Selasa, 23 Januari 2018

Melejitkan Kecerdasan Yang Berimbang

Melejitkan Kecerdasan Yang Berimbang

Quantum Quotient
            Di awal tahun 2000-an, dalam dunia pendidikan ada istilah quantum quotient atau kecerdasan quantum. Banyak orang ingin memahami apa dan bagaimana dengan istilah quantum quotient, yaitu bagaimana meledakkan (menumbuh-kembangkan) kecerdasan. Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002) membahas tentang istilah ini. Mereka menyebutnya dengan istilah quantum learning, yaitu bagaimana membiasakan belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Bahwa aktivitas belajar perlu suasana nyaman dan menyenangkan. Kalau begitu, adakah sekolah yang menyenangkan di seputar kita?
            Sekolah yang nyaman dan menyenangkan itu tentu ada, mulai dari sekolah rendah sampai ke sekolah yang lebih tinggi. Pada umumnya TK (Taman Kanak-kanak) dan juga pada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sangat nyaman dan menyenangkan. Karena di sana guru-gurunya mengajar dan menemani anak dengan ramah dan sepenuh hati.
Selanjutnya sekolah-sekolah yang dirancang menjadi sekolah ramah anak juga sebagai sekolah yang nyaman dan menyenangkan. Sekolah tersebut mungkin ada di tingkat SD, SLTP dan SLTA. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia gencar mengkapanyekan “Sekolah Ramah Anak.”
Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah yang nyaman. Sekolah yang begini merupakan upaya mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak selama 8 jam anak berada di sekolah, melalui upaya sekolah untuk menjadikan sekolah dengan suasana:
- Bersih
- Aman
- Ramah
- Indah
- Inklusif
- Sehat
- Asri
- Nyaman
            Dewasa ini sudah banyak sekolah yang nyaman, terutama untuk tingkat dasar dan menengah. Pada sekolah ramah anak, para siswa merasa nyaman dan senang belajar, karena lingkungan sekolah telah didesain begitu menyenangkan.
Yang diperlukan oleh para siswa untuk belajar adalah lingkungan yang menyenangkan, kemampuan berkomunikasi, keterampilan belajar dan menumbuhkan rasa percaya diri. Suasana menyenangkan juga berhubungan  dengan perlakuan yang diterima dari lingkungan.
Dorothy Law Nolte memaparkan efek lingkungan terhadap pendidikan anak, sebagaimana tertulis dalam puisinya edukasi yang berjudul “children learn what they live- anak anak belajar dari lingkungan”. Beberapa cuplikan puisinya mengenai suasana pendidikan dengan lingkungan positif, yaitu sebagai berikut (Ahmad Faiz Zainuddin, 2009):
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk
              bersabar.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk
               menghargai.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang menerimanya apa adanya, ia belajar 
               untuk mencintai.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan, ia belajar
               untuk menyenangi dirinya.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan penghargaan, ia belajar
               untuk memiliki tujuan dan cita-cita.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang suka berbagi, ia belajar untuk
               bermurah hati dan suka memberi.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kejujuran, ia
               belajar  untuk mencintai kebenaran.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keadilan, ia belajar untuk
               bersikap adil.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan penuh tenggang rasa, ia
               belajar untuk menghormati.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa aman, ia belajar untuk
               memiliki keyakinan dan berbaik sangka.
            - Jika anak tumbuh di lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa
              bahwa dunia ini indah dan hidup ini begitu berharga.
            Nah bagaimana dengan remaja (atau anak-anak) di lingkungan kita? Mengapa di sekolah-sekolah dan kelas-kelas tersebut aktivitas belajar ada yang terasa nyaman dan menyenangkan dan juga ada lingkungan sekolah yang belum memberi suasana kurang nyaman dan menyenangkan?
Suasana nyaman dan menyenangkan bisa  terjadi karena adanya lingkungan yang memberi semangat dan dukungan. Lingkungan yang memberi pujian dan menerima, juga memberi penghargaan dan rasa aman, serta lingkungan yang penuh bersahabat dengan anak didik (para remaja).
