan dalam hidup mereka. Pendidikan mulai dari SD sampai ke tingkat SLTA harus mereka lalui dengan berbagai macam bentuk benturan demi benturan dalam kehidupan mereka. Mereka harus tahu bagaimana persaingan sehat dan juga sering terjadi persaingan tak sehat. Bagaimana bereaksi ketika dipermalukan oleh teman. Dan anak mulai mengenal stress oleh beban tugas sekolah yang begitu padat. Jari- jari kecil mereka harus banyak menulis agar SKL (standar kelulusan) bisa tercapai agar nama sekolah tidak tercemar. Mereka harus dikarantina di sekolah dan menjadi lupa bagaimana indahnya bermain lumpur dan berenang di kolam yang masih menyimpan segarnya aroma alam.
Walau semua guru sudah tahu bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar yang dituntut oleh kurikulum, maka tetap saja pembelajaran yang tradisional atau konvensional itu menarik dan sangat praktis - teacher centered, metode mencatat, metode berceramah, metode menghafal dan murid yang harus membeo atau membungkam. Agar nama guru bagus atau nama sekolah harum , Maka siswa harus bisa mengejar skor yang tinggi. Kunci nya adalah pembelajaran berfokus pada hasil- proses tidak perlu dihiraukan – anak atau siswa harus kaya dengan bentuk dan model test. Anak perlu digiring ke dalam suasana kelas yang membosankan- mereka harus rela berkorban untuk tidak membantu orangtua di sawah, mengawasi air kolam, atau memasak bersama nenek atau etek mereka di rumah, karena tuntutan sekolah lebih penting dari pada membantu orang tua dan melaksanakan tugas- tugas tadi. Namun kalau anak tidak punya kecakapan hidup, apakah itu karena kesalahan orang tua atau karena sekolah memonopoli waktu anak untuk berbakti (?).
Sejak ada kebijakan agar anak harus mampu menyelesaikan SKL atau bisa mencapai target skor kelulusan, maka semua sekolah berlomba membuat program bagaimana anak bisa gol, lulus seratus persen. Kasihan bila ada ada siswa yang gagal, nama baik sekolah bisa ambruk. Untuk menjaga citra baik sekolah, guru, mungkin juga kepala sekolah, komite dan kalau perlu juga orang tua harus memberi resep- bagaimana trik- trik mencontek dan melakukan rekayasa yang jitu. Pada akhirnya sekolah dengan skor tinggi sebagai hasil dari murid berbudaya mencontek diberi penghargaan dan kalau perlu diberitakan di media massa, sementara sekolah yang menjunjung tinggi nilai kejujuran namun harus memiliki skor agak rendah, memperoleh cibiran secara missal dan dicap sebagai sekolah yang telah gagal (?).
Dibalik fenomena pendidikan yang belum mendidik ini, ada usaha segelintir orang yang berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa sangat diperlukan sekolah punya program akselerasi dan program perintisan lain. Namun ujung- ujungnya hanya masih memajukan pendidikan dalam segi kognitif. Untuk itu dikemas paket akselerasi yang apik dan lagi- lagi anak harus disandera agar mampu membahas soal- demi soal ujian standar nasional agar kelak bisa lulus di UMPTN dan kuliah di perguruan tinggi bergengsi.
Namun dalam kenyataan tidak semua anak yang tertarik pada kegiatan kognitif dan tidak semuanya bermimpi untuk studi di pulau Jawa . Sebagai akibat terpaksa ikut kegiatan akselerasi, mereka belajar asal asalan karena dipaksa oleh kolaborasi orang tua dan sekolah. Meminjam istilah pendidikan quantum teaching, sebahagian dari mereka mungkin hanya tertarik dengan kegiatan otot, kegiatan seni, kegiatan interpersoanal atau intrapersonal dan mungkin kelak disana karir mereka. Tetapi mengapa mereka dipaksa mengikuti pelajaran akselersai pada bidang kognitif yang penuh rumus dan bahasa yang kering, dan angka- angka. Program ini tidak salah namun tempatnya belum tepat menurut istilah- the right man in the right place.
Kalau pada banyak sekolah dibentuk English club, maka adalah juga tepat untuk membentuk club- club mata pelajaran- mathematics club, history club, geografpy club. Kemudian juga club berdasarkan hobi, dan minat seperti photography club, atau menghidupkan aktivitas yang berbasis life skill- berkebun, beternak, bertani. Bukankah pekerjaan seperti sudah dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Padahal profesi pada bidang ini sangat mulia, menghidupi jutaan orang di dunia dan jauh dari dosa korupsi, kolusi dan nepotisme. Opini ini hanya mengajak setiap orang untuk melakukan kontemplasi tentang pendidikan yang belum punya nilai mendidik, yang telah melahirkan banyak generasi yang cemas menghadapi hidup. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

(Marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program pelayanan keunggulan Tanah Datar.)







Sabtu, 24 November 2007

Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua

Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangka

Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA’. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja – menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini”. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).

Minggu, 18 November 2007

SINETRON DICURIGAI SEBAGAI PEMICU SISWA

SINETRON DICURIGAI SEBAGAI PEMICU SISWA
TERCERABUT DARI BUDAYA “Adat Bersandi Sarak- Sarak Bersandi Kitabullah”.


Oleh: Marjohan
(marjohanusma@yahoo.com)
guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Adalah merupakan fenomena sepanjang masa bahwa pengaruh budaya luar selalu menyusup ke dalam tradisi kita lewat mode atau gaya hidup. Dulu, beberapa belas tahun atau dua dekade yang lalu, gaya hidup berkacamata hitam, memakai anting- anting besar, berambut kribo dan bercelana Spanyol adalah pilihan anak muda. Kemudian datang mode breakdance, rambut punk-rock, bertato, beranting sebelah telinga, membuat grafitty- coretan- coretan. Dan sekarang mode tidak hanya menjadi konsumsi anak muda pareman, tetapi juga dikonsumsi secara habis- habisan oleh sebahagian siswa SLTP dan SLTA dan malah juga sebahagian mahasiswa yang nota-benenya sebagai calon intelektual, mengadopsi gaya hidup yang aneh sebagai kebutuhan primer mereka. Fenomena yang diuraikan diatas tentu ada penyebab dan pemicunya. .
Setiap orang sudah tahu bahwa apa itu “media massa” dan kita tidak perlu lagi mencari defenisinya. Setiap orang sudah tahu bagaimana bentuk media massa itu, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa audio visual atau televisi sangat ampuh dalam menyedot perhatian puluhan ribu malah jutaan penonton. Media massa cetak, seperti beberapa jenis tabloid, koran dan majalah, juga mampu menyedot banyak perhatian pembaca.
Kedua jenis media massa diatas mampu memberikan dampak positif dan negative pada masyarakat. Terutama televisi dengan layar kacanya mempunyai manfaat dalam menghibur dalam mendidik masyarakat. Namun porsi menghiburnya kelewat banyak dibandingkan porsi mendidik dan memberikan informasi pada orang banyak. Unsur hiburan televisi telah menciptakan banyak masyarakat (baca: generasi muda dan anak didik) berprilaku serba aneh dan asing dari gaya hidup masyarakat sekitarnya.
Televisi telah lama menjadi kebutuhan primer masyarakat, seperti kebutuhan terhadap makan, minum atau sandang, pangan dan papan. Apalagi sejak menjamurnya stasiun televisi swasta yang menawarkan iklan dan menyuguhkan hiburan yang membius para pemirsa sampai malas bekerja dan belajar, maka banyak masyarakat memilih untuk membeli televisi dengan ukuran layar lebih jumbo, memajangnya ditengah rumah dan menyulap ruang tamu menjadi theater bagi keluarga.
Dahulu, sebelum televisi masih sebagai “makhluk yang langka”, banyak anak- anak yang begitu dekat dengan sang nenek, ingin tidur bersama sambil menikmati bedtime story (cerita menjelang tidur) atau kisah hidup sang nenek sewaktu muda. Namun itu kini tinggal kenangan, malah banyak anak- anak memilih untuk lebih akrab dengan kotak elektronik yang bernama televisi itu. Kemudian istilah atau kosa- kata bedtime story akan segera menghilang dari kamus dan pengalaman hidup mereka.
