Jumat, 26 Februari 2016

Mahasiswa, Jangan Doyan Main Game Ala Anak SD Lagi !!!

Mahasiswa, Jangan Doyan Main Game Ala Anak SD Lagi !!!

            Bahwa bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
            Seiring dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti: mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.

            Bermain juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8 jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
            Proses pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
            Apa dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
            Yang membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang siswa. 
            Pemahaman bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan amat dikagumi” sempat tergores dalam memory penulis sewaktu masih duduk di bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Juga di saat itu perguruan tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)  segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
            Citra tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri dalam fikiran, dan semakin penulis pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama RI) yang menuntut ilmu di negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa, sebagai orang yang hebat membuat penulis kagum saat melihat foto Bung Karno menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Penulis telah membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
            Penulis kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu penulis masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya penulis merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
            Sebagaimana dikatakan oleh Torsten Husen (1995) bahwa tanggung jawab belajar ada pada siswa dan mahasiswa. Guru dan dosen hanya berfungsi sebagai animator (penggerak) dan menyediakan kesempatan untuk belajar. Dan belajar harus dimulai sejak dari lahir hingga seterusnya. Hanya masyarakat yang bekerjalah yang mampu membina remaja/ anak-anak untuk bekerja keras dan tekun.
            Zaman berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami pergeseran. Di era reformasi mahasiswa diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah identitas kepada mahasiswa.
            Namun arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka berasal dari perguruan tinggi favorit maka mereka sebatas bangga memakai jaket dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau di kampus sendiri.
            Makna kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta enterpreneur juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
            Dewasa ini, menurut subjektif penulis, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
            Bagaimana hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja (kupu-kupu atau kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
            Apakah mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas- hingga di rumah atau dikosan hanya membuang buang waktu dalam bentuk menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game on-line.
            Penulis tidak begitu bangga dengan mahasiswa kalau dia sendiri tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi penulis sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game on-line ?
            Itulah kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan anak-anak SD yang masih ingusan.
            “Wahai para mahasiswa, mohon jangan doyan bermain game on-line lagi, karena game on-line adalah konsumsi buat anak SD bukan buat anda lagi sebagai calon kaum intelektual !!!”
Nggak percaya dengan kenyataan ini  dan mau buktiin ?  Tengoklah box-box internet yang betebaran di seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan waktu buat mengakses game on-line. Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile- khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa yang ternyata berkulitas rendah.
            Anak-anak kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku bacaan, buku motivasi dan majalah/koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita. Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan.
Cobalah buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
            Demikian juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan enterpreneur.
            Dewasa ini di perguruan tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership dan entrepreneurship mereka semata. Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak salah.
Namun lebih dahsyat apabila ekskul  sekolah mendatangkan (mengundang) para  tokoh enterpreneur dan juga tokoh leadership dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia  muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa.  

Kamis, 25 Februari 2016

Ada Mr Jo, Mr Ai, ada Katty dan Barbara di SMA Negeri 3 Home Stay di Maninjau.

Ada Mr Jo, Mr Ai, ada Katty dan Barbara di SMA Negeri 3 Home Stay di Maninjau.
lihat yuukkk videonya

Prestasi Hebat Butuh Karakter Yang Dahsyat

Prestasi Hebat Butuh Karakter Yang Dahsyat

            Ternyata orang-orang hebat tidak hanya datang dari benua Eropa atau Amerika, atau tidak hanya datang dari Jepang atau Australia, namun juga bisa berasal dari Indonesia. Barangkali orang hebat tersebut bisa jadi kita sendiri. Markis Kido dan Hendra Setiawan (Bobo, tahun XXXVI, 11 September 2008) misalnya adalah dua tokoh berusia sangat muda berasal dari Indonesia. Mereka begitu kompak meraih medali emas pada olimpiade Beijing melalui olah raga bulu tangkis.
            Untuk mampu  meraih prestasi  hebat, apalagi untuk tingkat dunia, tentu tidaklah mudah. Semua harus melalui perjuangan yang berat dan  hebat. Mereka harus melewati hadangan permainan dunia yang lain, yang  juga sangat hebat dan tidak terkalahkan. Bagi Markis Kido dan Hendra Setiawan, saat meraih juara dunia, usia mereka barus berkisar 23 dan 24 tahun. Tentu titik awal sukses pada usia tersebut telah mereka rintis sejak dini. Mungkin pada masa anak-anak atau pada masa remaja- yaitu usia belajar di SD atau di SMP. Di mana pada masa anak-anak lain banyak bermanja-manja atau berhura-hura, mereka tekun merintis mimpi mereka. Yaitu berlatih dengan tingkat porsi belajar/ berlatih/ berkarya yang juga hebat untuk menuju prestasi yang besar.

