Rabu, 14 Juni 2017

Cerdas Bermental “Sopir” atau “Penumpang?



Cerdas Bermental “Sopir” atau “Penumpang?

Sebetulnya saya sudah mengetahui dan berjumpa dengan Rhenald Kasali- seorang Guru Besar dalam bidan ekonomi yang sangat peduli pada pendidikan- ketika mengikuti kegiatan seleksi guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2012. Saat itu kami- para peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Usai mengikuti kuliah kami memperoleh dua buku yang satu pengarangnya adalah Rhenald Kasali sendiri, dengan judul: Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang.
Namun saya seolah-olah merasa lebih dekat dengan pemikirannya setelah membaca buku-buku karangannya, seperti: Let’s Change, Change leadership Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya- Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?- sangat mengagumkan dan menginspirasi saya. Saya merasa berenang-renang dalam pemikirannya. Kini saya ingin berbagi pemahaman tentang apa yang ditulisnya, khusus pada buku Self Driving Menjadi Driver atau Passenger ?
Rhenald Kasali megatakan bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus, tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia bermental passenger. Orang-orag muda sekarang cenderung banyak yang pandai, namun outputnya adalah manusia-manusia bermental penumpang.
            Orang-orang demikian kalau belajar fokusnya adalah sekedar bisa menaklukan isi buku teks, yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian. Jadi pintar mereka adalah pintar kertas. Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana kertas. Sementara itu dalam praktek pendidikan, banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis. Mereka kurang mengenal bagaimana realita kehidupan ini terjadi. .   
            Ditambah dengan model pendidikan dasar- model pembelajaran yang konvensional- yang hanya sekedar membiasakan siswa pandai menghafal pelajaran sambil melipat tangan dan duduk manis saat belajar. Maka setelah itu terbentuklah menjadi generasi yang pasif. Dalam realita kehidupan mereka bisa kalah oleh orang-orang yang bukan bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka yang yang tidak bersekolah tinggi ini dipaksa lingkungan untuk berpikir kritis menghadapi dunia baru yang sangat menuntut.
            Para buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan banyak yang memilki pikiran yang lebih hebat dibanding sarjana yang dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan hidupnya. Pada akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi orang dengan karakter penumpang, bukan bermental driver.
            Rhenald Kasali dan juga kita semua sudah lama komplain terhadap dunia pendidikan. Metode pembelajaran di sekolah-sekolah yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80- betapa stresnya mereka. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif, namun tidak menguasai semua subjek/ mata pelajaran. Potensi anak-anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah tidak mendorong munculnya/ tumbuhnya critical thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan/ mendidik generasi yang bersifat bebek-bebek dogmatik.
            Sementara itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa hanya dari ujian tertulis, buku test dan kertas test. Rhenald Kasali- sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dalam kelas marketing (mendapat nilai A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan seorang marketing dengan nilai A. Mengapa ? Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman, berpakaian sembarangan, pribadi mereka membosankan temannya. Pada hal seorang marketing itu pribadinya harus menarik dan menyenangkan.
            Akhirnya orang-orang seperti itu (mahasiswa seperti itu) kelak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam memasarkan dirinya dan jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang frustasi/ depresi.
            Adalah juga fenomena bahwa sekarang banyak orang (calon mahasiswa) berebut untuk bisa kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di tanah air ini. Pendidikan yang benar adalah “jangan menjual label-label universitas. “Wah saya ini lulusan universitas X pasti perusaha besar yang hebat akan mudah menggaetku, namun jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan unggul yang engau miliki !”.
            Sesungguhnya Allah telah memberi kita diri yang bisa kita sebut dengan kata “self- atau diri”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih, mau dibawa kemana self tersebut, mau menjadi penumpang (self-passenger) atau pengemudi (self-driver) nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver ?
            Pilihan yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat benar bahwa kita harus mampu untuk:
Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”.
            Namun kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau juga kita sendiri yang “bermental passenger- yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Seorang penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver), tak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk atau ngobrol. Sementara seorang driver harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan harus bisa merawat kendaraan.
            Seseorang yang menjadi passenger- berkualitas pengikut dengan mental menjadi kerdil- itu karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap (statis/ kurang bergerak). Sebaliknya seseorang yang menjadi driver- mampu mendorong- karena memiliki settingan otaknya  (mindsetnya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya empati.      
            Telah banyak orang yang didik begitu lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana. Namun setelah jadi para sarjana, mereka tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu menggerakan (self-drive in) dirinya sendiri, apalagi menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang hanya berpendidikan rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka bertarung habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau menjadi beban bagi orang lain.
            Pendidikan hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang terbiasa berpikir.
Belajar artinya adalah berpikir, ibarat seorang driver yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa mengambil jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan menjadi seorang penumpang yang mana dia boleh mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Masalah yang kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia politik, juga di dunia birokrasi dan akademik, semua tidak lepas dari pengalaman bagaimana manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga pada masa kecil. Melalui tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu diberi kehangatan, kasih sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak anak-anak yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan potensi atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen juga tidak mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering bertanya:
“Mama, ..papa..ini boleh nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa sudah waktunya atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini cocok atau tidak ??”. Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh dewasa. Saat mereka tumbuh dan bisa berjalan, kita masih membelenggu pikiran mereka dengan hubungan batin pada pikiran kita. Saat mereka ingin ikut berkemah dengan teman-temannya, kita katakan:
“Jangan ikut berkemah nak ..nanti kau sakit”. Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi, travelling, kita/ orang tua juga merasa keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orang tua juga menetapkan syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit orangtua yang mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya masih banyak diurus orangtua.
Rasa ketergantungan anak-anak yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan. Yang kita lupa bahwa anak-anak telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang mampu berpikir secara mandiri karena kita yang melatihnya secara mereka kecil hingga dewasa. Seolah-olah kita tak rela menjadikan mereka manusia dewasa yang mampu berpikir sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh yang selalu ingin dibimbing orangtua. Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam kendaraan keluarga.
