Kamis, 29 November 2007

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid seko­lah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.
Bagaimana penguasaan mu­rid-murid atas kemampuan da­sar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-­masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa ke­mampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menu­lis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.
Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjuk­kan angka kemampuan berhi­tung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya peme­rintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek pe­nyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak se­mua murid yang bersikap demi­kian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ke­timbang menganalisa buku­-buku teks pelajaran mereka.
Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN ter­tangkap kesan tentang mele­mahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-­hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah “siapa lu dan siapa gua”. Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa ke­bodohan murid di sekolah ber­awal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang “'broken” atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pe­lajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mere­ka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.
Bukan berarti orang tua me­reka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenu­hi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkung­an, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup “the have”.
Dalam zaman global infor­masi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyang­kan perut. “Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue”, demikian menurut orang tua yang bersikap “stomach oriented”. Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang wak­tu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mere­ka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapat­kan umpan balik. Dan ketika ditanya “apakah kamu sudah paham atau belum mengerti”, dijawab oleh murid dengan wajah “no comment”
Kesulitan murid dalam me­mahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.
Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam ber­fikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pela­jaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.
Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembang­kan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.
Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam mem­baca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin mem­perolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalur­kan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.
Pemanfaatan buku-buku ba­caan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembang­an keterampilan membaca mu­rid. Adapun untuk pengem­bangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian “tugas mengarang” kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa. Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi “aspal” alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.
Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya mem­buat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehan­nya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar. Semoga http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Melacak Pergaulan Siswa Yang Di Luar Batas

Melacak Pergaulan Siswa Yang Di Luar Batas

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

DULU Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi merupakan aib bagi orang tua dan kaum famili, sehingga yang bersangkutan diberi sangsi berat sampai diusir dari kampung. Sekarang kasus ini bila dilakukan oleh pelajar lebih banyak dikarenakan kepada nama sekolah. Ini tentu saja pukulan kepada wibawa sekolah sebagai Lembaga Pendidikan. Sebuah sekolah dianggap telah gagal atau disiplinnya kurang, bila kedapatan pelajar-pelajarnya melakukan kasus aib ini. Tak begitu dipersoalkan meskipun pelanggaran seksual itu sendiri terjadi di rumah atau tempat lain akibat kegagalan orang tua dalam mendidik anak. Pokoknya, paran sekolah, sering dituding.
Bagi sekolah, langkah yang tepat untuk membersihkan nama baiknya adalah dengan cara memecat pelajar yang berkasus atau dengan cara memindahkan pelajar tersebut, apabila ia telah hamil atau melakukan abortus Sekarang rata-rata tiap sekolah telah mendapat jatah nama buruk. Tidak pandang bulu apakah itu sekolah negeri atau swasta, bahkan merupakan pukulan yang lebih berat lagi bagi sekolah agama. Kasus kehamilan dan pelanggaran seksual tidak hanya terjadi di sekolah kota, tetapi juga di sekolah-sekolah desa. Dan umumnya, dilakukan oleh pelajar tingkat SLTA.
Rata-rata siswa SLTA yang berusia 16-20 tahun menurut teori Rumke sedang berada dalam masa genital. Dalam usia ini mereka penuh dengan dorongan emosional don dorongan libido, nafsu seksual. Dalam masa ini terjadi labilitas kejiwaan, yang bila tidak dikendalikan akan dapat mengarah kepada hal-hal negative. Apabila seorang pelajar tidak dapat mengendalikan diri misalnya, akan dapat men­dorongnya untuk melakukan pergaulan bebas. Melakukan pelanggaran seksual terhadap teman wanitanya sendiri.
Tentu saja kasus-kasus yang terjadi di sekolah dilakukan oleh sepasang pelajar putera dan puteri. Tetapi resiko tertinggi dan berat ditanggung oleh pelajar puteri, karena akibat pelanggaran seksual itu sangat membeka pada perutnya yang membuncit serta robeknya selaput virgin. ­Sedangkan bagi pelajar putera, kadang-kadang dapat bersikap lempar batu sembunyi tangan. Menghindarkan dari tanggung jawab.
Memperhatikan perilaku kehidupan remaja, menunjuk­kan bahwa pengaruh orang tua­ dan stimulasi positifnya masih terlalu rendah. Amat sedikit orang tua dan anak melakukan acara ngumpul-ngumpul untuk melakukan dialog dari hati ke hati. Paling banyak cuma mengadakan ngumpul-ngumpul untuk menonton film serial di Televisi. Kebanyakan pengaruh buruk pada remaja justru. datang dari luar, yaitu melalui media massa cetak, audio visual, dan melalui pergaulan.
Pada umumnya kegemaran remaja, pelajar, adalah membaca, menonton, mendengar musik, berkumpul dan ngobrol-ngobrol disamping melakukan aktivitas produktif yang lain. Pada umumnya orang tua tidak tahu apa yang mereka baca dan apa yang mereka tonton. Hal ini mungkin karena kesibukan, karena kurang peduli atau juga karena orang tua merasa enggan mencampuri urusan anak muda. Mungkin juga karena orang tua tidak mengenal tentang perkembangan jiwa remaja. Mungkin pada suatu hari datang teman mengatakan bahwa ada Info bagus, sebagai isyarat telah ada peluang bagi mereka untuk menikmati bacaan atau film porno. Maka mereka pun membaca buku porno itu atau menonton film biru secara diam-diam ditem­pat teman atau ditempat lain.
Bacaan dan tontonan yang bersifat porno dapat men­datangkan kenikmatan dan merangsang keinginan sek­sual. Kemudian mereka akan berusaha mencari peluang untuk melampiaskannya secara sendiri atau berkelompok. Mungkin secara suka sama suka atau lewat perkosaan. Memang pengaruh per­gaulan yang negatif sangat cepat meluas. Rata-rata orang tua tidak mengetahui istilah yang khas dalam pergaulan antara remaja istilah populer di kalangan mereka untuk mengartikan film biru adalah film 26, barangkali karena huruf B mewakili angka 2 dan huruf F mewakili angka 6.
Walau orang tua telah mem­batasi pergaulan mereka dan melarang terhadap hal-hal yang bersitaf negatif, namun adanya kesempatan-kesem­patan lain, bagi mereka tak mungkin semuanya terbendung. Tentu ada juga peluang bagi mereka untuk berkumpul-kumpul dan mengadakan tukar menukar informasi, ngobrol mangenai benda benda porno.
Media massa yang dianggap sangat mengganggu kes­tablian jiwa remaja adalah bentuk audio visual yang mana secara diam-diam telah merayapi kehidupan mereka.
Dewasa ini orang, sudah banyak memiliki video kaset tujuan utamanya adalah untuk sarana hiburan anggota keluarga. Tetapi kemudian dibisniskan menjadi tujuan komersial dengan menyulap rumah mereka menjadi bios­kop mini dan memungut uang tontonan dari kaset-kaset blue film. Rata-rata peminatnya adalah anak-anak pelajar, bukan saja dari tingkat SLTA tetapi juga pelajar tingkat SLTP setelah mengalami wet dream. Pelajar-pelajar di kota dan di desa banyak yang telah men­getahui lokasi-lokasi rahasia dari bioskop, mini ini. Sungguh bagi pemilik video cabul sekeping uang lebih berharga dari segalanya. Mereka tega meracuni fikiran dan jiwa generasi muda melemahkan semangat pelajar untuk belajar dan bekerja.
Film-film dan bacaan porno sangat cepat merangsang penontonnya, begitu pula bagi pelajar. la cepat sekali meningkatkan ambisi seksual, dorongan seksual membuat mereka ingin melakukan iseng-iseng, mungkin terhadap pacar atau terhadap wanita lain. Ada majalah dan buku porno ter­bitan dalam dan luar negeri yang telah beredar secara diam-diam di kalangan mereka.
Secara naluriah, remaja laki-laki bersifat agresif dan remaja wanita bersifat pasif. Remaja pria sangat tertarik kepada info-info yang bersifat seksual. Sedangkan remaja wanita ter­tarik kepada hal-hal yang ber­sifat romantis.
Banyak anak-anak remaja yang tidak atau kurang punya latar belakang pendidikan agama, orang tua pun tak memberi perhatian yang cukup. Mereka itu dapat saja memperkenalkan bacaan dan majalah porno kepada teman wanita, lawan jenis mereka. Dan kemudian mencari tempat-tempat yang sepi. Setelah terangsang mereka melakukan hubungan seksual yang mana agama menyebut­nya sebagai perbuatan zinah.
Rata-rata pelajar yang berkasus hubungan seksual ini secara suka sama suka. Per­buatan itu sebagian dilakukan di rumah atau di tempat tersem­bunyi dan sebagian lagi di tem­pat rekreasi yang suasananya lengang.
Umumnya kasus pelanggaran seksual dan kehamilan pelajar ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang tua. Minusnya didikan agama, broken home (orang tua yang sibuk dan suka bertengkar) dan akibat komunikasi yang sangat jelek, di rumah. Berpacaran secara sembunyi-sembunyi dan pergaulan yang sangat bebas dapat menjerumuskan pelajar putera dan puteri kepada perbuatan zina dan kehamilan. Dimana untuk seterusnya akibat perbuatan mereka itu pada gilirannya akan mencemari nama baik sekolahnya. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Fenomena Anak Sebahagian Muda