            Dalam kenyataan bahwa orang Indonesia juga mampu meraih juara dunia dalam usia yang relatif muda. Gita Gutawa yang saat itu berusia 14 tahun (Nurhayati, 2008: 2-3) mengikuti festival  music pada Nile Song Festival yang berlangsung di Cairo mampu mendapat penghargaan Grand Prix winner- penghargaan  tertinggi. Ia juga mendapatkan  predikat terbaik dari seluruh kelompok peserta hingga meraih juara umum. Ini merupakan seleksi dari 85 negara. Tim juri juga mengatakan bahwa mereka belum pernah menemukan penyanyi usia remaja yang berkualitas seperti Gita.
            Prestasi besar yang ia peroleh sebagai juara dunia bukan terjadi secara kebetulan. Prestasi tersebut diraih bukan secara instant- “sekarang berlatih, besok juara”- atau prestasi yang ia peroleh juga tidak jatuh dari langit. Namun ia peroleh melalui serangkaian persiapan dan proses yang hebat.
            Dunia musik bukanlah hal yang baru bagi Gita. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan pemusik. Faktor lingkungan sangat menentukan keberhasilan bagi seseorang. Ketika duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, ia sudah mulai belajar bermain piano klasik. Ia juga memperkuat ilmu musiknya dengan mempelajari music jazz, bahkan melengkapi dengan mengikuti privat piano dan gitar. Dukungan orang tua juga menentukan. sejak kecil orang tuanya menanamkan sistem belajar yang mandiri dan bekerja juga mandiri. Ia bukan tipe anak manja.
            Tulisan ini tidak terfokus tentang juara dunia asal Indonesia, tetapi tentang bagaimana seseorang bisa meraih prestasi level dunia. Ada artikel yang membahas tentang karakter yang perlu dimiliki bila seseorang ingin berprestasi yang hebat- ya seperti prestasi untuk level dunia. Artikel tersebut menjelaskan bahwa tokoh olah raga yang ngetop di tahun 1970-an dan 1980-an, yaitu Muhammad Ali, adalah jago tinju sejati sedunia. Itu karena ia berkali-kali menang adu tinju kelas dunia. Kemudian Joe Girad adalah jago jual sedunia- world class achiever- karena selama 12 tahun berturut turut ia berhasil menjual puluhan ribu mobil sedunia.
            Ia juga tokoh hebat, namun dalam dunia bisnis,  yang bisa disejajarkan dengan Rudy Hartono (pemain bulu tangkis), Karpov (jago catur), Pele (jago sepak bola). Pengalaman Joe Girad menjadi jago dunia tentu karena ia memiliki karakter hebat. Karakter hebat ini mungkin bagus untuk disadur.
            Paling kurang ada sepuluh karakter hebat atau karakter positif yang dimiliki oleh seseorang yang berprestasi hebat tersebut. Karakter tersebut adalah seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.
            Siapa saja bisa berhasil apalagi sampai pada level dunia. Untuk itu ada beberapa kebiasaan negatif yang perlu diusir yaitu mengatasi rasa malas, rasa takut, keterbatasan pengetahuan, dan keterbatasan relasi dengan manusia lain. Bahwa adakalanya orang yang berprestasi level dunia tidak lulus SMA dan bearasal dari keluarga yang miskin. Namun mereka punya tekad atau motivasi untuk berhasil  dan berjuang untuk melawan kelemahan diri  dengan mencari banyak pengalaman. .
            Untuk meraih sukses ternyata perlu mimpi atau visi. Visi tentu mempunyai manfaat. Manfaat terbesar dari visi adalah untuk memberi arah dan tuntutan. Dengan demikian upaya dan kegiatan menjadi efektif dan sekaligus juga efissien. Orang yang tidak punya visi tentu akan gampang teralihkan dan kemudian terombang ambing. Sebahagian remaja sekarang ada yang belum punya visi, sehingga mereka bingung tentang aktivitas apa yang akan mereka tekuni di masa depan.  Kalau demikian bahwa visi sangat perlu untuk dimiliki.
            Menjadi orang yang sukses, apalagi untuk level dunia, musti memiliki karakter tekun dan tabah. Bayangkan andai Zidane tiba-tiba malas berlatih bola kaki atau Lance Amstrong malas latihan balap, mereka tentu tidak akan jadi juara dunia. Bertekun dalam mengerjakan sesuatu tentu memerlukan pengorbanan. World class achiever sangat memahami arti ketekunan ini. Menunda sebuah pekerjaan yang penting demi nonton filem adalah contoh ketidak tekunan.