Sudah seharusnya anak-anak juga bisa dilatih untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan. Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara bulat-bulat, sesuai masanya dia melatih anaknya unduk punya keterampilan, untuk mandiri dan setelah itu anaknya terbang dan hidup mandiri. Maka anak-anak muda, para remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri selalu terpasung oleh sesuatu yang dibawa dari masa lalu. Untuk itu lakukanlah perubahan !!!
Kita tidak bermaksud menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sekedar memberi tahu tentang kenyataanya- atau realitanya. Bahwa para pendidik dan juga para dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala mereka (siswa dan mahasiswa), itu namanya belum menuntut ilmu, tetapi baru sekedar memindahkan isi buku ke memory dalam kepala.
Rhenald Kasali mengatakan tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Bahwa anak-anak di Indonesia terlihat banyak yang ketakutan dalam megungkapkan isi pikiran dan analisisnya kendati mereka sudah dewasa. Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda (mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika banyak anak Indonesia begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua, Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara- Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di restoran, dll.            
Para mahasiswa yang dulu hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup di dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad. Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita menyaksikan mereka yang dulu hidup begitu dimanjakan (akibat berada dalam comfort-zone) . Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian. Oleh sebab itu biasakanlah belajar untuk keluar dari comfort zone- dari kebiasaan banyak diservis/ serba dilayani dan merengek pada orangtua melulu.
Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar emas. Diakui bahwa memang banyak jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana  kalau di atas kertas cukup banyak yang telah memperoleh prestasi, namun dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu meraih nilai atau skor akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat apa untuk hidup dan apa bentuk karir mereka.
Ya generasi baru Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih tentu bisa menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua anak-anak akan bebas dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah. Secara langsung maka para orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
“Anak- anak tidak diajar bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang lebih sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya sekarang, ya telah bermunculan generasi anak mami yang lebih banyak dibentuk oleh servis yang dibeli oleh orangtua. Artinya anak-anak dibuat dengan kemampuan berpikirnya hanya sekedar bisa menghafal- hingga mereka menjadi generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
Pergi sekolah untuk apa dan kuliah buat mencari apa ? Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah kamar. Kalaupun mereka sudah masuk universitas/ atau sekolah yang bergengsi, yang dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan/ disekolahkan. Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku/ dalam kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah jadi fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya banyak orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya universitas yang bergengsi dan punya label” maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang dengan mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan/ pengusaha tidak mau mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga benar bahwa orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan berlabel unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih dari sekedar teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah seseorang dengan “total pribadi” yang sangat berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh serangkaian pengalaman- yang penuh ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran dan keberaian.
Lebih lanjut juga dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan di sekolah kita dengan istilah “Race To Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana banyak anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat namun bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.
Fenomena memperlihtkan bahwa hidup kita sering jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi apa-apa. Sedangkan orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang terkesan bermalas-malas mereka malah memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang driver, sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang passenger -ya sekedar berharap jadi penumpang.
Namun kita berharap mereka yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental driver. Untuk itu kepada mereka yang sedang belajar bersungguh-sungguh kita ajukan sejumlah indikator atau pertanyaan untuk melihat apakah kelak manjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan mengapa hidup musti berubah, dan mengapa perubahan menuntut
   manusia untuk berpikir ?
- Apakah orangtua/ lingkungan anda membelenggu perkembanganmu ?
- Apakah anda tertantang untuk mengenal linkungan baru yang lebih banyak ? Apa
   anda bertipe orang rumahan ?
- Apa anda senang diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih mandiri ?
- Apa anda tergila gila dengan gadget dan membuat anda sangat individualis dan
   kurang membuka diri ?
- Apa anda suka melayani, dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau kendali diri,
  serta juga punya tanggung jawab ?
-  Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa mengendalikan diri,
   teman- teman, lingkungan dan kedepannya untuk mengendalikan bangsa ini ?
- Anda senang menonton orang bekerja ? Atau terpanggil untuk ikut berpartisipasi ?
- Anda mudah gelisah dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga dengan
   orang baru ? Anda mampu beradaptasi dengan mudah ?
- Dalam bergaul dan berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
  berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat orang ?
- Apa anda memiliki disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang baik ?
- Apa anda punya ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya ?
- Anda mampu berkonsentrasi ? Juga mampu mengendalikan emosi/ amarah ?
- Anda senang beraktivitas ?
- Apa anda suka membuat-buat alasan ? Suka mnunda nunda waktu, menunda
  pekerjaan, bekerja tanpa prioritas ?
- Apa anda suka menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka membuang
  waktu ?
- Apa anda bisa mengukur kemampuan diri ?
- Apa anda orangnya sangat gigih ? Sangat tekun ? Sangat Pede ? Tidak suka
  pasrah dan menyerah ?
- Apa anda orang nya sederhana ada gaya hidup yang ribet ?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan juga arah pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktek pendidikan yang cenderung mengantarkan anak didik untuk menjadi orang yang bermental penumpang harus segera diperbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus dibongkar habis. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri. Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika harus diubah menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun. Dimana anak didik dibuat belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan bukan menghafal.
Karena pengalaman di lapangan pendidikan sering ditemukan anak-anak yang pintar di sekolah, namun belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya cenderung suka menghafal.
Memorizing is not good thingking dan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik”.  
Maka anak-anak dan juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa membuat siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal menjadi berpikir- thingking oriented.
Karena dengan kemampuan berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar. Jadi pendidikan perlu disepurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya. Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang menjadi pribadi driver- yang mampu menggerakan dan mengendalikan diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk menjadi nation driver.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...