Adalah menjadi suatu fenomena sosial bahwa sekarang sebahagian anak-anak memang lebih akrab dengan pesawat televisi dari pada anggota keluarga dan famili yang lain. Mereka tampak begitu senang dan ikhlas menghabiskan waktu berjam-jam demi menikmati tayangan hiburan televisi yang muncul sambung bersambung sepanjang waktu. Malah mereka sudi untuk berteriak, marah- marah sambil mengungkapkan kata- kata emosional bila merasa terusik oleh siapa saja.
Begitu pula dengan anak didik di sekolah, mereka lebih dekat dan mengenal lebih banyak nama- nama stasiun televisi dengan program tayangannya, nama presenter yang kerap tampil di layar kaca, dibandingkan dengan mengenal nama dan pribadi guru- guru mereka. Mereka lebih suka kalau duduk bersama dengan teman sebaya untuk membahas acara- acara televisi, bintang iklan, tokoh- tokoh artis sinetron daripada membahas mata pelajaran dan “pe er demi pe er” yang baru saja ditugaskan oleh bapak dan ibu guru. Malah sering karena kelewat rajin mengikuti program sinetron, membuat mereka lalai dalam mengerjakan pekerjaan rumah tadi.
Orang tua jarang tahu atau mungkin tidak mau tahu kalau televisi itu punya segudang mudharat atau kerugian. Hampir banyak rumah yang membiarkan televisi on air atau menyala di tengah keluarga selama berjam-jam, malah ada yang menyala sampai 24 jam. Bagi keluarga yang punya rumah besar tentu tidak begitu masalah. Sebab tentu mereka masih punya kamar atau ruangan untuk menyepi agar anggota keluarga mereka yang rajin bisa belajar berfikir di bahagian kamar lainnya. Tetapi mayoritas bangsa Indonesia tidak kaya, mereka mempunyai rumah berukuran kecil, atau satu rumah dihuni oleh satu sampai tiga keluarga atau lebih, malah banyak keluarga yang hidup menumpang. Apa lagi bagi mereka yang hidup di daerah perkotaan, satu rumah kecil untuk menampung beberapa orang, mereka tidur ibarat ikan dalam kaleng sarden. Fungsi rumah pasti tidak ada kecuali hanya sebagai tempat tidur pada malam hari dan keluyuran pada siang hari. Dan bayangkan bila disana juga menyala siaran televisi yang non stop pasti tidak ada disana terdengar kata- kata untuk memotivasi anak untuk belajar.
Banyak guru-guru dan stakeholder sekolah juga tidak menyadari seberapa betul manfaatnya televisi itu sehingga televisi itu harus hadir dalam kantor majlis guru dan menyala dari pagi sampai sekolah usai. Pada mulanya televisi hadir di sana adalah dengan alasan agar guru tidak ketinggalan informasi. Namun karena bagusnya kemasan tayangan iklan dan sinetron yang datang silih berganti telah membuat guru terbius dan enggan untuk menunaikan tugasnya sebagai guru dalam kelas dan membiarkan siswa kucar- kacir.
Memang benar bahwa iklan dan sinetron adalah materi utama pada semua stasiun televisi yang ada di Indonesia ini. Manfaat utama dari program sinetron yang ditayangkan tiap saat dengan judul yang silih berganti terhadap masyarakat luas (juga jutaan anak didik) adalah sebatas untuk menghibur sja. Namun hakekatnya bisa membuat masyarakat, apalagi anak didik menjadi salah didik.
Pada umumnya tema berbagai sinetron yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia adalah tentang “cinta” yang diberi bumbu dengan unsur kemewahan, kekayaan kekerasan dan kemanjaan atau kecengengan. Sering karakter tokoh dalam sinetron- sinetron tersebut kurang berimbang dan tidak logika dengan porsi yang juga kurang berimbang.
Penokohan untuk dunia pendidikan ,misalnya, maka penulis naskah sinetron sering membuat citra bahwa figur atau tokoh siswa yang pintar itu adalah sosok seorang pelajar memakai kaca mata minus, kuper (kurang pergaulan), pribadinya terlalu baik namun mudah untuk diinjak- injak oleh pribadi teman lain. Sementara itu peran tokoh guru yang dicitrakan oleh penulis naskah sinetron adalah figur guru yang miskin, kampungan atau guru yang super killer. Tema cerita tentang hal ini dikemas seapik mungkin dan ditayangkan kepada publik, yang mana penontonnya adalah ratusan ribu bahkan jutaan anak anak sekolah se Indonesia. Namun apa tujuannya untuk mengemas cerita seperti ini, apakah untuk mengangkat citra pendidikan atau malah untuk menghempaskanya (?).