            Kemudian mereka juga perlu memiliki fikiran positif. Fikiran positif adalah sikap dasar yang harus dipertahankan. Sikap positif tentu berasal dari fikiran yang positif. Mereka perlu berfikir bahwa bekerja itu sehat, kejujuran adalah modal hidup, komitmen sangat diperlukan dalam kerja, kerjasama dan ketabahan sangat penting dan juga perlu memiliki sikap pemaaf. Poin-poin yang kita sebutkan tadi adalah bagian dari karakter positif untuk memperkuat pikiran positif. Selalu berfikir positif dapat menyehatkan jiwa menjadi pribadi yang positif. 
            Para jago dunia dan orang-orang sukses selalu bersemangat dan antusias.  Antusias sendiri berarti “kegairahan, semangat yang besar dan kegembiraan yang besar (Echols dan Shadilly, 2006). Gaya bersemangat dan antusia dari Joe Girard terlihat saat ia memberikan seminar. Ia berlari, melompat dan berteriak. Suaranya melengking, bergetar dan membahana. Lain kali suaranya mengecil dan berbisik sambil menangis. Ia berbicara dengan hati dan emosinya. Tentu saja tiap orang punya karakter antusias dan semangat yang berbeda. Namun  paparan karakter tadi adalah deskripsi emosi antusia dari  Joe Girard.
            Jago dunia yang bergerak dalam bidang bisnis, seperti pemiliki merek dagang Philip, Samsung, Carrefour, Pizaa Hut, dan lain-lain mutlak perlu berhubungan dengan banyak orang. Semakin maju bisnis mereka maka semakin banyak mereka harus berhubungan dengan orang lain. Pemilik merek dagang yang kita sebutkan tadi tentu telah melayani puluhan atau ratusan juta orang di dunia. Dapat ditebak bahwa kunci sukses mereka dalam bisnis karena mampu menangi kebutuhan manusia. Tentu mereka harus mengiklan diri dan menjumpai banyak orang, mendengar keluhan dan memperkecil keluhan tadi. Prinsip human relation mereka adalah mereka menyukai orang dengan sungguh-sungguh. – love customers honestly, genuinely and sincerely.
            Jangan biarkan otak ngawur atau blank. Karena sukses level dunia harus kreatif otaknya. Menjadi jago dunia tentu dambaan banyak orang. Untuk itu mereka musti punya energi, semangat, antusias, keterampilan dan percaya diri yang gede. Bila ini sudah dimiliki namun belum punya strategi maka akan sia-sia. Strategi adalah tugasnya otak yang kreatif atau kognitif yang kreartif.  Ide-ide yang baru berasal dari otak yang kreatif- yang kaya dengan imajinasi.  Otak yang kreatif tidak mutlak monopoli dari pendidikan formal atau dari universitas. Otak yang kreatif tergantung kepada pemilik otak tersebut dalam merawat dan menumbuhkan kembangkan kekuatan imajinasi dan keberanian.
            Juga perlu diingat bahwa kejujuran adalah kunci suskses. Ada orang yang  beranggapan bahwa kejujuran itu tidak penting, namun begitu seseorang tahu bahwa ia telah dibohongi maka pelaku kecurangan (orang yang tidak jujur tadi akan ditinggalkan).  Kejujuran adalah landasan kepercayaan dan kepercayaan adalah basis dari hubungan baik. Selanjutnya hubungan baik sarana dalam berbisnis. Maka kalau ingin berbisnis yang selalu langgeng maka kita perlu berlaku jujur pada pelanggan.
            Ada pribahasa berbunyi : hewan diikat dengan tali dan manusia diikat dengan kata. Manusia diikat dengan kata berarti bahwa kata-kata sebagai alat berkomunikasi itu sangat penting. Menjadi sukses untuk level apa saja- apalagi untuk level nasional dan level dunia maka perlu memiliki kemampuan berkomunikasi. Orang yang ingin sukses tidak perlu pasif dalam berkomunikasi- dengan arti kata harus mampu berkomunikasi. Musti aktif bertanya, aktif  menyapa, aktif memuji, aktif mensugesti dan aktif mendengar akhirnya kita terbawa aktif. Tidak hanya menggunakan mulut, tapi juga bahasa tubuh, mata, tangan dan senyuman. Pokonya musti menjadi orang yang aktif, positif dan dinamis dalam berkomunikasi. 
            Rasa takut dan jarak sosial antar manusia tidak perlu ada dalam berkomunikasi. Namun yang perlu ada adalah suasana fun- menyenangkan- ada rasa menerima, menyenangi dan mendengar dengan siapa kita berkomunikasi.  Kalau begitu orang  jago musti  pintar mengkomunikasikan isi hati dan isi fikiran kepada teman bicaranya.
            Terakhir bahwa orang yang ingin menjadi jago atau suksesd perlu mempunyai karakter konsisten. Kalau aktif dalam bidang bisnis dan  berhubungan dengan orang banyak maka mereka harus bersikap ramah, baik, melayani, menolong, memberi perhatian, menghormati  dan berusaha memuaskan klien. Tentang hal ini sudah diketahui oleh banyak orang. Tapi mereka hanya sebatas tahu saja- idealnya menerapkan secara sungguh-sungguh dan konsisten.  

