Rabu, 14 Juni 2017

Peluang Kerja Di Negara Kita Masih Luas



Peluang Kerja Di Negara Kita Masih Luas

            Beberapa kali saya berpergian menempuh jalan darat dari Padang menuju Jakarta. Yang saya rasakan bahwa bumi kita-bumi Indonesia- masih luas. Sepanjang jalan di daerah propinsi Jambi, Sumatera Selatan hingga Lampung saya menjumpai hamparan perkebunan rakyat dan juga milik perusahaan dengan pepohonan hijau yang subur. Perumahan penduduk masih sedikit, kecuali di beberapa kota kecamatan. Begitu memasuki propinsi lampung saya menjumpai hamparan sawah dan ladang palawija yang subur. Di daerah Sumatera Selatan saya banyak menjumpai deretan gedung-gedung yang baru saja dibangun- berbentuk ruko namun seolah-olah ditinggalkan. Gedung-gedung tersebut pasti dibangun dengan modal besar dan duit yang banyak, kalau demikian tanah air kita dan warganya sangat kaya dan tentu saja peluang kerja masih berlimpah.
            Memasuki Jakarta saya melihat ratusan, juga mungkin ribuan gedung-gedung megah yang melambangkan kekayaan ibu kota. Namun setelah itu saya menemui beberapa daerah kumuh dengan tumpukan gubuk gubuk/ rumah-rumah  reot yang memberi isyarat bahwa di sana bertebaran problem ekonomi dan sosial.
            Bumi kita sangat kaya- kaya dengan sumber daya alam (SDA)- namun cukup banyak manusianya yang masih hidup sengsara. Yang sengsara tidak hanya bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, namun juga yang tinggal di daerah dimana mereka dikelilingi oleh georafi alam yang cukup kaya SDA-nya. Bagaimana dengan fenomena daerah/ negara yang miskin SDA-nya ?
            Ada beberapa negara kecil yang dewasa ini kerap menjadi incaran buruh migran asal Indonesia yaitu Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan dan juga mungkin Singapura. Semua negara tadi memiliki jumlah penduduk yang banyak dan padat sehingga pemerintahnya mendirikan gedung-gedung  jangkung untuk bisa menampung penduduknya. Daerah atau negara-negara tadi memiliki SDA yang terbatas namun tidak ada terbetik penderitaan masyarakatnya yag hidup di bawah garis kemiskinan. Daerah tersebut tidak memiliki hamparan sawah atau hamparan ladang gandum, namun tidak ada rakyatya yag menderita kelaparan. Mengapa ini bisa demikian ?
            Saya pernah berpergian lewat jalan darat dari Johor Baru- Malaysia- hingga ke Jantung Singapura. Saya menyaksikan keindahan alam Singapura. Keindahan landmark-nya namun semuanya serba ciptaan manusia, seperti jembatan, patung singa hinga gedung-gedung pencakar langit lainnya. Beda dengan negara kita, Indonesia, yang landmark-nya masih banya berupa penampakan alam- gunung menjulang tinggi, bukit hijau, lembah, bentangan sungai yang berliku, danau-danau cantik yang dipagari pegunungan, hamparan ladang dan sawah seperti hamparan permadani nan luas.
            Saya tidak menyaksikan kekayaan SDA-nya Singapura (sawah, ladang, hutan, danau, dll) seperti yang di tanah air kita. Saya tidak menemukan sungai-sungai yang lebar, danau yang beriak dan hamparan sawah di sana. Namun mengapa tidak ada warganya yang menderita kelaparan dan kemiskinan yang parah ? Ternyata kualitas SDM-nya yang tinggi yang membuat warga Singapura bisa eksis dan terhindar jauh dari kesengsaraan. Kualitas SDM Singapura yang tinggi ditandai dalam posisi HDI (Human Development Index) termasuk kategori terbaik di dunia.
            Saat banyak anak-anak di Indonesia yang berlomba meningkatkan skor akademik mereka agar mampu kuliah di perguruan tinggi yang bergengsi di pulau Jawa. Mereka punya keyakinan bahwa kalau bisa kuliah pada perguruan tinggi yang demikian dan memperoleh skor akademik yang cemerlang maka masa depan akan sangat cerah hingga bisa menggapai lapangan pekerjaan dengan mudah. Apakah seperti itu keyakinan para stakeholder pendidikan di Singapura dan di dunia ?
