Selasa, 30 Juni 2015

Pendidikan Kita Menghasilkan Manusia Yang Belum Mandiri



Pendidikan Kita Menghasilkan Manusia Yang Belum Mandiri
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tiba- tiba fikiran saya tergelitik untuk mengupas tentang proses pendidikan yang dilakoni oleh masyarakat kita yang belum menghasilkan manusia yang kurang mandiri. Ini terjadi saat saya membaca sepenggal berita yang muncul pada milis yahoo, memaparkan kritikan pedas Amin Rais, pendiri Partai PAN, terhadap Presiden Jokowi. Ia mengungkapkan bahwa Jokowi ibarat seekor burung onta. Pernyataan ini karena melihat Jokowi selalu mengulur- ulur waktu dalam melakukan reshuffle cabinet (perombakan kabinet).
            “Burung onta bila lagi panik, karena bertengkar sesama burung onta, ia suka menimbun kepalanya ke dalam pasir. Ibarat seseorang yang suka mengulur- ulur penyelesaian masalah”.
            Kita kangen lagi bisa melihat lahirnya seorang presiden yang kualitasnya sama dengan Presiden pertama republik ini yaitu Presiden Sukarno. Dari sejumlah presiden yang telah memimpin di negara ini, seperti Suharto, BJ Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, maka Sosok Presiden Sukarno jauh sangat berkualitas. Ini cukup membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia. Ia memiliki penampilan yang gagah, jago dalam berkomunikasi, wawasannya sangat luas dan pergaulan internasionalnya sangat hebat.
Kualitas kepemimpinan Presiden Sukarno saat itu sama levelnya dengan pemimpin dari negara- negara lain, dan mereka adalah pemimpin level dunia atau level internasional. Presiden Sukarno berteman akrab dengan berbagai kepala negara  seperti: Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), John Fitzgerald Kennedy (Presiden Amerika Serikat), Fidel Castro dan utusannya Che Guevara (dari Cuba), Nikita Kruschev (Pemimpin Uni Soviet- Sekarang bernama Rusia), dan Josep Broz Tito (dari Yugoslavia). Mereka itu semua merupakan kepala negara bergengsi benua Afrika, Eropa, Asia dan Amerika.
Bagaimana dengan kualitas presiden- presiden setelah itu ? Setiap orang tentu penilaian masing- masing. Dan bagai mana pula dengan Presiden Indonesia yang sekarang yaitu Presiden Joko Widodo ? Ya sudahlah, setiap orang akan punya penilaian masing-masing.
Terbetik kabar bahwa Presiden Jokowi akan melakukan perombakan kabinet. Ini terkait karena kondisi sosial ekonomi negara yang lagi sakit. Nilai rupiah yang selalu melemah, nilai jual barang atau perdagangan yang lesu dan angka penggangguran intelektual yang cenderung makin meningkat. 
Fenomena penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan Perguruan Tinggi untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi PENGANGGURAN.
Dahulu saat dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless, unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus menjadi warga yang BERDIKARI. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai singkatan dari kata “Berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera membuka usaha sendiri: membuka lading baru, membuka sawah baru, membuka perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah. Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan hedonis. 
Pada saat itu, bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar Singapura-  sangat kuat. Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang sebagai “Rubbish Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Saya ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang saya saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata saya jadi menetes.
TEntang jumlah PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji buta.
Pemerintah mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup  cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran Rp. 800. Ribu perbulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda- mahasiswa- yang berada di Universitas, terutama dari Universitas Favorite, berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak punya background entrepreneur dan mereka umumnya  berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi linglung juga.
Bukankah bahwa mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus kuliah ke Perguruan Tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di Perguruan Tinggi juga tidak memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga Perguruan Tinggi.
Juga sudah saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha. Seperti yang dilakukan oleh stake-holder di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul perlombaanya adalah “Entrepreur of Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka pengangguran lulusan Perguruan Tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda istilah wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga Perguruan Tinggi sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena, diperkenalkan, di Perguruan Tinggi, ya sejak Perguruan Tinggi gagal menghasilkan sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga  sebagai agent of social change ,  ternyata hanya sebagai penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya setelah dewasa. (Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)

Minggu, 28 Juni 2015

Pendidikan Kita Menciptakan Siswa “Cerdas Lokal” atau “Cerdas Internasional” ?