            Ya benar bahwa untuk meraih prestasi hebat maka dibutuhkan persiapan besar. Orang hebat tidak mutlak monopoli dari benua Eropa dan Amerika, atau juga bukan monopoli Negara maju atau lembaga pendidikan yang maju. Siapa saja bisa jadi jago atau sukses. Untuk menjadi jago maka perlu persiapan, latihan dan proses usaha yang posrsinya cukup besar. Mereka perlu lingkungan kondusif- yang memberikan rangsangan dan tantangan serta dukungan dari guru dan orang tua. Selanjutnya mereka perlu memiliki karakter dan sikap positif seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.  

Tidak Memaksa, Namun Mendorong Anak Dalam Belajar

Tidak Memaksa, Namun Mendorong Anak Dalam Belajar

Judul artikel ini adalah “Tidak perlu memaksa anak namun mendorongnya dalam belajar” apalagi sampai memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua menginginkan anak menjadi “super boy dan super girl”.
Anak yang super dalam pandangan sebahagian orang tua adalah yang jago dengan urusan akademik. Maka mereka memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam Ujian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua memahami tujuan pendidikan negara kita ini ?
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk generasi beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua juga harus memberi model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang memahami unsur spiritual dan sosial. Namun dalam kehidupan bahwa kita terlalu menekankan pada unsure intelektual saja. Jadinya anak yang jago dengan urusan akademik dianggap sangat hebat. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.