            Evan Ortlieb (2015) mengatakan bahwa “just graduating from university is no longer enough to get a job. Menjadi mahasiswa di Singapura sudah sangat lumrah. Kalau kebijakan pendidikan di negara kita masih sebatas wajib belajar 9 tahun, yaitu sekedar merampungkan pendidikan dari SD hingga level SLTA. Di negara kecil ini semua orang sudah merasa butuh untuk menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, malah cukup banyak yang menyelesaikan pendidikan master dan juga doktoral. Dan semua perguruan tinggi di sana cukup bergengsi dan berkualitas- world class university level. Jadi menjadi sarjana di sana sudah begitu biasa. Maka sekedar lulus dari universitas saja tidak lagi cukup buat meraih pekerjaan.
            Belajar dan berusaha meraih gelar perguruan tinggi dan kemudian bisa meraih pekerjaan. Generasi dengan keyakinan begini hanya terjadi untuk lebih dari 50 tahun belakang. Namun dengan meningkatnya jenis bidang pekerjaan dewasa ini, maka keyakinan seperti sebelumnya tidak akan ada lagi. Apalagi dengan semakin banyaknya populasi anak muda yang kuliah di perguruan tinggi maka yang terjadi adalah kompetisi untuk memperebutkan kesempatan kerja bagi yang memenuhi kriteria.
            Lulusan strata satu dewasa ini sudah booming, malah termasuk juga lulusan magister. Malah antar perguruan tinggi juga terjadi saling berlomba pengaruh untuk melahirkan lulusan yang berkualitas. Dimana sebelumnya mahasiswa mereka dilengkapi dengan sejumlah skill dan pengalaman agar bisa sukses dan mampu berkompetisi dengan para lulusan perguruan tinggi lainnya di banyak negara. 
            Karena lulusan perguruan tinggi sudah membooming. Di Australia sendiri, misalnya, ada 2/3 populasi lulusan universitas, ada sekitar 66% tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Sehingga agar mereka bisa memperoleh pekerjaan maka mereka kuliah lagi setinggi mungkin hingga ke program doktoral dengan harapan bisa menjadi dosen, ahli statistik, ahli ekonomi, ahli perminyakan, menjadi konselor, pekerja sosial, konsultan, dan kerja di bank atau menjadi kepala sekolah.
            Dewasa ini seseorang kalau hanya sebatas lulusan kuliah S.1, ilmunya diaggap baru sebatas level dasar saja. Mereka yang lulus dari program doktoral tentu keterampilan dan ilmu pengetahuannya lebih bagus karena punya kemapuan berpikir, menganalisa, menyelesaikan masalah yang lebih bagus, berkomunikasi dengan efektif, hingga meningkat income-nya.
            Bagaima dengan fenomena lulusan pendidikan di Singapura ? Sama halnya dengan fenomena di Australia. Sandra Davie (2013) mengatakan bahwa kalau hanya lulusan strata 1 tidak begitu penting karena telah begitu lumrah. Sehingga dianjurkan kepada anak-anak muda di Singapura untuk bisa memiliki soft-skill atau pengalaman hidup terlebih dahulu, karena pengalaman atau praktek lapangan jauh lebih berharga dari pada sekedar jago berteori, yaitu teori yang dipelajari di universitas.
            Untuk menghindari pengangguran maka anak-anak muda Singapura terjun praktek di lapangan pekerjaan selama beberapa tahun. Setelah merasa cukup tangguh baru mereka memulai bisnis sendiri:
            You will gain experience and understand yourself better and then be better able to decide what the next step will be- your own a degree, but so what ? You can not eat. If that can not give you a good life, a good job, it is meaningless- kalau kamu punya pengalaman dan memahami diri sendiri itu lebih baik dan juga lebih baik untuk mampu memutuskan langkah kehidupan berikutnya- apa gunanya lulus dari perguruan tinggi kalau ternyata tidak mampu mencari makan, berarti tak ada kehidupan yang lebih baik, pekerjaan yang lebih baik, itu sia sia saja.”
            Benua Eropa luasnya sama dengan Indonesia, namun di Eropa ada banyak negara-negara maju yang ukurannya kecil-kecil. Negara- negara kecil di sana memiliki universitas berkelas dunia dan lulusan yang sangat berkualitas, utamanya di Eropa Barat dan Skandinafia. Namun karena begitu berlimpahnya lulusan perguruan tinggi maka mereka juga galau dalam mencari pekerjaan. Sebagaimana yang juga terjadi di Indonesia, cukup banyak lulusan baru kebingungan hendak mau kemana ijazah yang baru saja diperoleh.
