Kamis, 25 Februari 2016

Campur Tangan Ayah Menentukan Kualitas Pribadi Anak

Campur Tangan Ayah Menentukan  Kualitas Pribadi Anak

            Sejak beberapa dasawarsa yang lalu menetap di kota telah menjadi pilihan hidup bagi. Proses urbanisasi terjadi sepanjang waktu, tidak terfokus hanya pada metropolitan, namun termasuk kota-kota kecil yang tersebar di nusantara ini. Penyebabnya adalah di kota lebih tersedia bervariasi jenis pekerjaan mulai dari sektor pekerjaan informal, non-formal dan formal. Mulai dari pekerjaan buruh kecil, usaha kecil-kecil, jadi PNS, pegawai BUMN hingga pekerjaan yang bergerak pada sektor bisnis skala besar. Jadinya demi pekerjaan mereka hijrah  meninggalkan tanah kelahiran mereka di desa.
            Sebagai tempat tinggal mereka memilih kompleks perumahan atau griya. Apa lagi dengan menjamurnya adanya bisnis properti, hingga mereka bisa memilih tempat tinggal sesuai dengan kekuatan ekonomi mereka. Mereka bisa memilih mulai dari bentuk perumnas sederhana, perumnas mewah hingga taraf kondominium yang berharga sangat mahal.
            Tulisan ini tidak akan membandingkan atau meninjau harga tempat tinggal tersebut. Namun ingin melihat karakter atau gaya manajemen rumah tangga mereka sebagai dampak hidup dalam suasana heterogen. Masyarakat di pedesaan hidup dalam suasana sosial homogen, kalau dalam komplek perumnas lebih bercorak heterogen- heterogen sederhana hingga heterogen yang lebih kompleks. 

            Masyarakat heterogen yang hidup di kompleks perumnas akan sangat menarik untuk diperbincangkan. Paling kurang tentang bentuk intervensi (campur tangan) orang tua atas anak-anak mereka. Bagaimana gaya kepemimpinan mereka dalam mendesain masa depan anak-anak mereka. Gaya kepemimpinan ini berdampak pada kualitas masa depan anak-anak mereka.
            Campur tangan seorang ayah, atau keberadaan seorang ayah, jelas akan memberi dampak pada anak-anak. Terutama pada anak laki-laki. Coba kita perhatikan fenomenanya, seorang kaki-laki yang suka ugal-ugalan di jalan raya. Ternyata ayahnya tidak terlalu banyak mengurus karakternya. Kecuali sang anak tumbuh lewat manajemen pembiaran atau hanya sebatas dilarang dan disuruh saja.
Bagaimana dengan anak laki-laki yang menjadi actor keributan di sekolah hingga suka tawuran dan membuat keributan sosial adalah dampak dari gagalnya manajemen seorang ayah pada keluarga. Penyebabnya sang ayah dan juga ibu tidak punya pengaruh atas anak-anak mereka. Mereka hanya sebatas orang tua biologis, namun bukan menjadi orang tua secara psikologis.
Ayah yang tidak begitu banyak memperlihatkan kepedulian pada anak laki-laki akan terefleksi pada karakter anak laki-laki, sang anak akan memilki nyali yang lemah. Intensitas kedekatan anak dan ayah berdampak pada kuat atau lemahnya nyali/ keberanian anak, juga berdampak pada visi hidup anak yang kurang tajam.
Orang tua yang tidak mengajarkan tentang pentingnya tanggung jawab membuat anak kurang memahami perannya dalam kehidupan sehingga mereka kurang memahami makna tanggung jawab. Jadinya lebih baik anak laki-laki hanya dibesarkan/ didik oleh seorang hidup namun memahami bagaimana memperdayakan potensi anak laki-lakinya.
            Tinggal dalam sebuah perumnas adalah ibarat hidup dalam sebuah laboratorium sosial. Memang benar bahwa kita ini ibarat hidup dalam labor. Dimana kita sebagai seorang ahli dan orang-orang diseputar kita adalah objek yang sangat menarik untuk disurvey- bagaimana perilaku dan gaya memimpin seorang ayah atas keluarganya.