Kalau ada seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu orang tua. Sungguh makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif semata.
Pada hal dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor bidang studi semata-mata. Indra Djati Sidi (2001) mengatakan bahwa berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni:
a) Learning to think, yang berguna untuk membentuk creative thinking.
b) Learning to do, berguna buat problem solving.
c) Learning to be, yang mana berguna bagi dirinya sendiri agar bisa mandiri.
d) Learning to live together.
Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ (inteligent quotient), EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient). Dalam era globalisasi ditandai oleh nilai kompetisi, efisiensi, transparansi, profesionalisme dan kualitas yang tinggi. Untuk itu para guru harus memiliki profesionalisme, kompetensi, mampuberkomunikasi dan berkualitas agar mampu membentuk anak didik yang matang intelektualnya, emosional, moral dan spiritualnya. 
Tiap tahun PBB mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM negara kita di dunia Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei). 
- Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsur akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan  seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat penulis ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, penulis sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak sudah menjadi stress duluan. Penulis sering melihat anak yang menjadi down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan penulis berusaha untuk menenangkannya:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Dalam fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasis keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika penulis bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel unggul (?). Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang amat minim, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa kepala seekor semut- mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan cara menendang bola.
Beginilah jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi, sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak dari orang tua yang sempat penulis berbincang dengannya, hanya bersekolah pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis, mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.
Fenomena dunia pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.
Ini terjadi karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya. Sekali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Terlihat jelas dalam kehidupan bahwa nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.

Artikel ini memberi penekanan pada orang tua agar tidak memaksakan ambisiusnya terhadap anak untuk memperoleh nilai tertinggi pada semua mata pelajaran, karena berdampak membuat anak jadi sangat lelah. Namun orang tua harus selalu mendorongan agar anak-anak mereka selalu melakukan proses belajar yang berimbang antara akademik dan non akademik dalam bentuk “learning to think, learning to do, learning to be dan learning to live together”.Yakni suatu proses belajar yang sangat harmonis hingga akhirnya kita mampu  mendapatkan generasi yang mandiri, memiliki creative thinking, dan tahu dengan problem solving, sehingga keberadaanya signifikan bagi orang lain.

Campur Tangan Ayah Menentukan Kualitas Pribadi Anak

Campur Tangan Ayah Menentukan  Kualitas Pribadi Anak

            Sejak beberapa dasawarsa yang lalu menetap di kota telah menjadi pilihan hidup bagi. Proses urbanisasi terjadi sepanjang waktu, tidak terfokus hanya pada metropolitan, namun termasuk kota-kota kecil yang tersebar di nusantara ini. Penyebabnya adalah di kota lebih tersedia bervariasi jenis pekerjaan mulai dari sektor pekerjaan informal, non-formal dan formal. Mulai dari pekerjaan buruh kecil, usaha kecil-kecil, jadi PNS, pegawai BUMN hingga pekerjaan yang bergerak pada sektor bisnis skala besar. Jadinya demi pekerjaan mereka hijrah  meninggalkan tanah kelahiran mereka di desa.
            Sebagai tempat tinggal mereka memilih kompleks perumahan atau griya. Apa lagi dengan menjamurnya adanya bisnis properti, hingga mereka bisa memilih tempat tinggal sesuai dengan kekuatan ekonomi mereka. Mereka bisa memilih mulai dari bentuk perumnas sederhana, perumnas mewah hingga taraf kondominium yang berharga sangat mahal.
            Tulisan ini tidak akan membandingkan atau meninjau harga tempat tinggal tersebut. Namun ingin melihat karakter atau gaya manajemen rumah tangga mereka sebagai dampak hidup dalam suasana heterogen. Masyarakat di pedesaan hidup dalam suasana sosial homogen, kalau dalam komplek perumnas lebih bercorak heterogen- heterogen sederhana hingga heterogen yang lebih kompleks. 