Pendidikan Kita Menciptakan Siswa  “Cerdas Lokal” atau “Cerdas  Internasional” ?
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Kata-kata “smart” sangat diburu oleh banyak orang. Orang tua ingin anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kemudian juga muncul istilah smart book dan smart street.
            Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas buku, maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya. Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
            Anak anak kita yang belajar di sekolah unggulan, pada umumnya sudah memiliki smart book. Namun suatu kali saya pergi menemati mereka buat studi tour ke pulau jawa, mereka tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam yang menunggu cukup jauh. Mereka cukup kehilangan akal, meski butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Ini terjadi dalam akibat mereka minim dengat smart street dan bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
            Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah lain yang tidak punya label unggul atau label smart. Malah mereka sedikit terkenal nakal, tentu saja kenakalan yang masih bisa diberi tolerasi, saat terjebak di jalan buntu dan sepenggal masal social. Mereka bisa mencari solusi. Itu karena mereka memahami jalan atau street, sehingga mereka cukup tahu dengan smart street.  
            Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan system pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis hal ini bukan untuk maksud menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu saya cintai.
            Di Indonesia semua anak di dorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Meski dalam urusan mendidik banyak orang tua sekedar pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
            Di negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada pemaham kea rah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga datanglah usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak pintar dikirim lagi ke tempat bimbel atau bimbingan belajar. Cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak unggulan a’la Indonesia.
            Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas dan orang tua mereka punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
            Tentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorite. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan merkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
            Yang mereka telah lihat dan ditayangi video bahwa bagi yang memiliki skor akademik, bakalan di jurusan terbaik dan universitas favorite. Pada akhirnya rententan karir- karir cemerlang sudah menunggu. Ini memang adalah motivasi terbaik buat menggenjot minat belajar.
            Orang tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorite. Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namu pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
            Seorang family yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life mereka dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin untuk melahap rumus- rumus pelajaran. Pagi hingga awal sore belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah dan pulang bimbel membuat badan sudah tersa capek dan pengen tidur saja atau nonton saja lagi, dan mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.  
Badan mereka lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan racun- racun kimia. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam labelmewah namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan mengadoppsi life style mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang hewat membuat mereka juga kurang sehat. Mana mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup mereka. Gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin semata”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada. Belajar di sekolah saja itu mereka rasa sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.  
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate. Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada midang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.  
Bagaimana dengan urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak. Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorite (?).  Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game online atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan social maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan social.  
Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak di labuah”  yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam social. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di Perguruan Tinggi telah menggiring anak- anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat Guru Berprestasi Nasional)

Sabtu, 27 Juni 2015

Otodidak Untuk Memacu Prestasi



Otodidak Untuk Memacu Prestasi

Marjohan Usman
Guru SMAN 3 Batusangkar, West Sumatra Indonesia
phone: 085264340180