            Pada sebuah perumnas kecil atau griya terdapat sekitar 30 kepala keluarga. Secara umum karakter pimpinan keluarga dapat dikelompokan atas 6 bentuk gaya manajemen. Gaya manajemen keluarga mereka adalah seperti: 1) otoriter absolute, 2) setengah demokrasi dan setengah otoriter, 3) manajemen berorientasi tugas, 4) laissez   faire atau masa bodoh, 5) Peran ibu lebih dominan, dan 6) manajemen banyak kerja tanpa banyak bicara- no talking work only. Pembahasannya sebagai berikut:
            1) Ayah dengan tipe otoriter absolute
Ayah dengan tipe ini memandang dirinya lebih tahu dan serba tahu. Semua kebijakan dan keputusan yang ia ambil adalah paling benar. Ini karena latar belakang ayah yang begini memilki kemampuan berkomunikasi yang lancar dan banyak pengalaman perjalanan tentang pahitnya hidup sewaktu muda. Namun kurang membaca dan juga tidak mengenal ilmu parenting- ilmu dan pengalaman dalam mendidik anak.
            Dia dan keluarganya mengadopsi pemisahan kerja yang jelas. Mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu rumah, mensetrika hingga memasak adalah tugas rumah buat perempuan. Dia memiliki dua anak laki-laki. Sejak kecil kedua anak laki-laki ini tidak diperkenalkan untuk mengerjakan tugas-tugas perempuan, sementara itu kedua anak laki-lakinya juga tidak diberi tugas rumah sebagai latihan untuk memiliki rasa tanggung jawab.
            Sang ayah juga hampir jarang hadir di rumah untuk memberi model di rumah, jadinya anak laki-lakinya tumbuh tampa tahu tanggung jawab. Di rumah juga tidak ada percakapan bahwa pentingnya peran membaca dan belajar, apalagi anak mereka tidak memilki tempat atau kamar sendiri, karena kondisi ekonomi mereka yang cenderung berda pada batas garis sederhana. Namun di rumah yang kecil mereka menyala televisi sepanjang hari.
            Jadinya anak laki-laki mereka tidak mengenal tentang pentingnya peran belajar dan juga tidak tahu cara mengurus diri. Hingga ke dua anak laki-laki mereka mencapai usia remaja, semuanya dilayani atas kebutuhan makan, pakaian dan mereka tidak mampu membantu dan melayani diri mereka sendiri. Hasilnya anak-anak mereka kurang memilki pengalaman sukses. Sebaliknya malah penuh dengan pengalaman gagal, jadinya kedua anak laki-lakinya sering tinggal kelas dan malah salah seorang mengalami D.O (drop out) atau putus sekolah. Namun akhirnya menyesal menganggur dalam usia yang sangat belia sehingga sekarang berusaha untuk bisa lagi bersekolah.
            Anak laki-laki yang satu lagi, sebelumnya juga pernah tinggal kelas, namun akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Pada mulanya orang tuanya gembira karena dia memperoleh program undangan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi. Namun hanya satu semester bisa bertahan, semua nilai mata kuliahnya menunjukan nilai jelek dan tidak memuaskan ? Apakah gara-gara sang anak termasuk kategori bodoh atau lemah daya serap ? Tentu saja tidak. Penyebabnya adalah gara-gara gaya hidup yang suka begadang dan hura-hura. Hampir semua tugas-tugas kuliah tidak diselesaikan dan gara-gara selalu begadang maka ia pergi kuliah dengan mata mengantuk dan akhirnya memilih menjadi mahasiswa drop-out.
            Kini kedua anak laki-lakinya mengalami drop-out. Penyebabnya cukup sederhana, yaitu sejak kecil tidak memperkenalkan pada anak rasa tanggung jawab, hidup yang disiplin, dan juga miskinnya komunikasi dan pesan-pesan tentang betapa pentingnya arti dari ilmu pengetahuan.
            2) Ayah yang setengah demokrasi
Pola kepemimpinan ayah yang begini berarti juga setengah otoriter. Kebetulan ayah yang bergaya begini memilki kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dengan demikian ia mampu berperan demokrasi dalam setiap percakan. Benar atau salah sebuah ide bukan mutlak keputusan ayah semata. Namun kadang sang ayah juga suka memaksakan konsep dan memaksakan kehendak.    
            Ayah ini suka memaksakan kehendak, mungkin karena khawatir cukup banyak pada anak wanitanya. Tidak pernah mengizinkan anaknya untuk memilih tempat kuliah di tempat yang jauh. Itu betul juga bahwa kepedulian dan khawatir atas keselamatan anak wanita lebih banyak. Biar menutut ilmu di tempat yang dekat saja, karena kesuksesan dalam studi, lebih ditentukan oleh faktor kualitas pribadi manusianya, bukan ditentukan oleh faktor tempat kuliah semata.