            Masyarakat heterogen yang hidup di kompleks perumnas akan sangat menarik untuk diperbincangkan. Paling kurang tentang bentuk intervensi (campur tangan) orang tua atas anak-anak mereka. Bagaimana gaya kepemimpinan mereka dalam mendesain masa depan anak-anak mereka. Gaya kepemimpinan ini berdampak pada kualitas masa depan anak-anak mereka.
            Campur tangan seorang ayah, atau keberadaan seorang ayah, jelas akan memberi dampak pada anak-anak. Terutama pada anak laki-laki. Coba kita perhatikan fenomenanya, seorang kaki-laki yang suka ugal-ugalan di jalan raya. Ternyata ayahnya tidak terlalu banyak mengurus karakternya. Kecuali sang anak tumbuh lewat manajemen pembiaran atau hanya sebatas dilarang dan disuruh saja.
Bagaimana dengan anak laki-laki yang menjadi actor keributan di sekolah hingga suka tawuran dan membuat keributan sosial adalah dampak dari gagalnya manajemen seorang ayah pada keluarga. Penyebabnya sang ayah dan juga ibu tidak punya pengaruh atas anak-anak mereka. Mereka hanya sebatas orang tua biologis, namun bukan menjadi orang tua secara psikologis.
Ayah yang tidak begitu banyak memperlihatkan kepedulian pada anak laki-laki akan terefleksi pada karakter anak laki-laki, sang anak akan memilki nyali yang lemah. Intensitas kedekatan anak dan ayah berdampak pada kuat atau lemahnya nyali/ keberanian anak, juga berdampak pada visi hidup anak yang kurang tajam.
Orang tua yang tidak mengajarkan tentang pentingnya tanggung jawab membuat anak kurang memahami perannya dalam kehidupan sehingga mereka kurang memahami makna tanggung jawab. Jadinya lebih baik anak laki-laki hanya dibesarkan/ didik oleh seorang hidup namun memahami bagaimana memperdayakan potensi anak laki-lakinya.
            Tinggal dalam sebuah perumnas adalah ibarat hidup dalam sebuah laboratorium sosial. Memang benar bahwa kita ini ibarat hidup dalam labor. Dimana kita sebagai seorang ahli dan orang-orang diseputar kita adalah objek yang sangat menarik untuk disurvey- bagaimana perilaku dan gaya memimpin seorang ayah atas keluarganya.
            Pada sebuah perumnas kecil atau griya terdapat sekitar 30 kepala keluarga. Secara umum karakter pimpinan keluarga dapat dikelompokan atas 6 bentuk gaya manajemen. Gaya manajemen keluarga mereka adalah seperti: 1) otoriter absolute, 2) setengah demokrasi dan setengah otoriter, 3) manajemen berorientasi tugas, 4) laissez   faire atau masa bodoh, 5) Peran ibu lebih dominan, dan 6) manajemen banyak kerja tanpa banyak bicara- no talking work only. Pembahasannya sebagai berikut:
            1) Ayah dengan tipe otoriter absolute
Ayah dengan tipe ini memandang dirinya lebih tahu dan serba tahu. Semua kebijakan dan keputusan yang ia ambil adalah paling benar. Ini karena latar belakang ayah yang begini memilki kemampuan berkomunikasi yang lancar dan banyak pengalaman perjalanan tentang pahitnya hidup sewaktu muda. Namun kurang membaca dan juga tidak mengenal ilmu parenting- ilmu dan pengalaman dalam mendidik anak.
            Dia dan keluarganya mengadopsi pemisahan kerja yang jelas. Mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu rumah, mensetrika hingga memasak adalah tugas rumah buat perempuan. Dia memiliki dua anak laki-laki. Sejak kecil kedua anak laki-laki ini tidak diperkenalkan untuk mengerjakan tugas-tugas perempuan, sementara itu kedua anak laki-lakinya juga tidak diberi tugas rumah sebagai latihan untuk memiliki rasa tanggung jawab.
            Sang ayah juga hampir jarang hadir di rumah untuk memberi model di rumah, jadinya anak laki-lakinya tumbuh tampa tahu tanggung jawab. Di rumah juga tidak ada percakapan bahwa pentingnya peran membaca dan belajar, apalagi anak mereka tidak memilki tempat atau kamar sendiri, karena kondisi ekonomi mereka yang cenderung berda pada batas garis sederhana. Namun di rumah yang kecil mereka menyala televisi sepanjang hari.
            Jadinya anak laki-laki mereka tidak mengenal tentang pentingnya peran belajar dan juga tidak tahu cara mengurus diri. Hingga ke dua anak laki-laki mereka mencapai usia remaja, semuanya dilayani atas kebutuhan makan, pakaian dan mereka tidak mampu membantu dan melayani diri mereka sendiri. Hasilnya anak-anak mereka kurang memilki pengalaman sukses. Sebaliknya malah penuh dengan pengalaman gagal, jadinya kedua anak laki-lakinya sering tinggal kelas dan malah salah seorang mengalami D.O (drop out) atau putus sekolah. Namun akhirnya menyesal menganggur dalam usia yang sangat belia sehingga sekarang berusaha untuk bisa lagi bersekolah.
            Anak laki-laki yang satu lagi, sebelumnya juga pernah tinggal kelas, namun akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Pada mulanya orang tuanya gembira karena dia memperoleh program undangan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi. Namun hanya satu semester bisa bertahan, semua nilai mata kuliahnya menunjukan nilai jelek dan tidak memuaskan ? Apakah gara-gara sang anak termasuk kategori bodoh atau lemah daya serap ? Tentu saja tidak. Penyebabnya adalah gara-gara gaya hidup yang suka begadang dan hura-hura. Hampir semua tugas-tugas kuliah tidak diselesaikan dan gara-gara selalu begadang maka ia pergi kuliah dengan mata mengantuk dan akhirnya memilih menjadi mahasiswa drop-out.