Sebaliknya bahwa suasana tidak nyaman, tidak menyenangkan terjadi karena adanya lingkungan yang tidak ada memberi semangat dan dukungan, tidak ada lingkungan yang memberi pujian dan menerimanya. Juga tidak ada lingkungan yang memberi penghargaan dan rasa aman, serta lingkungan yang tidak bersahabat dengan anak didik atau tidak.
            Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002) mengatakan bahwa setiap hari para remaja akan memperoleh dua macam komentar dari  teman, orangtua, guru dan lingkungan mereka, yaitu komentar positif dan komentar negatif. Adalah berbahaya bila mereka banyak memperoleh komentar negatif, sebab semangat belajar mereka bisa melorot.
            Jika mereka sering kena ancam atau tidak memperoleh modeling  dalam hidup, maka kecerdasannya pada akhirnya akan mandek. Lingkungan yang kaya akan rangsangan, menghasilkan siswa atau remaja yang sukses. Sementara lingkungan yang miskin dengan rangsangan akan menghasilkan siswa yang lambat cara belajarnya.   



Lingkungan Rumah Yang Mencerdaskan
            Saya menjumpai sebuah lingkungan rumah yang memungkinkan seseorang dari usia anak-anak hingga remaja bisa tinggal, berinteraksi dan belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Memang orangtua harus menyediakan ruang belajar dan merancangnya seapik mungkin. Rumah tersebut adalah rumah seorang mahasiswa Asia yang mengikuti kuliah Post Graduate lewat beasiswa di Universitas Melbourne.
Umumnya orang di Australia hidup secara mandiri (independent), dan tidak terbiasa punya pembantu. Punya pembantu malah melambangkan ketidak berdayaan dan juga tidak mandiri dalam hidup. 
            Mahasiswa doktoral ini membawa anaknya dan merancang ruang belajar dan ruang eksplorasi buat anak. Ada sarana bermain edukatif, ada bacaan, ada aturan kehidupan, ada interaksi. Lingkungan begini memberikan rasa aman bagi anak, ada pujian dan penerimaan. Orangtua berusia muda ini menyediakan pengalaman yang banyak dan beragam buat anaknya. Sang anak punya pengalaman mencoba, bergaul dan pengalaman perjalanan. Sebab anak atau seseorang yang punya koleksi pengalaman pribadi yang banyak akan lebih kreatif dari orang yang kurang pengalamannya (Ibrahim Elfiky, 2011).
            Orangtua dan guru juga tidak perlu terlalu mencampuri dan terlalu mendikte mengapa dan bagaimana idealnya seorang anak dalam belajar. Bahwa orang belajar tergantung pada faktor fisik, faktor emosional dan faktor sosiologi. Ada anak yang senang belajar dengan cahaya terang dan juga ada yang suka cahaya agak redup. Ada yang suka belajar dengan berkelompok dan ada yang suka sendiri. Kemudian ada yang suka belajar pakai musik dan ada yang suka suasana sepi, dan juga ada yang suka belajar dengan kondisi rapi dan ada yang suka suasana berantakan.
            Sekarang ini banyak orang beranggapan bahwa belajar yang nyaman dan menyenangkan hanya terjadi di sekolah-sekolah berlabel unggul, karena sekolah tersebut sengaja dirancang dan para siswanya menjadi cerdas karena diprogramkan. Namun jauh di sana di Indonesia bagian timur, pada sebuah sekolah biasa-biasa saja di kota Ambon telah muncul seorang siswa polyglot- menguasai lebih dari 10 bahasa-bahasa dunia, sementara itu orangtuanya hanya seorang buruh kecil, namun dia (namanya Gayatri) menemukan quantum learning sendiri dalam menguasai banyak bahasa, sehingga sempat mengantarkan dia menjadi duta bangsa ke PBB di New York (Murad Maulana, 2014).
            Latif Pramudiana, seorang teman saya asal Tangerang, yang pernah mengabdi sebagai guru di Lintau, sebuah kota kecil di Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat, mengadopsi konsep long life education- dan tidak berhenti belajar dalam hidupnya. Laki-laki ini terbiasa untuk selalu belajar dalam hidupnya. Saya menemukan alat musik dan juga tumpukan buku-buku di kamar kontrakannya. Dia terbiasa kalau belajar membiarkan buku-buku yang dia perlukan bertebaran di sekitarnya. Pada lain waktu ia bermain gitar atau membaca buku yang ditemani lantunan instrumen musik yang lembut.