Sekarang , sebagaimana yang telah disebutkan tadi, bahwa banyak anak didik yang lebih mengenal figur presenter dan tokoh- tokoh sinetron pujaan mereka pada layar kaca dari pada mengenal figur guru – guru mereka di sekolah. Apalagi bila bapak dan ibuk guru mereka di sekolah tidak pula memoles diri dengan SDM yang tinggi dan penampilan yang anggun atau gagah. Maka semakin larilah siswa untuk menjadikan mereka sebagai panutan, model atau sebagai “uswatul hasanah (contoh teladan yang baik)”. Seolah- olah figur bagi bapak dan ibu guru yang demikian bisa berpuas diri dengan dengan dendang lagu “hymne guru- pahlawan tanpa tanda jasa” yang dihadiahkan siswa setiap Senin pagi saat upacara penaikan bendera.
Bahwa dalam hidupnya anak didik itu memperoleh pendidikan langsung dari guru di sekolah dan dari tokoh sinetron dan presenter pada layar kaca televisi mereka di rumah. Anak didik akan membandingkan dua jenis figur dengan kultur yang saling mempengaruhi mereka. Yaitu guru-guru yang senantiasa berusaha membuat dan mengajak mereka agar bisa menjadi insan yang memiliki kognitif, afektif dan psikomotorik (keterampilan) yang mantap. Atau agar mereka bisa memiliki keterampilan yang berganda dengan memantapkan intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient mereka, dengan tarikan tokoh sinetron dan presenter yang penampilan mereka yang tidak lagi membumi dan sudah jauh dari akar budaya bangsa ini- tubuh cantik dibalut pakaian super ketat dan super mini, rambut dicat cukup norak, penampilan dibuat- buat- dan menjanjikan seribu kemewahan, kekayaan, kecengengan dengan pesan-pesan yang menghalalkan hal-hal yang selama ini taboo- berciuman dimuka publik, hamil sebelum nikah, dan lain- lain adalah suatu hal yang wajar dan lumrah.
Figur guru dan figur artis sinetron (dan juga figur presenter) selalu berusaha berlomba dalam mempengaruhi pribadi anak didik kita. Karena figur artis dan presenter dibawakan oleh orang- orang yang sangat cerdas dan lincah namun gaya hidup mereka sudah serba tiruan dari gaya hidup dunia lain (baca: dunia barat) maka jadilah mereka sebagai tokoh yang dikagumi oleh jutaan pelajar se Indonesia dan sekaligus terpelantinglah figur guru sebagai panutan yang selalu serba bersahaja, dengan SDM dan penampilan yang juga pas- pasan pula dari fikiran anak didik mereka Maka terpaksalah mereka mendidik generasi muda yang bermentalkan (sebagian) cengeng, manja, sok elit, dan tiap malam sebelum tidur bermimpi untuk hidup mewah. Barangkali itulah penyebabnya kalau pesan- pesan pendidikan yang disampaikan oleh guru guru tidak sampai pada tujuannya. Guru asyik berceloteh di depan kelas sampai kering kerongkongan namun anak didik mereka masih bermimpi bersama tokoh tokoh artis sinetron yang selalu mereka dambakan sepanjang hari pada layar kaca di rumah mereka.
Adalah amat tepat kalau kini para orang tua harus mencurigai bahwa bila anak- anak yang didik dan tumbuh di depan mata kita menjadi generasi yang tampil serba aneh adalah gara gara tayangan iklan dan sinetron pada layar televisi yang dipajang dan dihidupkan sepanjang waktu di rumah. Sinetron dicurigai sebagai pemicu anak didik menjadi tercabut dari akar budaya ABS- SBK (Adat Bersandi sarak- Sarak bersandi Kitabullah). Wallahualam bissawab. .