            Bangsa kita, Indonesia, sempat memiliki tokoh nasional yang cukup terkenal di dunia, mereka adalah seperti Presiden Sukarno, Hamka, Haji Agus Salim, dan banyak lagi. Bagaimana mereka bisa terkenal pada masa lalu, yaitu di era tahun 1950 hingga tahun 1980-an ? Salah satu penyebabnya adalah karena mereka cukup memberi pengaruh terhadap masyarakat di Indonesia dan di dunia. Pengaruh ini terbentuk melalui cara berfikir mereka. Perlu kita pertanyakan bahwa mengapa mereka bisa menjadi terkenal dan memberi pengaruh ke pada dunia, pada hal ditinjau dari segi pendidikan bahwa pada masa itu Indonesia belum memiliki system pendidikan yang bagus dan berkualitas, namun mereka bisa menjadi orang yang berpengaruh melalui kualitas pribadi mereka yang mereka bentuk secara otodidak. Memang betul bahwa belajar secara otodidak bisa mengubah dunia.
Otodidak atau autodidak (dari bahasa Yunani, autodídaktos bearti "belajar sendiri") merupakan orang yang tanpa bantuan guru atau pembimbing bisa mendapatkan banyak pengetahuan dan dasar empiris yang besar dalam bidang tertentu. Mereka mendapatkan pengetahuan tersebut dengan belajar sendiri. Yang menariknya dari orang otodidak, karena mereka mampu mempelajari sesuatu dengan baik dan dibarengi oleh prakteknya, sebagian dari mereka mampu mengungguli kemampuan orang yang belajar ilmu yang sama dengan cara dibimbing.
Indonesia termasuk kategori negara baru di dunia, karena muncul dan resminya terbentuk di tahun 1945. Sebelumnya Indonesia yang juga disebut dengan Nusantara terdiri dari beberapa Kerajaan yang makin lama makin lemah karena mereka tidak memiliki system pertahanan dan militer yang memadai akhirnya dengan mudah dikuasai dan ditaklukan oleh bangsa Eropa terutamanya Belanda. Namun pada masa penjajahan juga muncul beberapa orang yang bisa menjadi tokoh dan berpengaruh. Mereka menempa diri mereka melalui belajar di sekolah yang di bentuk oleh Penjajahan Belanda atau sekolah yang dibentuk oleh masyarakat local, mungkin berbentuk pesantren dan dengan fasilitas yang sangat minim. Namun usaha belajar secara otodidak telah mengantarkan mereka menjadi orang hebat di dunia, sebut saja seperti beberapa tokoh nasional kita, Muhammad Natsir, Sukarno, Buya Hamka, Haji agus Salim, Raden Ajeng Kartini, dan Lain- lain.
Beberapa kisah tokoh yang menjadi berpengaruh secara otodidak perlu saya paparkan agar bisa memberi motivasi bagi pembaca buku ini. Bagi pembaca yang sedang menuntun ilmu dan juga yang mungkin tidak lagi mengenyam pendidikan di bangku sekolah, yang tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah entah karena hambatan financial atau lainnya, bahwa untuk menjadi sukses dan mengubah dunia bisa kita lakukan dengan belajar secara otodidak.
1. Otodidak Presiden Sukarno
Semua orang yakin bahwa belajar adalah cara yang jitu untuk mengubah hidup. Belajar mengubah seseorang menjadi lebih cerdas dan lebih berkualitas. Belajar bisa membuat seseorang menjadi kaya dalam pengalaman atau dalam finansial. Oleh karena itu banyak orang memandang belajar sebagai investasi untuk meraih masa depan.
Belajar dengan sarana lengkap dan moderen bisa membuat seseorang jadi sukses, itu adalah hal yang biasa. Namun belajar dengan suasana bersahaja, dukungan lingkungan juga bersahaja namun oleh prakarsa dan proses kreatifitas yang dilakukan hingga menghasilkan kesuksesan yang luar biasa. Ini baru namanya suatu hal yang hebat. Itulah yang dilakukan oleh tokoh tokoh hebat dalam sejarah dunia, seperti Abraham Lincoln (presiden pertama Amerika Serikat), Thomas Alfa Edison (penemu listrik), Albert Einstein (Ahli Fisika), Bung Karno (Presiden pertama Indonesia), dan beberapa tokoh besar lainnya. Mereka menjadi tokoh besar bukan diperoleh secara kebetulan, tetapi diperoleh melalui proses kreatif yang selalu mereka lakukan, dan proses kreatif yang sudah menjadi gaya hidup mereka.
Banyak pelajar sekarang yang belum mengenal bagaimana proses belajar yang hebat itu. Paling sering mereka hanya terbiasa belajar karena selalu diberi komando dalam belajar oleh orang tua dan guru. Atau mereka pergi ke pusat Bimbel (bimbingan belajar) atau pergi belajar ke rumah guru agar jadi pintar. Di pusat bimbinan belajar atau di rumah guru merekapun hanya sebatas mengolah soal soal ujian matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris, pokoknya pelajaran yang menjadi acuan dalam ujian nasional. Namun apakah ini yang dinamakan sebagai proses belajar yang kreatif ?
Belajar sebagaimana yang digambarkan di atas baru hanya sebahagian kecil dari proses belajar, hanya sekedar menguasai konsep, dan belum lagi disebut sebagai belajar yang sejati. Untuk melakukan proses belajar yang hakiki atau belajar yang sejati maka kita bisa mengambil cermin diri dari tokoh sejarah, misal bagaimana Presiden Sukarno (Bung Karno) pada waktu kecil belajar dan melakukan proses kreatifitas yang lain (?).
Membaca adalah kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ?  Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS- Hoogere Burger School  Surabaya, dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda). Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang ditemukan setelah ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen adalah buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik lainnya. Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno As retold to Cindy Adams) diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC yang  rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far Eastern University, Manila: Universias Gadjah Mada,  Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest: Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo: IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan universitas dari negaralain seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.  Kalau “gang” mereka bermain panjat pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu. Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator Ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya.  Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya.
