Rabu, 08 Januari 2014

Tidak Berjumpa Kakak Hampir 30 Tahun



Tidak Berjumpa Kakak Hampir 30 Tahun

1. Menuju Pondok Kopi
            Meskipun tadi ada sedikit keributan dalam pesawat, Alhamdulillah pesawat kami mendarat dengan selamat di bandara Sukarno Hatta. Aku memastikan bahwa pesawat sudah benar benar berhenti maka baruaku aktifkan power phone cellku. Sebetulnya aku juga agak sering mematikan phone cell itu bertujuan untuk menghebat daya- ya agar aku nanti bisa menelpon.
            Aku mengikuti anjuran kakak agar naik bis Damri saja menuju terminal Rawamangun dan kakakku-Uda Syam sedang menunggu aku di sana sekarang. Aku menyeret bagasiku ke luar dan menuju pelintasan bis Damri. Aku juga ikut berdiri dipinggi jalan, aku membaca jurusan yang dituju bis Damri. Dan tidak beberapa lama aku melihat tulisan bis Damri “jurusan Rawamangun”. Aku juga ikut antrian masuk kedalam mobil yang nyaman ini.
            “Ya armada Damri memang sejuk. Lagian kita tidak bosan maka kita bisa mengaktifkan WiFi dan inta password Bis Damri. WiFi akan terasa sangat membantu saat bis berhenti di persimpangan jalan dengan masa tunggu traficlight cyang cukup lama. Saat bis Damri menunggu dalam kemacetan hampir seperempat jam, aku bisa mengupload banyak foto dan menulis pada status FB dan juga twitter”.
            Aku tidak mau tidur tiduran, meski ruangan bis terasa sejuk dan nyaman. Aku melepaskan pemandangan ke luar. Melihat sisi kiri dan kanan, Jakarta memang kota yang cantik. Pantasan orang selalu ingin datang kekota ini. Setelah hampir meninggalkan toll dari bandara aku melihat patung Sukarno dan Hatta. Patungnya cukup megah. Tingginya mungki setinggi patung Merlion di Singapura. Namun karena ia dibangun di sisi jalan toll,sehingga tidak bisa dijadikan sebagai objek wisata- tempat atau titik buat dikunjungi.
            Sekali- sekali UdaSyam (kakak ku) selalu menelpon dan juga mengirim SMS, ya untuk mengetahui keberadaanku. Aku yakin bahwa tentu aku telah menyusahkannya. Apalagi aku sendiri tadi meprediksi aku bakal sampai di sini sekitar jam 13.00 siang, dalam kenyataan sekarang sudah pukul 19.00 malam dan aku masih dalam bis.       
            Ini adalah pengalaman ke duaku naik bis Damri dari bandara Sukarno Hatta. Tahun lalu aku naik Damri dari bandara menuju Bogor, ya dalam rangka HGN- Hari Guru Nasional, dan aku Alhamdulillah diundang buat memperoleh penghargaan dari Presiden RI yang bertempat di Audiotorium Sentul Bogor. Aku sudah bersiap siap mau turun, karena aku sudah membaca nama daerah Rawamangun. Beberapa menit lag ibis ini akan berhenti di terminal Rawamangun dan aku sendiri juga turun di terminal.
            Suasana malam sudah terasa, apalagi beda waktu dengan kampungku adalah satu jam. Bis Damri berbelon dan lajunyamenjadi pelan hingga berhenti di samping kiri gerbang terminal. Aku antri buat turun dan setelah agak sepi aku juga turun dan menyeret bagasiku ke tempat bangku dimana penumpang menunggu.
            Aku tadi mengirim SMS memberitakan bahwa aku sudah sampai dan sekarang aku telpon. Sekali sekali terputus. Kami saling mendengar namun kadang kadang kurang mengerti apa yang kami maksud dalam telepon. Penyebabnya adalah logat bahasa ku yang kurang familiar di telinga Uda Syam dan kekuatan pendengaran Uda Syam yang sudah mulai terganggu.
            Aku selalu mengatakan “halo….halo…halo”. dan Uda Syam juga sibuk menjawab dengan bahasa respon yang kurang nyampung denganku. Aku penasaran tentang di mana posisi uda Syam kini. Terminal Rawamangun sangat dibandingkan dengan terminal mobil yang ada di Padang. Aku akhirnya menoleh ke arah kiri. Hanya kira kira 10 meter saja. Aku melihat seorang pria, terlihat sudah tua, sibuk menelpon dan ngobrol.. memanggil manggil, dan suaranya masuk ke phonecell ku.
            Ondeh….ikonyo mah…..(Astaga ini dia)”. Gerundelanku dalam bahasa Minang. Aku segera mendengar pada pria tua itu. Aku memastikan bahwa iaadalah kakak ku “Uda Syam”.