Fenomena Anak Sebahagian Muda
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

BANYAK orang-orang ber­bahagia karena telah sukses. Suk­ses gara-gara telah menguasai medan mereka masing-masing. Apakah sukses mereka itu karena gara-gara tentu saja tidak.
Rata-rata orang yang berkecim­pung dalam bidang ekonomi, suk­ses setelah melalui perjuangan dan perjalanan hidup yang panjang. Mereka telah jungkir balik dalam bidang ilmu dan telah ter­jungkir dan terbalik dalam bidang pengalaman. Begitu pula bagi mereka yang telah meraih sukses di bidang lain, seperti bidang kesehatan, olahraga, pendidikan, jurnalis, hukum dan seterusnya.
Pada umumnya orang hanya pandai berdecak kagum kepada hasil kesuksesan kesuksesan saja. Dan malontarkan sejumlah kata-kata pujian, sanjungan atau kekaguman. “Wah dia sungguh hebat. Andaikata dia itu saya... Wah betapa senangnya”. Tetapi orang lupa bertanya bagaimana pengorbanan awalnya, bagaimana seseorang itu memulai usahanya untuk merebut sukses.
Banyak bintang-bintang film tenar, politikus besar, sarjana terkemuka lainnya menuturkan bahwa kesuksesan mereka peroleh setelah melalui sekian jum­lah penderitaan. Ada yang memulainya sebagai pembantu rumah tangga, ada sebagai kuli kasar. Pokoknya sesuai dengan profesi masing-masing.
Kesuksesan yang diperoleh itu ada karena warisan. Seorang pen­gusaha kaya tentu akan mendidik dan melatih keturunannya, kemudian melimpahkan kesuk­sesan itu. Kesuksesan seperti ini daya tahannya kurang kuat diban­dingkan dengan kesuksesan yang dimulai oleh seseorang dari nol besar. Atau kesuksesan seseorang yang diperoleh dari pengalaman hidupnya.
Untuk sukses seseorang musti memiliki disiplin hidup yang tinggi. Banyak orang yang meramaikan kata “sukses”. Mari sukseskan… atau hidup sukses adalah.... Pada hal kesuksesan ini diperoleh dari “disiplin”.
Sekarang kita heran, mengapa orang yang hidupnya telah nampak berkecukupan (sukses), punya banyak rumah bagus, istri cantik dan kenalan luas. Tetapi masih berkeluh kesah. Ia masih mengatakan kurang sukses dalam jiwa. Kira-kira apalagi yang harus ia kuasai agar dapat sukses jiwanya (baca : bahagia). Oh barangkali ia perlu menguasai fikiran.
Banyak orang yang lari dari kenyataan hidup dan mengak­hirinya dengan meneguk racun. Ada pula orang yang tega memuluskan hubungan hidup yang ada ini. Malah ada yang melarikan diri ke dalam kehidupan khayal, tertawa sendiri atau menangis sendiri. Orang awam menamainya “gila” dan orang ahli memberinya istilah “scizoprenic”. Yang begini biasanya punya cita-cita menjadi orang gede, tapi berusaha malas mengkhayal ken­ceng. Akhirnya, ya gila dong.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/