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran) dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah dengan mempraktekan/menggunakan bahasa tersebut dengan orang yang mahir (pribumi maupun orang asing). Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda, ia tidak cepat merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh tokoh besar di dunia dan juga buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya prinsip hidup “mandiri atau berdikari (berdiri pada kaki sendiri), jangan terlaku suka untuk mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk mengembangkan pergaulan/ teman yang banyak untuk melakukan proses bertukar fikiran. Juga penting untuk melatih jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan sendiri dan berpidato didepan kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu didukung oleh kemampun menulis, karena membuat pidatio punya kharismatik an menarik. Ini dapat dikembankan melalui latihan demi lathan. Untuk menjadi maju maka kita perlu pula memiliki keterampilan berganda (menguasai seni, olah raga, dekat dengan Manusia dan dengan Sang pencipta (Allah Azza Wajalla) serta mencari inspirasi dari tokoh hebat. Maka salah satunya gaya belajar Bung Karno juga bisa menjadi inspirasi bagi kita.
2. Otodidak Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan, masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk menikah. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah yang ditemani Simbok (pembantunya).
 Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia. Perempuan tidak hanya di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tidak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkan Kartini tidak sempat dimanfaatkannya karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Raden Ajeng Kartini sudah lama meninggalkan kaumnya namun ide, fikiran dan cita-citanya tentu selalu relevan dengan zaman sekarang. Namun bagaimana realita perempuan sekarang kalau kita rujuk kepada pribadi Raden Ajeng Kartini ?.
Umumnya perempuan sekarang memang sudah banyak yang memperoleh pendidikan. Ada yang memperoleh emansipasi dan pendidikan tinggi. Namun sebahagian besar baru sebatas bisa membaca (melek huruf) dan sebatas bisa berhitung (melek angka) dengan cita-cita masih yang kerdil atau tidak memiliki cita-cita sama sekali, karena bingung dengan kondisi masa depan. Pribadi mereka pun banyak yang masih rapuh- mudah putus asa. Ada yang terlalu manja dan terlalu cengeng.
Beberapa karakter mereka yang lain yang perlu dikritik karena begitu kontra dengan karakter kartini. Yaitu gaya hidup hedonisme (terlalu memuja kemewahan dan kesenangan hidup) dan konsumerisme. Gejala-gejala ini sudah terlihat sejak kaum perempuan duduk di bangku SLTA, menjadi Mahasiswa dan setelah dewsa kelak. Agaknya Kartini tetap senang melihat kaumnnya menjadi cantik, namun ia akan gerah bila melihat para perempuan yang pemalas- malah bergerak, malas belajar, malas bekerja, banyak menggantungkan hidup pada orang tua, kakak atau terlalu menunggu komando dari suami. Karakter yang ideal dengan harapan Kartini- sesuai dengan kodrat perempuan timur/ perempuan Indonesia adalah seperti karakter yang terdapat dalam uraian singkat tentang Kartini tadi.
Bahwa Kartini tahu dengan adat istiadat dan tidak memungut adat/budaya  luar tanpa filter- adat yang menjunjung tinggi etiket (tata krama berpakaian, berbicara, bersikap) tanpa harus memungut gaya hidup yang glamour hingga lupa diri. Kartini takut dianggap sebagai anak durhaka (maka ia tidak mau menentang orang tua) berarti ia bersikap bijaksana dalam mengangkat harga diri.
Meskipun Kartini menikah tapi ia tidak berhenti dalam belajar. Ia masih setia mengoleksi buku (mengumpulkan buku-buku yang berkualitas) dan melakukan otodidak- belajar mandiri atau belajar sepanjang hayat (long life education). Ia melakukan korespondensi untuk bertukar fikiran dengan orang yang juga punya wawasan dan malah membuka diri untuk menguasai bahasa Asing (Bahasa Belanda).
Cukup kontra dengan kebanyakan perempuan sekarang yang hanya belajar hingga universitas atau selagi masih bersekolah. Kemudian tidak pernah menyentuh buku lagi setelah dewasa atau setelah berkeluarga sehingga fikirannya membeku atau mengristal. Maka cukup berbanding lurus kalau ibu yang berhenti belajar menciptakan keluarga/anak-anak yang juga kurang berhasil dalam bidang akademik atau kehidupan, dan lantas kemudian menuduh sekolah sebagai biang kerok kegagalan.
Buku bacaan Kartini bisa jadi buku level orang orang yang hidup di Eropa (Belanda) pada masa itu. Sebab mayoritas kartini membaca buku terbitan Belanda  dan menulis buat sahabatnya J.H Abendanon juga dalam Bahasa Belanda. Ini berarti bahwa dalam usia seputar 20 tahun, tanpa pergi Les Bahasa Inggris   Kartini sudah menjadikan Bahasa Internasional (Bahasa Belanda) sebagai bahasa kedua dalam hidupnya. Sekali lagi bahwa cukup kontra dengan pemuda dan pemudi sekarang yang belajar bahasa asing yang hanya sekedar mampu bercakap dan mengatakan “hello, how are you….. what is your name”, namun tidak pernah membaca dan menamatkan buku-buku berskala internasional dalam bahasa Inggris/ Perancis, bahasa Jepang atau (juga) bahasa Arab- sesuai dengan bahasa yang mereka pelajari. Mereka menguasai bahasa asing cukup sederhana saja, hanya sekedar mencari muka dan mencar nilai buat rapor dan penyenang hati orang tua.
Karakter Kartini yang lain adalah bahwa ia tidak egois dan mengutamakan diri (self-fish). Walau ia cerdas namun ia dalam usianya yang muda sudah/ dan selalu mencerdaskan kaum perempuan dengan gratis/ penuh ikhlas dalam ruangan yang sederhana- hanya ada ruangan dengan bangku dan papan tulis- inilah disebut dengan sekolah kartini. Saat itu ia menjadi perempuan ternama karena usahanya, namun ia tetap rendah hati, dan  tidak sombong.
Zaman begitu cepat berlalu, produk teknologi dan ICT saling berpacu. Tayangan program media cetak dan media elektronik dari berbagai stasiun televisi bukan membuat orang makin kenal dan akrab dengan Kartini. Apalagi nama, ide dan pemikiran Kartini jarang disinggung dan dikupas. Ini  membuat sosok Kartini nyaris terlupakan kecuali hanya sekedar nyanyian “Ibu kita Kartini” yang dengan setia masih dilantun oleh anak-anak SD sambil berlarian atau hanya sekedar upacara seremonial tiap tanggal 21 April untuk memperebutkan kontes perempuan anggun dengan kebaya dan dan sanggul indah.
Terus terang pakaian kebaya dan sanggul yang besar tidak ada artinya apabila karakter hidup kontestan dan kaum perempuan yang lain sangat kontra dengan pribadi, prilaku atau karkter Kartini. Sebelum Kartini nyaris terlupakan maka buru burulah mencari biografi Kartini, temui hikmah darinya dan ikuti suri teladannya- jadikanlah gaya hidup Kartini sebagai gaya hidup kaum perempuan Indonesia kembali.