Kamis, 15 November 2007

KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH

KEMEROSOTAN DAYA TARIK SEKOLAH
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan Kab. Tanah Datar SUMBAR

Sampai sekarang, agaknya pendidikan masih dianggap sebagai investasi nasional. Investasi terhadap manusia dengan kata lain dapat dikatakan dengan istilah “investasi dalam kemampuan manusia” atau dalam istilah yang lebih umum adalah “sumber daya manusia”.
Suatu negeri tetap miskin karena investasi dalam kemampuan manusianya juga kecil. Untuk mengentaskan keadaan ini sangat diperlukan peningkatan dan pengembangan potensial dan tepatnya adalah peningkatan keterampilan dan pengetahuan dari segenap warganya.
Keadaan dan eksistensi negara ini pada masa datang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini dapat kita sorot ke dalam dunia pendidikan.
Ada kecenderungan pemerosotan daya tarik sekolah dalam kalangan pelajar. Semoga saja pandangan ini tidak terlalu mengada-ada. Banyak fakta-fakta umum yang dapat menyokong pendapat ini seperti makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran dimana-mana pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, rendahnya perhatian masyarakat untuk menyerbu fasilitas pendidikan dibandingkan dengan fasilitas hiburan dan masih senangnya hampir sebagian besar orang yang bersikap bermalas-malasan.
Kemerosotan daya tarik sekolah penyebabnya dapat ditinjau dari beberapa segi, seperti dari segi sekolah, rumah, masyarakat dan lain-lain. Walau bagaimana setiap segi ini saling mempengaruhi dan memberikan dampak negatif.
Meskipun telah banyak orang membahas tentang berbagai kritikan termasuk kritikan tentang metode mengajar namun belum tampak reaksi positif secara menyeluruh. Sampai saat sekarang metode mengajar lama masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru meskipun mereka telah puluhan kali mengikuti penataran-penataran dan hampir tiap saat disuguhi teori-teori.
Bagaimana keadaan metode mengajar gaya lama? Yaitu metode yang membuat murid cenderung menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, apakah mereka memahami atau tidak. Pelaksanaan metode lama ini telah berlangsung cukup lama. Mengajar dengan metode yang demikian cenderung bersifat dogmatik dan otoriter. Cara dari metode ini sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik dalam belajar mandiri di luar sekolah. Inilah penyebabnya kenapa sekarang murid-murid, malah juga sampai kepada mahasiswa cenderung membisu dan suka sebagai penonton dalam dinamika kehidupan. Dan ini pulalah penyebabnya kenapa banyak generasi muda suka kebingungan dalam mengisi hari-hari kosong mereka.
Suasana mengajar pada berbagai tingkat sekolah, dari tingkat SD sampai SLTA dan barangkali juga di tingkat perguruan tinggi dengan gaya “konsep bank” atau gaya hubungan “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung untuk melemahkan kebebasan berpikir dan menumbuhkan sikap mencari serta berpengalaman, yang diperlukan dalam perkembangan.
Suasana belajar murid cenderung menunggu perintah dari guru. Buku-buku pegangan baru dibaca kalau ada perintah. Karena sering guru lupa memberi aba-aba untuk membaca, maka rata-rata buku pegangan masih utuh. Malahan buku yang sengaja dipersiapkan oleh pemerintah cenderung untuk menumpuk-numpuk di pustaka atau di rumah karena budaya malas membaca. Dalam menguasai pelajaran, caya yang cukup jitu dipakai adalah lewat cara menghafal. Dan ini tampak cukup merata untuk berbagai tingkat sekolah, sehingga suasana belajar yang demikian hanya membuat murid untuk mencapai target lulus saja dan memperoleh ijazah, bukan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang harus dibuktikan. Melihat gejala semakin kurang berkualitasnya lulusan sekarang, sehingga ada orang yang suka berkelakar mengatakan bahwa “ijazah itu hanya laku sampai di gerbang sekolah saja” dengan arti kata belum dapat diandalkan dalam kehidupan.