DEMAM PINDAH RAYON MELANDA CALON SISWA SMA

DEMAM PINDAH RAYON MELANDA CALON SISWA SMA
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

BARANGKALI sudah meru­pakan public opini bahwa ber­sekolah di daerah perkotaan akan lebih menjanjikan kualitas yang lebih baik. Fenomena ini dipastikan setiap tahun ajaran melanda calon-calon siswa SMA. Seolah-olah mereka lagi dilanda wabah demam pindah rayon.
Banyak calon siswa yang memperoleh NEM tergolong tinggi merasa bangga. dan ka­dang-kadang hidung sedikit menengadah ke langit, serta berkesimpulan bahwa mutu sekolah di daerah tidak begitu menjamin alias rendah. Tentu calon siswa-siswa bebas untuk menganalisa sesuai dengan bobot wawasan dan pengalaman mereka. Tetapi ada lagi hal-hal yang lucu kita perhatikan yakni ada pula calon siswa SMA yang cuma mengantongi NEM sekitar slawe, atau sekitar angka 25, juga ikut-ikutan dilanda oleh gejala demam pindah rayon.
Berbicara tentang kualitas suatu sekolah. Itu banyak bergantung dengan input, proses dan out put nya. Seorang calon siswa tentu berhak pindah rayon kalau dia betul-betul memiliki misi suci untuk meningkatkan kualitas diri. Apakah itu kuali­tas fikiran, wawasan sosial, wawasan keimanan dan wa­wasan lain. Tetapi yang amat kita sayangkan adalah calon siswa yang ikut ikutan juga menyerbu sekolah perkotaan dan sudipula untuk kos dengan lingkungan teman-teman yang tidak menjamin. Sementara lingkungan rumah yang sangat harmonis yang mana ia butuh­kan agar dapat tumbuh sehat secara jiwa dan raga, dan apa­lagi ia pun telah sukses mem­peroleh nilai baik di sekolah tingkat SMP. Banyak kita temui anak-anak yang ketika masih di SMP tergolong pintar tetapi setelah berada pada sekolah perkotaan, jauh dari orang tua dan tak mampu mengontrol diri, memperoleh nilai sangat mengecewakan setelah berada pada tingkat SMA. Pepatah mengatakan “mengharap bu­rung di langit, punai di tangan dilepaskan”. Nah banyak anak-­anak sekolah yang dilanda atau yang disindir oleh pepatah ini.
Seperti yang tadi kita nya­takan bahwa mutu suatu seko­lah itu ditentukan oleh input­nva, proses belajar mengajarnya dan output-nya. Kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk berkualitas, proses belajar di sekolah dan di rumah bagus, maka kita tidak perlu heran. Tetapi kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk tidaklah begitu unggul dan setelah tamat siswanya memperlihatkan peningkatan kualitas SDM. Maka kita patut mengacungkan jempol kepada sekolah yang demikian. Identik dengan itu untuk sekolah-seko­lah swasta, yang bukan sekolah berlabel elit, tetapi sang-up menunjukkan peningkatan kua­litas anak didik maka kita wajib mengacungkan dua jempol. Begitu pula untuk, sekolah­-sekolah yang berlokasi di pede­saan kalau sukses dalam mem­bina pendidikan generasi maka sekolah kota patut melakukan instrospeksi diri. Dan bertanya apa saja yang dilakukan oleh anak didik dan guru-gurunya selama ini? Apakah hanya seke­dar pembayar kewajiban saja dan menerima hak setiap bulannya.
Kita patut mengingatkan ke­pada para orang tua yang mana anak-anaknya lagi dilanda de­mam pindah rayon, apakah anak-anak yang merupakan amanah Tuhan telah diwarisi dengan nilai agama yang man­tap. Syukur-syukur kalau anak yang akan sekolah jauh dan orang tua memiliki tempat dan lingkungan yang baik. Sehingga kualitas anak lebih baik. Tetapi apabila anak yang pada mulanya memiliki pribadi dan intelektual yang baik kemudian setelah dilepas oleh orang tua untuk bersekolah jauh dari penga­wasan dan ternyata menjadi anak yang bandel dan biang kerok masyarakat maka siapa­kah yang patut untuk disalah­kan. Biasanya orang tua ikut latah untuk menyalahkan ling­kungan. Tetapi dia sendiri tidak tahu mana lingkungan yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau begitu yang patut disa­lahkan adalah pribadi orang itu sendiri. Kenapa dia tidak me­lengkapi anak dengan bekal hidup sejak anak berusia dini?