            Kini kedua anak laki-lakinya mengalami drop-out. Penyebabnya cukup sederhana, yaitu sejak kecil tidak memperkenalkan pada anak rasa tanggung jawab, hidup yang disiplin, dan juga miskinnya komunikasi dan pesan-pesan tentang betapa pentingnya arti dari ilmu pengetahuan.
            2) Ayah yang setengah demokrasi
Pola kepemimpinan ayah yang begini berarti juga setengah otoriter. Kebetulan ayah yang bergaya begini memilki kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dengan demikian ia mampu berperan demokrasi dalam setiap percakan. Benar atau salah sebuah ide bukan mutlak keputusan ayah semata. Namun kadang sang ayah juga suka memaksakan konsep dan memaksakan kehendak.    
            Ayah ini suka memaksakan kehendak, mungkin karena khawatir cukup banyak pada anak wanitanya. Tidak pernah mengizinkan anaknya untuk memilih tempat kuliah di tempat yang jauh. Itu betul juga bahwa kepedulian dan khawatir atas keselamatan anak wanita lebih banyak. Biar menutut ilmu di tempat yang dekat saja, karena kesuksesan dalam studi, lebih ditentukan oleh faktor kualitas pribadi manusianya, bukan ditentukan oleh faktor tempat kuliah semata.
            3) Ayah yang manajemen berorientasi pada tugas
Ayah yang bertipe begini kebetulan tidak begitu jago dalam ngomong. Gaya berkomunikasinya adalah instruksional, ya banyak bersifat memerintah atau menyuruh.jarang sekali berbahasa yang interaktif. Namun anak- anaknya cukup berprestasi. Begitu ditanya tentang sukses sekolah dan pendidikan anak-anaknya adalah karena mereka sejak kecil diperkenalkan akan tanggung jawab.
            Rumah tangganya mengenal job description- atau pembagian tanggung jawab. Tidak ada istilah pemisahan bentuk pekerjaan. Anak laki- laki biasa saja mencuci piring, menstrika, menyapu rumah hingga memasak. Pokoknya tanggung jawab mengelola rumah adalah bersama. Jadinya sang anak merasa punya tanggung jawab di rumah dan juga bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
            4) Ayah yang manajemen bersifat laissez-faire
Ayah yang bertipe begini berarti biarkan saja atau masa bodoh. Ayah bertipe seperti ini kebetulan penulis temukan memiliki latar belakang rumah yang konvensional dimana rumahnya tidak mengenal budaya membaca- tidak ada surat kabar, apalagi buku-buku. Kecuali di rumang tamu menyala televisi untuk menebarkan hiburan sepanjang waktu.
            Sang ayah juga belum memberi contoh bagaimana membangun hidup yang berkualitas, agaknya juga jarang percakapan keluarga yang membahas cita-cita. Yang jelas hidup ini terserah anak-anak yang penting tetap pada koridor sebagai anak yang baik. Jadinya apakah orang tua juga anak-anak memilki aspirasi yang rendah, masa depan atau cita-cita yang kabur dan juga tidak mengenal budaya kerja keras dan belajar serius.
            Akhirnya setelah tamat dari SLTA anak-anaknya jadi bingung untuk melangkah kemana. Andai nilai yang tinggi tidak begitu urgen dalam mencari pekerjaan dibandingkan dengan keberanian untuk mengambil keputusan. Maka sang anak juga belum tidak memiliki keberanian. Ini adalah efek dari pemberian pengalaman sukses yang sangat kurang pada anak saat mereka dalam usia eksolorasi- yaitu usia anak anak dan usia remaja.
            5) Ayah yang didominasi oleh ibu.
Ayah yang wibawanya didominasi oleh ibu secara berlebihan memberi dampak pada nyali atau keberanian anak laki-laki yang kurang optimal. Bagi anak laki-laki sosok ayah merupakan sumber inspirasi dan tokoh pertama yang ditiru. Ayah yang tunduk pada dominasi ibu akan bingung bagaimana untuki menjadi sosok pribadi pria yang ideal, paling kurang karakter kepemimpinan, mengambil inisiatif (mengambil keputusan) dan kemandiriannya juga kurang.
            Sebaliknya anak perempuan yang memiliki ibu yang karakter dominan juga akan menjadi wanita yang kelak juga akan mendominasi kaum pria (tentu saja tidak semuanya demikian) paling kurang akan lebih agresif dan akan kesulitan buat menemui laki-laki yang perfek dalam pandangannya. Bahwa tentu saja orang yang betul-betul perfek, karena perfek itu pada hakekatnya diproleh melalui proses. Jadinya keluarga yang manajemen keluarga didominasi oleh ibu akan memiliki anak-anak yang kebingungan dalam mencari jati diri. Keluarga ini memiliki 5 orang anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa namun belum ada yang memilki kekasih, masih jomblo, karena sulit menemukan pria yang sesuai dengan npersepsinya dan begitu pula dengan anak laki-lakinya yang sudah dewasa juga bingung untuk mendapatkan wanita karena nyalinya kecil.
            6) Ayah yang hanya peduli dengan kerja
Ayah yang bertipe begini cukup banyak. Rumah mereka tidak diterangi oleh buku-buku atau ilmu pengetahuan. Ayah hanya peduli dengan kerja. Jadinya anak-anak mereka umumnya kurang berhasil dalam akademis, malah banyak yang bermasalah dengan mata pelajaran. Ujung-ujungnya adalah mereka menyumbang angka drop out. Namun kemudian mereka belajar dari alam, langsung berlatih dalam bengkel, dalam tokoh, dalam lapangan. Inilah bentuk real dari belajar pada universitas kehidupan. 
Dari 6 gambaran karakter manajemen ayah terhadap keluarga mereka bisa mewakili karakter masyarakat kita yang lebih luas. Kita bisa belajar dari pengalaman mereka untuk mengadopsi manajemen yang terbaik buat kita dan keluarga kita.         