            3) Ayah yang manajemen berorientasi pada tugas
Ayah yang bertipe begini kebetulan tidak begitu jago dalam ngomong. Gaya berkomunikasinya adalah instruksional, ya banyak bersifat memerintah atau menyuruh.jarang sekali berbahasa yang interaktif. Namun anak- anaknya cukup berprestasi. Begitu ditanya tentang sukses sekolah dan pendidikan anak-anaknya adalah karena mereka sejak kecil diperkenalkan akan tanggung jawab.
            Rumah tangganya mengenal job description- atau pembagian tanggung jawab. Tidak ada istilah pemisahan bentuk pekerjaan. Anak laki- laki biasa saja mencuci piring, menstrika, menyapu rumah hingga memasak. Pokoknya tanggung jawab mengelola rumah adalah bersama. Jadinya sang anak merasa punya tanggung jawab di rumah dan juga bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
            4) Ayah yang manajemen bersifat laissez-faire
Ayah yang bertipe begini berarti biarkan saja atau masa bodoh. Ayah bertipe seperti ini kebetulan penulis temukan memiliki latar belakang rumah yang konvensional dimana rumahnya tidak mengenal budaya membaca- tidak ada surat kabar, apalagi buku-buku. Kecuali di rumang tamu menyala televisi untuk menebarkan hiburan sepanjang waktu.
            Sang ayah juga belum memberi contoh bagaimana membangun hidup yang berkualitas, agaknya juga jarang percakapan keluarga yang membahas cita-cita. Yang jelas hidup ini terserah anak-anak yang penting tetap pada koridor sebagai anak yang baik. Jadinya apakah orang tua juga anak-anak memilki aspirasi yang rendah, masa depan atau cita-cita yang kabur dan juga tidak mengenal budaya kerja keras dan belajar serius.
            Akhirnya setelah tamat dari SLTA anak-anaknya jadi bingung untuk melangkah kemana. Andai nilai yang tinggi tidak begitu urgen dalam mencari pekerjaan dibandingkan dengan keberanian untuk mengambil keputusan. Maka sang anak juga belum tidak memiliki keberanian. Ini adalah efek dari pemberian pengalaman sukses yang sangat kurang pada anak saat mereka dalam usia eksolorasi- yaitu usia anak anak dan usia remaja.
            5) Ayah yang didominasi oleh ibu.
Ayah yang wibawanya didominasi oleh ibu secara berlebihan memberi dampak pada nyali atau keberanian anak laki-laki yang kurang optimal. Bagi anak laki-laki sosok ayah merupakan sumber inspirasi dan tokoh pertama yang ditiru. Ayah yang tunduk pada dominasi ibu akan bingung bagaimana untuki menjadi sosok pribadi pria yang ideal, paling kurang karakter kepemimpinan, mengambil inisiatif (mengambil keputusan) dan kemandiriannya juga kurang.
            Sebaliknya anak perempuan yang memiliki ibu yang karakter dominan juga akan menjadi wanita yang kelak juga akan mendominasi kaum pria (tentu saja tidak semuanya demikian) paling kurang akan lebih agresif dan akan kesulitan buat menemui laki-laki yang perfek dalam pandangannya. Bahwa tentu saja orang yang betul-betul perfek, karena perfek itu pada hakekatnya diproleh melalui proses. Jadinya keluarga yang manajemen keluarga didominasi oleh ibu akan memiliki anak-anak yang kebingungan dalam mencari jati diri. Keluarga ini memiliki 5 orang anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa namun belum ada yang memilki kekasih, masih jomblo, karena sulit menemukan pria yang sesuai dengan npersepsinya dan begitu pula dengan anak laki-lakinya yang sudah dewasa juga bingung untuk mendapatkan wanita karena nyalinya kecil.
            6) Ayah yang hanya peduli dengan kerja
Ayah yang bertipe begini cukup banyak. Rumah mereka tidak diterangi oleh buku-buku atau ilmu pengetahuan. Ayah hanya peduli dengan kerja. Jadinya anak-anak mereka umumnya kurang berhasil dalam akademis, malah banyak yang bermasalah dengan mata pelajaran. Ujung-ujungnya adalah mereka menyumbang angka drop out. Namun kemudian mereka belajar dari alam, langsung berlatih dalam bengkel, dalam tokoh, dalam lapangan. Inilah bentuk real dari belajar pada universitas kehidupan. 
Dari 6 gambaran karakter manajemen ayah terhadap keluarga mereka bisa mewakili karakter masyarakat kita yang lebih luas. Kita bisa belajar dari pengalaman mereka untuk mengadopsi manajemen yang terbaik buat kita dan keluarga kita.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...