Desa dengan suasana santai ikut mewarnai kepribadian anak-anak sekolah. Kesantrian itu lebih menguasai alam fikiran mereka. Lihatlah cara berjalan anak-anak sekolah SMA di sekolah desa, sungguh amat lamban. Orang yang jalannya lamban, cara berbicara dan cara berfikirnya juga lamban. “Kalau anda ingin gesit dalam berfikir maka cobalah percepat gerak jalan Anda”. Demikian pesan-pesan orang yang berjiwa suk­ses yang dapat kita temui dalam berbagai buku.
Tidak mengapa kita berse­kolah di sekolah pedesaan. Seseorang yang tinggal di peda­laman, sekalipun dapat menjadi sukses kelak. Kalau begitu keberhasilan, atau kesuksesan, tidak mutlak ditentukan oleh geografi semata. Untuk Suma­tera Barat tentu kita cukup kenal dengan tokoh-tokoh seja­rah seperti Tan Malaka, Mo­hammad Hatta, Haji Agus Salim misalnya yang kampungnya berlokasi di pelosok Kabupaten 50 Kota bisa menjadi berhasil, terkenal dan tercatat harum namanya dalam sejarah. Kalau begitu apa yang musti kita terapkan agar bisa menjadi pintar dalam belajar, terutama bagi calon siswa dan siswa SMA di sekolah pedesaan, yaitu kita harus menanamkan kege­maran dan kebiasaan membaca.
Orang-orang yang alergi de­ngan buku-buku dan bacaan yang berfaedah sering kali harus mengerutkan dahi kalau mem­baca. Itupun belum tentu menja­min kalau mereka dapat mema­hami isi bacaan. Siswa yang malas membaca cenderung ke­sulitan dalam memahami pela­jaran dan pada akhirnya mera­sakan kebosanan dan ibarat dalam penjara kalau berada dalam kelas. Pada akhirnya mereka-mereka ini dengan segudang kemalasan untuk mem­baca punya andil dalam mem­perjelek mutu proses belajar mengajar dan mutu out put, atau lulusan, suatu sekolah.
Sekarang apa yang musti kita usahakan untuk mengubah kon­disi ini. Pejabat sekolah musti mengaktifkan perpustakaan sekolah dan senantiasa mem­perkaya judul-judul bukunya. Para aparat pemerintah harus membentuk perpustakaan, umum dan mengusahakan bangunan pepustakaan, dari pada membangun gedung-gedung kosong yang pada akhirnya cuma berfungsi sebagai kan­dang ternak. Begitu pula bagi orang tua harus mengusahakan fasilitas bacaan, majalah, dan buku-buku yang berbobot. Ten­tu orang tua tidak perlu mem­buat seribu satu alasan untuk tidak merasa keberatan dalam meningkatkan pendidikan anak. Seperti hal entengnya perasaan orang tua untuk membeli barang elektronik dan perhiasan lain untuk sekedar pamer kepada tetangga. Padahal seharusnya orang tua harus merasa lebih enteng untuk membiayai pendi­dikan anak yang mana ini ada­lah investasi nyata orang tua untuk dunia dan akhirat.
Demam pindah rayon ini barangkali identik dengan ke­cenderungan untuk bersekolah di luar negeri bagi orang-orang yang berkantong tebal. Kalau begitu, ini bisa jadi merupakan trendi dari sikap mental kita.
Pada umumnya banyak orang­ tua membanggakan anak-anak yang dapat bersekolah di luar negeri. Atau bagi orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah di rayon idola. Orang tua seka­rang lebih gembira melihat anaknya kalau mampu berbahasa Inggeris tetapi tampak santai-santai saja kalau ternyata memiliki anak yang berjiwa kufur kepada agama, tidak pandai membaca Al-Qur’an. Kalau sekarang kemudaratan telah begitu akrab dalam per­gaulan masyarakat, maka ke­cuekan, rasa tidak acuh orang­ tua kepada agamalah penyebabnya. Untuk itu kita perlu meningkatkan kewaspadaan kepada anak didik yang tidak men­dapat, sentuhan ajaran agama dan hidup dalam keluarga bro­ken home. Konsep kita tentang keluarga bahagia dan sejahtera hendaknya perlu dikoreksi ulang.
Tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk selalu bertindak mendukung penuh pendidikan agama. Kecenderungan sebagi­an anggota masyarakat menye­kolahkan putera-puterinya di luar rayon, di luar provinsi sampai keluar negeri dan jauh dari pengawasan orang tua, per­lu mendapat perhatian yang serius semua pihak. Selain dikarenakan hal tersebut telah menjadi prestise yang tidak perlu bagi sebuah negeri yang membangun. Juga anak-anak usia tingkat SLTA, kematangan berfikir dan kepribadiannya masih belum apa-apa, jauh dari kemapanan. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka yang tidak bisa membedakan cara hidup yang disiplin untuk me­raih ilmu dengan mereka yang ingin hidup bebas tanpa terikat oleh moral. Mari kita renung­kan. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Obrolan Buat Mahasiswa