            Uda….syam, uda syam…..kok awak lah tibo (Uda Syam ini saya sudah datang”. Kataku.
            Ondeh mandeh…uda lah panek maliek liek waang dari tadi. Uda di siko sajo nyoh dari dari tadi (Ya ampun, saya sudah lama mencari cari kamu dan saya hanya di sini saja sejak tadi”. 
            Kami langsung berpelukan dan saling mendekapkan pipi. Rasa persaudaraan kami saling melebur. Aku merangkul kakakku yang masih berpakaian agak kumal disbanding pakaianku yang serba baru, ya pakaian yang aku siapkan buat menuju ke Melbourne esok sore. Uda kemudian menyambar bagasiku dan aku juga demikian.Kami melangkah ke arah luar buat mencari taxi.Kami mendapati taxi dan membuat semua bagsasi. Taxi kemudian melaju menuju Kampung Pisangan, Kelurahan Penggilingan di Kecamatan Cakung- Jakarta Timur. Aku mendengar keterangan bahwa kami berhenti di daerah Pondok Kopi sebelum jembatan layang.   

2. Tiga Puluh Tahun Tidak Berjumpa
            Aku tidak berjumpa dengan Uda Syam hampir 30 tahun lamanya. Terakhir kami berjumpa saat aku sekolah di SMA di Payakumbuh. Saat itu ia masing sangat muda, dengan rambut ikal dan hitam. Sekarang saat kami berjumpa aku hampir lupa dengannya, rambutrnya yang hitam sudah berubah putih, yang ia miliki hanya semangat untuk melawan keganasan hidup di Jakarta.
            Ya seperi yang pernah aku ungkapkan dalam bukuku “Kisah dahsyat guru berprestasi selangit” bahwa kami berasal dari sepasang orang tua, yang mana perkawinan mereka penuh dengan liku- liku problem. Ayahku menikah dalam usia remaja dan selama hidupnya ia pernah menikah dengan 3 orang perempuan. Semua perkawinannya berakhir dengan tidak bahagia.
            Terus terang ayahku tidak pernah mengerti bagaimana dengan perkawinan dan bagaimana pula dengan parenting- menjadi orang tua. Ayahku menikah dalam usia remaja dan tentu saja kurang mengerti dengan konsep perkawinan dan itu adalah lazim terjadi dalam masyarakat saat itu.   
            Dari perkawinan pertama, mereka memperoleh 2 orang anak. Gara-gara bertengkar dalam perjalanan dengan kereta api di Kayutanam saat menuju Padang Panjang, ayahku langsung minggat dan meninggalkan bayi dan balitanya begitu saja. Aku yakin saat itu mereka bertengkar hebat. Itulah saat itu mana ada bimbingan tentang perkawinan dan juga tentang parenting. Ayahku juga kurang mnengerti bagaimana menjadi suami dan menjadi ayah yang ideal bagi keluarga mereka.
            Kemudiam ayahku segera menemui seorang perempuan baru dan menikah lagi. Dari pernikahan yang kedua ini ayah punya satu anak. Lagi lagi terjadi goncanngsan perkawinan dan juga perkawinan mereka segera berakhir. Aku yakin penyebabnya bahwa istrinya mengharapkan tanggung jawab ayahku sebagai seorang ayah dan suami.        
            Bukan tujuan untuk membuka aib atau rahasia perkawinan orang tuaku, hanya sekedar mendeskribsikan perkawinan mereka dan juga banyak orang satu zaman dengan mereka yang perkawinan mereka cukup rapuh. Tentang ayah dan ibuku, masa lalu perkawinan mereka ya sepuluh- sebelas- maksudnya tidak jauh beda.
            Ibuku juga pernah menikah dengan 3 laki- laki dalam hidupnya. Semua pernikahannya juga berakhir dengan unhappy ending. Aku berharap agar pembaca bisa memperoleh pembelajaran dari perkawinannya. Dan betapa penting kalau kita bisa merawat perkawinan ini.
            Uda Syam adalah kakak tiriku. Ia lahir dari perkawinan ibu yang kedua dengan seorang prajurit tentara. Saat ia masih berusia balita ibu bercerai dengan ayahnya dan menikah dengan laki-laki lain, yaitu adalah ayahku sendiri.
            Perceraian ibu dengan suaminya yang ke dua terjadi karena suaminya pergi jauh cukup lama. Pak Marah (gelarnya) bertugas sebagai prajurit tentara pergi berjuang ke daerah Jamji buat menjaga keamanan di zaman pergolakan itu. Tiba tiba datang laki laki ke kampung ibuku dan singkap waktu mereka saling berbagi rasa simpati dan saling jatuh cinta. Bara cintamereka tercium oleh Pak Marah dan ia memutuskan pulang. Gossip yang ia dengar adalah sebuah kenyataan. Ia memberi ibu surat cerai.