            Lulusan S.1 setelah wisuda mereka kembali mencari tempat magang, bisa jadi cukup lama, hingga mereka merasa cukup kuat buat mandiri dan memulai bisnis sendiri. Salah seorang anak muda bernama Fabian Dolorose, lulusan teknik sipil dari universitas Belanda sempat menjadi kesulitan buat mencari tempat kerja dan tempat magang, karena negara Belanda sudah siap jadi, dan gedung-gedung sudah jarang direnovasi, jadi kurang butuh tenaga teknik sipil. Akhirnya Fabian Dolorose memutuskan buat mencari lahan kerja sebagai kerja kontraktor hingga ke negara paling selatan, yaitu Selandi Baru. Setelah bekerja hampir dua tahun projek selesai. Dia memutuskan pulang kampung, sambil berlimbur. Ia mampir ke Australia, mampir ke pulau Bali dan juga ke Sumatera, dan hingga bertemu saya di Batusangkar, Sumatera Barat.
            Lahan kerja buat teknik sipil dan semua mata kuliah masih terbuka lebar di Indonesia. Gedung-gedung baru dan juga gedung yang lama membutuhkan sentuhan tenaga teknik sipil dan teknik lainnya. Untuk jurusan pertanian, perikanan dan peternakan, maka lahan Indonesia lebih terbuka lebar lagi. Selama ini sektor-sektor tersebut sangat miskin sentuhan. Negara Belanda saja yang luasnya kecil sekali, namun kemajuan peternakanya bisa mensuplai banyak produk susu, hingga memenuhi kebutuhan banyak orang di seluruh dunia.
            Jika berpergian di seluruh permukaan bumi Indonesia, maka kita akan menemui banyak sungai, danau, laut yang semuanya masih berpotensi buat dikembangkan, seperti untuk industri perikanan, transportasi, perkapalan, hingga industri pariwisata. Hamparan alam yang luas dan hijau bisa dikelola secara intensif untuk tujuan swasembada pada berbagai domain lapangan kerja. Sekarang tinggal lagi bagaimana menggenjot SDM-nya, utamanya SDM lulusan perguruan tinggi.
            Untuk anak muda yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi, mereka perlu tahu bahwa mereka jangan hanya sebatas fokus mencari IPK- nilai akademik yang tinggi. Karena nilai akademik yang tinggi tidak lagi berdampak langsung untuk kehidupan setelah lulus dari perguruan tinggi, kecuali kalau ilmu atau teori mereka ditunjang soft-skill atau pengalaman hidup yang banyak sejak kecil, hingga remaja terus menjadi dewasa.
            Ruth Callaghan (2015) menyatakan agar para mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja- harus segera memiliki banyak pengalaman dan juga skill yang dibutuhkan oleh dunia perusahaan. Dunia pekerjaan atau perusahaan mencari para pelamar yang punya latar belakang dan pengalaman kerja yang luas. Bagi yang mau bekerja di sektor pelayanan publik, mereka perlu punya kemampuan dalam pelayanan, pengalaman kerja, leadership, kerja kelompok serta aktivitas volunteering.
            Di atas itu semua, perusahaan mencari pelamar pekerjaan yang menunjukan antusias untuk bekerja dengan langkah cepat. Jadi mereka harus cekatan, gesit, dan punya semangat sebagai customer service kelas dunia. Maka sejak masa kuliah para calon pelamar musti juga mengaktifkan diri dalam kegiatan di luar kelas- ekstrakulikuler.
            Figur pelamar kerja yang lebih diminati misalnya oleh perusahaan Australia, tidak hanya sekedar cerdas kerdas- cerdas dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki minat, bakat dan pengalaman yang luas, seperti “ pernah menjadi kapten sebuah club olahraga, pernah berpergian ke berbagai daerah, kalau perlu keliling dunia, pernah mengikuti program pertukaran pelajar antar bangsa, sekali lagi- juga pernah ikut kegiatan volunteering. Karena pelamar dengan kriteria yang demikian dipandang sangat attraktif.
            Demikian paparan di atas tentang strategi untuk merambah dunia pekerjaan. Mengingat negara kita masih luas, masih punya banyak sumber daya alam yang potensial- sangat subur, curah hujan tinggi, pokoknya SDA alam kita yang masih berlimpah. Maka tulisan ini selalu mengundang para pemuda, untuk memperluas pengalaman hidup, wawasan dan juga ilmu-pengetahuan (akademik) dan setelah itu segeralah memulai bisnis mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

if you have comments on my writings so let me know them

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...