Obrolan Buat Mahasiswa
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Banyak pria dan wanita mampu menyelesaikan pendidikan universitas dan memperoleh pekerjaan yang layak tetapi belum mampu mendapatkan teman hidup. Secara bergurau orang banyak bertanya kenapa mereka harus begitu dan mereka pun akan mengemukakan alasan masing-masing. Bisa jadi alasan mereka mencapai jumlah sebanyak seribu satu. Ada yang mengatakan ingin untuk memperdalam studi atau memantapkan karir dulu. Soal teman hidup itu gampang sebab bisa diatur kemudian.
Masih ada alasan lain. Bagi orang yang sibuk dapat mengatakan or­ganisasi sebagai alas an. Yang lain mungkin karena pertimbangan ekonomis atau moral. “Kawin wah dengan apa orang akan dihidupi. Apakah mau kalau makan rumput? Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang wanita, misalnya teman sebangku dalam bis, bisa jadi berbunyi “Saya sendiri sudah siap untuk menikah tetapi mungkin jodoh belum ketemu”.
Lamaran dari seorang jejaka yang punya pendidikan tinggi dan pekerjaan tetap kepada seorang gadis manis berjalan lebih mudah dan lancar. Terutama bagi orang tuanya. Pinangan atau lamaran tampak lebih menentramkan hati dan keputusan yang dibuat ber­sama famili berjalan lebih mudah apabila dibandingkan dengan lamaran yang diajukan oleh jejaka yang keadaannya biasa-biasa saja apalagi bagi yang belum punya pekerjaan. Orang memberi mereka dengan istilah hari depannya masih dalam tanda tanya. Disamping faktor ekonomi, faktor psikologi dan sosiologi juga ikut menentukan seorang dalem men­dapatkan jodoh. Pembicaraan ten­tang teman hidup merupakan bagian dari dialog mahasiswa di kampus. “Hei cepat cari pen­damping hidupmu selagi kamu masih kuliah disini, nanti kalau sudah tamat tentu sulit lagi men­dapatkannya. Entah kalau kamu berminat untuk ikut kontak jodoh”.
Kalau kita bertanya, “Kamu ini kapan lagi tanggal mainnya atau, kapan kamu layangkan undangan buat saya?”. Rata-rata orang men­jawabnya dengan bergurau pula dan paling kurang dengan senyum kecut. Itupun kalau perasaan lagi kurang sreg. “Wah, sulit bagi saya untuk menjawabnya, pacar saja belum punya. Barangkali dia belum menemukan calon pendamping hidup karena persyaratan terlalu banyak. Rata-rata mahasiswa banyak juga yang begitu.
Tidak aneh untuk didengar bila ada seorang pemuda yang punya pendidikan tinggi, pekerjaan lumayan dan penampilannya gagah pula. Tetapi sulit baginya untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Begitulah kenyataan dalam hidup ini. Pintar otaknya tetapi belum tentu pintar pergaulannya. Mahasiswa yang pekerjaannya.
Belajar melulu dan pergaulan diabaikan, memang menciptakan dirinya sangat mahir dalam menyelesaikan problema ilmiah, tetapi dalam menyelesaikan problema romantisnya, musti minta tolong dulu sama teman. Sebab kalau tidak tentu keringat dinginnya keluar duluan dan kon­sep kalimat dalam kepala lenyap diterbangkan angin. Baginya lebih mudah menemui dosen killer dari pada menemui si dia, orang-orang yang begini banyak sekali.
Untuk mendapatkan teman hidup yang cocok sebaiknya harus kita kenal lebih dulu. Jangan serahkan saja sama mat comblang atau lihat-lihat jauh saja. Untuk dapat men­genalnya kita harus mempunyai atau membina hubungan yang akrab terlebih dahulu. Tidak perlu mengungkapkan kemesraan dulu, cukup biasa-biasa saja.
Tidak sedikit pemuda yang menyerahkan soal cinta pada orang lain termasuk kepada orang tua sendiri. Bagaimana kita akan dapat mengenal calon jodoh den­gan baik kalau perjumpaan kita dengannya cuma dua atau tiga kali saja. Jatuh cinta lewat pandangan pertama hangat-mengasyikkan. Para penyair telah mengambilnya sebagai teman lagu sepanjang masa. Tetapi bagi kita pertimban­gan yang matang tetap harus dijadikan sebagai prioritas utama. Pernah terjadi pandangan pertama seorang pria pada seorang wanita tertarik hanya karena dia lincah, cantik dan pintar langsung dipinang dan menikah. Tetapi perkawinan mereka terpaksa bubar beberapa bulan setelah itu. Kisah perkawinan tentu tidak harus sesingkat dan berakhirnya semudah itu, bukan? http://penulisbatusangkar.blogspot.com/


Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang

Bila Pembagian Jurusan SMU Dilakukan Secara Tidak Matang
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dalam tahun 2000-an ini telah kita rasakan belajar dan mengajar dalam dua bentuk kurikulum di SMA. Dalam kurikulum lama kita telah me­rasakan suasananya. Dalam kurikulum lama, kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); walaupun dalam kertas semua kurikulum dianggap sama bagus. Namun dalam pelaksanaannya terjadi anggapan merasa superior dan inferior basi siswa-siswanya.
Dulu jurusan A1, A2, A.3 dan A4 dianggap sama. Tetapi da­lam perjalanan, mungkin dise­babkan oleh seleksi alam atau mungkin karena permintaan tidak ada. maka jurusan. A4 mati pada awal perjalanan. Dan tinggallah tiga jurusan, seolah­-olah sebagai tiga kontestan jurusan SMA dimana anak-anak yang berada pada jurusan A1 atau ilmu fisika merasa superior dan siswa yang belajar pada jurusan A3 atau ilmu sosial merasa inferior. Maka siswa SMA tampak satu tubuh
Keteledoran dalam pembagi­an jurusan yang lama adalah karena sistem penjurusan siswa berdasarkan tingkat kognitif mereka. Total siswa pada kelas satu dibagi atas tiga kategori dalam penjurusannya di kelas dua. Kelompok. pintar masuk ke jurusan ilmu fisika yang me­nengah masuk ke jurusan ilmu biologi, dan jurusan ilmu sosial bagi siswa yang menempati rangking kelompok bawah.
Dalam suasana belajar dalam penjurusan ala kurikulum lama juga mempengaruhi sikap guru. Walau secara lahir mereka berpura-pura sama menyukai semua jurusan. Terlihat bagi guru yang mengajar pelajaran umum dan mengajar pada semua jurusan mengalami perubahan semangat dan motivasi. Kalau guru mengajar pada jurusan yang dipandang superior pengabdiannya lebih tinggi. Belum lagi bel masuk berbunyi dia telah nongkrong dalam kelas karena begitulah kecintaannya dalam mengajar. Tetapi langkah dan wajahnya tampak begitu lesu kalau segera masuk ke jurusan inferior. Yang sering terjadi adalah penundaan masuk kelas, atau guru sengaja membuat alasan badan kurang enak atau sakit kepala.
Suasana yang sering terlihat pada jurusan inferior adalah kealpaan guru setiap saat Dan kalaupun ada guru yang masuk maka proses belajar mengajar yang sering terlihat adalah mencatat melulu sampai semua siswa mengeluh karena tangan mereka pegal-pegal. Atau ada siswa ada: yang berseru “kalau begini belajar lebih baik bukunya difoto kopi saja buk guru!” Mendengarkan sentilan demikian bisa pula menyebab­kan benturan kecil antara guru dan murid. Kadang kala inipun juga dijadikan sebagai bahan untuk menghabiskan jam pe­lajaran. Bayangkan ada guru yang. sengaja marah-marah se­lama dua jam pelajaran sebagai pengisi waktu.. Tetapi, tidak ada hikmahnya guru asyik cerotet dimuka kayak murai dan murid asyik pula-ngerumpi di be­lakang. Seolah-olah mereka mengatakan “anjing menggonggong kalifah berlalu”.
Bagi guru yang mengajar bidang studi program inti terasa adanya pengkotak-kotakan. Gu­ru yang mengajar kelas superior seringkali bisa ber­bangga hati dan membesarkan lobang hidung karena program pengajarannya berjalan dengan lancar. Dan bagi guru program inti pada kelas inferior ter­dengar banyak masalah. Mere­ka merasa seolah-olah gagal dalam mengajar dan mengeluh sepanjang waktu.
Karena seringnya bermasalah kelas-kelas interior membuat kelas itu sering tanpa. guru. Kadang-kadang dalam sehari mereka hanya belajar dengan satu guru atau kadang-kadang dalam seharian mereka tak belajar. Adanya kekosongan waktu menyebabkan mereka senang melakukan iseng-iseng. Mengganggu keamanan seko­lah, berteriak-teriak, seperti anak-anak idiot atau melempar dan merusak apa yang dapat dijangkau oleh tangan mereka. Memang apa yang mereka ker­jakan itu tanpa mereka sadari. Kelas-kelas inferior terlihat lebih berantakan. Dinding penuh dengan corat-coret dan bekas telapak kaki dan kabel-kabel listrik pada rusak seolah­-olah habis digigit oleh monster.
Kekosongan waktu yang di­alami oleh kelas inferior sering­ membuat reputasi suatu sekolah turun di mata masyarakat. Ada masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah kambing, mungkin kelas-kelas­nya jorok dan beraroma seperti kandang kambing. Dan ada pula masyarakat yang menamai su­atu sekolah dengan sekolah “delapan sepuluh” itu sebabnya karena anak-anak sekolahnya tiba pukul delapan dan pukul sepuluh sudah pulang lagi. Para pelajar hanya mampu berada di sekolah cuma selama dua jam. Sekolah seperti ini cukup ba­nyak di .daerah-daerah. Apa yang dapat diharapkan dan diterima oleh pelajar dalam suasana sekolah yang begini kecuali hal-hal biologis, mung­kin. Apa lagi secara biologis para pelajar tengah berada dalam usia remaja yang penuh gelora dan badai. Dan karena sekarang media-media yang berbau ranjangan sudah mudah memperolehnya maka banyak juga mereka yang diamuk oleh asmara. Yang tidak dapat me­ngontrol diri ya telah mengada­kan eksperimen yang bukan-bukan ditempat objek wisata atau rumah kosong. Bagi mere­ka yang fantasi karena kondisi rumah yang broken akan men­jadi lebih frustasi pula di sekolah. Sudah barang tentu barang-barang terlarang mulai dari ganja, morfin, minuman keras, ectasy sampai kepada penyele­wengan moral lainnya adalah menjadi hal yang lumrah. Tetapi karena tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisip­linan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak segera dipintas menjadi besar dan merebak. Sekarang ini kedisiplinan menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Secara teori memang mudah, tetapi dalam pelaksanaan tidak semudah membalik telapak tangan. Sekarang rendahnya disiplin menjadi pemicu terjadi tawuran pelajar. Yakni kenakalan dan perkelahian pelajar menjadi pendengaran umum kalau tidak diatasi.