            Ibuku sangat sedih dicerai oleh suaminya, namun sedihnya juga disambut gembira karena panah cinta oleh lelaki baru dalam hidupnya. Mereka menikah dan lelaki ini adalah ayahku. Nasib baik perkawinan ayah dan ibu menjadi membaik saat aku lahir, karena ayah berubah baik dari status pengangguran atau buruh serabutan menjadi seorang prajurit polisi.
Ya benar bahwa ayah saat itu adalah seorang prajrit polisi. Saat kami masih kecil- kecil kami hijrah ke kota Payakumbuh. Ayah bertugas sebagai polisi di sana, sementara Uda Syam tidak mau ikut maka ia dititip saja dengan nenek di Lubuk Alung. Aku tahu bahwa tentu masa kecil Uda Syam tidak begitu bahagia- tidak punya ayah dan juga tidak ada ibu. Pendidikan Uda Syam tentu juga tidak bagus, ia hanya sekolah di SD..ya sekedar bisa membaca abjad dan tahu sedikit berhitung. Itupun dia tidak tamat dari bangku SD.
Saat merasa cukup kuat, ya berumur remaja, maka Uda Syam memutuskan buat mengubah nasib yaitu merantau ke kota metropolitan Jakarta. Saat itu aku baru lepas dari bangku SMP dan masuk ke SMAN 1 Payakumbuh. Saat itulah terkhir kali aku berjumpa dengan Uda Syam- saat ia mau pamit pada kami. Ia meratau dengan bermodal dengkul dan keberanian yang membara.
Apakah uda Syam bekerja sebagai buruh pabrik ada sebagai PNS kecil di Jakarta? Wah itu adalah sebuah mimpi. Uda Syam  hanyak bekerja sebagai keamanan- penjaga tumpukan barang pedagang kaki lima pada malam hari. Bila malam datang maka pedagang kaki lima kembali membungkus barang- barang mereka dan ditumpuk. Mereka mempercayakan keamanan barang barang tersebut pada kakakku.
Maka itulah kerja kakakku selama belasan tahun tidur di emperan sambil menjaga keamanan tumpukan barang pedagang kaki lima. Aku amat sedih mendengar realita, namu apa yang hendak dikata …ya itulah realita dan kemampuannya untuk menyambung hidup.
“Hidup harus berjuang. Kerja seperti itu lebih mulia dari pada jadi pengemis, penganggur apalagi menjadi pengganggu orang”.   

3. Bermalam Di Samping Rel Kereta Api
            Aku memutuskan bermalam di rumah Uda Syam, di perumahan milik warga pendatang yang mayoritas berasal dari Sumatra. Rumahnya cukup sempir, ya maklum rumah di Jakarta. Jaraknya hanya beerapa meter saja dari pinggiran rel kereta api. Aku harus bisa membaur dan juga bisa beradaptasi dengan cara hidup mereka.
            Aku sangat mengagumi kakakku. Meskipun hanya berbekal pengalaman hidup yang diperoleh secara alami dan keberanian, ia mampu bertahan hidup. Ia sekarang sudah punya rumah- tempat bernaung dari hujan dan panas bersama istri dan dua anaknya. Ke dua anaknya juga tahu diri, pagi pagi pergi sekolah di SMK dan nanti sore hingga malam mereka membantu ayahnya berdagang di kaki lima.
            “Malam ini aku sengaja menginap di rumah kakak.ia tinggal di daerah Cakung dengan para tetangga yang sama tingkatan ekonomi mereka dan mungkin juga sama kualitas pendidikan mereka. Aku perhatikan bahwa warga di sini bisa memiliki rumah sangat kecil walau sangat sederhana. Mereka gembira karena bisa menyekolahkan anak. Itu mereka anggap sudah sangat bagus”.
            Sebagai pendidik, aku perhatikan bahwa banyak anak- anak di sini yang kekurangan tidur. Televisi menyala hampir sepanjang hari dan televisi baru bisa dimatikan jam 11 malam. Maka umumnya anak- anak tidur jam 11 malam. Jadi mereka kekurangan tidur, sementara esok pagi harus bangun pagi pagi dan tentu mereka pergi sekolah dengan mata yang mengantuk. Kalau belajar dengan mata mengantuk mana pelajaran bisamengerti.
            Belajar dengan kondisi mata mengantuk telah menjadi salah satu penyebab kualitas mereka terganggu. Kemudian hidup yang juga kurang peduli dengan waktu juga membuat mayoritas warga juga tidak teratur dalam sholat, malah banyak warga yang sholatnya bolong bolong. Demikian pula dengan membaca. Keberadaan surat kabar dan majalah di kompleks ini adalah sesuatu yang amat sulit buat ditemui. Ini berarti bahwa mereka tidak begitu peduli dengan membaca.