            Baginya memegang buku itu sebuah kenikmatan. Ia melahap buku dengan sepenuh hati. Ia menggunakan sebuah pensil untuk mencoret-coret, menggaris bawahi dan menghubungkan ide-ide dalam buku tersebut. Bila bisa menamatkan satu buku, ia merasakan bahwa ia berhasil menaklukan sebuah peradaban dan ia pun merayakan. Banyak membaca bukan berarti membuat ia menjadi kurang pergaulan. Ia juga meluangkan waktu untuk saling bertukar pikiran dengan sesama dan juga melakukan banyak perjalanan untuk menemui orang baru dan pengalaman baru.

Quatum Learning
            Secara tidak sengaja saya sering berkunjung ke sebuah rumah di Lintau. Bagi saya rumah tersebut adalah sebuah rumah inspirasi karena di dalamnya terdapat beberapa lemari yang penuh dengan berbagai jenis buku. Orang yang memiliki buku-buku tersebut bernama Fasli Jalal, yang kemudian sempat  menjabat Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam usia muda dia telah telah membaca/ menamatkan dan mentelaah semua isi buku tersebut. Sehingga dia memiliki wawasan yang luas dan dalam. 
            Quantum learning- kebiasaan belajar nyaman dan menyenangkan- telah mengantarkan Fasli Jalal menjadi salah seorang tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Itu diawali dengan keputusannya saat muda untuk memilih sekolah berkualitas Di Kota Solok  jauh dari kampungnya di Lintau. Di sana dia hidup mandiri dan terbiasa dengan active learning dan peduli denga literasi membaca yang banyak dan berkualitas. Semangat suka berkompetisi memberinya motivasi yang tinggi untuk mencapai visinya melalui strategi hidupnya yang terencana hingga ia memperoleh puncak karirnya. Itu sebagaimana dikatakan oleh kerabat Fasli Jalal pada saya.  
            Untuk zaman sekarang, bahwa seseorang yang hebat bukan hanya harus memiliki IQ (inteligent quotient) yang bagus, namun juga harus peka dan peduli dengan eksistensi EQ (emotional quotient)dan SQ (spiritual quotient). Dia harus memiliki komponen kecerdasan yang berimbang, yaitu EQ, SQ dan IQ.
Dengan IQ yang bagus, akan menjadi syarat mutlak untuk berkompetisi. EQ yang bagus menjadi syarat untuk mencapai prestasi puncak dan SQ menjadi syarat untuk mencapai tujuan dunia dan akhirat. Kesuksesan kita ditentukan oleh IQ, dan kebahagiaan kita ditentukan oleh IQ dan SQ. Maka inilah hakekat untuk melejitkan kecerdasan yang berimbang.
            Agus Nggermanto (2003) menjelaskan tentang bagaimana cara melejitkan IQ, EQ dan SQ secara harmonis. Salah satunya adalah melalui accelerated learning atau percepatan belajar. Percepatan belajar bagi siswa dengan IQ yang mantap bisa dilakukan melalui membaca cepat, membaca yang cepat, dan berpikir kreatif.
            Rata-rata kita memiliki IQ yang standard dan kita perlu mengasah IQ kita. Kebiasan yang bisa kita lakukan untuk mengasah IQ  adalah melalui membaca cepat, menghafal yang cepat, berpikir kreatif, berhitung cepat dan, mencatat yang cepat- misal melalui mind mapping.   
            Menghafal yang cepat dapat kita lakukan dengan menggunakan semua indera yang berhubungan penyerapan informasi seperti audio (pendengaran), visual (penglihatan) dan kinestetik atau gerak. Intensitas dan pengulangan pokok pikiran dengan cara membaca bersuara atau melalui peta pikiran juga menentukan kualitas hafalan. Menggunakan unsur emosional, seperti bernyanyi (memakai musik) dan melakukan gerakan juga menentukan kualitas hafalan. Bergerak dapat membangkitkan semangat. 
            Membaca cepat adalah kebutuhan dasar manusia. Membaca telah dianjurkan oleh Allah Swt  seperti yang dapat kita baca dalam alquran. Membaca merupakan kunci untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Untuk mengatasi masalah membaca adalah dengan mempercepat kemampuan membaca. Untuk itu kita harus membiasakan banyak membaca.
            Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002: 178) menjelaskan tentang menulis dan mencatat, kita semua adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar dengan dorongan untuk berbicara, yaitu untuk mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman kita.
Tentang mencatat, bahwa mencatat berguna unuk meningkatkan daya pikir kita. Ada 2 cara mencatat yang dapat kita terapkan yaitu dengan cara membuat peta pikiran atau mind mapping dan yang lain dengan bentuk catat tulis susun. Kiat-kiat tambahan dalam mecatat berguna untuk membuat kita menjadi pendengar yang aktif.
Seseorang kalau mendengar ceramah, pidato dan seminar, kalau hanya sebatas  mendengar maka daya tahan atau fokusnya tidak begitu lama. Setelah itu dia akan merasa bosan dan mengantuk. Maka mendengar aktif perlu dilaksanakan, yaitu mendengar dan mencatat ide-ide penting. Maka saat mendengar ceramah, pidato dan seminar, duduklah dibagian depan dan mendengar sambil mencatat poin-poin penting. Maka rasa kantuk akan hilang dan kualitas konsentrasi bertambah.
Tentang korelasi multi-intelegensi (kecerdasan berganda) dengan IQ, SQ dan EQ. Yang termasuk kecerdasan intelektua (IQ) meliputi kecerdasan logis dan linguistik atau numerikal dan verbal. Kecerdasan emosional (EQ) meliputi kecerdasan intrapersonal (memahami dan menguasai diri) dan interpersonal (bergaul dan beradaptasi  dengan orang lain), kemudian kecerdasan spiritual (SQ) meliputi kecerdasan substantial (zat) dan kecerdasan ekistensial (memahami keberadaan hidup dan penciptaan kehidupan). Bentuk kecerdasan yang lain (quotient lain) adalah kecerdasan kinestetik (psikomotorik atau kecerdasan tubuh)  dan kecerdasan musik.
Melejitkan kecerdasan yang berimbang, yaitu antara kecerdasan IQ, EQ dan SQ perlu diusahakan. Kalau kita hanya sebatas cerdas dengan IQ, kita memang mampu bersaing dalam hidup, namun kita akan susah untuk mencapai karir puncak karena karir puncak dilalui lewat tangga sosial atau kecerdasan emosional (EQ). Kemudian hidup juga terasa kosong dan miskin dari nilai-nilai kehidupan, karena kita lemah dalam kecerdasan spiritual (SQ).
Sebelumnya kita sudah memaparkan cara meningkatkan potensi IQ, maka berikut adalah cara buat meningkatkan potensi EQ dan SQ. Emotional quotient kita bisa berkembang melalui:
- Bergaul dengan banyak orang, dengan cara demikian kita akan memiliki
   pengalaman yang kaya dengan berbagai jenis emosi orang.
- Sudi untuk mengambil tanggungjawab.
- Mendengar dengan cara berempati, utamanya pada anak dan murid, dan
   juga pada orang yang lebih muda usianya.
- Mengungkapkan suasana hati.
- Membantu untuk menemukan solusi lewat curhat (curah hati atau curah
   perasaan).
- Dengan cara menjadi modeling atau teladan bagi orang sekitar. Seseorang
  suka melihat atau meniru contoh daripada diceramahi atau digurui.
Tentang spiritual quotient, bahwa banyak orang yang sukses ditinjau dari ukuran dunia, namun mereka merasa kering dan gersang pada rohaninya. Itu terjadi karena mereka kurang memahami substansial zat diri dan penciptanya, dan juga kurang memahami eksistensi atau keberadaanya.
Menurut ajaran Islam bahwa setiap manusia harus punya hubungan yang berimbang antara “ hablul minallah wa hablul minannas- berhubungan dengan Allah Swt (Tuhan) dan juga berhubungan dengan manusia”. Untuk meningkatkan kualitas spiritual quotient atau kecerdasan spiritual, maka kita harus punya ilmu pengetahuan tentang agama, kita mampu menerapkan atau mengamalkan ilmu tersebut. Kemudian kita harus memiliki komunitas atau jamaah dimana disana kita dapat saling bercermin diri atau melakukan refleksi serta introspeksi diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...