Bukti rendah disiplin sekolah adalah siswa dibiarkan saja berambut gondrong memakai anting-anting sebelah atau baju bercorat-coret. Tetapi mereka bisa saja mengikuti pelajaran di dalam kelasa tanpa ada teguran. Malah ada guru yang merasa takut untuk menegur siswa yang tampak macam-macam. Pada hal guru-guru tadi belum men­coba berdialog dengan pelajar yang bermasalah. Mana tahu pelajar yang bermasalah tadi menderita “skin hunger” dan amat butuh simpati dari bapak dan ibuk guru. Mereka butuh didengar dan dipahami saja.
Menurut seorang pakar kriminologi, saya lupa namanya, ada cara tertentu untuk membuat disiplin tegak di sekolah. Kata­nya, seorang kepala sekolah haruslah seorang yang manajer, advisor dan seorang edukator. Jadi dengan demikian ia bisa meningkatkan mutu lembaga dan mengubah prilaku siswa yang bermasalah. Begitu pula seorang guru untuk sebuah kelas ia pun harus menjadi manajer, advisor dan edukator.
Pernah dulu ,tahun 1994, saat nama SMA berubah dan kurikulum juga berubah. yang lalu kurikulum lama telah kita tinggalkan. Kita tidak lagi mengenal nama SMA karena telah berubah nama menjadi SMU. Muatan pelajaran dengan kurikulum 1994 dimana sistem dua shift menjadi tak memadai. Bayangkan kelas sore kerap kali kehilangan dua jam terakhir, yaitu jam ke 7 dan 8, karena faktor kegelapan sore yang merasuk masuk kelas. Untuk itu kita mau tidak man musti ber­mohon kepada pemerintah agar menambah jumlah kelas-kelas agar belajar semuanya cukup dalam sata shift saja. Dengan harapan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan sempurna, guru-guru tidak lagi terkotak menjadi kotak sore dan kotak pagi. Mudah-mudahan dengan cara begini guru akan lebih kompak dan kepala seko­lah sebagai seorang manajer, advisor, dan dapat pula menjalankan peranannya mendekati batas kesempurnaan. Begitu pula dengan sekolah shift ini kegiatan ekstra kurikuler dapat kita terapkan maka kekosongan waktu murid selama ini digunakan untuk iseng-iseng akan tertutupi.
Proses belajar mengajar dengan kurikulum 1994 ini, terasa cukup adil. Paling kurang sela­ma dua tahun yakni selama belum ada penjurusan. Guru-guru tidak lagi mengenal kelas superior dan kelas inferior. Kecuali kelas unggul, wah itu kan biasa. Dalam kurikulum baru ini tampaknya guru berada dalam satu desakan. Ya kalau mereka habis keluar dari kelas lamban, apakah ia guru kelompok IPA atau kelompok IPS sama-sama mendesah kesal. Dan kalau keluar dari kelas bagus atau kelas unggulan me­reka sama-sama mendesah gembira. Pendek kata dalam kurikulum 1994 ini guru kelompok IPA dan kelompok IPS mema­suki kelas yang sama selama dua tahun, yaitu untuk kelas satu dan kelas dua.
Tetapi, sekarang yang kita pertanyakan adalah bagaimana kenal ada tiga jurusan yaitu jurusan. Bahasa, sekarang dikedepankan, kemudian jurusan IPA dan jurusan IPS. Sekarang kedengarannya berdasarkan suara anak-anak ada juga mereka yang mengunggulkan jurusan IPA. Barangkali ini pe­ngaruh kebiasaan lama, atau anggapan bahwa kelompok IPA lebih terbuka luas kesempatan untuk pilihan jurusan kuliah atau pilihan mencari kerja.
Sekiranya penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan ini kembali memakai sistem lama, walau angket penjurusan telah dibagikan oleh guru BK dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau kurikulum, tentu lonceng kematian akan menggema kembali bagi jurusan yang terpandang inferior. Inferior karena semua pelajar sepakat memandangnya rendah. Rendah karena sistem penjurusan berdasarkan ranking prestasi pelajar maka akan melimpahlah siswa bodoh pada suatu jurusan dan menumpuk pula siswa yang berbobot pada jurusan lain, yang pada akhirnya dianggap superior.
Kita sangat menginginkan populasi jurusan Bahasa, IPA dan IPS cukup berimbang. Yakni pada masing-masing jurusan ada siswa yang pintar, ada yang menengah dan siswa yang lambat dalam belajar. Kalau ingin membuat kelas unggul jurusan IPA dan kelas unggul IPS. Jadi tidak lagi membuat kelas unggul seperti sistem lama. Dimana dulu seolah-olah jurusan fisika adalah unggulnya jurusan di SMA dan jurusan lain adalah kelas kambing.
Agar proses penjurusan ini seragam pada semua sekolah. Untuk itu kita harapkan agar pihak atas membuat kebijaksanaan yang baku dalam penjurusannya. Misalnya penjurusan itu harus berdasarkan minat siswa dan tidak lagi berdasarkan sistem ranking. Dengan cara ini kita harapkan agar semua jurusan dapat hidup dan pelajar dapat meneruskan minat mereka sampai ke perguruan tinggi dengan konsisten. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/