Menjadi Orang Yang Berfikiran Realita, Bukan Pemimpi

Menjadi Orang Yang Berfikiran Realita, Bukan Pemimpi

            Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Meskipun negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika, ia selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
            Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap  untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”.

Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional.  Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah:
Let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”.
Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Yaitu biarkan mereka ngobrol, biarkan mereka saling membimbing, biarkan mereka aktif belajar, biarkan mmereka bergabung dengan ekskul, biarkan mereka bermain, biarkan mereka hidup, biarkan mereka menari saat senggang, dan biarkan mereka makan bersama. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
            Teman penulis, Arjus Putra- guru Bahasa Inggris SMA Negeri 3 Batusangkar, Sumatera Barat, pernah berkunjung ke sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield. Ia menceritakan tentang ciri- ciri keunggulan sekolah Amerika Serikat ini, terutama dalam pembelajaran  di sekolah, yaitu  dalam bentuk adanya kebebasan dalam berekspresi atau let them talk.
Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik hanya pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/  anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang.
Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan  adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan datang dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite  seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam  juruan di SMA di negerim kita. Ya,  ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan.
 ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains”
Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka  sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya  tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani.
”Tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projector), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”.
Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal.  Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka,  adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau  ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian. 

Terakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran realita dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi seorang pemimpi tapi berubah menjadi orang yang berfikiran realita.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...