D. Otodidak, Belajar Tanpa Memperoleh Ijazah
            Motivasi saya untuk menulis tentang betapa pentingnya selalu “memiliki semangat belajar yang kuat bagi generasi muda” semakin menggebu. Apalagi melihat fenomena sekarang, anak anak, pelajar dan mahasiswa semakin lemah animo mereka buat pergi ke perpustakaan untuk mendapatkan bacaan. Mereka perlu tahu bahwa buat menjadi maju dan dihargai perlu memiliki ilmu dan pengalaman yang luas. Tidak bisa memperoleh pendidikan di tempat favorite atau tersandung oleh factor financial buat menuntut ilmu, itu semua tidak begitu masalah. Karena Otodidak bisa menjadi solusi buat menjadi sukses.
Ketika sedang browsing di internet, saya menemukan beberapa tokoh panutan yang semuanya sukses tanpa mengandalkan ijazah mereka dan bahkan tidak pernah menyelesaikan sarjana mereka. Yang menjadi kunci sukses mereka adalah ketrampilan dan keahlian mereka serta semangat tidak menyerah disaat mereka jatuh kedalam kegagalan. Mereka selalu melakukan otodidak atau melakukan self-learning (belajar mandiri) dalam hidupnya. Penulis cantum kan tiga orang dalam karier yang berbeda, yaitu Andy Lores Noya (Jurnalis), Adam Malik (Tokoh Politik) dan Andrie Wongso (Pengusaha).
a) Andy Flores Noya
Karena kecintaannya kepada dunia tulis-menulis sejak beliau kecil ditambah pula dengan kemampuannya menggambar kartun dan karikatur mengantarkan dirinya menjadi wartawan cetak di beberapa perusahaan ternama seperti majalah Tempo, Bisnis Indonesia dan Matra.Sampai akhirnya Andy menjadi pemimpin redaksi Metro TV dan berhasil juga menjadi pembawa acara terpopuler Kick Andy yang disiarkan di Metro TV. Acara ini selalu menjadi sorotan publik dan disukai banyak orang karena memberikan edukasi,pengalaman,dan riwayat hidup sesuai fakta.
Kalau melihat latar belakang Andy yang adalah seorang teknik,kenapa dia bisa berhasil di lingkungan yang berbeda yakni dikarenakan keseriusannya menggeluti bidang yang disukai,dunia jurnalistik yang dijadikan sebagai jalan hidupnya. Karena itu gelutilah dengan serius apa yang menjadi hobby atau kesukaan kita,tanpa melihat latar belakang dan ijazah kita dan diiringi doa akan menjadi jalan sukses bagi kita.