Siswa Perlu Tahu Bahwa Bila Gagal Tak Perlu Frustasi

Siswa Perlu Tahu Bahwa Bila Gagal Tak Perlu Frustasi
(Sukses Tidak Selalu Lewat Universitas)

Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

HARUSKAH remaja tamatan SLTA frustrasi bila gagal untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri?. Sudah menjadi pemandangan umum setiap tahun bagi kita untuk menang­gapi eksistensi ini. Putera-puteri kita lepas dari SLTA berbondong-bondong pergi mengundi nasib untuk memperebutkan kursi-kursi di perguruan tinggi negeri. Kemu­dian bila hasil ujian diumumkan, maka sampailah mereka kedalam musim hujan tangis bagi putri manis dan keadaan duka bagi putera-puteranya. Sedangkan yang dapat bergembira paling cuma sekian belas persen. Dan sekian puluh persen lagi sungguh merupakan ledakan angka kesedihan. Tetapi perlukah mereka harus bersedih? Dan haruskah menganggur untuk selanjutnya? Tentu kita tidak perlu menganggur, sebab kitapun bisa mencari kesuksesan. Tidak selalu sukses dan keberuntungan itu dicapai lewat bangku universitas.
Untuk mencapai sukses itu tentu dengan jalan berwira­swasta. “Berwiraswasta?”. Ah sebuah kata yang memuaskan, dan memang banyak anak rema­ja yang sudah bosan dan jenuh mendengar perkataan ini. Pasti mereka beralasan bahwa tidak mungkin berwiraswasta kalau hanya dengan modal dengkul saja.
“Banyak cerita-cerita yang menguraikan perjalanan keber­hasilan hidup seseorang hingga menjadi jutawan dan pengusaha, yang memulai karir hanya dengan modal dengkul. Mereka mulai dari nol besar dan membuka lapangan kerja pada umumnya.
Abraham Lincoln dulu tidak pernah masuk Universitas tetapi dunia mengenalnya sebagai presiden Amerika pejuang persa­maan hak-hak azasi manusia. Levi Strauss adalah termasuk orang yang gagai dalam sekolah tetapi ia dapat mengembangkan pola pikirannya hingga banyak orang memakai celana Levi’s yang, populer itu. Thomas Alva Edison tidak pernah belajar di sekolah lanjutan tetapi ia berhasil dengan bola listrik yang tetap dipakai orang diwaktu malam. Sigmund Freud adalah orang yang gagal memasuki fakultas Psikologi, tetapi ia tidak berputus asa. Dia belajar sendiri dengan membaca banyak dan berkarya. Sekarang kita mengenal namanya sebagai orang yang pa­ling ahli dalam bidang Psikologi dan terkenal dengan analisa-analisanya. Masih banyak lagi contoh-contoh orang yang sukses termasuk orang-orang yang berada dalam propinsi, kota atau lingkungan kita sendiri.
Kita sering mendengar komen­tar remaja tentang orang-orang yang berhasil “Ah mereka sudah ditakdirkan jadi begitu”. Sebenar­nya kesuksesan itu bukanlah takdir dan bukan pula nasib yang datang saja dari langit tanpa harus berusaha selangkah demi selangkah. Lantas apakah kunci sukses mereka? Mereka tidak memandang lembaga pendidik sebagai forum pencetak tokoh-tokoh masyarakat serta tokoh il­mu pengetahuan secara mutlak. Dan mereka tidak harus maha­siswa. Mereka tidak menganggap bahwa kalau sudah mahasiswa pasti punya masa depan yang cerah. Yang perlu bagi mereka adalah terus berusaha dan terus terjun ke kancah kehidupan. Mereka tekun menggeluti suatu bidang yang bisa dikerjakan ditengah masyarakat yang hiruk pikuk dengan sejuta macam pekerjaan.
Orang-orang macam begini memandang kemuka dan melihat suatu kesempatan yang terben­tang luas. Mereka mulai belajar dan kehidupan tanpa mengenal lelah dan menyerah tanpa mem­buat teori yang bertele-tele, tetapi memikirkan analisa yang lang­sung dan tetap. Punya daya prakarsa dan vitalitas kerja yang tinggi. Mereka mempergunakan otak dan memperhitungkan gerak tangan dan kaki. Orang-orang macam inilah yang selalu men­capai sukses dalam masyarakat jadi buah semata-mata karena takdir atau nasib mujur. Mereka­lah yang turut menentukan keberhasilan itu.
Banyak orang yang berpandangan keliru, mereka menganggap bahwa seandainya seseorang bisa tamat pada perguruan tinggi tertentu maka akan mudah untuk memperoleh jabatan dan pekerjaan yang basah. Semua itu banyak tidak benarnya. Image yang demikian sama dengan Im­age yang dimiliki oleh orang-orang di kampung kita. Mereka mau saja menjual sawah dan ladang serta harta benda milik mereka asalkan anak bisa masuk universitas dan yang penting adalah menjadi mahasiswa. Bagi mereka gambaran seorang mahasiswa adalah orang yang terhormat, orang pandai dan calon penguasa negeri. Tak perduli walau mencangkul sawah tetangga yang penting anak bisa jadi mahasiswa, sungguh perlu dikasihi.
Banyak pelajar yang gagal masuk perguruan tinggi lantas frustasi sehingga memandang ke depan dengan rasa pesimis. Padahal sebetulnya ini tidak perlu terjadi. Alangkah baik bila remaja yang gagal itu melihat alam sekeliling dengan seksama sam­bil mempelajari orang-orang yang sukses di sekitar mereka. In­sya Allah mereka akan segera tahu bahwa anggapan masa depan itu suram adalah ang­gapan keliru. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...