Situasi sekolah sekarang yang cukup mengecewakan telah membuat para lulusan tidak atau kurang berkualitas. Situasi sekolah yang mengecewakan ini adalah akibat, sekali lagi, bertahannya gaya mengajar metode lama. Proses belajar mengajar yang bersifat “text book” dan malah akibat murid belajar dengan sedikit buku atau tanpa buku pegangan sama sekali. Buktikanlah dalam kehidupan setiap hari kita melihat cukup banyak pelajar pergi sekolah melenggang saja atau Cuma membawa sehelai catatan “gado-gado” dan melipatnya ke dalam kantong. Kemudian guru dan murid cenderung bermalas-malas, mungkin akibat pemahaman kurikulum atau kurikulum itu sendiri cukup kabur dan guru kurang terlatih untuk menstimulasi aktivitas murid. Kenapa sekarang jarang guru yang bersikap profesional ideal? Ini bisa jadi disebabkan karena mereka miskin dengan ilmu, wawasan dan pengetahuan, sehingga ada saja murid yang berani mengatakan bahwa sebagian kecil guru ilmunya cuma “tua semalam” dari murid-murid.
Beberapa kritikan terhadap pendidikan yang menyebabkan semakin merosotnya daya tarik sekolah adalah sebagai berikut: Pengajaran yang serba bersifat Text-Book dan teori tanpa praktek. Populasi kelas yang cukup atau terlalu ramai dengan pengajaran cenderung melupakan program pengayaan atau perbaikan, kalaupun ada itu cuma agak berbau omong kosong saja. Murid-murid terlihat miskin dengan berbagai aktivitas pendidikan. Kurangnya penyediaan kebutuhan dan kapasitas untuk remaja. Proses belajar mengajar terlalu banyak didominasi oleh berbagai ujian, ada kalanya guru mengadakan ujian palsu karena kehabisan teknik mengajar. Dan tidak ada kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat dan dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan nyata kelak.
Kemerosotan daya tarik sekolah dapat pula disebabkan oleh gaya belajar murid-murid itu sendiri. Memang kita akui bawa gaya belajar ini dibentuk oleh faktor sekolah, rumah dan faktor sosial.
Gaya murid, dan bisa jadi juga mahasiswa, dalam menguasai pengetahuan adalah dengan cara melengkapi catatannya persis seperti kata-kata guru dan dalam ujian mereka berusaha keras untuk mencurahkan, mengungkapkannya lagi, dari hafalan. Ini merupakan penghalang serius dalam mengembangkan kreativitas berpikir. Disini tampak bahwa murid lebih tergantung pada ingatan atau hafalan dari pada memahami masalah dan mengembangkan alasan (logika) serta kekuatan analisa untuk menyelesaikan masalah dalam hidup.
Sudah menjadi pemandangan umum bagi kita untuk setiap musim ujian. Murid biasanya menyediakan beberapa hari saja dalam seminggu sebelum ujian untuk bekerja dan belajar intensif. Dalam menyerap ilmu mereka sering tergantung pada catatan dari pada buku-buku pegangan. Dan selanjutnya mereka tergantung pada hafalan daripada pemahaman.
Untuk mencapai kematangan pribadi murid, agaknya sangat diperlukan campur tangan atau bimbingan guru, terutama orang tua, untuk mengelola dan memanfaatkan waktu. Apa yang sering kita lihat dalam melewati hari-hati yang panjang sebelum ujian tiba, tentu tidak untuk semua murid, adalah mereka cenderung untuk membuang waktu tanpa tujuan. Sehingga kalau ada murid atau mahasiswa kita yang beruntung untuk belajar di negara Barat, dan negara maju lain, akan tercengang melihat sungguh serius dan rajin para pelajar di sana.