b) Adam Malik
Adam Malik Batubara (Dilahirkan di Pematang Siantar,22 Juli 1917). beliau juga tidak kalah fenomenal terutama sukses yang didapatkannya. Adam Malik dijuluki juga "si kancil" ini lebih disebabkan karena kelincahan,kebebasan dan keaktifannya dalam berbagai organisasi yang dijalaninya,sehingga membawa dirinya pernah menjabat sebagai Menteri pada beberapa Departemen,seperti menteri Luar Negeri dan juga jabatan tertingginya sebagai Wakil Presiden RI yang ketiga.
Kalau melihat kesuksesannya memegang beberapa jabatan di pemerintahan mungkin kita berpikir bahwa beliau adalah lulusan luar negeri,tapi siapa sangka pendidikan yang beliau tempuh hanya lulusan sekelas SD yakni di Hollandsch Inlandsche School (HIS) ,Madrasah dan ilmu secara otodidak. Akan tetapi semangat beliau untuk sukses dan kemampuannya dalam berorganisasi dengan asas kebebabasan sehingga melahirkan azas politik luar negeri "bebas-aktif" ketika beliau menjabat menjadi Menteri Luar Negeri.
Kalau kita renungkan pendidikan yang ditempuh Adam Malik hanya HIS,Madrasah,dan otodidak masih mungkinkah pada zaman sekarang ini tanpa pendidikan formal dapat menempuh karier yang gemilang ? jawabannya mungkin saja karena ini kembali kepada pribadi yang menjalani dan jangan takut untuk gagal, karena kegagalan adalah awal kesuksesan, terus melangkah dan lihat kedepan.