            Aku sempat jalan- jalan ke depan rumah tetangga. Mataku tertuju pada sampah- sampah yang bertebaran di sana-sini. Membersihkan sampah dari bumi terasa amat sulit untuk dilakukan.Wah kita butuh keajaiban agar ada pendidik dan stakeholder yang peduli dan mampu mengubah kualitas kebersihan bumi ini.     
            Aku tidak bisa tidur nyenyak karena perbedaan suhu. Aku terbiasa tinggal di kota kecil di daerah pegunungan- Batusangkar- dengan iklim sejuk dan berangin. Meski aku sudah tidur disamping kipas angin, namun nyamuk- nayamuk kota Jakarta cukup aggresif mencari cari kulit kaki ku. Akuperhatikan tadi sore bahwa drainase sekeliling banyak yang terbuka dan milyaran jentik jentik nyamuk dalam beberapa hari akan berubah menjadi nyamuk dewasa dan siap untuk menebarkan penyakit malaria atau DBD. Warga sekitar perlu menambah ilmu terutama yang berkaitan tentang cara hidup lebih sehat.
            Rumah tempat aku menginap malam ini nama lainnya adalah “rumah bedeng’ yaitu perumahan sederhana yang sempit. Ya semuaorang dalam komunitas di daerah ini hidup dalam rumah bedeng dan seolah- olah saling berdesakan. Profil perumahan bedeng- sebagai perumahan bagi masyarakat ekonomi kelas bawah- jumlahnya di kota Jakarta sangat banyak. Tentu saja kualitas SDM mereka ikut menetukan kualitas SDM kota Jakarta secara makro. Andaikata kota Jakarta termasuk kota yang ber-SDM rendah di dunia, maka merekalah penyebabnya.
Aku juga yakin bahwa orang tua di daerah ini belumbisa memberi model pada anak- anak mereka. Umumnya mereka adalah orang tua dengan tingkat pendidikan yang masih rendah, paling tinggi cuma tamatan SLTA. Dan tamatan SLTA buat ukuran zaman sekarang bisa dipandang sebagai tingkat pendidikan wajib belajar saja. Tentu saja tingkat ekonomi dan kesadaran hidup sehat masyarakat juga rendah.
“Pagi pagi sebagian pria terlihat sudah bengong- tidak tahu kerjaan- kecuali mereka cuma nongkrong dan menghisap rokok kretek. Ini merupakan profil hidup orang orang berpendidikan rendah.”
Tentu saja orang –orang dewasa di sini juga kurang kenal dengan parenting- atau bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Karena mereka buta dengan wawasan mendidik, maka cara mendidik anak mereka terapkan lewat meniru cara dan perlakuan generasi sebelumnya.  Kalau orang tua mereka mendidik dengan cara yang salah maka mereka akan mengulang cara yang salah tersebut. Pintar mereka mendidik hanya baru sebatas mampu “menyuruh dan melarang”.
Sekali seperti yang aku lihat bahwa penduduk di sini- juga penduduk yang tinggal di perumahan bedeng- kurang peduli dalam mengelola waktu buat keluarga atau disiplin waktu. Mereka tidak begitu menghiraukan kapan anak harus belajar,kapan harus bangun, kapan harus pulang sekolah, dll. Ya rata- rata anak kekurangan tidur, hanya mengikuti pola tidur orang dewasa.
Mereka adalah juga masyarakat yang sekedar aktif secaraverbal- cuma tahu ngobrol tentang hal- hal yang ringan atau menonton TV dari pagi hingga malam. Pola hidup sehat juga kurang mereka kenal.  Aku perhatikan bahwa jarang komunitas di sini yang mengkonsumsi sayur dan buah- buahan segar. Karena mereka harus hidup berhemat.  
Pastilah warga di sini juga cukup rentan terkena wabah penyakit. Karena hampir semua kaum pria adalah perokok berat. Aku juga memperhatikan bahwa anak anak di sini kurang punya ruang buat bermain. Di sana sini anak anak kecil hanyaduduk bengong dan merengek karena penuh rasa bosan.
Tentu saja membaca buku buku dan majalah berkualitas adalah sesuatu yang langka bagi mereka. Bagi remaja- untuk mengatasi rasa sepi dan kebosanan- makamereka mencari tempat nongkrong. Di sana merekasaling bercandadan saling meledek. Saling meledek yang bisa membuat sakit hati bisa berbuntut pada perkelahiandan jugatawuran massal. Ya seperti itulah rutinitas kehidupan mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...