Agaknya kemerosotan daya tarik sekolah cukup menentukan kualitas sumber daya manusia, atau lulusan suatu sekolah. Kita lihat bahwa lulusan SLTA tentu saja tidak semuanya yang terus ke universitas rata-rata kurang stabil secara emosi, kurang terbimbing secara intelektual dan lemah dalam pemanfaatan waktu. Sehingga membuat sebagian besar mahasiswa banyak buang-buang waktu dan sedikit yang punya kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mereka tidak tahu kemana akan pergi dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Kalau begitu kita tidak perlu heran kalau banyak yang mengaku telah sarjana tetapi belum bisa membuktikan diri dalam kehidupan karena bisa jadi akibat “ijazah mereka hanya laku sampai ke gerbang kampus” saja.
Kemerosotan daya tarik sekolah dan untuk menambahkan ilmu untuk tingkat SLTA sudah mulai terasa ketika murid duduk di bangku kelas tiga. Rata-rata murid kelas tiga banyak belajar acuh tidak acuh dan sering belajar serampangan saja. Kemalasan yang mereka derita ini bisa jadi akibat bahwa umumnya mereka terganggu oleh anggapan masa depan yang kabur, tetapi suka masa bodoh, dan banyaknya pengangguran terdidik di seputar mereka. Kecuali kalau mereka suka menganalisa bahwa pengangguran terdidik yang menganggur itu adalah akibat kualitas diri masih rendah, selain suratan dari Ilahi, karena ilmu mereka baru hanya sebatas “text-book thinking” semata. Pendidikan memang penting bagi seseorang karena ia memberinya kesempatan untuk meningkatkan “income” dan tingkat kehidupan seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Untuk pendidikan lewat penguasaan pengetahuan dan skill dapat membuat kemungkinan peningkatan “output”. Untuk itu penting bagi seseorang untuk memiliki kebutuhan akan pendidikan dan sekolah. Kehilangan daya tarik terhadap sekolah dan pendidikan, selain disebabkan oleh berbagai faktor yang telah kita sebutkan di atas, juga disebabkan faktor orang tua. Murid-murid dengan perilaku negatif banyak datang dari keluarga dengan orang tua yang sibuk dan tidak mampu memberi perhatian. Dan kalau pun orang tua tidak sibuk, tetapi akibat mereka kelewatan dalam memberi perhatian dan pemanjaan, tanpa membantu anak dalam belajar dan mengelola waktu, telah membuat anak-anak mereka berkualitas jelek.
Kenapa daya tarik sekolah merosot bisa terjadi? Terhadap pertanyaan ini dapat kita dengar jutaan alasan dan keluhan. Dari sudut pandang murid, mereka punya alasan untuk mengeluh karena kondisi hidup dan sekolah yang tak memadai. Alasan atau keluhan ini adalah seperti: jarangnya mereka memiliki buku, fasilitas pustaka dan labor yang terbatas, tempat tinggal yang tidak memadai dan akibat sedikitnya kontak dengan guru dan guru bimbingan dan konseling. Keluhan dari segi guru adalah seperti: guru yang kurang terlatih, gaji yang kurang memadai sehingga banyak guru yang demam berhutang pada koperasi atau bank, kelas yang ramai, kurikulum yang belum layak, keadaan kelas yang dua shift, buku teks yang tidak menarik dan media mengajar yang sering tidak ada di dalam proses belajar mengajar.
Kini mengingat dan melihat tantangan hidup yang makin nyata agaknya kita mesti lebih serius dalam memperhatikan investasi manusia dalam arti peningkatan sumber daya manusia. Untuk itu sangat diperlukannya pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh guru yang cakap dan mahir. Sekolah tetap membutuhkan guru yang luas ilmunya, dapat beradaptasi, kompeten dan berbakti pada tugas. Di samping itu juga perlu sokongan orang tua. Malah tentu yang omong kosong bila sekolah berkualitas dan orang tua, dan juga masyarakat yang berkualitas menghasilkan murid serta mahasiswa yang berkualitas pula.










Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...