c) Andrie Wongso
Tokoh selanjutnya adalah Andrie Wongso, siapa sih dia ..? yang mempunyai gelar SDTT (Sekolah Dasar Tidak Tamat), tetapi bisa menjadi the number one motivator di indonesia, wooww...sungguh hebat bukan ijazah saja tidak punya tapi dia menjadi sangat sukses seperti sekarang ini.
Kalau melihat kesuksesannya sekarang itu adalah wajar karena merupakan bayaran dari perjuangannya yang memilukan selama ini. Dia bukanlah berasal dari keluarga berada melainkan dari seorang keluarga miskin dari malang bahkan di usianya ke 11 tahun (6 SD) dia terpaksa berhenti dari sekolah, dikarenakan sekolah Tionghoa tempat dia bersekolah ditutup dan akhirnya ia menjual kue di pasar dan toko. Tapi kondisi tadi tidak mematahkan semangatnya untuk menjadi orang sukses dan tidak ada dibenaknya sedikit pun perasaan malu. Dengan sikap tegar dalam menghadapi kemiskinan inilah yang membentuk pribadinya lebih kuat lagi terutama disaat orang tuanya meninggal, ini menjadi pukulan yang berat bagi dirinya.
Berbagai pekerjaan dijalaninya tanpa ada perasaan malu dalam dirinya sampai kuli disebuah toko pernah dijalaninya semua dengan semangat untuk menggapai kesuksesan. Bukan mustahil juga ada perasaan lelah bahkan jatuh akan tetapi semua itu dikalahkan dengan semangat dan motivasi di dalam dirinya untuk meraih kesuksesan.
Hingga akhirnya ia merintis usaha sebagai pengusaha pembuatan kartu ucapan, ini juga tidak langsung berhasil karena banyak liku yang dilalui berbagai penolakan dan hambatan menghampiri, tetapi semangatnya untuk sukses tidak penah hilang. Dari awalnya dia merintis usahanya dari door to door akhirnya usahanya berhasil dan sekarang siapa yang tidak kenal dengan perusahaannya yakni Harvest yang bergerak pada pembuatan kartu ucapan motivasi ini. Semangat dan motivasi dirinya selama mengarungi perjalanan yang sulit dituangkan ke dalam filosofi saat dia menyampaikan training motivasi yakni " Success is My Right ".
" Masa saya yang SD tidak tamat saja bisa sukses,lha wong kalian yang sarjana,tamat SMA dan lahir dari keluarga mampu , nggak sukses " begitu ucapan Pak Andrie saat memberikan motivasi.
Maka berbahagialah orang yang miskin dan sekolah rendah tapi mempunyai jiwa yang besar untuk berhasil jangan pernah menyerah... kegagalan adalah kunci keberhasilan yang tertunda.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...